41
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Al – Islam Kota Bandung
Rumah sakit Al – Islam merupakan rumah sakit tipe B non pemerintah dan termasuk ke dalam rumah sakit pendidikan di Kota Bandung Layanan Kesehatan ini telah teregistrasi sejak 23/02/2013 dengan Nomor Surat ijin 445.1/kep.81/I.25.b/IPRSU-B-BPPT/2012 dan telah melangsungkan Prosedur AKREDITASI RS Seluruh Indonesia dengan proses Pentahapan III (16 Pelayanan) akhirnya ditetapkan status Lulus Akreditasi Rumah Sakit.
Rumah sakit ini berlokasi di jalan Soekarno – Hatta no. 644 Kota Bandung.
Rumah sakit Al – Islam Kota Bandung memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat baik yang berobat jalan maupun rawat inap.
Pada saat ini RS Al – Islam Bandung mengoperasionalkan tempat tidur sebanyak 265 tempat tidur yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti pelayanan rawat jalan (UGD, Poliklinik umum, gigi, spesialis; mata, syaraf, THT, bedah, penyakit dalam, anak, stroke unit, jantung&pembuluh darah, paru, kesehatan jiwa, Gizi klinik, dst), pelayanan rawat inap (perawatan dewasa, anak, kebidanan, neonatal, perinatal, ICU, HCU dewasa, HCU anak, HCU kebidanan, ICCU, PICU,dan NICU), pelayanan penunjang (farmasi, Gizi, kamar bedah, one day surgery, endoskopi, X-ray, dst). Selain itu rumah sakit Al Islam Bandung memiliki fasilitas pembinaan rohani untuk karyawan dan pasien, misalnya untuk karyawan yaitu pengajian rutin 2 kali seminggu/ceramah, monitoring
diniyah karyawan dan lain-lain. Sedangkan untuk pasien yaitu salah satunya santunan kerohanian pasien dan bimbingan ibadah pasien (BIP)
5.2 Gambaran umum Instalasi Gizi
Menurut buku Pelayanan Gizi di Rumah Sakit, ruang lingkup pelayanan gizi rumah sakit meliputi :
1. Pelayanan gizi rawat inap 2. Pelayanan gizi rawat jalan 3. Penyelenggaraan makanan
4. Penelitian dan pengembangan gizi
Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam merupakan salah satu instalasi yang dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi Gizi. Ketenagaan yang ada di Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung terdiri dari 52 orang, klasifikasi ketenagaannya yaitu 10 orang Ahli gizi, 9 orang tenaga pengolah, pelaksana distribusi atau pantry 30 orang, tenaga gudang 1 orang, dan pelaksana kebersihan 2 orang.
Dalam pelayanan gizi rawat jalan di Rumah Sakit Al Islam Bandung diberikan pelayanan berupa asuhan gizi rawat jalan, konsultasi gizi dan penyuluhan gizi. Sedangkan pelayanan gizi rawat inap di Rumah Sakit Al Islam Bandung pelayanan yang diberikan yaitu asuhan gizi terstandar dari mulai asesmen, diagnosa gizi, intervensi gizi dan monitoring evaluasi.
Penyelenggaraan makanan diberikan kepada pasien rawat inap dengan berbagai jenis diet dan bentuk makanan. Selain itu, Rumah Sakit Al Islam dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan karena sudah diberikan kepercayaan dalam mendidik mahasiswa dan pelajar untuk memperluas wawasan dan pengalaman di lapangan. Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung sudah dijadikan tempat belajar lapangan untuk mahasiswa gizi dan pelajar. Kegiatan penelitian dan pengembangan di Instalasi Gizi contohnya
penyuluhan pada pasien rawat jalan, penelitian sederhana dan kegiatan Pendidikan/PKL.
Setiap kegiatan pelayanan gizi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung selalu dilakukan pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung rutin setiap hari, mingguan dan bulanan. Seperti pencatatan pelayanan rawat inap yaitu intake makanan pasien yang dilakukan rutin oleh pramusaji dengan metode Comstock dan di rekap oleh ahli gizi dan bentuk pelaporannya yaitu laporan asuhan gizi yang terdiri dari intake makanan pasien dari semua bangsal dan dilaporkan secara bulanan.
5.2.1 Gambaran Penyelengggaraan Makanan di Rumah Sakit Al Islam Bandung
Salah satu pelayanan gizi rumah sakit yaitu penyelenggaraan makanan. Penyelenggaraan makanan berupa rangkaian dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan, pemasakan bahan makanan, distribusi dan pencatatan, pelaporan dan monitoring serta evaluasi.
Tujuan dari penyelenggaraan makanan di rumah sakit yaitu menyediakan makanan yang berkualitas sesuai kebutuhan gizi, biaya, aman dan dapat diterima oleh konsumen guna mencapai status gizi yang optimal.
Penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit Al Islam Bandung memiliki tenaga pekerja sebanyak 52 orang yang diantaranya 10 orang laki-laki dan 42 orang perempuan, dapat dilihat pada tabel berikut :
Distribusi tenaga Gizi di Rumah Sakit Al Islam Bandung No Tingkat pendidikan Jumlah tenaga
1 S1 Gizi 1 orang
2 DIII Gizi 9 orang
3 Diploma III Boga 2 orang
4 SMK 39 orang
5 SD 1 orang
Siklus menu yang digunakan adalah siklus menu 10 hari + 1 menu untuk tanggal 31 dengan pola makannya 3 kali makan utama dan 2 kali selingan siang dan sore. Pola menu yang diterapkan yaitu :
a. Makan pagi : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur b. Makan siang : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan
buah
c. Makan sore : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah
Menu yang tersedia di Rumah Sakit Al Islam Bandung adalah menu diet dan non diet. Menu diet yang diberikan yaitu diet rendah garam, diet jantung, diet DM, diet stroke, diet pra-pasca bedah, diet rendah sisa, diet tinggi serat, diet rendah serat, diet rendah lemak, diet TETP, diet rendah purin, diet luka bakar, diet hati, diet rendah protein, diet kanker, dan lain-lain.
Bentuk makanan yang diselenggarakan oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung terdiri dari makanan biasa, lunak, lumat atau saring dan cair diberikan untuk kelas VIP, Utama, I, II, dan III.
Pengadaan bahan makanan di instalasi gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung yaitu mulai dari perencanaan, permintaan bahan makanan diajukan ke bidang logistik kemudian pembelian bahan makanan dan penerimaan
bahan makanan lalu penympanan bahan makanan. Penyimpanan bahan makanan dipisahkan menjadi dua yaitu penyimpanan bahan makanan segar dan penyimpanan bahan makanan kering disimpan diruang terpisah dengan ketentuan tertentu salah satunya suhu.
Penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit Al Islam dilakukan menggunakan sistem swakelola dalam hal ini instalasi gizi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan makanan dari mulai perencaaan menu sampai monitoring dan evaluasi.
Sistem distribusi yang diterapkan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung adalah sistem gabungan dari distribusi sentralisasi dan distribusi desentralisasi. Distribusi sentralisasi digunakan untuk ruangan kelas 1,2 dan 3 sedangkan distribusi desentralisasi digunakan untuk ruangan kelas VIP dan VVIP.
Setiap kegiatan penyelenggaran makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung selalu dilakukan pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit Al Islam Bandung rutin setiap hari, mingguan dan bulanan. Pencatatan di penyelenggaraan makanan yaitu pencatatan penerimaan bahan makanan, kesesuaian spesifikasi dan halal pas, penyimpanan bahan makanan, penyaluran bahan makanan, pengolahan makanan, pendistribusian makanan, uji cita rasa, sisa makanan dan kebersihan sarana prasarana dilakukan setiap hari pada setiap kegiatan.
Pelaporan di penyelenggaraan makanan dilaporkan secara harian, mingguan dan bulanan. Laporan direkap oleh kepala instalasi gizi untuk dibuat laporan bulanan, triwulan dan tahunan.
5.3 Analisis Univariat
5.3.1 Gambaran Karakteristik sampel
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah pasien pasca bedah dengan bedah digestif, urologi dan ortopedi yang dirawat dikelas I,II dan III, bersedia menjadi responden berusia ≥ 15 tahun yang telah dirawat ≥ 2 hari setelah menjalani bedah dan mendapat makanan lunak berupa bubur atau tim. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 31 orang.
Dibawah ini merupakan tabel yang dapat menjelaskan karakteristik sampel meliputi umur, jenis kelamin, kelas perawatan, jenis bedah, pekerjaan, dan pendidikan.
TABEL 5. 1
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT KARAKTERISTIK SAMPEL PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG TAHUN 2018
Kategori n %
Umur
15 – 29 10 32,3
30 – 49 13 41,9
50 – 75 8 25,8
TOTAL 31 100
Jenis Kelamin
Perempuan 12 38,7
Laki-laki 19 61,3
TOTAL 31 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 16 51,6
Bekerja 15 48,4
TOTAL 31 100
Pendidikan
Dasar 8 25,8
Lanjut 23 74,2
TOTAL 31 100
Ruang Rawat
Kelas 1 10 32,3
Kelas 2 11 32,5
Kelas 3 10 32,3
TOTAL 31 100
Jenis Bedah
Digestif 11 35,5
Urologi 11 35,5
Ortopedi 9 29
TOTAL 31 100
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 31 orang, dengan rentang yang paling muda yaitu 15 tahun dan yang paling tua yaitu 75 tahun. Sebagian sampel berada pada golongan umur 15 – 29 tahun sebanyak 10 orang (32,3%) 30 – 49 tahun sebanyak 13 orang (41,9%) sedangkan pada golongan umur 50 – 75 hanya 8 orang (25,8%). Menurut penelitian Mardiah di RSUD Kabupaten Kotabaru mengatakan bahwa usia 20 – 40 tahun atau 53% mengalami bedah appendiks (Mardiah, dkk, 2017).
Berdasarkan tabel diatas jenis kelamin sampel sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 19 orang (61,3%), sedangkan sampel yang berjenis kelamin perempuan hanya 12 (38,7%). Laki-laki lebih berisiko karena memiliki aktifitas fisik yang berat seperti mengangkat barang berat sehingga menyebabkan mengejan terjadi peregangan yang bertambah buruk (Nugroho, 2014).
Berdasarkan tabel diatas sebagian sampel dengan status tidak bekerja lebih banyak yaitu 16 orang (51,6%) dan bekerja sebanyak 15 orang (48,4%).
Sebagian besar pekerjaan sampel diantaranya sebagai wiraswasta, pegawai swasta dan buruh. Sedangkan yang tidak bekerja diantaranya sebagai pensiunan dan masih sebagai pelajar atau mahasiswa.
Berdasarkan pendidikan sebagian besar sampel dengan pendidikan lanjut yaitu 23 orang (74,2%) dan pendidikan dasar sebanyak 8 orang (25,8%). Sebagian besar sampel dengan pendidikan lanjut hanya sampai SMA/SMK/SLTA dan perguruan tinggi hanya beberapa. Sedikit dari sampel dengan tingkat pendidikan dasar yaitu jenjang SD dan SMP.
Untuk ruang rawat terdapat 3 kelas yaitu kelas 1, 2, dan 3 jumlah sampel masing – masing 10 orang (32,3%), 11 orang (32,5%) dan 10 orang
(32,3%). Menu yang disajikan dikelas 1, 2 dan 3 sama hanya berbeda dibentuk dan alat saji untuk kelas 1 karena menggunakan alat keramik sedangkan kelas 2 dan 3 menggunakan plato steinless steel. Untuk gelas minum dan alat saji makanan selingan tidak ada perbedaan.
Berdasarkan jenis bedah dibedakan menjadi 3 yaitu bedah digestif, bedah urologi, bedah ortopedi. Bedah urologi 11 orang (35,5%) dengan diagnosa medis BPH sebanyak 4 orang (36,6%). BPH atau Benign Hyperplasia Prostat adalah pembesaran jinak kelenjar prostat karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat yang menyebabkan penyumbatan aliran urin (Purnomo, 2003). Sedangkan bedah ortopedi sebanyak 9 orang (29%) dan bedah digestif 11 orang (35,5%) dengan diagnosa appendicitis atau usus buntu sebanyak 6 orang (54,5%). Menurut Riskesdas (2013) apendisitis merupakan kasus bedah digestif yang paling banyak (23%) dibanding dengan kasus yang lain. Jenis tindakan bedah menentukan luas perlukaan dan derajat nyeri, begitu jugajenis sayatan (Sjamsuhidayat, 2005).
5.3.2 Penilaian cita rasa
Cita rasa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya terima dan sisa makanan hidangan yang disajikan selain daripada faktor internal pasien sendiri misalnya adanya gangguan psikis, dan lain-lain.
Cita rasa terdiri dari dua aspek yaitu penampilan dan rasa.
Penampilan meliputi warna, bentuk, besar porsi, konsistensi, dan cara penyajian. Sedangkan rasa meliputi bumbu, aroma, suhu, tekstur dan tingkat kematangan. Pada penelitian ini penilaian citarasa makanan ditujukan untuk makanan yang disajikan pada hari itu.
a. Penampilan
TABEL 5.2
DISTRIBUSI PENILAIAN SAMPEL BERDASARKAN PENAMPILAN MAKANAN LUNAK PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL
ISLAM BANDUNG TAHUN 2018 Penampilan
Makanan
n %
Menarik 16 51,6
Tidak menarik 15 48,4
TOTAL 31 100
Penampilan makanan merupakan gabungan penilaian sampel terhadap warna, bentuk, besar porsi, konsistensi dan cara penyajian pada setiap hidangan yang disajikan oleh rumah sakit. Dalam tabel 5.4 menunjukkan sebanyak 16 orang (51,6%) menyatakan penampilan makanan yang dihidangkan menarik dan sebanyak 15 orang (48,4%) menyatakan tidak menarik. Beberapa sampel ditanyakan mengenai penampilan makanan yang disajikan mengatakan bahwa penampilan makanan dari semua aspek sudah cukup menarik, tetapi ada beberapa sampel yang mengatakan secara rinci kekurangan dari penampilan makanan yang disajikan seperti pada aspek besar porsi dan konsistensi untuk bubur kurang menarik karena porsi terlihat lebih banyak serta konsistensi yang terlalu lembek.
Penampilan makanan yang menarik akan membantu pasien dalam menghabiskan dan bisa meningkatkan nafsu makan pasien.
Ketidakseimbangan antara variasi bahan makanan, warna, bentuk atau potongan bahan makanan dapat menyebabkan penampilan makanan tidak menarik (Anwar, I., dkk 2011).
GRAFIK 5.1
DISTRIBUSI PENILAIAN SAMPEL BERDASARKAN ASPEK PENAMPILAN MAKANAN LUNAK PADA PASIEN PASCA BEDAH
DI RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG TAHUN 2018
Pada grafik 5.1 secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menyatakan penampilan makanan tidak menarik untuk aspek warna, bentuk, besar porsi, konsistensi dan cara penyajian dengan masing-masing jumlahnya sebanyak 11 orang (35,5%), 15 orang (48,4%), 15 orang (48,4%), 17 orang (45,2%) dan 14 orang (45,2%).
Warna makanan dalam aspek penampilan makanan sangat penting.
Makanan yang warnanya tidak sesuai akan menurunkan selera orang yang akan memakannya. Dari hasil wawancara penampilan makanan sampel menyatakan warna makanan sudah cukup baik karena adanya perpaduan warna dari 5 jenis hidangan.
Sebanyak 48,4% sampel menyatakan tidak menarik pada besar porsi.
Menurut beberapa sampel untuk besar porsi setiap hidangan yang disajikan sudah cukup baik kecuali untuk makanan pokok dinilai lebih dari cukup sehingga sisa makanannya banyak hal tersebut berkaitan dengan persepsi sampel mengenai besar porsi makanan pokok dan sayuran. Pada proses penimbangan berat awal untuk setiap jenis hidangan terkadang tidak sesuai dengan standar porsi yang ditetapkan sehingga akan mempengaruhi habis atau bersisanya makanan sampel. Selain itu menurut Muchatab tahun 1991, besar porsi untuk setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makan (Muchatab, 1991).
Pada aspek bentuk makanan sebanyak 48,4% menyatakan tidak menarik. Masih adanya sampel yang menyatakan tidak menarik pada aspek bentuk makanan pokok seperti bubur. Pada penyajian bubur berbeda dengan nasi tim, nasi tim disajikan dengan cara dicetak sehingga bentuknya terlihat menarik sedangkan untuk bubur tidak dapat dicetak bentuknya sehingga terlihat lebih banyak porsinya. Sebanyak 48,4% sampel yang menyatakan kurang menarik karena kurangnya keserasian dalam pemotongan jenis sayur, pemilihan bahan makanan sehingga kurang menarik.
Cara penyajian makanan yang dinilai meliputi pemilihan alat dan penyusunan makanan. Penyajian makanan pasien menggunakan plato steinless dan alat keramik yang dinilai cukup menarik oleh sampel dengan penyusunan makanan yang bersih dan rapi. Terdapat sampel yang berada dikelas 1 menyatakan lebih baik menggunakan plato steinless steel karena lebih mudah untuk mengonsumsi makanan dan sebaliknya terdapat pula sampel yang berada dikelas 2 menyatakan lebih baik penyajian dipisah menggunakan alat keramik. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Habiba dan Andriani tahun 2017 di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya yaitu penialain sampel terhadap cara penyajian sudah cukup baik (Habiba &
Adriani, 2017). Selain itu, sampel memberikan tanggapan bahwa tidak mempermasalahkan secara serius pada cara penyajian makanan rumah sakit.
b. Rasa makanan
TABEL 5.3
DISTRIBUSI PENILAIAN SAMPEL BERDASARKAN RASA MAKANAN LUNAK PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM
BANDUNG TAHUN 2018
Rasa Makanan n %
Enak 16 51,6
Tidak enak 15 48,4
Total 31 100
Pada tabel 5.3 terlihat bahwa dari 31 sampel sebanyak 16 orang (51,6%) menyatakan rasa makanan yang dihidangkan enak dan 15 orang (48,4%) menyatakan tidak enak.
Pada proses wawancara mengenai rasa makanan sampel sebanyak menyatakan (51,6%) bahwa hidangan yang disajikan sudah cukup baik dalam segi rasa tepatnya pada lauk hewani dan buah yang disajikan dalam kondisi baik atau segar. Sampel yang menyatakan tidak enak sebanyak (48,4%) pada lauk hewani dengan salah satu menunya yaitu gurame goreng tepung bumbu acar kuning dan menu lauk hewani ikan lainnya dengan alasan bahwa sampel tidak suka dan hidangan beraroma amis. Secara umum dengan jelas mengatakan bahwa rasa kurang enak ada pada hidangan sayur, sayur yang dihidangkan cenderung hambar dan kurang bumbu sehingga kurang diminati oleh sampel. Enak dan tidak enaknya rasa makanan pada suatu hidangan sangat ditentukan oleh penggunaan bumbu,
berbeda macam rempah yang digunakan akan menimbulkan rasa yang bervariasi dan enak. (Lumbantoruan, 2012).
GRAFIK 5.2
DISTRIBUSI PENILAIAN SAMPEL BERDASARKAN ASPEK RASA MAKANAN LUNAK PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL
ISLAM BANDUNG TAHUN 2018
Pada grafik 5.2 secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menyatakan rasa makanan enak untuk masing-masing aspek dengan jumlahnya sebanyak 11 orang (35,5%), 15 orang (48,4%), 15 orang (48,4%), 14 orang (45,2%), dan 14 orang (45,2%),. Sedangkan sisanya menyatakan rasa tidak enak. Selain daripada memang rasa yang dihidangkan kurang enak faktor lain yang bisa mempengaruhi rasa makanan pada pasien yaitu kondisi fisik dan keluhan pasien sendiri.
Pada aspek aroma makanan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi rasa makanan berdasarkan penilaian sampel sebagian besar
aroma yang kurang baik yaitu sebesar 48,4%. Aroma makanan berasal dari bahan makanan yang disajikan yang merangsang selera makan dan aroma hidangan berbeda-beda tergantung dari cara olah dan bumbu yang digunakan. Aroma makanan akan meningkatkan selera responden untuk mengkonsumsinya. Hidangan lauk hewani ikan contohnya pada menu gurame goreng tepung saus asam manis. Aroma ikan yang amis dapat mengurangi nafsu makan sampel. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Anggraeni,dkk di RSUD Berkah Kabupaten Pandeglang tahun 2017 yaitu sebanyak 78,57% mengatakan aroma sudah cukup baik. (Anggraeni, Ronitawati, & Hartati, 2017).
Sebanyak 48,4% sampel menilai suhu kurang sesuai pada menu sayur yang diterima dan makanan pokok dalam keadaan hangat, Hal ini tidak terlalu tepat karena pramu saji dalam mendistribusikan hidangan dari dapur ke ruangan langsung tanpa ada pemorsian ulang. Faktor lain yang menyebabkan suhu menjadi tidak hangat adalah tidak tepat waktunya sampel untuk mengonsumsi makanan, terdapat sampel yang menyatakan suhu hidangan dingin karena sampel memakan hidangannya hampir 45 menit setelah didistribusikan oleh pramu saji.
Dari 31 sampel sebanyak 48,4% mengatakan bahwa tekstur kurang baik pada beberapa menu sayur yang dihidangkan sampel mengatakan sayuran masih rada keras dan untuk hidangan pokok terdapat beberapa sampel yang mengatakan bahwa tekstur nasi tim terlalu lembek sehingga kurang meningkatkan selera makan pasien. Tekstur makanan disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk mengonsumsi, pemberian makanan lunak diberikan untuk pasca bedah karena peralihan dari makanan saring serta kondisi patologis saluran cerna pasien yang belum bisa diberikan tingkatan testur makanan yang lebih tinggi yang bisa mengakibatkan resiko pada pasien.
Pada aspek tingkat kematangan dari 31 sampel yang mengatakan tidak baik yaitu sebanyak 45,2% hal ini berkaitan dengan penilaian aspek tekstur yang baik secara keseluruhan sehingga dapat membuktikan bahwa tingkat kematangan pada setiap hidangan yang disajikan sudah baik atau sudah matang. Bahan makanan yang dbuat pada makanan lunak jelas akan matang karena standarnya yang harus mudah dikunyah, ditelan sehingga hidangan makanan lunak disajikan pada pasien dalam keadaan tertentu. Persepsi tingkat kematangan yang tidak baik dapat tergantung dari kebiasan makan atau kesukaan sampel terhadap suatu hidangan, adanya perbedaan standar kematangan makanan yang disediakan rumah sakit dengan kebiasaan dirumah juga dapat menjadi salah satu faktornya. (Moehyi, 1990)
5.3.3 Sisa Makanan
TABEL 5.4
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN SISA MAKANAN LUNAK PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM
BANDUNG TAHUN 2018
Kategori
n %
Banyak 19 61,3
Sedikit 12 38,7
TOTAL 31 100
Sisa makanan merupakan salah satu standar pelayanan minimal rumah sakit. sisa makanan adalah jumlah yang tidak habis dimakan oleh pasien. Menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit tahun 2013 bahwa sisa makanan sedikit adalah ≤ 20% dan sisa makanan banyak > 20%
(Kementrian Kesehatan RI, 2013)
Presentase sisa makanan diambil dari sisa makanan yang tersisa dibagi berat awal hidangan. Pada penelitian ini berat awal didapatkan tidak berdasarkan standar porsi akan tetapi rata-rata dari 10% jumlah sampel.
Berat tidaknya suatu hdangan dapat menentukan terjadinya sisa makanan.
menurut Muchatab tahun 1991, besar porsi untuk setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makan (Muchatab, 1991).
Berdasarkan tabel hasil penelitian sisa makanan yang telah dilakukan dengan metode food weighing didapatkan 19 orang (61,3%) dengan sisa makanan banyak dan 12 orang (38,7%) dengan sisa sedikit. Sama dengan penelitian Putri Hafizah di RSUD Padang tahun 2010 sisa makanan banyak lebih tinggi yaitu 42,2% dengan sisa makanan paling banyak untuk sayuran 28,3% (Putri, 2015).
Dari 31 sampel dengan 2 hari pengambilan sisa makanan didapatkan rata-rata sisa makanannya adalah sebanyak 22%. Hal ini berarti sisa makanan masih diatas standar (≤20%). Pada saat pengambilan data kondisi makan sampel diberikan makanan lunak ± 1-2 hari setelah pembedahan sehingga kondisi beberapa sampel masih ada yang mengeluhkan mual, pusing, linu bekas bedah dan tidak ada nafsu makan.
Sisa makanan banyak dapat disebabkan sebanyak 48,4% menyatakan penampilan makanan tidak menarik dan 48,4% menyatakan rasa makanan tidak enak sehingga ketertarikan sampel dalam menghabiskan makanan yang disajikan menjadi kurang.
Makanan yang disajikan adalah makanan lunak yang memiliki ciri tekstur yang mudah ditelan dan dicerna atau lebih lunak dari makanan biasa
sehingga besar porsi pada makanan pokoknya terlihat lebih banyak karena volumenya meningkat. Selain itu suhu dapat mempengaruhi selera makan, suhu dingin akan menurunkan rasa makanan pada sayur dan makanan pokok. Pasien pasca bedah diberikan makanan secara bertahap dari mulai makanan cair, saring/lumat, lunak hingga makanan biasa karena keadaan pasien yang belum bisa diberikan makanan dengan tekstur dan konsistensi padat (Almatsier, 2005).
Faktor yang menyebabkan terjadinya sisa makanan yaitu faktor internal dari pasiennya sendiri, usia, psikis, kondisi fisik klinis dan faktor eksternal seperti cita rasa makanan dari penampilan dan rasa makanan yang disajikan (Almatsier, 1992). Menurut penelitian Farhatul Iftitah di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2017 mengatakan bahwa ada hubungan antara kondisi pasien dengan terjadinya sisa makanan. Sehingga terjadinya sisa makanan bisa dari berbagai faktor internal, eksternal dan lingkungan (Iftitah, 2017).
Sisa makanan menurut usia yang banyak menyisakan sisa makanan pada penelitian ini adalah usia anak – dewasa. Pada usia ≤ 29 tahun dan ≤ 49 tahun adalah 24% sedangkan pada usia ≥ 50 sisa makananya hanya 17%. Hal ini disebabkan pada rentang usia remaja sampai dewasa tingkatan stressnya lebih tinggi selain itu perbedaan kondisi kesehatan setiap pasien menyebabkan perbedaan selera pasien untuk menghabiskan makanan yang disajikan. Pasien yang tidak nafsu makan akan tidak berselera dengan makanan yang memiliki porsi yang terlihat besar (Kendall, 1998). Berbeda dengan hasil penelitian Nida, di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum tahun 2011 dimana pasien yang berumur ≥35 tahun lebih banyak menyisakan makanannya dibandingkan pasien yang berumur < 35 tahun. (Nida, 2011)
Menurut hasil penelitian Djamaluddin (2005) mengenai analisis zat gizi dan biaya sisa makanan pada pasien dengan makanan biasa bahwa ada perbedaan sisa makanan pada beberapa jenis penyakit seperti penyakit kanker, ginjal, postpartum, saraf dan bedah. Pada pasien dengan penyakit ginjal, postpartum dan saraf memiliki sisa makanan sedikit. Sedangkan pasien dengan penyakit kanker dan bedah terjadi sisa makanan yang banyak karena pada umumnya pasien dengan penyakit ini tingkat stressnya tinggi yang disebabkan oleh penyakitnya sendiri maupun pengobatan yang dialaminya, sehingga nafsu makan menurun.
(Djamaluddin, 2005)
Selain itu, Penyajian makanan kepada pasien lebih kompleks dibandingkan dengan penyajian makanan untuk pasien sehat. Hal ini disebabkan kurangnya nafsu atau selera makan dan kondisi psikis pasien berubah akibat pasca pembedahan, aktifitas menjadi menurun dan adanya reaksi obat-obatan serta kebiasaan, pendidikan, pekerjaan dan sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya sisa makanan (Dillak,2012).
Pada pasien pasca bedah masalah yang sering terjadi yaitu adanya keluhan nyeri, mual, muntah, rasa tidak nyaman di lambung dan makanan yang tidak familiar bisa menjadi faktor menurunnya nafsu makan sehingga mengakibatkan meningkatnya sisa makanan yang banyak. (Said, Taslim, &
Bahar, 2013). Apabila pasien menyisakan makanan dalam jumlah banyak, maka kebutuhan gizi pasien tidak akan terpenuhi dan akan berpengaruh besar terhadap proses penyembuhan penyakit dan hari rawat pasien. Sisa makanan akan sangat berpengaruh pada keadaan pasien dan proses penyembuhan serta hari rawat pasien itu sendiri. (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Studi terbaru mengatakan bahwa respon katabolik terhadap
pembedahan dapat dicegah dengan asupan makanan yang adekuat (Said et al., 2013).
TABEL 5.5
RATA – RATA PRESENTASE SISA MAKANAN LUNAK BERDASARKAN KELOMPOK WAKTU MAKAN DAN WAKTU MAKAN SELAMA 2 HARI PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
TAHUN 2018 Waktu
makan
Rata-Rata sisa Makanan (%) Makanan
pokok
Lauk hewani
Lauk Nabati
Sayur Buah
Pagi 23 13 13 30 0 16%
Siang 31 17 14 32 3 19%
Sore 30 13 19 35 2 20%
Rata-Rata % 28 14,3 15,3 32,3 1,6
Dari tabel 5.5 terlihat bahwa sisa makanan berdasarkan waktu makan masih masuk standar sisa makanan (≤20%) untuk makan pagi sisa makanannya 16%, makan siang 19% dan makan sore 20%. Berbeda dengan hasil penelitian Rochmiawati (2015) tentang studi hasil evaluasi sisa makanan pasien dan biaya makanan pasien di RSK Dr Tadjuddin Chalid dan RSUD Makassar bahwa sisa makanan lebih banyak di makan pagi yaitu 30,9% hal tersebut berkaitan dengan menu yang disajikan, waktu makan dimakan pagi seringkali mengeluhkan mual, rasa mau muntah dan pusing (Rochimiwati, 2015).
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan rata-rata presentasi sisa makanan berdasarkan waktu makan dan kelompok makanan diperoleh untuk presentasi sisa makanan paling banyak pada makanan pokok dan sayur yaitu
28% dan 32,3%. Hal ini sejalan dengan penelitian Habiba dan Andriani tahun 2017 di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya yaitu hidangan pokok dan sayur menyisakan sisa makanan banyak dengan presentasi 31,73% dan 34,1% (Habiba & Adriani, 2017).
Sedangkan sisa makanan berdasarkan kelompok makanan yaitu sebanyak 31% untuk makanan pokok dan 35% untuk sayuran. Hal ini dapat disebabkan makanan pokok yang disajikan adalah bubur dan nasi tim sehingga besar porsi dan konsistensi mempengaruhi daya terima sampel.
Selain itu, jika bubur dikonsumsi dalam keadaan dingin akan menurunkan rasa dan nafsu makan sampel. Sisa makanan sayur pada tiga kali waktu makan sisanya > 20% hal ini dapat diakibatkan karena rasa yang kurang enak atau hambar, bentuk potongan, konsistensi/tekstur dan suhu sehingga dapat menurunkan ketertarikan serta selera sampel dalam menghabiskan sayur.
Tingginya angka persentase sisa makanan pokok dan sayur pada penelitian dapat disebabkan dari berbagai macam faktor atau alasan pasien terhadap sisa makanan lunak yaitu beberapa sampel mengatakan bahwa jarak antara pemberian makan siang dan sore terlalu dekat sehingga sampel umumnya mengonsumsi hidangan diakhir waktu dengan demikian sisa makanan pada makan sore lebih tinggi dari makan siang.
Selain itu, berdasarkan penelitian Lulik Sulifa Dewi di Rumah Sakit Djatiroto Lumajang tahun 2015 mengatakan bahwa konsumsi makanan dari luar rumah sakit bisa menimbulkan peningkatan sisa makanan yang banyak karena pasien lebih tertarik mengonsumsi makanan dari luar dibandingkan dengan makanan yang disajikan oleh rumah sakit (Dewi, 2015).
Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa menurut rata-rata sisa perkelompok makanan, yang sedikit bersisa terdapat pada kelompok makanan buah (1,6%). Buah yang disajikan menurut sampel sudah cukup baik dari segi rasa dan penampilan sehingga sisa makanan buah sedikit. Sedangkan yang banyak bersisa terdapat pada kelompok sayuran (32,3%) dan makanan pokok (28%). Hal ini mungkin disebabkan suhu makanan yang disajikan sudah dingin. Sehingga warna sayuran sudah tidak menarik lagi, begitu juga dengan makanan pokok, karena makanan pokok yang bertekstur lunak, ditambah lagi sudah dalam keadaan dingin, maka tampilan dari makanan tersebut juga dapat mempengaruhi selera dari pasien itu sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Liza (2011) di Rumah Sakit Haji Jakarta dimana persentase sisa makanan responden paling banyak berasal dari sayur, yaitu sebesar 47,01% hal tersebut diakibatkan rasa yang kurang enak pada sayur (Aula, 2011).
5.4 Analisa Bivariat
5.4.1 Hubungan Rasa Makanan dengan Sisa Makanan Lunak
TABEL 5.6
GAMBARAN SISA MAKANAN LUNAK BERDASARKAN RASA MAKANAN PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM BANDUNG
TAHUN 2018 Rasa
Makanan
Sisa Makanan TOTAL
Banyak sedikit
n % n % n %
Tidak enak 10 66,6 5 33,3 15 100
Enak 9 56,25 7 43,75 16 100
Total 19 61,3 12 38,7 31 100
Pada tabel 5.8 dapat diketahui dari dari 15 sampel ada 10 orang (66,6%) menyatakan rasa tidak enak dengan sisa makanan banyak (>20%) dan 5 orang (33,3%) menyatakan rasa tidak enak dengan sisa makanan sedikit (≤20%). Sedangkan 16 sampel ada 9 orang (56,25%) yang menyatakan rasa enak dengan sisa makanan banyak (>20%) dan 5 orang menyatakan rasa enak dengan sisa makanan sedikit (≤20%). Hal ini pada proses wawancara beberapa sampel mengatakan bahwa makanan rumah sakit enak tidak enak harus dihabiskan sehingga rasa makanan tidak terlalu berarti bagi beberapa sampel. Selaras dengan hasil penelitian Dewi (2015) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan sisa makanan pada pasien rawat inap di RS Djatiroto Lumajang bahwa sebanyak 51,1% menyatakan tidak enak dengan sisa makanan yang banyak (>20%) (Dewi, 2015)
Dari hasil uji statistik diperoleh hasil p = 0,821, karena p>α maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara rasa makanan dengan sisa makanan lunak pada pasien pasca bedah di Rumah Sakit Al Islam Kota Bandung. Hasil ini tidak selaras dengan penelitian Lumbantoruan (2012) yang mengatakan bahwa rasa makanan dapat mempengaruhi sisa makanan.
Dari hasil uji statistik ini dapat disimpulkan bahwa tidak bermaknanya rasa makanan dengan sisa makanan lunak dikarenakan adanya perbedaan kriteria kesukaan tergantung dari selera dan indera pengecapan masing- masing sampel. Selain itu timbulnya perbedaan rasa karena terdapat beberapa sampel yang masih mengeluhkan mual dan kurang nafsu makan.
Sehingga rasa makanan bukan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya sisa makanan.
Menurut buku Gizi dan Penyembuhan Luka tahun 2013 bahwa pada pasien pasca bedah masalah yang sering terjadi yaitu adanya keluhan nyeri, mual, muntah, rasa tidak nyaman di lambung dan makanan yang tidak
familiar bisa menjadi faktor menurunnya nafsu makan sehingga mengakibatkan meningkatnya sisa makanan yang banyak. (Said et al., 2013)
Pada penelitian ini sampel yang mengatakan kurang enak atau tidak enak pada setiap jenis hidangan ditanyakan alasannya, sebagian besar sampel mengatakan tidak enak untuk hidangan sayur salah satunya pada karena rasanya yang hambar, dan untuk menu dengan lauk hewani ikan banyak yang mengeluhkan karena tidak suka dan masih beraroma amis sehingga tidak aneh untuk menu lauk hewani ikan banyak menyisakan makanan. Hal ini serupa dengan penelitian Anggraeni,dkk di RSUD Berkah Kabupaten Pandeglang tahun 2017 yaitu yang lebih sedikit menyisakan sisa makanan adalah lauk nabati dan hewani dibandingkan dengan sayuran karena pada hidangan lauk nabati dan hewani dinilai lebih beraroma dan mampu meningkatkan selera makan (Anggraeni et al., 2017).
5.4.2 Hubungan Penampilan Makanan dengan Sisa Makanan Lunak
TABEL 5.7
GAMBARAN SISA MAKANAN LUNAK BERDASARKAN PENAMPILAN MAKANAN PADA PASIEN PASCA BEDAH DI RUMAH SAKIT AL ISLAM
BANDUNG TAHUN 2018 Penampilan
Makanan
Sisa Makanan TOTAL
Banyak Sedikit
n % n % n %
Tidak Menarik 11 73,3 4 26,6 15 100
Menarik 8 50 8 50 16 100
Total 19 61,3 12 38,7 31 100
Penampilan makanan di rumah sakit dilihat dari penilaian sampel terkait kepuasan warna, bentuk, besar porsi, konsistensi dan cara penyajian makanan. Mc Cricked dan Forde (2016) menjelaskan dalam jurnalnya bahwa warna makanan dapat memberikan penampilan lebih menarik sehingga meningkatkan selera makan dan menurunkan jumlah makanan sisa (Mccrickerd & Forde, 2015)
Warna menjadi salah satu hal utama dalam merangsang indera penglihatan. Salah satu bagian dari penampilan yang menjadi bentuk pertama interaksi sensorik dengan makanan (Winarno, 1992). Dalam suatu menu yang baik, kombinasi warna yang ada setidaknya melebihi dua macam.
Dari tabel 5.9 dapat diketahui dari 16 sampel ada 8 orang (50%) menyatakan penampilan makanan menarik dengan sisa makanan banyak dan 8 orang (50%) menyatakan penampilan makanan menarik dengan sisa makanan sedikit. Sedangkan dari 15 sampel terdapat 11 orang (73,3%) menyatakan penampilan tidak menarik dengan sisa makanan banyak dan 4 orang (26,6%) menyatakan makanan tidak menarik dengan sisa makanan sedikit.
Dari hasil pengujian statistik didapatkan hasil p> α atau p = 0,335 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penampilan dengan sisa makanan lunak pada pasien pasca bedah di Rumah Sakit Al Islam Kota Bandung. Selaras dengan hasil penelitian Ambarwati (2017) bahwa penampilan makanan bukan merupakan faktor utama terjadinya sisa makanan (Ambarwati, 2017).
Dari hasil uji statistik ini dapat disimpulkan tidak bermaknanya penampilan makanan dengan terjadinya sisa makanan lunak hal ini dikarenakan sebagian sampel yang menyatakan tidak menarik dengan sisa makanan banyak dapat terjadi karena kurangnya nafsu makan sehingga
ketertarikan dalam mengonsumsi makanan menjadi kurang meskipun oleh pihak instalasi gizi sudah diupayakan untuk menyesuaikan perpaduan antara warna dan kesesuaian bahan agar diterima oleh pasien.