• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Sosial. Universitas Sumatera Utara. Oleh : POLMA MINARTA SILABAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Sosial. Universitas Sumatera Utara. Oleh : POLMA MINARTA SILABAN"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA INDONESIA MEDAN HELVETIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

POLMA MINARTA SILABAN 140902061

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA INDONESIA MEDAN HELVETIA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam Program Studi Kesejahteraan Sosial

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

POLMA MINARTA SILABAN 140902061

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

NARKOBA DI LEMBAGA REHABILITASI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA INDONESIA MEDAN HELVETIA Nama Mahasiswa : Polma Minarta Silaban

NIM : 140902061

Departemen/Prodi : Kesejahteraan Sosial

Menyetujui, DOSEN PEMBIMBING

Drs. Matias Siagian, M. Si, Ph. D NIP. 196303191993031003

KETUA DEPARTEMEN

Agus Suriadi, S.Sos, M.Si.

NIP. 196708081994031004

DEKAN FISIP USU

Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si.

NIP. 19740930 200501 1 002

(4)

Judul Skripsi

PERANAN KONSELOR DALAM PROSES PEMULIHAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI LEMBAGA REHABILITASI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA

INDONESIA MEDAN HELVETIA

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagaian skripsi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2018 Penulis

Materai

(5)

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA INDONESIA MEDAN HELVETIA

ABSTRAK

Semakin meningkatnya jumlah pengguna Narkoba di Indonesia membuat upaya untuk menangani para korban penyalahgunaan narkotika semakin di tingkatkan. Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Proses rehabilitasi akan sangat membantu pencegahan untuk tidak menggunakan narkoba itu kembali. Upaya terapi dan rehabilitasi melibatkan berbagai pihak, salah satunya konselor. Konselor ikut terlibat dan memiliki banyak peranan dalam proses pemulihan. Penelitian dilakukan di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia. Informan utama dalam penelitian ini adalah tiga orang konselor dari Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tiga orang residen yang sedang mengikuti tahap primary. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah Pimpinan Balai Rehabilitasi Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia dan satu orangtua dari residen. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapatkan di lapngan kemudian analisi oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari penelitian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan konselor dalam proses pemulihan itu sangat mendukung pemulihan residen. Konselor di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia melakukan peranannya dengan baik. Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, peneliti memberikan saran agar konselor lebih lagi meningkatkan pelayanannya, kinerja dan pengetahuan dalam pemulihan pecandu narkoba dan melaksanakannya dengan segenap hati. Orangtua dari residen juga harus ikut serta dan selalu siap dalam mendukung pemulihan si anak.

(6)

PENCEGAHAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA BHAYANGKARA INDONESIA MEDAN HELVETIA

ABSTRACT

The increasing number of drug users in Indonesia makes efforts to deal with victims of narcotics abuse increasingly increased. Drug addicts and abuse victims must undergo medical and social rehabilitation in accordance with article 54 of Law No. 35 of 2009. The rehabilitation process will greatly help prevent the use of the drug again. Therapy and rehabilitation efforts involve various parties, one of them is a counselor. The counselor is involved and has many roles in the recovery process. The study was conducted at the Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia. The main informants in this study were three counselors from the Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia. The key informants in this study were three residents who were attending the primary stage. Additional informants in this study were the Head of the Rehabilitation Center for the Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia and one parent of the resident. Data collection techniques with library studies, in-depth interviews and observation. The data obtained in the analysis and then analyzed by the researcher are explained qualitatively. So that conclusions can be drawn from the study. The results showed that the role of counselor in the recovery process was very supportive of resident recovery. Counselors at the Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia performed their roles well. Based on the research that the researchers did, researchers gave suggestions that the counselor would further improve their services, performance and knowledge in recovering drug addicts and implementing them with all their heart. Parents of residents must also participate and are always ready to support the child's recovery.

(7)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan kasih setiaNya, penelitian ini dapat selesai dengan baik. Skripsi ini berjudul “Peranan Konselor dalam Proses Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia”. Yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada program strata-1 (S1), jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu serta mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

4. Bapak Drs. Matias Siagian, S.Sos, M.Si, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen dan Ilmu Kesejahteraan Sosial yang telah begitu sabar mengajar dan mendidik saya serta membantu

(8)

6. Kedua Orangtua saya yang sangat saya cintai, Bapak J. Silaban dan Mamah saya H. Simangunsong yang dalam perkuliahan saya juga masih sakit, adik-adik saya yang sangat saya kasihi (Hara, Glorya, Hizkia, Ucok Lala, Ucok Dede) yang memberi dukungan kepada saya dan berharap penuh kepada saya sebagai anak sulung.

7. Kepada penyemangat hati dan jiwa saya dalam kejauhan Agus Siagian, yang selalu mendoakan dan membully juga.

8. Sis Rita selaku Program Manager Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia.

9. Ibu Rizka dan para staff Lembaga Rehabilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba Bhayangkara Indonesia Bro Yudha, Bro Erwin, Bro Anta, Pak Sarwan dan yang tidak dapat saya sebut satu per satu, saya berterimakasih karena telah mengajari saya tentang banyak hal tentang dunia adiksi dan terus membantu dan memotivasi saya segera menyelesaikan studi.

10. Para residen yang sudah bersedia sebagai informan saya, sudah meluangkan waktu untuk melakukan wawancara dalam penelitian skripsi ini.

11. Sahabat serta saudaraku LYFA: Lyli yang punya tingkat obsesi yang tinggi, enak diajak cerita dan apa adanya dari segi bahasa, Yanti yang

(9)

diajak kemana aja mau alias ngekor), Fenny yang aku panggil Fenoy, orang yang paling peduli sama aku di Medan ini, yang gak pernah belain aku, yang selalu bentak aku di muka umum atau di muka khusus (tapi selalu ada dan bisa diajak kemana pun, kecuali nginap dikontrakanku, alerginya bakalan kumat), terimakasih buat kalian yang sudah 4 tahun bersama. Masih ingat aku yang mempersatukan ketiga kalian, akhirnya kita gabung terus. Buat AL (sepaket jadi Al. El. Dul) yang aku rasa dia kadang nyebelin, dia yang merasa keduluani sama aku, tapi dia adalah opung bagi kami LYFA, yang selalu mengingatkan, mendengarkan curhatan, dan kakak rohani bagi kami.

12. Sahabat terbaikku Natalia Pakpahan dari mulai SMA selalu bareng, yang sudah selalu memberi dukungan, dan mendengarkan semua keluh kesahku.

Sukses buat kamu juga yang lagi berjuang juga di STKS. Kita sama-sama kuliah di Kesos tapi hanya berbeda tempat. Dan sukses juga buat acara pernikahan kamu dan Bang Ucok. Doakan aku menyusul dapat jodoh yang terbaik yah.

13. Keluarga rohaniku, seluruh leader komunitas Youthku “MARS”, Leader CF Faith dan semua anggota CG ku, bersyukur masuk ke komunitas ini, dan dipercayakan pelayanan di Team Praise and Worship. Itu adalah anugerah dari Tuhan, talenta dari Tuhan, maka dikembalikan guna hormat kemuliaan Tuhan.

(10)

sampai sekarang ngontrak sama. Terimakasih buat dukungan, bantuan , semangatnya yang selalu menjadi kekuatan bagiku.

15. Teman-teman Kessos stambuk 2014 yang sudah alumni atau sedang dalam proses akhir dan teman KKN K1 Simalungun, Anjaina, Nurul, Eka, Balkis, Masyitoh, Indah, Djaya, Abi Adlan, Adek ganteng Jere, Ipo, Lusi Tomat, Yuni, dan Kak Yessi, terimakasih untuk dukungan kalian semua.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan kemampuan penulis miliki. Penulis memohon dengan segala kerendahan hati, agar dapat memakluminya dan berharap agar dapat memberi saran dan perbaikan dari segenap pembaca sekalian. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Sekian dan terimakasih.

Medan, Agustus 2018

Penulis

Polma Minarta Silaban

(11)

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penenelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Landasan Teori ... 10

2.1.1 Pengertian Peranan ... 10

2.1.2 Pengertian Konselor ... 12

2.1.3 Karakteristik Konselor ... 16

2.1.4 Peranan Konselor ... 19

2.1.5 Proses Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba ... 23

2.1.6 Narkoba dan Penggolongannya ... 32

2.1.7 Penyalahgunaan Narkoba ... 37

2.2 Penelitian yang Relevan ... 42

2.3 Kerangka Pemikiran ... 43

2.4 Definisi Konsep ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Tipe Penelitian ... 50

3.2 Lokasi Penelitian ... 51

3.3 Informan Penelitian ... 51

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.5 Teknik analisis Data ... 54

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 55

A. Temuan Umum ... 55

4.1 Letak Geografis LRPPN ... 55

4.2 Sejarah Perkembangan Letak Geografis LRPPN ... 55

4.3 Profil Lembaga LRPPN ... 57

4.4 Visi, Misi dan Tujuan ... 58

4.5 Struktur Organisasi LRPPN ... 59

4.6 Kondisi Umum tentang Klien ... 60

4.7 Kondisi Umum tentang Petugas ... 61

4.8 Program LRPPN ... 63

4.9 Alur Program LRPPN ... 68

4.10 Keadaan Sarana dan Prasarana ... 71

BAB V HASIL PENELITIAN ... 74

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 74

5.2.1 Informan Utama I ... 74

5.2.2 Informan Utama II ... 81

(12)

5.2.7 Informan Tambahan I ... 102

5.2.8 Informan Tambahan II ... 106

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 108

5.2.1 Hasil Observasi ... 115

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 116

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 117

6.1 Kesimpulan ... 117

6.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(13)

Bagan 2.1 Bagan Alur Pikir ... 48 Bagan 4.4 Bagan Struktur Organisasi ... 59

(14)

Tabel 4.2 Job Deskripsi ... 61

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkoba dapat merusak mental dan mempunyai gangguan terhadap sistem syaraf manusia. Sehingga dapat berdampak kepada kualitas mental dan fisik. Jumlah pemakai narkoba bertambah terus-menerus dengan jenis kelompok pemakai semakin bervariasi yang daerah penyebarannya semakin meluas, dan meningkatnya arus globalisasi yang menguatkan arus peredaran narkoba dengan berbagai cara.

Berdasarkan data PBB pada tahun 2014, pengguna narkotika di dunia mencapai angka 435 juta orang dengan usia produktif antara 15 hingga 64 tahun. Akibat narkotika sebanyak 183 ribu orang meninggal dunia tiap tahunnya. Pengguna narkotika tidak hanya kalangan dewasa, namun juga ka- langan remaja bahkan anak-anak. Mereka tidak hanya dari kalangan masyarakat berpendidikan rendah, namun juga meracuni masyarakat berpendidikan tinggi (Analisa, 2015).

Penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia (UI) tahun 2008 juga mengatakan bahwa setiap harinya 40 orang penyalahguna narkotika meninggal dunia. Mereka meninggal sia-sia di usia muda antara 1.99% atau sekitar 2.500.000 orang penyalahguna dari populasi seluruh rakyat Indonesia (BNN & Puslitkes UI, 2014).

Data pada United Nation International Drug Control Program (UNDP), mengatakan ada lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia telah menyalahgunakan

(16)

narkoba dari jumlah 3,4 juta di antaranya adalah orang Indonesia. Lebih dari 80%- nya merupakan remaja, dan bahkan telah menambah pula pada usia yang masih tergolong anak-anak (David, 2014).

Kasus narkoba setiap tahunnya semakin meningkat, hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Puslitkes UI, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2015 telah mencapai 2,20% atau setara dengan 4.098.029 orang. Penyalahguna tersebut terdiri dari Kelompok Coba Pakai 1.599.836 orang, Kelompok teratur Pakai 1.511.035 orang, Kelompok Pecandu Suntik 68.902 orang, Kelompok Pecandu Non Suntik 918.256 orang (BNN, 2016).

Menurut data penelitian BNN diprediksi angka prevalensi penyalahgunaan narkoba mencapai 5,1 juta orang pada tahun 2016. Dimana Indonesia bukan hanya menjadi tempat transit. Akan tetapi Indonesia sekarang ini telah menjadi salah satu produsen narkoba terbesar di dunia. Hal ini mengakibatkan Indonesia disinyalir berada di peringkat keempat terbesar pengguna narkoba di dunia (ZK, 2015).

Berdasarkan survei Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Puslitkes UI (2015), Sumatera Utara (Sumut) merupakan peringkat 2. Sumatera Utara sebagai provinsi dengan prevalensi penyalahgunaan narkoba tertinggi di Indonesia setelah nomor 1 itu Provinsi DKI, nomor 3 adalah Samarinda dan nomor 4 adalah Riau (Sindonews, 2015). Berdasarkan BNN juga, 25% warga Sumatera Utara adalah pengguna narkoba. Jumlah penduduk Sumatera Utara 13.937.797 jiwa yang berada di 6.101 desa/kelurahan atau 33 kabupaten kota, sebanyak 350 jiwa sudah menjadi pengguna narkoba (Elshinta, 2017).

(17)

Saat ini jumlah pecandu narkoba yang dirawat di rehabilitasi tercatat 38.274 orang. BNN telah menyiapkan 365 pusat rehabilitasi yang tersebar di 178 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah pecandu yang telah menjalani perawatan selama ini sebanyak 25.156 orang (Rahman, 2016). Badan Narkotika Nasional (BNN) juga menargetkan akan merehabilitasi 100.000 pecandu dan penyalahguna narkotika dan obat-obatan berbahaya sesuai amanat Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Antaranews, 2015).

Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial sesuai dengan Pasal 54 Undang-undang No. 35 Tahun 2009.

Rehabilitasi merupakan cara yang baik untuk menangani para korban penyalahgunaan narkoba tersebut. Rehabilitasi dengan pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif (program pengobatan).

Proses rehabilitasi akan sangat membantu melalui setiap program yang ada, dan membantu pencegahan untuk menggunakan narkoba itu kembali. Salah satu tempat rehabilitasi ketergantungan narkoba di Sumatera Utara adalah Lembaga Rehabilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (LRPPN) Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia, yang merupakan suatu lembaga untuk mengembangkan kepedulian atau perang terhadap pencegahan dan penyalahgunaan narkoba. Lembaga ini sebagai tempat untuk mendapatkan pengobatan, perawatan, pembinaan dan dukungan keluarga karena mereka benar- benar sakit, baik fisik dan psikisnya.

Seseorang yang mengikuti rehabilitasi, akan mengalami pencegahan penggunaan narkoba. Karena ia akan fokus dalam mengikuti program, dan dalam

(18)

program juga diberikan pembelajaran pencegahan agar tidak relapse. Seseorang yang akan mengikuti rehabilitasi akan mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Jika mengikuti rehabilitasi medis akan dilakukan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Jika mengikuti rehabilitasi sosial maka dilakukan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Konselor juga selain melakukan pencegahan terhadap pengguna narkoba itu akan melakukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan terapi medis, terapi psikologi, terapi konseling, terapi religius, terapi keluarga dan terapi sosial.

Upaya terapi dan rehabilitasi harus melibatkan perawat/dokter, psikolog, psikiatri, ahli keagamaan dan juga konselor. Pihak-pihak tersebut terlibat dalam upaya pemulihan penyalahguna narkoba memiliki peranan penting, salah satunya adalah konselor. Konselor yang paling sering bertemu dengan klien.

Konselor ini dapat bekerja secara mandiri untuk membantu klien dengan berbagai masalah. Konselor adiksi secara umum harus menyelesaikan berbagai program latihan yang meliputi berbagai hal mengenai ketergantungan beragam bahan kimia, psikologi, masalah hukum, berbagai tindakan yang ada agar individu dapat berjuang melawan adiksinya.

Konselor tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh seorang profesional yaitu orang yang telah memperoleh pendidikan dan pelatihan konseling narkoba dan mempunyai keahlian dibidangnya masing-masing, termasuk juga pengetahuan tentang narkotika. Konselor termasuk pihak yang membantu, untuk perubahan tingkah laku seseorang yang salah sehingga menjadi

(19)

terarah. Hal ini juga membutuhkan seorang konselor yang aktif dan cekatan dalam pemulihan korban penyalahggunaan narkoba. Karena seseorang yang telah memakai narkoba dalam kurun jangka waktu yang lama itu sangat merusak jaringan sistem sarafnya.

Konselor akan membantu klien dalam memecahkan masalah dan kebutuhan klien, jika ada yang sakit akan dihubungkan kepada perawat atau dokter, jika yang membutuhkan konsultasi tentang kehidupan beragamanya maka membutuhkan ahli keagamaan. Klien akan banyak menghabiskan waktu mereka untuk berkonsultasi dengan konselor, yaitu sekali dalam seminggu.

Keterlibatan seorang konselor dengan klien sangat mempengaruhi tingkatan perubahan klien. Sehingga konselor itu banyak disegani dan diyakini para klien. Klien sangat merasa dekat dengan masing-masing konselornya. Klien terbuka kepada konselornya dalam hal apapun yang dialami mereka.

Konselor dituntut untuk lebih mengutamakan pelayanan dan membina hubungan yang baik terhadap klien. Hubungan ini akan lebih baik lagi jika konselor dapat meningkatkan pengetahuannya dalam bidang komunikasi.

Konselor juga mengutamakan perasaan klien terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang dialami klien, termasuk klien memandang permasalahan yang dihadapi kaitannya dengan keluarga, tempat pekerjaan dan masyarakat.

Konselor dapat mereaksikan diri ketika memberikan konseling pada residen serta konsep diri pada lingkungan yang tidak terlepas dari proses interaksi dan komunikasi kepada residen dalam kehidupan sehari-harinya telah membentuk dunia sosial yang diyakininya dan menjadi realitas dalam kehidupan sosial.

(20)

Proses komunikasi antara konselor dengan klien penyalahgunaan narkoba menjadi hal yang unik dan menantang, seperti bagaimana seorang konselor dengan label yang notabenenya adalah kebanyakan mantan pengguna narkoba yang memberikan konseling juga tentang narkoba kepada para pengguna narkoba.

Jika klien bertemu dengan konselor maka klien akan terlihat segan namun bersahabat karib dengan konselornya atau terlihat erat.

Konselor yang bertugas sebagai MOD setiap harinya memimpin program, akan banyak memberikan pembelajaran berbagai program. Program-program pemulihan yang dilaksanakan oleh mereka menggunakan program tentang kondisi individu secara menyeluruh dengan menggunakan kekuatan komunitas program.

Sehingga konselor mengetahui banyak hal tentang klien, dibandingkan dengan pihak lain yang mengetahui sebagian kecil saja.

Penulis merasa tertarik meneliti mengenai bagaimana peranan yang dilakukan konselor sehingga dapat membantu proses perubahan residen di rehabilitasi dan dalam membantu klien, sangat yakin dan segan terhadap konselornya. Proses rehabilitasi didukung juga oleh peran yang lain seperti psikolog, psikiatri, dokter atau perawat, pekerja sosial, dan para ahli keagamaaan.

Konselor melakukan banyak upaya dalam menangani pecandu narkoba, berupa konsultasi pribadi, kelompok atau keluarga yang sifatnya konstruktif dan memberikan solusi. Konselor juga akan menjadi suatu role model bagi pecandu lain dalam segala hal, termasuk konsisten dalam perkataannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana peranan konselor dalam pemulihan korban penyalahgunaan narkoba. Peneliti membuat karya ilmiah

(21)

yaitu skripsi untuk mengetahui dengan lebih jelas lagi. Skripsi ini berjudul Peranan Konselor dalam Proses Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (LRPPN) Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: ”Bagaimana peranan konselor dalam proses pemulihan korban penyalahgunaan narkoba di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (LRPPN) Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan konselor dalam pemulihan korban penyalahgunaan narkoba di Lembaga Rehabilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (LRPPN) Bhayangkara Indonesia Medan Helvetia.

1.3.2 Manfaaat Peneltian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam:

1. Pengembangan konsep dan model untuk panti rehabilitasi yang membantu proses pemulihan bagi para pengguna, salah satunya melalui konselor.

2. Pengembangan konsep dan teoritis tentang peranan konselor yang memberikan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan lagi

(22)

pemahaman mengenai rehabilitasi penyalahgunaan narkoba dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam 6 bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Landasan Teori

2. Penelitian yang Relevan 3. Kerangka Pemikiran 4. Defenisi Konsep

BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

2. Lokasi Penelitian 3. Informan Penelitian 4. Teknik Pengumpulan Data 5. Teknik Analisis Data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Temuan Umum

1. Letak Geografis Lokasi Penelitian

(23)

2. Sejarah Pekembangan Lokasi Penelitian 3. Profil Lokasi Penelitian

4. Visi, Misi, Tujuan Lokasi Penelitian

5. Struktur Organisasi/Lembaga Lokasi Penelitian 6. Kondisi Umum Tentang Klien

7. Kondisi Umum Tentang Petugas 8. Alur Program Lokasi Penelitian

9. Keadaan Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Hasil Penelitian 2. Pembahasan Hasil Penelitian 3. Keterbatasan Penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

2. Saran

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Pengertian Peranan

Menurut Anton Moelyono (1949), peranan adalah sesuatu yang dapat diartikan memiliki arti positif yang diharapkan akan mempengaruhi sesuatu yang lain (Erwin Sugiarto hal 16). Menurut Abu Ahmadi (1982:256) menyebutkan bahwa peranan dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu.

Menurut Narwoko (2006:159) peranan dinilai lebih banyak menunjukkan proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya.

Konsep tentang peranan menurut Komaruddin (2005:768) adalah sebagai berikut:

1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh seseorang dalam manajemen

2. Pola perilaku yang utama diharapkan dapat menyertai suatu status 3. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok

4. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya

5. Fungsi setiap variable dalam hubungan sebab akibat

Levinson (Soekanto 2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, yaitu:

(25)

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma tersebut secara sosial di kenal ada empat meliputi :

a) Cara (usage), lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.

b) Kebiasaan (folkways), sebagai perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.

c) Tata kelakuan (mores), merupakan cerminan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya.

d) Adat istiadat (custom), merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat (Soekanto, 2012:174).

2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi

(26)

Adapun ciri-ciri peranan sebagai berikut:

1. Keterlibatan dalam keputusan : mengambil dan menjalankan keputusan.

2. Bentuk kontribusi : seperti gagasan, tenaga, materi dan lain-lain.

3. Organisasi kerja : bersama setara (berbagi peran).

4. Penetapan tujuan : ditetapkan kelompok bersama pihak lain.

5. Peran masyarakat : sebagai subyek.

Peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran itu sendiri adalah sebagai berikut:

1. Memberi arah pada proses sosialisasi

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan.

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat

4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat

Peranan sendiri berkaitan erat dengan fungsi sosial seorang baik secara formal maupun informal. Peranan sendiri digunakan dalam setiap bagian kehidupan, baik itu masyarakat, pekerjaan dan sekolah.

2.1.2 Pengertian Konselor

Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling.

Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien.

Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005).

(27)

Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien (Lubis, 2011: 22). Konseling merupakan bantuan yang diberikan oleh seseorang (konselor) kepada orang lain (klien) dengan cara ilmiah (terencana, terprogram, terarah dan sistematis) untuk membantu klien agar ia dapat keluar dari masalah yang dihadapinya (Lubis, 2006:10).

Konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung.

Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi klien (Lubis, 2011: 22). Menurut Asosiasi Konselor dan ahli Psikoterapi Inggris (AKAPI), konseling dilakukan sesuai dengan seperangkat aturan dan pedoman yang telah digariskan oleh lembaga-lembaga konseling professional yang mensyaratkan standar akreditasi dan tingkat kompetensi minimum.

Konselor terikat dengan kode etik, yang menekankan sikap menghargai nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien untuk menentukan diri sendiri. Konselor bertujuan memberikan pelayanan terbaik kepada klien.

Konselor terikat dengan kode etik yang menekankan pentingnya batas-batas hubungan konselor klien, sifat hubungan mereka, dan tujuan aktivitas konseling (Geldard dan Geldard, 2004:8).

1. Batas-batas hubungan konseling

Konseling umumnya dilakukan di tempat yang menjamin privasi dan kenyamanan fisik dan psikologis konselor dan klien. Konselor menjelaskan sifat dan tujuan konseling kepada klien, dan kedua belah

(28)

pihak mematuhi batas-batas etika konseling. Misalnya, konselor tidak boleh melakukan kontak fisik yang berlebihan dengan klien selama proses konseling atau sesudahnya. Demikian juga, konselor dilarang menjalin hubungan dengan klien karena alasan-alasan pribadi.

2. Kualitas hubungan konseling

Kualitas hubungan konselor klien berbeda dengan sifat hubungan dimana keterampilan konseling digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial atau tempat kerja.

Konseling menyelesaikan biasanya problem bertujuan yang untuk menyelesaikan problem yang mengganggu mereka. Konseling dimaksudkan untuk membantu klien mengembangkan beragam cara yang lebih positif dalam menyikapi hidup. Orang-orang meminta bantuan konseling dengan bermacam- macam sebab dan untuk berbagai tujuan (Geldard & Geldard, 2004:11).

Selanjutnya Corey (Lubis, 2006:67), menyatakan bahwa tujuan-tujuan konseling yang digunakan berdasarkan masing-masing pendekatan yang digunakan dalam proses konseling adalah seperti berikut:

1. Pendekatan Psikoanalisis Tujuan konseling meliputi:

a) Membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari b) Merekonstruksi kepribadian dasar

c) Membantu klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dengan menembus konflik yang direpresi

2. Pendekatan Ekstensial-Humanistis Tujuan konseling meliputi:

(29)

a) Memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan

b) Menghapus penghambat aktualisasi diri dan pertumbuhan

c) Menghapus klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri

d) Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupannya sendiri

3. Pendekatan Client-Centered Tujuan konseling meliputi:

a) Menyadarkan penghambat pertumbuhan dan aspek pengalaman pribadi diri yang sebelumnya diingkari atau didistorsi

b) Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup

4. Pendekatan Gestalt

Tujuan konseling meliputi:

a) Membantu klien memperoleh kesadaran atas pengalaman dari waktu ke waktu

b) Menantang klien agar menerima tanggung jawab 5. Pendekatan Tingkah Laku

Tujuan konselor meliputi:

a) Menghapus pola tingkah laku maladaptif b) Mempelajari pola tingkah laku konstruktif c) Mengubah tingkah laku

(30)

6. Pendekatan Rasional-Emotif Tujuan konselor meliputi:

a) Mengahapus pandangan hidup klien yang melemahkan diri

b) Membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional

7. Pendekatan Realitas Tujuan konselor meliputi:

a) Membimbing klien mempelajari tingkah laku realistis dan bertanggung jawab serta mengembangkan identitas keberhasilan.

b) Membantu klien membuat pertimbangan nilai tingkah lakunya sendiri dan merencanakan untuk perubahan.

2.1.3 Karakteristik Konselor

Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakannya memiliki karakteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini tergantung dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor bersifat holistis (Lubis, 2011:22).

Kita awali dari pandangan Carl Rogers sebagai peletak dasar konseling.

Rogers dikutip dari Lesmana (2005) menyebutkan ada 3 karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.

(31)

a. Congruence

Seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen. Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.

Misalnya, seorang konselor yang memiliki fobia terhadap ketinggian bersedia berbagi pengalaman kepada klien dengan keluhan ketakutan pada hewan berbulu.

Konselor tidak berpura-pura mengatakan bahwa ia berani dan telah berhasil mengalahkan ketakutannya pada ketinggian. Hal ini akan membuat klien merasa bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki masalah takut pada suatu objek.

b. Unconditional positive regard

Konselor harus dapat menerima respek kepada klien walaupun dengan keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani kehidupannya dengan membawa segala nilai-nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus memberikan kepercayaan kepada klien untuk mengembangkan diri mereka.

Brammer, Abrego, dan Shostrom dikutip dari Lesmana (2005) juga mengatakan bahwa klien akan mengalami perubahan efektif apabila ia berada dalam situasi yang kondusif untuk pertumbuhan. Situasi yang kondusif ini misalnya pengalaman penerimaan (acceptance) yaitu pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai tanpa syarat. Situasi konseling harus menciptakan hubungan

(32)

kasih sayang yang mendatangkan efek konstruktif pada diri klien sehingga klien dapat memiliki kemampuan dalam memberi dan menerima cinta.

Menurut Lesmana (2005), acceptance dalam konseling sama dengan bentuk cinta, yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain untuk berkembang. Menurutnya, acceptance juga bersifat tidak menilai, artinya konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianut klien.

c. Empathy

Rogers dikutip dari Willis (2009) mengartikan empati sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia pribadi klien tanpa kehilangan kesadaran diri. Ia menyebutkan komponen yang terdapat dalam empati meliputi: penghargaan positif (positive regard), rasa hormat (respect), kehangatan (warmth), kekonkretan (concreteness), kesiapan kesegaran (immediacy), konfrontasi (confrontation), dan keaslian (congruencegenuiness).

Secara umum, karakteristik kepribadian konselor yang berlaku di Indonesia telah diuraikan secara mendetail oleh Willis (2007) seperti berikut:

1. Beriman dan bertakwa 2. Menyenangi manusia

3. Komunikator yang terampil dan pendengar yang baik

4. Memiliki ilmu dan wawasan tentang manusia, sosial budaya yang baik dan kompeten

5. Flesksibel, tenang, dan sabar

6. Menguasai keterampilan teknik dan memiliki intuisi 7. Memahami etika profesi

8. Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai

(33)

9. Empati, memahami, menerima,hangat, dan bersahabat 10. Fasilitator dan motivator

11. Emosi stabil, pikiran jernih, cepat, dan mampu 12. Objektif, rasional, logis, dan konkret

13. Konsisten dan bertanggung jawab

Walaupun terdapat beberapa perbedaan pada beberapa sisi, tetapi tujuan dari penggolongan karakteristik tersebut memiliki kesamaan yang jelas.

Kesamaan tersebut adalah untuk dijadikan panduan para konselor agar dapat menjadi konselor yang efektif (Lubis, 2011:31).

2.1.4 Peranan Konselor

Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola- pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya (Soekanto, 2012: 212).

Sama halnya dengan konselor akan melakukan peranannya sesuai dengan kesempatan yang diberikan kepadanya untuk menjadi seorang konselor.

Sedangkan Corey (2009) menyatakan bahwa tidak ada satu pun jawaban sederhana yang mampu menerangkan bagaimana sebenarnya peran konselor yang layak.

Ada beberapa faktor yang diperhitungkan dalam menentukan peran konselor, yaitu tipe pendekatan konseling yang digunakan, karakteristik kepribadian konselor, taraf latihan, klien yang dilayani, dan setting konseling

(34)

(Lubis, 2011:31-32). Konselor dalam upaya rehabilitasi adalah sebagai berikut (Wibhawa dkk, 2010:39):

a. Mendapat latihan dan/atau pendidikan dalam bidang psikologi pendidikan b. Memiliki keterampilan dalam menggunakan atau melakukan pengetesan c. Memfokuskan perhatian serta kemampuannya pada individu

d. Konselor biasanya melakukan konsultasi singkat dengan kliennya.

Peranan konselor dibagi dalam kegiatan yang dilaksanakan selama proses rehabilitasi sosial (BNN, 2017) berlangsung yaitu:

1. Melaksanakan skrinning

Skrining merupakan proses yang bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah gangguan penggunaan zat. Proses ini dapat dilakukan pada berbagai jenis layanan kesehatan dan non kesehatan. Proses ini dilakukan menggunakan instrumen singkat yang valid dan cepat hanya untuk mendapatkan informasi adaah suatu faktor yang terkait dengan penggunaan narkorba.

2. Memberikan orientasi program rehabilitasi sosial kepada residen baru Orientasi dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan program rehabilitasi, dimana dilakukan berbgai penerapana strategi untuk membantu residen menyesuaikan diri.

3. Melaksanakan asesmen

Asesmen merupakan rangkaian pemeriksaan yang dilakukan secara menyeluruh tentang keadaan klien terkait dengan pemakaian narkoba dan dampaknya terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya. Ada enam domain dalam proses asesmen pada pecandu dan korban penyalahgunaan

(35)

narkoba yang terdiri dari riwayat medis, riwayat pekerjaan dan dukungan hidup, riwayat penggunaan narkoba, riwayat keterlibatan dalam tindak kriminalitas/hukum, riwayat keluarga dan sosial serta riwayat psikiatrik.

4. Membuat rencana rawatan

Rencana rawatan dibuat setelah klien memang sudah siap dalam mengikuti program secara penuh. Klien akan mendapat bentuk intervensi yang sesuai kebutuhan.

5. Melaksanakan konseling individu, keluarga, kelompok, dan dialog dengan keluarga dan pihak lain

Konseling dilakukan untuk menghindari kecemasan, seluruh aktivitas yang harus diikuti oleh residen baru harus diringankan dan harus bersifat ringan.

Konseling individual oleh peer dan konselor pada tahap ini khususnya diarahkan pada pemberian dukungan. Tujuannya adalah untuk menurunkan kecemasan dan ketidakpastian tentang program dan masa depan. Tujuan kedua konseling untuk meyakinkan perkenalan kepada komunitas. Jadi apapun kesulitan yang dihadapi harus dikonselingkan dengan konselor.

6. Memberikan edukasi pencegahan tidak relapse pada klien

Konselor memberikan edukasi pencegahan tidak relapse. Ketika klien menyelesaikan program rehabilitasi, ia tidak kembali menggunakan kembali.

7. Memberi pendampingan kepada klien terkait dengan masalah khusus:

kesehatan, pendidikan, hukum, vocational, pendampingan saat kritis, dan pendampingan psikososial lainnya

(36)

Pendampingan dilakukan konselor terkait apa masalah khusus yang sedang dialami klien. Maka konselor akan melakukan pendampingan.

8. Ikut terlibat membuat menejemen kasus

Konselor ikut terlibat dalam pembuataan menejemen kasus yang akan melibatkan juga pihak yang lain, dimana bukan hanya konselor yang melakukannya. Menejemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan yang ditujukan pada klien yang mempunyai masalah kompleks.

9. Membuat rekomendasi tentang masalah-masalah khusus klien setelah menyelesaikan program rehabilitasi

Klien setelah menyelesaikan program maka akan disusun rekomendasi apa terkait masalah dari si klien agar nantinya di liar rehabilitasi penting untuk ditindaklanjuti.

10. Melakukan terminasi program pada klien

Terminasi konselor bersama klien menyimpulkan semua kegiatan yang sudah dilalui dalam proses konseling. Selain itu konselor juga bisa membuat kemungkinan tindak lanjut terjadinya konseling atau referal kepada pihak lain yang lebih ahli.

11. Membuat laporan hasil kerja

Laporan dibuat terdiri dari pelaksanaan kegiatan yang berisi layanan yang dilaksanakan setiap bulannya, klien yang menerima pelayanan, kegiatan yang dilaksanakan di dalam dan di luar rehabilitasi, dokumentasi kegiatan, dan rekapitulasi perkembangan klien.

(37)

2.1.5 Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba

Pemulihan merupakan suatu proses yang dinamis dan progresif, perjalanan panjang dan menyakitkan, dari ketergantungan seseorang terhadap narkoba kearah gaya hidup sehat tanpa narkoba. Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba abstinensia (bebas narkoba). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai. Gaya hidup juga harus berubah. Perubahan- perubahan yang terjadi memengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, serta mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut

“pemulihan seluruh pribadinya”.

Pada pemulihan dimulailah proses dipertahankannya keadaan bebas dari narkoba, terjadinya perubahan-perubahan pribadi, dan hubungan dengan sesamanya. Banyak hal yang harus dipulihkan, yaitu keadaan jasmani, psikologi atau kejiwaan, hubungan sosial, keadaan rohani, pekerjaan, pendidikan, dan bahkan masalah keuangan dan hukum. Semuanya harus dilakukan secara bertahap. Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkan klien menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk kambuh.

Motivasi atau kemauan pecandu juga adalah penting untuk berhenti memakai narkoba dalam keberhasilan pemulihan, karena pecandulah yang harus mengambil keputusan untuk berhenti memakai dan mengubah gaya hidupnya.

Motivasi adalah keadaan sikap dan keinginan kuat untuk berubah. Akan tetapi, hal itu sering berubah-ubah dan berfluktuasi dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. Kemauan saja tidak cukup bagi pemulihan, karena pada kenyataannya

(38)

pecandu sulit mengendalikan pemakaiannya dan perilakunya. Pemberontakan adalah ciri khas pecandu. Jika ingin pulih, ia harus menyerah dan mengakui ketidakberdayaannya. Mengakui dan menerima adalah kunci pemulihan.

Seseorang harus mau mengakui dan merima keadaannya jika mau berubah.

Manusia memang harus mau berubah, agar dapat mengikuti, menyesuaikan diri, dan mengahadapi tantangan arus perubahan zaman (Martono & Joewana, 2008:89).

Pecandulah yang memegang peran utama dan aktif dalam upayanya menjadi bebas dari narkoba (drug free), sehat fisik dan mental, sejahtera (wellness) serta meningkat kualitas hidupnya. Dengan recovery, sudut pandang upaya pemulihan berubah menjadi upaya jangka panjang (longterm) dan keterlibatan pecandu itu sendiri sangat penting client-directed. Kemudian aktifitas pemulihan lebih tepat disebut sebagai manajemen pemulihan (recovery management). Pecandu sendirilah yang merupakan subjek yang aktif dalam setiap program yang dilaksanakan dalam proses pemulihan itu.

Adapun proses pemulihan korban penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut (BNN, 2012):

1. Proses Penerimaan

Pada proses penerimaan ini, secara konvensional TC memberlakukan sistem ‘pintu terbuka’ dimana terjadi proses penyaringan secara alamiah pada diri residen. Pintu terbuka bagi mereka yang mau terus melanjutkan programnya, juga terbuka bagi mereka yang tidak ingin ikut program dan memilih pulang. Tujuan utama proses penerimaan ini adalah untuk mengidentifikasi mereka yang

(39)

sungguh-sungguh memiliki motivasi untuk menjalani program TC dan untuk mempersiapkan mereka menjalani program residensial jangka panjang.

Penerimaan juga dapat dikatakan sebagai proses penapisan (skrining) dan pengkajian (asesmen) kondisi dan motivasi residen sebelum yang bersangkutan mengikuti program secara penuh. Prosedur penerimaan residen meliputi proses wawancara terstruktur yang dilakukan oleh konselor yang berpengalaman atau terlatih. Wawancara awalnya berlangsung sekitar 1-1,5 jam. Kemudian wawancara lanjutan dilakukan apabila ada domain pertanyaan yang belum diselesaikan. Proses penerimaan juga perlu menggali informasi dari orang-orang yang berperan dalam hidup residen. Penerimaan digunakan sebagai penyaringan atas berbagai kondisi residen yang mungkin tidak sesuai atau tidak terakomodasi pada program yang ada, diantaranya adalah tidak menerima residen dengan riwayat percobaan bunuh diri atau gangguan jiwa.

2. Proses Induksi (Orientasi)

Pada proses induksi ini dilakukan penyesuaian diri dengan program rehabilitasi atau proses orientasi bagi residen terhadap lingkungan barunya, dimana proses residen pada 30 hari hari pertama. Aktivitasi yang biasanya dilakukan konselor adalah melakukan detoksifikasi, medikasi dan layanan kesehatan lain yang mungkin dibutuhkan residen, kemudian memberikan informasi berbagai peraturan, diantaranya aturan utama (cardinal rules), aturan komunitas, informasi perangkat TC dan jadwal harian. Kemudian, memberikan informasi juga mengenai penyimpanan barang-barang berharga, dan perkenalan komunitas TC terhadap residen baru. Fase induksi ini harus dibimbing oleh residen yang lebih senior dan konselor, segera setelah residen masuk program,

(40)

sehingga menghindari sedini mungkin adanya rasa cemas yang berlebihan pada residen tersebut. Fase ini mencakup materi informasi dan edukasi yang dilakukan dalam bentuk seminar oleh konselor, yang berfokus pada:

1. Aturan utama (cardinal rules), meliputi larangan untuk tidak menggunakan narkoba, tidak melakukan hubungan seks, dan tidak melakukan tindak kekerasan (no drugs, no sex, no violence).

2. Aturan komunitas atau rumah (cara berpenampilan, berbicara, kedisplinan, kehadiran dan sikap perilaku).

3. Program yang esensial seperti organisasi struktur, staff, prosedur dasar, tahapan program, filosofi dan pandangan.

4. Perangkat TC seperti encounter, berbagai macam aktivitas kelompok lainnya, pembagian kerja rumah (job functions), dan sistem privileges.

Untuk menghindari kecemasan, seluruh aktivitas yang harus diikuti oleh residen baru harus diringankan dan harus bersifat terapeutik. Segala bentuk konfrontasi personal harus bersifat ringan, yang harus langsung diikuti dengan penggalian lebih lanjut dan konseling. Konseling individual oleh peer dan konselor pada tahap ini khususnya diarahkan pada pemberian dukungan.

Tujuannya adalah untuk menurunkan kecemasan dan ketidakpastian tentang program dan masa depan. Tujuan kedua konseling adalah untuk meyakinkan perkenalan pada komunitas. Jadi perlu penekanan apa yang perlu dipelajari oleh residen, apa kesulitan yang dihadapi dan bagaimana dapat berhubungan secara efektif dengan teman-temannya, kelompok, berbagai macam pertemuan dan jadwal kerja harian (job functions).

(41)

3. Tahap Primary

Tahap ini adalah masa awal residen menginap dengan sistem tertutup.

Residen mulai bersosialisasi dengan komunitas satu perawatannya. Seluruh kegiatan dilakukan setiap hari Senin-Minggu, tanpa jeda. Elemen jadwal harian harus ada adalah Meetings, Job Functions, Seminar, Peer Confrontation, Group Encounter.

Di tahap ini keinginan untuk meninggalkan program sangat tinggi, diharapkan bahwa peer dan konselor bisa membantu menghadapi pemikiran negatif residen yang bersangkutan melalui peer confrontation maupun individual counseling. Kemudian konselor juga bisa mengatur pertemuan orangtua dengan residen (Family Dialogue) untuk menghindari euphoria orangtau setelah melihata ankanya stabil dan terlihat gemuk, agar tidak menarik anaknya dari program perawatan (pullback). Seorang konselor itu juga harus bisa menjadi role model bagi residen dalam segala aspek kehidupan (walk the talk) dimana konselor menjalankan segala hal yang dikatakannya dan konselor juga harus bisa menyelaraskan konfrontasi dengan kultur setempat.

4. Tahap Re-entry

Tahapan akhir dari rangkaian program TC, dimana klien telah berada dalam tahap adaptasi dan kembali bersosialisasi dengan masyarakat luas diluar komunitas residensial. Konselor disini perlu mengingatkan permasalahan dan isu yang mungkin terjadi dalam fase re-entry lebih kompleks, dan mengingat kebutuhan untuk pelaksanaan asesmen ulang guna melihat perkembangan pada klien. Konselor yang juga dapat melakukan sesi edukasi dan pengaplikasian

(42)

tentang pencegahan relapse. Klien juga sudah dapat mengikuti percobaan kembali ke rumah (Home Leave) dalam durasi waktu tertentu.

5. Penerapan Privileges dan Sanksi

Privileges mempunyai makna suatu sistem menejemen klinikal dan komunitas melalui sebuah pembelajaran perilaku, dimana ada suatu penghargaan eksplisit yang diberikan konselor berdasarkan perubahan dari pembawaan dan perilaku baik dalam segi penilaian pekembangan di dalam program. Klien yang berpartisipasi aktif mengikuti program setiap harinya, lalu ia mengajukan permohonan untuk memperoleh keistimewaan yang sesuai dengan ketentuan, maka permohonan itu akan ditinjau oleh konselor dan residen yang lain dalam rapat.

Sanksi adalah imbalan negatif yang diterima oleh residen yang tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pada program TC. Layaknya sistem keistimewaan, sanksi pun merupakan suatu sistem yang terintegrasi di komunitas melalui pembelajaran perilaku.

Konselor di dalam suatu insiden atau kejadian mengambil keputusan musyawarah yang dirundingkan juga dengan staff yang lain dan pemberian sanksi itu harus jelas (tidak mengada-ada), menghargai hak klien.

6. Pertemuan (Meetings)

Kegiatan ini dilakukan secara berstruktur, formal, informal, santai, spontan, dan bisa dilaksanakan dimana saja. Meeting ini mempunyai tujuan sesuai dengan kebutuhan klien yang dipimpin oleh konselor sebagai Mayor On Duty (MOD).

(43)

1) Pertemuan Pagi (Morning Meeting)

Kepedulian terhadap sesama dengan mekanisme penggemukan, pembahasan, dan pemecahan isu serta permasalahan yang terjadi dalam komunitas. Konselor memberikan dorongan untuk setiap klien dapat berani berbicara di dalam pertemuan ini sangat berguna demi mendapatkan efekstifitas dari sesi.

2) Pertemuan Staff (Staff Meeting)

Dalam pertemuan ini seluruh staff, termasuk konselor membahas segala kejadian yang berlaku keseharian itu, pembahasan program dan hal-hal alin yang terakit dengan informasi melalui staff yang bertugas maupun staff lainnya.

3) Pertemuan Perbincangan Kasus (Case Confrence Meeting)

Pertemuan ini membicarakan kasus dan perkembangan klinis residen secara individual. Pertemuan ini selayaknya terdiri dari manajer atau minimal oleh staff ysang senior dan dipercaya oleh pimpinan, agar dapat memfasilitasi pertemusan sehingga mencapai hasil yang diinginkan. Pertemuan ini juga selayaknya terdiri dari seluruh konselor yang ada sebagai pemberi masukan dalam diskusi yang akan terjadi di dalam pertemuan.

4) Pertemuan General (General Meeting)

Pertemuan ini membahas tentang masalah terhadap seseorang atau mereka yang sudah terbukti melanggar aturan pokok yang terdiri dari senior staff atau direktur program. Dalam pertemuan ini penjabaran seluruh peserta dalam keseluruhan sesi sebaiknya terus diungkapkan.

(44)

5) Pertemuan untuk seluruh isi rumah/ Pertemuan Rumah (House Metting) Pertemuan ini merupakan pembahasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan, kondisi penting maupun genting, peraturan yang berkaitan dengan keseluruhan penghuni yang ada di fasilitas, termasuk masalah staff dengan residen.

7. Kelompok Komunitas

Kegiatan kelompok komunitas dalam TC dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu bersifat terapeutik/ klinis dan yang bersifatedukasional.

1) Kelompok Edukasional (Educational Groups)

Kelompok edukasional mendorong perkembangan diri, menyediakan keterampilan vokasional, mengajarkan keterampilan dalam menggunakan perangkat TC.

a. Group Perkembangan Diri

Konselor mengajarkan residen untuk melakukan eksplorasi pengembangan diri atau perkembangan pribadi secara intelektual dan melakukan diskusi bersama.

b. Group Keterampilan Klinis

Konselor mengajarkan dan melatih keterampilan residen dalam menggunakan perangkat proses kelompok secara tepat dan benar.

c. Group Keterampilan Kerja

Konselor mengajarkan residen mengenai pekerjaan dalam TC dan cara yang tepat untuk melaksanakannya.

d. Group Keterampilan Hidup

Konselor mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan residen untuk

(45)

menjalani kehidupan dalam masyarakat.

e. Group Tema Khusus

Konselor yang memberikan pengetahuan NAPZA.

2) Kelompok Klinis (Clinical Groups)

Dalam menjalani Clinical Groups ini perelu dibentengi dengan beberapa peraturan yang menjaga kondisi psikologis dan fisik seluruh residen. Pada umumnya TC mengimplementasikan berbagai kegiatan kelompok klinis sebagai berikut:

a. Group Resolusi Konflik (Encounter Group)

Konselor membantu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan perilaku dan sikap yang merugikan.

b. Group Pendalaman (Probes)

Konselor membangun rasa aman dan kepercayaan, serta mendapatkan informasi penting mengenai kehidupan residen dan juga untuk persiapan grup maraton.

c. Group Maraton (Marathons Group)

Konselor membantu meningkatkan motivasi residen untuk menghadapi isu dalam hidupnya.

d. Group Statik (Static Groups)

Konselor membantu membahas kesulitan yang berkaitan dengan perawatan atau lingkungan TC.

8. Resolusi Konflik (Encounter)

Proses Encounter memberikan gambaran akan pertukaran atau komunikasi interpersonal yang berlandaskan akan aksi dan reaksi langsung antar partisipasin.

(46)

Tujuan utama dari proses ini adalah untuk membangun dan meningkatkan kewaspadaan/kesadaran perilaku serta sikap diri yang merugikan dengan mengajarkan residen.

9. Dokumentasi Data Klien 1) Asesmen

Dalam asesmen konselor melakukan suatu proses penggalian informasi awal yang dilakukan untuk dijadikan dasar dalam tindak lanjut

menangani suatu permasalahan.

2) SOCRATES (Stages of Change Readliness and Treatment Eagerness Scale)

Dalam tahap ini konselor melakukan socrates yaitu suatu alat tes untuk mengetahui tahap kesiapan klien dalam menjalani program.

3) Individual Treatment Plan

Konselor mengidentifikasi masalah khusus yang membawa residen mke dalam perawatan yang bertujuan untuk membuat perubahan, melalui informasi yang diberikan orangtua juga, penilaian klien dan semua staff yang terlibat.

4) Progress Report

Konselor membuat sebuah laporan atas hasil yang telah dicapai oleh residen dalam kurun waktu tertentu.

2.1.6 Narkoba dan Penggolongannya

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

(47)

sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkoba yaitu zat-zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan kedalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaaan, dan perilaku seseorang (Zulkarnain, 2014:1). Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), narkoba adalah zat-zat kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh manusia baik secara oral, dihirup, maupun intravena, suntik dapat mengubah dan bahkan merusak pikiran, suasana hati, ataupun perasaan,perilaku seseorang dan organ tubuh (BNN, 2007:9).

Narkoba yang popular didalam masyarakat terdiri dari 3 golongan, yaitu:

1. Narkotika

Narkotika menurut Undang-undang RI No.22 Tahun 1997 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

a. Berdasarkan bahan asalnya narkotika terbagi dalam 3 golongan yaitu:

Alami, yakni jenis zatobat yang timbul dari alam tanpa adanya proses fermentasi, isolasi atau proses produksi lainnya. Contohnya: ganja, opium, daun koka.

b. Semi sintesis adalah zat yang diproses sedemikian rupa melalui proses ekstraksi dan isolasi. Contohnya: morfin, heroin, kodein.

c. Sintesis, yakni jenis obat atau zat yang di produksi secara sintesis untuk keperluan medis atau penelitian yang digunakan sebagai

(48)

penghilang rasa sakit analgesik seperti penekanan batuk antitusif.

Contohnya: amfetamin, dekssamfetamin, penthidin, meperidin, metadon, dipipanon, dekstropropakasifen, LSD Lisergik, dietilamid.

2. Psikotropika

Psikotropika menurut Undang-Undang RI No.5 Tahun 1997 adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas aktivitas mental dan perilaku. Dalam bidang farmakologi, Psikotropika dapat dibedakan dalam 3 tiga golongan yang berbeda efeknya, diantaranya:

a. Golongan psikostimulansia, yang apabila disalahgunakan sangat merugikan kesehatan perorangan. Jenis obat yang termasuk golongan ini adalah amfetamin lebih populer di kalangan masyarakat sebagai shabu- shabu dan ekstasy dan deksamfetamine.

b. Golongan psikodepresan, dapat digolongkan sebagai obat tidur, penenang dan obat anti cemas yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas apabila disalahgunakan dapat merugikan kesehatan perorangan dan tata kehidupan masyarakat. Contohnya: amobarbital, pheno karkital, dan pento karkital.

c. Golongan sedativa, jenis obat-obatan yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi, apabila disalahgunakan dapat merugikan kesehatan. Contohnya: diazepam, klobazam, bromazepam, fenobarbital, barbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazezam, seperti BK, DUM, MG.

(49)

3. Zat adiktif lainnya

Zat Adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika yang bekerja pada sistem saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis.

Adapun jenis-jenis bahan adiktif yaitu:

a. Inhalen, yaitu zat yang terdapat pada lem dan pengecet cat.

Penggunaannya dengan cara dihirup. Efeknya hilang ingatan, tidak dapat berpikir, mudah berdarah, kerusakan hati dan ginjal, kejang-kejang otot.

b. Alkohol, yaitu minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat, dengan cara fermentasi. Efeknya menyebabkan depresi pada sistem syaraf pusat, menyebabkan oedema otak, menimbulkan habilutasi, toleransi dan ketagihan, peradangan lambung, melemahkan jantung dan hati menjadi keras.

c. Tembakau Rokok, pengaruh dari penggunaan tembakau rokok apabila digunakan dalam jumlah besar dalam jangka waktu yang lama. Zat tembakau ini sendiri merupakan zat yang menimbulkan ketergantungan pada umumnya. Hal yang paling mempengaruhi adalah racun dalam tembakau yang disebut nikotin. Efeknya menyumbat saluran darah, menimbulkan penyakit kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan.

d. Obat Penenang, yaitu obat tidur, pil koplo, valium, nipam, dan lainnya.

Efeknyabicara jadi pelo, memperlambat respon fisik, mental dan emosi.

(50)

e. Zat yang mudah menguap, yaitu lem aica aibon, thiner, bensin, efeknya memperlambat kerja otak, menimbulkan rasa senang, penurunan kesadaran (Nasution, 2004: 13-14).

Pengaruh narkoba terhadap perubahan suasana hati dan perilaku adalah sebagai berikut:

1. Bebas dari rasa kesepian

Dalam masyarakat modern, ketika orang sulit menjalin hubungan akrab, narkoba menjadi ‘obat manjur’. Pada tahap jangka pendek, narkoba menyebabkan keakraban dengan sesama serta hilangnya rasa kesepian.

Namun, dalam jangka panjang, narkoba justru memunculkan perasaan terisolasi dan rasa kesepian.

2. Bebas dari perasaan negatif lain

Kecanduan seseorang menyebabkan seseorang sibuk dengan kecanduannya, hingga tidak merasa perlu memperhatikan perasaan atau kekosongan jiwanya. Narkoba atau kecanduan lain menjauhkannyadari perasaan kecewa, kekurangan, atau kehilangan makna dan tujuan hidup, serta konflik batin yang ditakutkannya.

3. Kenikmatan semu

Dalam masyarakat yang berorientasi pada kerja, uang, prestasi, kekuasaan, dan kedudukan sebagai tolak ukur keberhasilan, narkoba menggantikan rekreasi yang memberi perasaan bebas terhadap kesadaran diri dan waktu.

4. Pengendalian semu

Dalam abad teknologi, ketika orang merasa kurang atau tidak lagi memiliki kendali atas lingkungannya, tetapi dipihak lain, membutuhkan

(51)

kekuasaan dan penampilan, narkoba menyebabkan perasaan mampu mengendalikan situasi dan memiliki kekuasaan. Pecandu merasa “beroleh kekuasaan atas setiap kesalahan”.

5. Krisis yang menetap

Pecandu tidak ingin merasakan perasaannya yang sebenarnya yang menyakitkan, tetapi pada waktu yang bersamaan, tidak pula ingin mengalami mati rasa. Narkoba memberikan perasaan gairah dan ketegangan, untuk menggantikan perasaan yang sebenarnya.

6. Meningkatkan penampilan

Dalam masyarakat ketika penampilan sangat penting, narkoba membuat seseorang lebih mudah diterima oleh orang lain. Narkoba menyembunyikan ketakutan atau kecemasan dan membiusnya dari rasa sakit, karena dihakimi atau dinilai orang lain.

7. Bebas dari perasaan waktu

Ketika sedang memakai narkoba, pecandu merasa waktu seakan-akan berhenti. Masa lalu tidak lagi menghantui dirinya, demikian juga masa depan. Tetapi yang ada hari ini ia memperoleh pengalaman dengan narkoba.

2.1.7 Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaaan narkoba yang bukan untuk tujuan pengobatan, tetapi agar dapat menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, secara kurang lebih teratur, berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, dan kehidupan

(52)

sosialnya (Martono & Joewana, 2008:43). Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian salah satu atau beberapa jenis obat-obatan atau zat-zat berbahaya secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, tanpa pengawasan dokter dan merupakan perbuatan melanggar hukum. Sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar (PIMANSU, 2006).

Dalam kondisi yang cukup wajar sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka penggunaan narkoba secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan.

Penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh pada tubuh dan mental emosional para pemakainya. Jika semakin sering dikonsumsi, apalagi dalam jumlah berlebih maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial di dalam masyarakat (BNN, 2009).

Penyalahgunaan narkoba ini merupakan penggunaan yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya narkoba banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka narkoba kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapat rasa nikmat.

Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan erat dengan peredaran gelap narkoba sebagai bagian dari dunia kejahatan internasional. Kedua masalah itu sulit dipisahkan. Mafia perdagangan gelap berusaha memasok narkoba agar orang

(53)

menjadi ketergantungan, sehingga jumlah kebutuhan meningkat. Terjalin hubungan antara pengedar atau bandar dengan korban. Korban sulit melepaskan diri dari incaran mereka. Bahkan, seringkali pecandupun akhirnya terlibatdi dalam dunia perdagangan gelap narkoba, sebab kebutuhan akan pasokan narkoba semakin meningkat (Martono & Joewana, 2008: 43-44).

Faktor penyebab penyalahgunaan narkoba, yaitu:

1. Faktor Individu

a. Adanya gangguan kepribadian emosi yang labil, kurang percaya diri dan terlalu percaya diri. Tidak jarang orang yang mengalami gangguan kepribadian menjadi takut kehilangan teman atau orang yang disayanginya walaupun dia tahu kalau mereka dapat menjerumuskannya ke dalam kejahatan.

b. Faktor usia pada saat usia remaja, seringkali remaja mengalami perasaan ketidakpastian antara anak-anak dan menuju dewasa. Disaat inilah remaja lebih senang bergaul dengan teman sebayanya, ingin menjadi anak gaul yang diterima dalam lingkungannya dan mulai mencari indentitas dirinya.

Ingin “ngetrend” dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Rasa ingin tahu besar dan coba-coba, kurang mengerti resiko disebabkan kurangnya pengalaman dan penalaran. Dalam keadaan ini, biasanya remaja mudah terjebak ke dalam kenakalan remaja ataupun ke penyalahgunaan narkoba.

c. Pandangan atau keyakinan yang keliru, ada remaja yang mempunyai keyakinan yang keliru dan menganggap enteng hal-hal yang membahayakan, menganggap dirinya yang paling benar, tanpa mau tahu pendapat orang lain, sehingga dapat terjerumus ke narkoba.

(54)

d. Religius yang rendah anak yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang religiusnya rendah, bahkan tidak pernah mendapatkan ajaran agama, akan sangat mudah terlibat penyalahgunaan narkoba. Hal ini disebabkan tidak adanya patokan dan kontrol perilakunya, sehingga tidak takut kepada Tuhannya dan berbuat dosa.

2. Faktor Lingkungan

Lingkungan hidup mempunyai pengaruh besar terhadap jatuhnya seseorang ke penyalahgunaan narkoba, terutama faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, keadaan sekolah, pengaruh teman sepergaulan dan keadaan masyarakat pada umumnya.

a. Faktor keluarga

Keluarga yang tidak mengenal Tuhan, tidak harmonis atau mempunyai tuntutan terlalu tinggi, tidak ada pendidikan keluarga, tidak ada dorongan dan bimbingan bagi anak-anaknya, tidak mengenal rasa cinta kasih sayang, kurang perhatian orang tua, keuangan yang berlebihan atau keadaan kekurangan, ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak secara kejiwaan atau secara emosi tidak berkembang dengan baik. Sehingga pada saat anak mencapai usia remaja, ia tidak percaya diri, tidak dapat berinteraksi secara normal, dan kurang pendidikan moral.

b. Faktor Lingkungan Tempat Tinggal

Tempat tinggal di daerah hitam atau terlalu padat penduduk, suasana hiburan yang menggoda, bagi anak-anak remaja awal, kebisaaan hidup orang- orang yang mempunyai aktivitas di tempat-tempat hiburan dan gayanya yang

Referensi

Dokumen terkait

Bismillahirrohmaanirrohiim dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan

Bismillahirrohmaanirrohiim dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan diajukan

Dipermaklumkan dengan hormat, bahwa setelah membaca dan menganalisis serta mengadakan koreksi seperlunya, kami berpendapat bahwa skripsi saudari Fitria Nurazizah

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan diajukan pada Jurusan Pendidikan Agama

Bismillahirrohmanirrohim dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan diajukan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi dan diajukan pada Jurusan Perbankan Syariah

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan diajukan pada Jurusan Pendidikan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dan diajukan pada Jurusan Pendidikan