(Studi Reception Analysis Tentang Komunikasi Lintas Budaya Masyar akat J awa Timur Setelah Menonton Iklan Politik ARB Ver si J awa Timur Di Media Televisi)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syaratan Dalam Memper oleh Gelar Sar jana Ilmu Komunikasi pada FISIP UPN “Veteran” J awaTimur
Oleh
:
Br iefing Umbara Sar i 1043010100
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat Nya sehingga skripsi yang berjudul “ KEMAMPUAN
LINTAS BUDAYA (CROSS CULTURAL ) MASYARAKAT J AWA TIMUR
SETELAH MENONTON IKLAN POLITIK ARB ” dapat penulis susun daam
ajuan syarat kelulusan dan memperoleh gelar sarjana.
Pada penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan bantuan, bimbingan,
dukungan dan inspirasi yang telah diberikan. Sehingga penulis sampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Juwito, S. Sos, Msi. Sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Dr. Catur Suratnoaji, M.si., selaku dosen pembimbing yang telah sabar
membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Bu Syafrida Nurrachmi F, S.Sos, M.Med.Kom yang selalu memberi
inspirasi, motivasi, ilmu, pengalaman, dan semangat yang besar serta
banyak sekali referensi untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Keluarga tercinta Mama, Aba, Aci adik tersayang, Kak Yayak, Mas
Alfian, Tante Iis, yang memberikan dukungan dan doa baik langsung
6. Keluarga Wonokromo, Pondok Jati, dan keluarga Malang terima kasih doa dan dukungannya.
7. Teman satu perjuangan di perkuliahan hingga pengerjaan skripsi Zakiyah
Jamal & Yosua Aristian, terima kasih atas doa kita bersama dan semangat membara dalam penyelesaian kuliah hingga wisuda. Fitra Herdian
‘Ahonk’ terima kasih sebagai teman yang baik, tempat bercerita dan berkeluh kesah.
8. Informan-informan yang sudah menyempatkan waktu dan tempat untuk
diwawancarai.
9. Mas Eko terima kasih sudah jadi teman bertualang yang seru ke kota-kota
untuk mencari data dan mencari tempat untuk menyelesaikan skripsi.
10.Windrey, Rika, Bagus Prastanto Thanks for sharing time dan semua
pinjaman referensinya dan UPN Televisi 9 Crew, Pipit, Novicha, Yayas,
Enta, Kiki Bonek, Repo.
11.Buat Special Keluarga besar UPN Televisi sebagai keluarga dan rumah
kedua penulis. Sudah memberikan pengalaman yang besar dan cerita-cerita berharga.
12.Bu Heidy, Bu Syifa, Bu Ade, Bu Ririn, Pak Zam-Zamy, Bu Herlina, Pak
13.Ibu, bapak kos Medokan Ayu dan teman-teman kos yang memberikan tempat nyaman dan tenang dalam pengerjaan skripsi penulis.
14.Temen-temen Jurusan Ilmu Komunikasi khususnya angkatan 2010 dan
seluruh pihak yang belum atau tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungannya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Segala saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan demi
kebaikan skripsi ini.
Surabaya, Desember 2013
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR. ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
ABSTRAKSI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 13
1.3. Tujuan Penelitian ... 13
1.4. Manfaat Penelitian ... 13
1.4.1. Teoritis ... 13
1.4.2. Praktis ... 13
1.4.3 Sosial ...14
BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 15
2.1. Penelitian Terdahulu ... 15
2.3.1.1 Iklan Televisi yang Efektif ... 25
2.3.2 Iklan Sebagai Komunikasi ... 27
2.3.3 Iklan Politik ... 28
2.3.4 Iklan dan Masyarakat ... 30
2.4 Masyarakat dan Kebudayaan ... 33
2.4.1 Masyarakat Multikultural ... 35
2.4.2 Masyarakat Jawa Timur ... 38
2.5 Komunikasi Politik ... 41
2.6 Reception Analysis ... 44
2.7 Kerangka Berfikir ... 46
BAB III METODE PENELITIAN ... 49
3.1. Jenis Penelitian ... .49
3.2. Definisi Konseptual ...51
3.3. Metode Penelitian ... 53
3.4. Lokasi Penelitian ... 54
3.5. Informan ... ... 54
3.6 Teknik Pengunpulan Data ... 56
3.7 Teknik Analisis Data ... 57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
4.2 Identitas Informan ... 62
4.3 Penyajian Hasil Data ... 66
4.3.1 Komponen – komponen Kemampuan Lintas Budaya ... 67
4.3.1.1 Komponen Pengetahuan (knowledge) ... 67
4.3.1.2 Komponen Kesadaran (mindfuness) ... 78
4.3.1.3 Komponen Kemapuan (skill) ... 81
4.4 Analisis Data ... 84
4.4.1 Pengetahuan (knowledge) ... 85
4.4.2 Kesadaran (mindfuness) ... 93
4.4.3 Komponen Kemapuan (skill) ... 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
5.1 Kesimpulan ... 109
5.2 Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
Halaman
Tabel 4.1 Pemahaman Penggunaan Bahasa J awa ... 69
Tabel 4.2 Pemahaman Pakaian ARB dan Pendukungnya ... 71
Tabel 4.3 Pemahaman Penonjolan Tr adisi J awa ... 73
Tabel 4.4 Pemahaman Konsepsi Budaya J awa dan Madur a ... 75
Tabel 4.5 Pemahaman Keselur uhan Unsur Iklan Politik ARB ... 77
Tabel 4.6 Kesadar an Setelah Menonton Iklan Politik ARB ... 80
LAMPIRAN 1. Inter view Guide ... 116
LAMPIRAN 2. Tr anskr ip Wawancar a Mendalam ... 118
LAMPIRAN 3. Capture Iklan Politik ARB ... 169
Competence) Masyar akat J awa Timur Dalam Menonton Iklan Politik ARB (Studi Reception Analysis Tentang Komunikasi Lintas Budaya Masyar akat J awa Timur Dalam Menonton Iklan Politik ARB Di Media Televisi)
Penelitian ini menjabarkan tentang kemampuan lintas budaya masyarakat Jawa Timur Indonesia, pada konsep multikultural yang ditayangkan pada iklan politik ARB. Dengan menggunakan teori negosiasi identitas dari Stella Ting Tommey, melalui tiga
komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan
(skill). Penelitian ini menggunakan pendekatan reception analysis dan pengumpulan data,
peneliti menggunakan wawancara mendalam (In-Depth-Interview). Kesimpulan dari
penelitian ini adalah, Masyarakat Jawa Timur memberikan dua pemahaman makna yaitu
Dominant-Hegemonic Position dan Negosiation Position. Kesadaran orang Jawa asli
belum menerima orang dari luar Jawa menjadi orang Jawa (njawani) hanya dengan
menggunakan atribut Jawa. ARB tidak perlu memakai atribut Jawa, yang penting memiliki kemampuan dalam memimpin. Sedangkan informan dari suku Madura dan Osing memiliki kesadaran bahwa orang luar Jawa,dapat menggunakan atribut Jawa untuk menjadi orang Jawa. Penelitian ini menunjukan masyarakat Jawa Timur memiliki kemampuan lintas budaya, dalam arti menerima orang luar Jawa sebagai presiden Indonesia asalkan memiliki kemampuan seorang pemimpin bangsa. Hanya satu informan saja yang memandang bahwa presiden Indonesia harus berasal dari suku Jawa.
Kata Kunci : Reception Analysis, Kemampuan Lintas Budaya, Iklan Politik ARB
ABSTRACT
BRIEFING UMBARA SARI, CROSS CULTURAL COMPETENCE OF EAST JAVA PEOPLE IN WATCH FOR ARB’S POLITICAL ADS (Study of Reception Analysis on Cross Cultural Competence of East Java People in Watch for ARB’s Political Ads in Television Media)
This study was describes about the cross-culture competence of East Java Indonesia, to the multicultural concept that displayed on the ARB’ political ads. By using the identity negotiation theory from Stella Ting Tommey, it is through three components, these are knowledge, mindfulness, and skill. This study was using the reception analysis approach, and in data collecting, the researcher was using in-depth interviews. The conclusions of this study are East Java people have give two meaning understandings,
these are Dominant-Hegemonic Position and Negotiation Position. The awareness of the
original Javanese has not received people from outside of Java into Javanese (be Javanese) only by using Javanese attributes. ARB does not need to use Javanese attributes, which is the important is has the ability to lead. While the informant from Madura and Osing has awareness that people that outside of Javanese can using Javanese attributes to be a Javanese. This study demonstrates that the people of East Java have a cross-cultural competence, in the sense of receiving the Indonesian president outside of Javanese as long as they have the ability as the nation leader. There was only one informant who considering that the Indonesian president should be originated from Javanese.
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki catatan sejarah bahwa pemimpin yang pernah menjadi presiden, mayoritas berasal dari suku Jawa. Dari enam presiden yang pernah
menjadi orang nomor satu di Indonesia, lima berasal dari Jawa. Kecuali B.J Habibie saja yang bukan berasal dari Jawa dapat menjadi seorang kepala negara
Indonesia. Itu pun hanya sementara karena tongkat kendali atau estafet dari wapres menjadi presiden.
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia)
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala
pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan
menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untukmelaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari.(http://id.wikipedia.org/wiki/Presiden_Indonesia
diakses pada 5 September 2013)
Presiden Republik Indonesia harus dari suku Jawa, menjadi syarat yang
tak tertulis di negeri ini. Ini adalah peraturan paling rasis namun tak tertulis. Berdasarkan fakta dan sejarah perjalanan bangsa ini, tidak bisa dipungkiri jika tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih rendah maka hukum tak tertulis itu
ini.(http://politik.kompasiana.com/2013/01/17/presiden-ri-harus-jawa-dan-islam-519177.html diakses 6 September 2013)
Dimulai pada Pemilu 2004, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Secara struktur demografi Indonesia mayoritas beretnik Jawa sehingga potensial menentukan keterpilihan
seseorang menjadi presiden. Kondisi realita jumlah penduduk sekitar 60% suara pemilih seluruh Indonesia adalah berasal dari pulau Jawa. Dalam dunia politik,
suara pemilih atau suara rakyat adalah di atas segala-galanya dan yang menentukan segala-galanya. Kondisi inilah yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa realita jumlah pemilih yang akan mengantarkan calon Presiden berasal paling
besar dari pulau Jawa. Seolah olah siapapun yang memiliki keinginan untuk menjadi presiden Indonesia harus dapat mengambil hati dari penduduk Jawa.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berikutnya akan diselenggarakan pada tahun 2014. Ini akan menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia, dan bagi presiden yang terpilih akan mempunyai jabatan
tersebut pada jangka waktu sampai lima tahun.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 diakses
6 September 2013)
Ada tiga unsur utama dalam sebuah negara, yang pertama adalah rakyat, kedua wilayah, dan ketiga adalah pemerintah yang berdaulat. Yang pertama dan
kedua, rakyat dan wilayah, pada dasarnya bersifat tetap, sementara yang ketiga, pemerintah yang berdaulat, berganti atau berubah. Indonesia adalah negara
juga diikuti dengan perubahan kebijakan pemerintah, dilakukan melalui pemilihan umum setiap 5 tahun sekali. Para wakil rakyat yang akan duduk dalam
DPR/DPRD akan ditentukan oleh rakyat melalui pemilu. Presiden dan Wakil Presiden juga akan ditentukan oleh rakyat dalam pemilu. Di Indonesia, memilih dan dipilih adalah hak warga negara. Pada dasarnya setiap warga negara memiliki
hak memilih dan hak dipilih (hak pilih). Untuk memilih ada syaratnya, seperti WNI, usia terendah 17 tahun atau sudah kawin, dan terdaftar sebagai pemilih.
(http://www.leimena.org/id/page/v/787/kenali-hak-dan-tanggung-jawab-anda-suara-anda-berharga diakses 22 Oktober 2013)
Seperti yang kita ketahui sebelumnya soal kepemimpinan Negara
Republik Indonesia selalu didominan oleh orang-orang yang terpilih dari pulau Jawa. Sejarah Pilpres di Indonesia sejak kemerdekaan RI 17 Agustus 1945,
Republik Indonesia selalu memiliki pemimpinnya dari orang-orang pulau Jawa. Sedangkan Indonesia merupakan negara dengan keragaman suku bangsa yang luar biasa, memiliki potensi positif seperti pariwisata dan potensi negatif seperti
konflik antar suku bangsa. Oleh karena itu pemahaman akan keragaman suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing menjadi penting. Untuk dapat
memanfaatkan keragaman Suku Bangsa menjadi kekayaan Bangsa tentu sangat diimpikan sebuah keadaan Keteraturan dalam masyarakat.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita
dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu
(Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Atau multikultural dapat
diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap
masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan
menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses 23 September 2013) Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara
berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan
komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi Komunikasi Lintas Budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul
kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada
kerusuhan atau pertentangan antaretnis. Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang
lain, mengetahui prinsip-prinsip Komunikasi Lintas Budaya dan
mempraktikkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.
(http://ridhorinaldy.wordpress.com/komunikasi-lintas-budaya/ diakses 23
September 2013).
Komunikasi lintas budaya merujuk pada komunikasi antara
individu-individu yang latar belakang budayanya berbeda. Individu-individu-individu tidak harus selalu berasal dari negara yang berbeda. Di negara yang penduduknya beragam
seperti Amerika Serikat, kita dapat mengalami komunikasi lintas budaya dalam sebuah negara bagian, sebuah komunitas, dan bahkan dalam satu blok. Bukan merupakan hal yang aneh lagi di dalam masyarakat apabila ada dua orang yang
berbeda budaya berbicara satu sama lain. (West dan Lynn H.Turner, 2008 :42-43) Sebagai contoh sosok Aburizal Bakrie (ARB) untuk tetap maju dalam
pemilihan presiden 2014. Aburizal Bakrie bukanlah orang Jawa, ia adalah salah satu politisi dari suku Lampung yang berada di Sumatera Selatan. Ini menjadi modal penting untuk mendobrak tradisi bahwa presiden RI harus berasal dari
Partai Golkar tak melihat sisi kesukuan menjadi celah kekurangan bagi calon presidennya, Aburizal Bakrie. Meskipun Aburizal bukan berasal dari suku
Jawa sebagaimana empat presiden Indonesia sebelumnya, namun faktor kesukuan ini menurut partai tersebut bisa ditutupi melalui figur wakil presiden.
(http://www.beritasatu.com/politik/47505-golkar-tak-melihat-suku-ical-jadi-kekurangan.html diakses 6 September 2013)
Secara historis, presiden Indonesia meyoritas dari suku Jawa, maka ada
upaya Aburizal Bakrie melakukan beberapa strategi komunikasi. Aburizal Bakrie menegaskan dirinya akan maju dalam pemilu mendatang dan akan memilih berpasangan dengan calon Wakil Presiden, asal pulau Jawa. Tidak hanya itu, tim
ARB juga mencitrakan diri ARB sebagai orang luar Jawa yang sudah Jawani
melalui media massa terutama media televisi.
(http://www.jogjatv.tv/berita/16/03/2013/abu-rizal-bakrie-inginkan-cawapres-asal-jawa diakses 6 September 2013)
Pemilihan media televisi sebagai sarna promosi karena mempunyai
keunggulan secara audio visual. Televisi merupakan salah satu media massa yang tidak diragukan lagi, sebagai aktivitas pengisi waktu luang yang paling popular.
Sebagai komponen yang telah masuk dalam prioritas kegiatan utama dibanyak rumah tangga, televisi dengan jangkauannya memiliki peran yang sangat besar. Berkat siaran yang luas dan mendalam, televisi mempunyai dampak yang besar
dalam mengajar dan mendidik. (Effendy, 2008 : 4 - 10).
Pengaruh Televisi sampai saat ini masih terbilang kuat, dibandingkan
yang menyentuh segi – segi kejiwaan manusia. Terlepas dari dampak negatif dan positif, televisi telah menjadi cerminan budaya tontonan bagi pemirsa dalam era
informasi dan komunikasi yang berkembang pesat. (Kuswandi, 1996 : 98 - 101). Televisi saat ini mempunyai peran yang begitu besar dalam perubahan sosial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun di luar itu,
televisi juga digunakan untuk kampanye politik, iklan maupun propaganda. Pemanfaatan televisi di Indonesia sebagai ajang kampanye politik makin kentara
lantaran para pemilik media di Indonesia juga menjadi tokoh partai tertentu. Sementara Partai Golkar dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie juga menjadi salah satu konglomerasi media di Indonesia. Bakrie Group menaungi tiga tv nasional,
TV ONE, ANTV,dan Sport One. Selain itu juga media online vivanews.com.
Konglomerasi media di Bakrie Group ini masuk dalam naungan Viva Group.
Meski tidak memiliki media cetak, tapi masuknya Eric Tohir, pemilik PT Mahaka Media Tbk pada tahun 2010 sebagai Direktur Utama Viva Grup dan TV One patut diduga bahwa antara Bakrie dan PT Mahaka Media Tbk saling bersinergi.
(http://idmultimediajournalism.wordpress.com/2012/11/01/vivanews-golkar-arb/ diakses 6 September 2013)
Saat ini terdapat satu fenomena menarik dalam pesta demokrasi di Indonesia, yaitu maraknya iklan politik di TV. Televisi dipergunakan dalam aktivitas politik untuk mempertukarkan pesan-pesan politik. Menurut Mueller
Sejak tahun lalu (2012), kita sering menyaksikan iklan politik Abu Rizal Bakrie (ARB) di televise-televisi. Awal mulanya hanya sekedar menampilkan aksi
populis ARB, namun sejak beberapa bulan terakhir ini sudah terarah kepada pencalonan dirinya menjadi presiden Republik Indonesia. Iklan politik ARB merupakan sarana untuk mengkampanyekan diri ARB sebagai calon presiden RI
periode 2014-2019. Entah sudah berapa ratusan juta uang dikeluarkan ARB untuk kepentingan tersebut. Iklan politik ARB harus juga dilihat sama seperti iklan-iklan
lainnya. Iklan politik ARB selalu menampilkan sosok ARB yang baik, yang peduli pada rakyat kecil, pada usaha kecil, yang cinta pada keluarga, dan lain-lain.
(http://politik.kompasiana.com/2013/04/07/iklan-kontras-antara-tayangan-dan-fakta-543698.html diakses 6 September 2013)
Salah satu yang ingin dibangun oleh ARB pada iklan terbarunya, yaitu
dengan mencitrakan ia sebagai orang Jawa. Berdasarkan sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonesia, jabatan Presiden Indonesia hanya untuk orang Jawa. Jumlah populasi orang Jawa lebih banyak jika dibandingkan dengan orang di luar
Pulau Jawa. Maka terlihat calon presiden yang berasal dari luar Jawa seakan-akan hanya memiliki peluang kecil untuk mendapatkan suara dari rakyat dalam
pemilihan presiden. Secara politik, Jawa merupakan tempat strategis karena mayoritas pemilih ada di Jawa.
Ketua umum Partai Golkar yang juga calon presiden ini menabur iklan
betapa ia amat menghargai dan amat dekat dengan budaya Jawa. Jawa sebagai etnis mayoritas, wajar memang dipersepsikan menjadi pusat yang mampu
wajar saja dalam politik. Siapa pun memang mesti mendekat pada "sumber kekuatan". Politik identitas seperti itu bisa efektif bisa tidak, bergantung pada
kualitas calon dan kerja politiknya. Tapi yang menarik, dalam kehidupan nyata, pelekatan variabel identitas etnis sesungguhnya kian memudar. Tetapi dalam politik, identitas etnis, justru amat dibutuhkan. (http://lampost.co/berita/identitas
diakses 6 September 2013)
Iklan memang tidak dapat mempengaruhi masyarakat untuk merubah
sikapnya secara langsung, namun apa yang ada dalam Iklan mampu mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang suatu kejadian atau fenomena yang dianggap penting.
Pengaruh itu kemudian disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada.
Dari sejarah kepemimpinan sebagai presiden di Indonesia muncul mitos yang diyakini oleh masyarakat Indonesia, bahwa presiden Indonesia berasal dari suku Jawa. Dasar itulah ARB ingin menunjukan multikultural yang ada di
Indonesia khususnya Jawa Timur. Dengan membangun identitas dirinya dalam pencitraan sebagai orang Jawa dalam iklan politiknya, untuk mendapatkan suara
dari rakyat Indonesia yang mayoritas Jawa. Salah satu iklan ARB mengambil
kata-kata dari bahasa jawa Jawa, yaitu “ Nyuwun pangapunten, Suwe ora ketemu,
Ketemu pisan ati ayem “. Pada iklan politik tersebut, menampilkan suku Madura
yang bertempat tinggal di pulau Jawa juga. Melalui iklan politik ARB bertujuan untuk memberikan pemahaman hidup bersama dalam perbedaan dan
Menurut data yang diperoleh Tempo dari Komisi Penyiaran Indonesia,
iklan Ical tayang 143 kali di TV One pada periode 1-30 April 2013. Adapun
pemberitaan Ical di televisi yang sama pada periode 4-30 April 2013 sebanyak
sembilan kali.
(http://www.tempo.co/read/news/2013/07/03/078493127/Ical-Kerap-Tayang-TV-One-Klaim-Tak-Ada-Intervensi diakses 6 September 2013).
Iklan politik ARB versi Jawa Timur juga ditayangkan di televisi lokal Jawa Timur yaitu JTV.
Iklan ARB tidak selamanya dipahami seperti kemauan pembuat iklan. Hal ini sangat tergantung dengan konteks sosial masyarakat. Kemampuan masyarakat terhadap iklan tersebut bisa menimbulkan berbagai makna, diantaranya :
1. ARB orang luar Jawa (non Jawa) yang sudah Jawani
2. ARB belum diterima seperti orang Jawa
3. Masyarakat menerima multikultural pada iklan politik ARB
4. Masyarakat belum menerima multikultural pada iklan politik ARB
5. ARB sudah seperti orang Jawa tetapi belum tentu masyarakat mau
memilih ARB menjadi presiden Indonesia
Orang Jawa yang dimaksud adalah suku Jawa yang populasinya terbesar di
Indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya. Orang Jawa telah menyebar hampir ke semua pulau besar di Indonesia sejak abad ke-18. Menurut populasi aslinya, suku Jawa menempati wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penelitian ini meneliti iklan politik ARB versi Jawa Timur. Karena
Jawa Timur memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Yogyakarta yaitu 37.476.757 jiwa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur
diakses 21 Oktober 2013). Salah satu pertimbangan untuk mendongkrak suara. Di Jawa Timur sendiri, ada 30 juta orang yang memiliki hak pilih atau 27 persen dari jumlah pemilih nasional. Dengan menggandeng Soekarwo, diprediksi warga Jawa
Timur pasti akan memilihnya. Sebab, ketokohan Soekarwo sudah tidak diragukan lagi.
(http://surabaya.okezone.com/read/2012/04/10/519/608522/ical-tawari-pakde-karwo-dampingi-di-pilpres-2014 diakses 22 Oktober 2013)
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat di Jawa Timur. Penduduk yang banyak mendiami wilayah Jawa Timur datang dari suku Jawa dan beberapa orang
Madura, Orang-orang Osing Banyuwangi dan orang-orang Tionghoa. Jawa Timur adalah tempat dari beberapa keanekaragaman budaya yang hidup dalam harmoni
yang selaras. Selain dari beberapa suku yang tinggal, terdapat juga etnis Arab dan India.
Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian,
etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Salah satunya Suku Madura mendiami di Pulau
Madura dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup
Kabupaten Banyuwangi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur diakses 23 September 2013)
Peneliti tertarik untuk menjadikan hal di atas sebagai studi yang akan diteliti. Sesuai teori Stella Ting- Toomey berbicara kemampuan lintas budaya
terdiri atas dari tiga komponen – pengetahuan (knowledge), kesadaran
(mindfulness), dan kemampuan (skill). Kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang teliti, menyimak, empati,
kepekaam non-verbal, kesopanan, penyusunan ulang, dan kolaborasi. (LittleJohn, 2009 :134).
Pada umumnya, banyak orang berasumsi bahwa mengonsumsi televisi
adalah aktivitas pasif. Karena audiens hanya duduk di depan televisi dan mengonsumsi tanpa benar-benar ‘terjalin’ atau beraktivitas. Hall berpendapat
bahwa konsumsi bukanlah aktivitas pasif. Ini disebabkan menurutnya konsumsi media membutuhkan generasi pemahaman. Tanpa pemahaman dan kemampuan, tidak akan ada konsumsi. Pemahaman dan kemampuan, tidak dapat digenerasikan
secara pasif.
Studi khalayak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode reception analysis. Penelitian ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti tentang
pemahaman teks dan proses negosiasi identitas masyarakat terhadap studi kasus penelitian pada penerimaan masyarakat terhadap multikultur dalam iklan politik
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian Latar Belakang Masalah, diatas maka dirumuskan suatu
masalah, bagaimana kemampuan lintas budaya masyarakat Jawa Timur setelah menonton iklan politik ARB di media televisi ?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan lintas budaya masyarakat Jawa Timur tentang setelah menonton iklan politik ARB versi Jawa
Timur di media televisi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu komunikasi dalam analisis penerimaan, khususnya media massa
televisi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai saran yang berguna bagi kegiatan penelitian informal ilmu komunikasi selanjutnya. Serta mengungkapkan isi teks yang ada dalam media melalui
sebuah tayangan iklan di televisi.
1.4.2 Pr aktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak para praktisi yang ingin memproduksi sebuah iklan politik melalui televisi. Khususnya strategi komunikasi dalam pembuatan suatu
1.4.3 Sosial
Secara sosial, hasil penelitian ini diharapkan masyarakat
dapat menentukan dan mendefinisikan batasan-batasan konsep yang akan dipakai dalam menginterpretasi teks media. Sehingga dapat membuka kesadaran bagi masyarakat pula untuk lebih kritis
dan tidak mudah menerima secara langsung pesan teks dalam sebuah iklan politik di televisi. Hasil penelitian ini juga dapat
2.1 Penelitian Terdahulu
Untuk melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mencari jurnal ilmiah di bidang ilmu komunikasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Marlyani Purbayanti dari Universitas Airlangga Surabaya tetang Reception
Analysis Remaja Perempuan Tentang Konsep Kecantikan Dalam Iklan
Kosmetika. Penelitian ini menjabarkan tentang penerimaan remaja permpuan dari Indonesia Timur pada konsep kecantikan yang ditayangkan pada iklan Pond’s dan Pantene.
Penelitian ini menarik karena masyarakat dari Indonesia Timur jarang digambarkan pada iklan untuk produk kecantikan. Dengan menggunakan teori
Stuart Hall, metode reception analysis, peneliti berharap untuk menjabarkan penerimaan penerimaan dari konsep kecantikan dalam iklan produk kosmetika melalui proses encoding dan decoding oleh audien. Kesimpulan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk kecantikan bukanlah kenyataan yang terjadi pada masyarakat Indonesia Timur.
Studi khalayak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode reception analysis. Penelitian ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti pada produksi tentang pemaknaan teks dan proses negosiasi makna khalayak terhadap
studi kasus penelitian pada penerimaan khalayak terhadap konsep kecantikan dalam iklan Pond’s dan Pantene. Dengan menggunakan tipe penelitian eksploratif
penerimaan yang dilakukan oleh informan. Pada penelitian ini transkrip wawancara yang dari informan yang berjumlah 5 orang remaja yang berasal dari
wilayah Indonesia Timur menjadi unit yang dianalisis kemudian di tambahkan dengan interpretasi dari informan untuk memperkuat data pada pembahasan.
Dengan pemaparan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa interpretasi
penerimaan dan pemaknaan informan dalam penelitian ini sangat beragam. Pemahaman yang berbeda dalam memahami teks yang ada dalam media tersebut
berkaitan dengan latar belakang dari informan tersebut. Latar belakang tersebut meliputi seperti usia, pekerjaan, asal daerah, SES dan agama selain itu juga faktor lain yang mempengaruhi seperti psikologi, sosial dan lingkungan juga membuat
penerimaan akan makna dan intrepretasi terhadap konsep kecantikan yang ada dalam iklan Pond’s dan Pantene bahkan media massa berbeda-beda.
Penelitian yang kedua juga menggunakan reception analysis, yaitu
penelitian dari Ido Prijana Hadi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya yang berjudul Penelitian
Khalayak Dalam Perspektif Reception Analysis. Dalam penelitian ini
membahas tentang bagaimana penelitian reception analysis. Saat ini salah satu
standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan reception analysis,
yang mana analisis ini mencoba memberikan sebuah makna atas teks media. Reception analysis merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual
wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada
konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen, 2003 :
Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi
individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media
massa (McQuail,1997:19). Reception analysis merupakan studi yang mendalam
terhadap proses aktual dimana wacana dalam media diasimilasikan kedalam
wacana dan praktik-praktik budaya khalayak. Menurut McQuail (1997), reception
analysis menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial
budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi. Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang mencakup identitas sosial dan posisi subyek.
Seorang peneliti bisa memulai interview informan dengan
mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media yang dilihat atau dibaca. Bagaimana pengalaman seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek. Bagaimana makna teks media bagi kelompok umur tertentu, termasuk dari faktor agama, faktor kaum minoritas,
faktor sejarah, faktor sosial dan budaya, faktor pendidikan, jenis kelamin, dan sebagainya.
Hal terpenting dalam melakukan penelitian khalayak dengan pendekatan
kualitatif menggunakan metode reception analysis adalah informan mempunyai
kesempatan yang terbuka dalam menentukan dan mendefinisikan batasan-batasan
konsep yang akan dipakai dalam menginterpretasi teks media, karena tipe penelitian yang sifatnya eksploratif membutuhkan kedalaman pemaknaan yang
makna yang merupakan hasil ‘interaksi’ antara informan sebagai khalayak dengan
teks media akan memberikan oportunity to learn peneliti maupun informan dalam
menjawab permasalahan. 2.2 Teori Negoisasi Identitas
Stella Ting- Toomey mengeksplorasi cara-cara di mana identitas
dinegoisasi (dibahas) dalam interaksi dengan orang lain, terutama dalam berbagai budaya. Identitas seseorang selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau
gambaran refleksi diri, dibentuk melalui negoisasi ketika kita menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi-identifikasi diri kita atau orang lain. Hal ini bermula dalam kehidupan keluarga, ketika kita mulai memperoleh
berbagai identitas pribadi dan sosial. Misalnya saja kita memulai hubungan untuk pertama kalinya dengan berbagai identitas sosial atau afiliasi kelompok seperti
budaya, jenis kelamin, dan usia.
Perkembangan permulaan identitas gender juga terjadi dalam keluarga, kemudian menjadi bagian identitas sosial yang sangat penting. Identitas pribadi
merupakan karakteristik yang lebih unik yang kita hubungkan karakteristikn dengan diri kita masing-masing, yang pada awalnya juga dipelajari dalam
interaksi keluarga. Dalam beberapa keluarga, misalnya, anak-anak belajar lebih bagaimana mengindentifikasi berbagai posisi dan peran sosial, sedangkan dalam keluarga lainnya, mereka dapat belajar untuk memikirkan diri mereka
Identitas kebudayaan dan etnik sangat penting dan seperti yang lainnya, dipelajari dalam interaksi sosial. Khususnya, identitas kebudayaan di kaitkan pada
beberapa rasa keterkaitan pada kelompok kebudayaan yang lebih besar golongan keagamaan, wilayah suatu negara, anggota organisasi tertentu atau bahkan kelompok sesama usia dan didefinisikan secara luas oleh jumlah afiliasi yang kita
rasakan. Seseorang juga dapat memiliki hubungan kebudayaan terhadap masyarakat heterogen yang lebih besar, yang terdiri dari banyak kelompok
kebudayaan yang lebih kecil. Hubungan kebudayaan yang penting bagi banyak orang adalah keetnikan. Identitas etnik terdiri dari gabungan keturunan atau sejarah kelompok dari satu generasi ke generasi lainnya. Termasuk di dalamnya,
negara asal, ras, agama, dan atau bahasa. Identitas etnik bisa menjadi bagian penting dalam menentukan siapa diri Anda sebenarnya.
Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (velue content) dan
ciri khas (salience). Nilai isi terdiri dari macam-macam evaluasi yang Anda buat
berdasarkan pada kepercayaan-kepercayaan budaya. Misalnya beberapa
kebudayaan mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok di atas individu, sedangkan lainnya lebih menekankan pada nilai individdualistik.
Ciri khas merupakan kekuatan afiliasi yang kita rasakan. Meskipun identitas dapat dirasakan pada faktor apa saja yang terdapat dalam faktor sosial dan pribadi, Ting Toomey memfokuskan pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama
negoisasi yang terjadi ketika kita berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan. Oleh karena itu, identitas dibentuk di dalam
mengembangkan identitas pribadi dan sosial dalam cara ini. Ketika Anda berkomunikasi dalam kelompok kebudayaan yang sama, Anda akan mengalami
pengalaman yang lebih dalam hal kerentanan, persamaan, kejelasan, keterikatan, dan konsistensi, tetapi ketika Anda berinteraksi dengan budaya, Anda dapat mengalami kebalikannya ketidakrentanan, perbedaan, ketidakjelasan, otonomi dan
perubahan mengarahkan pada kurang stabilnya dan bahkan kemungkinan akan transformasi. Kebanyakan dari kita bekerja melalui negoisasi identitas dalam
mengembangkan suatu keseimbangan antara perbedaan tersebut. Terlalu banyak identias etnik atau kebudayaan dapat mengarahkan kita pada etnosentrisme, terlalu sedikit dapat mengarahkan pada kebingungan. Terlalu sedikit perubahan
dapat mengarahkan pada stagnasi; terlalu banyak akan mengarahkan kepada kekacauan
Beberapa individu lebih efektif dalam memperoleh keseimbangan yang nyaman. Anda tahu bahwa Anda telah melaksanakannya, sehigga ketika Anda mempertahankan rasa diri yang kuat, tetapi juga mampu menelusuri dengan
fleksibel identitas yang lainya dan membolehkannya untuk memiliki rasa
identitas. Ting Toomey menyebutnya keadaan functional biculturalism atau
bikulturalisme fungsional. Ketika Anda mampu berganti dari satu konteks budaya ke budaya lainnya dengan sadar dan mudah, maka Anda telah mencapai keadaan
pengubahan kebudayaan (cultural transfomer). Kunci untuk memperoleh
keadaan-keadaan tersebut adalah kemampuan lintas budaya (intercultural
Kemampuan lintas budaya terdiri atas dari tiga komponen – pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill). Definisi
pengetahuan adalah pemahaman akan pentingnya identitas etnik atau kebudayaan dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya, mengetahui sesuatu tentang identitas kebudayaan dan mampu meihat segala perbedaan,
misalnya, antara ahli identitas kolektif dan ahli identitas individu. Kesadaran secara sederhana berarti secara biasa dan teliti untuk menyadari. Hal ini berarti
kesiapan berganti ke perspektif baru. Terakkhir, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang teliti, menyimak, empati, kepekaam non-verbal, kesopanan, penyusunan ulang, dan kolaborasi.
Anda tahu jika Anda telah memperoleh negoisasi identitas yang efektif jika kedua pihak merasa dipahami, dihormati, dan dihargai. (LittleJohn, 2009 : 130-134)
2.3 Iklan dan Per kembangannya
Iklan sesungguhnya sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Bentuk-bentuk paling awal adalah gambar sederhana pada tembok dan toko. Iklan di masa lalu
merupakan komunikasi yang efektif. Para arkeolog meyakini, advertising sudah
ada sejak zaman dulu. Advertising dilakukan dalam berbagai bentuk
“mempublikasikan” berbagai peristiwa (event) dan tawaran (offers). Metode iklan
pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota menawarkan barangnya
pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan sudah dikenal manusia
pengumuman-pengmuman. Pesan berantai itu disampaikan dari mulut ke mulut untuk membantu kelancaran proses jual-beli. (Moriarty,dkk, 2011:7)
Pada zaman modern ini periklanan mulai berkembang setelah era revolusi industri yang memproduksi barang-barang dalam betuk masal. Ini terjadi di abad ke-19 dan menjelang abad ke-21. Iklan pertama di abad ke-19 mulai diatur oleh
para agen periklanan, dan baru pada abad ke-20 iklan umumnya ditangani oleh agen periklanan yang tidak saja menangani produk barang dan jasa tetapi juga
memeperkenalkan jasa pelayanan, dan para kandidat politik. (Liliweri, 2011 : 535).
Menurut Lovelock dan Wright (2005), iklan adalah bentuk komunikasi
nonpribadi yang dilakukan pemasar untuk menginformasikan, mendidik atau membujuk pasar sasaran. Duncan (2005) menambahakan bahwa iklan baiknya
digunakan untuk menjangkau sasaran yang luas, menciptakan brand awareness,
menjadi sarana pembeda perusahaan dan produknya dari pesaing, dan membangun citra merek perusahaan dan produknya.
2.3.1 Iklan Televisi
Sebagai medium visual yang menarik, televisi dapat memberikan
dampak yang hebat., dan perkembangan advertising televisi jauh melampaui perkembangan media lain. Ini menunjukan efektivitasnya dalam menjangkau audien massa yang beragam. (Vivian, 2008 : 373)
Menurut Raymon Willams : Iklan bagaikan sebuah dunia magis yang dapat mengubah konditas ke dalam gemerlapan yang memikat dan
dalam dunia nyata melalui media. Dasar yang kuat, iklan televisi telah mengangkat medium iklan ke dalam konteks yang sangat kompleks namun
jelas, berimajinasi namun kontekstual, penuh dengan fantasi namun nyata. Peran televisi yang telah menghidupkan iklan dalam dunia kognisi pemirsa serta penuh angan-angan. Padahal televisi hanya mengandalkan
kemampuan audiovisual dan prinsip-prinsip komunikasi massa sebagai
konstruksi. Maka sesungguhnya, copywriter dan visualizer-lah yang paling
besar perannya dalam memberi nuansa ‘hidup’ kepada iklan televisi. Mereka telah mengubah realitas sosial atau bahkan mereproduksi realitas sosial dan mengomunikasikan dalam bahasa informasi kepada khalayak
sehingga realitas itu tidak lagi menjadi sekedar relitas iklan televisi, namun menjadi realitas informasi-komunikasi yang sarat dengan
muatan-muatan konstruksi sosial dan setiap saat membentuk imajinasi dan kognisi pemirsa. (Bungin, 2008 : 107-108)
Iklan televisi berkembang dengan kategori di samping karena iklan
televisi perlu aktivitas dan selalu menghasilkan produk-produk iklan baru, namun juga karena daya beli masyarakat terhadap sebuah iklan televisi
yang selalu bervariasi karena tekanan ekonomi. Namun bila dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat media yang juga berbeda.
Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, di mana iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi objek
dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Umumya iklan iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek mnyerupai karya film pendek. Dan
karena waktu tayangan pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu
beberapa detik. Iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (
above-the-line). Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan
layanan masyarakat, iklan spot (Bovee, 1995:405), Promo Ad, dan iklan
politik. (Bungin, 2008 : 111)
Menurut Sudjiman dan Zoest, Iklan televisi memiliki sifat dan kecenderungan yang mendekati logika pembong, namun jarang dapat
dibantah karena umumnya masuk akal. Maka, seperti yang dijelaskan oleh Umberto Eco; jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh, berarti
ia tidak dapat digunakan untuk ‘mengatakan’ sesuatu pun, demikian definisi ‘teori dusta’.
Sifat lain yang umumnya ada dalam iklan televisi adalah waktu
tayangannya yang pendek namun cenderung memaksakan ide tertetu. Karena sifat tayangannya yang pendek, dan karena sifat televisi pula maka
tayangan iklan televisi cepat saja berlalu, sehingga dalam waktu yang singkat itu, iklan televisi harus mampu meninggalkan kesan tertentu kepada pemirsa. Kesan-kesan itu bisa berupa satu dua kata, namun harus
iklan, berkesan seksualitas, dan memberi kesan tertentu yang sifatnya umum. (Bungin, 2008 : 115-116)
Secara umum ada beberapa katagorisasi iklan televisi dalam beberapa macam, baik sasaran, pesan, penampilan, bentuk, sert pemiliha media. Dari kategori sasaran. Iklan televisi memiliki sasaran anak-anak,
remaja, dan orang tua. Atau iklan televisi yang sekaligus memiliki ketiga sasaran tersebut. Sedangkan kategorisasi berdasarkan pesan, yaitu iklan
televisi yang menawarkan pesan citra kelas yaitu kesadaran akan kelas sosial tertentu, iklan yang mengutamakan pesan kualitas, menampilkan pesan ilmiah, serta pesan manfaat dan kegunaan. Iklan televisi yang
menekankan penampilan yaitu terdiri dari dua bentuk, bentuk pertama adalah iklan yang sekadar menginformasikan produk tertentu tanpa
memerhatikan penampilan iklannya, sedangkan yang kedua adalah iklan yag benar-benar memerhatikan penampilannya di samping pesan atau infomasi itu sendiri.( Bungin, 2008 : 67)
2.3.1.1 Iklan Televisi yang Efektif :
1. Gambar yang berbicara. TV sebagai medium visual harus
memaksimalkan fungsi gambar.
2. Key visual. TV memiliki gambar yang berpengaruh kuat pada
pemirsa. Key visual biasanya juga digunakan dalam iklan
yang lain, seperti iklan cetak dan biilboard. Contohnya, wajahpak polisi yang ngumpet dalam iklan produk rokok di
3. Menarik perhatian. Dalam 5 detik pertama, iklan harus dapat menarik perhatian pemirsa. Jika tidak, pemirsa segera akan
memindahkan channel.
4. Fokus. Pesannya tidak bermacam-macam, bahkan bila
waktu masih memungkinkan, ulangi pesan itu dengan cara
yang berbeda. Sebagai contoh adalah iklan Fren “bicara sampai dower”.
5. Nama produk. Iklan TV tidak dapat dikatakan hebat jika
tidak menjual. Oleh karena itu, apa yang kita jual harus disebutkan serta diakhiri dengan menamilkan nama, logo, dan
produk.
6. Menampilkan orang lebih baik. Kaitkan seseorang tersebut
dengan produk.
7. Berikan manfaat. Akhiri iklan dengan cerita yang baik
buatlah jadi bermanfaat bagi pemirsa yang melihat iklan
anda.
8. Nada dan suasana iklan harus merefleksikan kepribadian
produk. Dalam komunikasi harus menunjukan sikap hormat pada konsumen, baik produk kelas atas maupun kelas bawah.
9. Pesan iklan jangan terlalu panjang. Buatlah pesan yang
10. Bangun kampanye, jangan sporadis. Kampanye berarti
beriklan secara konsisten dan terus-menerus, dalam satu
periode tertentu. Jadi pesan harus dibangun secara berkesinambungan antara iklan yang satu dengan iklan yang lain. (Santosa, 2009 : 113-114)
2.3.2 Iklan Sebagai Proses Komunikasi
Komunikasi memiliki peran dalam dunia periklanan. Iklan adalah
sebentuk komunikasi. Dalam satu pengertian, ia merupakan pesan tentang suatu produk yang disampaikan kepada konsumen. Iklan akan menarik perhatian, memberi informasi, dan terkadang sedikit menghibur, dan
dimaksudkan untuk menimbulkan respons, seperti penjualan.
Kebanyakan iklan bukan percakapan personal atau interaktif
karena mengandalkan komunikasi massa, yang bersifat tak langsung dan kompleks. Sebagai komunikasi massa, ia menyampaikan informasi produk untuk menarik pembeli di pasar. Dalam perannya sebagai branding, iklan
mengubah sebuah produk dengan menciptakan citra (image) yang
melampaui fakta. (Moriarty,dkk, 2011:12)
Dalam Advertising Excellence, Bovee (1995:14) mendiskripsikan
iklan sebagai sebuah proses komunikasi, di mana terdapat : pertama, orang
yang disebut sebagai sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai
medium; dan ketiga adalah audiens. Komunikasi massa adalah proses
2.3.3 Iklan Politik
Di masyarakat terdapat dua kategori iklan yang secara lebih umum
dikenal. Pertama, iklan komersial dn kedua, iklan layanan masyarakat. Iklan komersial yaitu berbagai iklan yang dilakukan untuk semata-mata ditujukan untuk kegiatan komersial dengan harapan apabila iklan
ditayangkan, produsen meperoleh keuntungan komersial dari tayangan iklan tersebut. Sedangkan iklan layanan masyrakat semata-mata dibuat dn
ditayangkn untuk tujuan-tujuan nonkomersial dan sosial atau semata-mata untuk penerangan umum.
Kategori iklan lainnya yang sulit dimasukkan dalam kategorisasi di
atas adalah iklan politik. Iklan ini tidak bisa dikategorikan ke dalam iklan layanan masyarakat, dan juga tidak bisa dimasukkan ke dalam iklan
komersial, karena tidak menjual produk barang dan juga jasa, namun iklan ini semata-mata meminta dukungan suara dari masyarakat karena umumnya iklan politik muncul di saat menjelang pemilu atau di saat
kampanye. (Bungin, 2008 : 111)
Iklan dapat pula dikelompokan berdasar bidang isi pesan yang
dikandungnya. Jadi, yang menjadi dasar bagi kategori ini adalah isi pesan iklan. Menurut kategori ini, akan ada banyak sekali jenis iklan. Seberapa banyak sub kategori yang muncul adalah sebanyak isi iklan itu sendiri,
sehingga berdasarkanisi pesan, akan banyak sekali jenis iklan. Salah satunya adalah iklan politik. Sebagaimana jenisnya, iklan politik adalah
misalnya tentang partai politik, demokrasi, pemilihn anggota dewan pertimbangan daerah (DPD), kekuasaan negara, dan sebagainya. Iklan
politik tentu saja umumnya dilakukan oleh para politis atau isntituisi politik, ysitu pemerintah, dan partai politik. Iklan jenis ini banyak dijumpai khususnya menjelang pemilihan umum, baik pemilihan presiden,
anggota dewan, hingga pemilihan pejabat dalam pemerintahan. Muatan pesan iklan ini terutama untuk membentuk citra baik organisasi maupun
individu serta mengajak publik memilih dan mendukung organisasi politik maupun politisi maupun politisi yang membuat iklan. (Widyatama, 2005 : 108-109)
Akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, media televisi telah digunakan sebagai media iklan untuk kepentingan politik, sehingga iklan
yang demikian dikategori, ke dalam iklan politik. Iklan politik umumnya berupaya mengkonstruksi pemirsa yang juga adalah segmen politik sebuah partai pada saat pemilihan umum pemilih partai tersebut. Gagasan iklan
politik sama dengan iklan konsumen, hanya saja berbeda pada ‘produk’ yang jual dan penyelesaian akhir tujuan iklan. Iklan politik tidak menjual
barang, namun menjual program partai, dan tidak mengarah pemirsa kepada perilaku membeli, namun mengarahkan perilaku pemirsa kepada sikap menerima sebuah partaidan memilihnya di saat pemilihan umum.
(Bungin, 2008 : 113)
Media khususnya televisi merupakan saluran yang efektif untuk
Holtz-Bacha dn Kaid (dalam Danial, 2009, 93) televisi digunakan pleh partai poltik dan kandidat setidaknya melalui dua cara. Pertama, lewat
“cara-cara gratis” melalui peliputan reguler media terhadap kegiatan partai atau kandidat politik. Kedua, membayar ke media tersebut karena memasang “iklan politik” (political advertising). Dalam iklan politik,
kandidat atau partai politiklah yang memutuskan bagaimana mereka ditampilkan di hadapan pemilih. (Inggrit, 2009 : 136)
2.3.4 Iklan dan Masyarakat
Penting bagi pengiklan untuk mempertimbangkan dampak kerja mereka terhadap masyarakat. Dampak sosial dan kultural dari iklan dan
juga tanggung jawab hukum serta aturan-aturan yang mengikat pengiklan. Umumnya orang menggunakan iklan untuk tujuan netral atau baik, yakni
mereka bertindak dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial. (Moriarty,dkk, 2011:12).
Hopkins dan Wallerstein : Masyarakat sepanjang masa akan
terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu masyarakat pusat (core),
masyarakat pinggiran, (periphery), dan masyarakat semi pinggiran (
semi-periphery). Di Indonesia, pembagian masyarakat seperti ini juga terjadi
sejak zaman kolonial Belanda, di mana golongan Belanda berada di golongan masyarakat pusat, golongan Cina sebagai masyarakat semi
Saat ini ketiga pola masyarakat tersebut juga tetap ada di masyarkat Indonesia moder. Walaupun posisi individu yang menduduki
golongan-golongan di dalam masyarakat tersebut telah berubah, namun pembagian golongan masyarakat itu tetap saja ada. Lebih jauh perbedan kultural masyarakat Indonesia dibedakan antara masyarakat kota dengan
masyarakat desa. Perbedaan kedua komunitas masyarakat ini lebih dikotomis dan menunjukan sisi-sisi perbedaan yang kontras dan jelas.
Umpannya, kalau masyarakat desa irasional, maka masyarakat kota rasional. Kalau masyarakat desa tradisional maka masyrakat modern, masyarakat desa agamis, maka masyarakat kota sekuler dan sebagainya.
(Bungin, 2008 : 45-46)
Pada saat televisi mengangkat realitas sosial dalam berbagai film
dan telenovela, maka kekuatan televisi dan kekuatan buadaya masyarakat terakumulasi ke dalam pengaruh yang luar biasa terhadap media televisi sendiri, hal ini terlihat dengn begitu besar kegemaran masyarakat terhadap
televisi serta secara fungsional televisi telah terstruktur dalam masyarakat. Ketika iklan kemudian ditayangkan melalui televisi dengn menggunakan
metode realitas sosial, maka iklan menjadi sebuah realitas yang juga digemari dan mengkonstruksikan masyarakat serta tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri sebagaian bagian yang telah terstruktur, paling
tidak dalam kognisi masyarakat.
Menyadari ciri sosial masyarakat seperti itu, maka sering iklan
konflik, ejekan, cerita sensual, bahkan pornografi. Iklan-iklan semacam itu kemudian menjadi iklan-iklan ‘besar’ karena mendapat sambutan luar
biasa dari kalangan pemirsa. Sehingga, dengan demikian, maka ada kecenderungan di kalangan ‘orang iklan’ untuk membuat iklan-iklan dengan megungkapkan realitas konflik, ejekan, sensual dan bahkan
pornografi, untuk memperkuat kekutan iklan, di samping merefleksikan realitas budaya serta simbo-simbol yang digunakan masyarakat kelas atas.
(Bungin, 2008 : 48-49)
Gagasan pemikiran konstruksi iklan atas realitas sosial selalu
berpijak pada skenario, pengambilan keputusan, time and space, bahkan
yang menembus time and space. Di samping itu stratifikasi sosial antara
lain terbentuk melalui distribusi hak istimewa, sistem dan kualitas sistem
pertentangan yang diciptakan masyarakat, simbol - simbol dan solidaritas individu atau kelompok yang menduduki kedudukan sama dalam sistem sosial masyarakat. Stratifikasi kemudian menciptakan kelas-kelas sosial
dan status sosial dalam masyarakat, kemudian membedakan individu atau kelompok dalam kelas-kelas yang umumnya berbentuk vertikal dari bahwa
hingga yang paling atas. Dari kelas dan status sosial inilah seseorang memproklamirkan posisinya di dalam masyarakat.
Dalam konstruksi sosial, kesadaran adalah bagian penting dalam
rangkaian proses konstruksi sosial itu. Ketika Berger (1990) menjelaskan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi, maka sebenarnya gagasan
menjadi bagian dialektika dalam proses konstruksi itu. Artinya kesadaran ‘diri’ dan kesadaran materi ikut dalam dialektika tersebut. Bahwa iklan
dapat mendorong kesadaran simbolis, kemudian kesadaran ini menimbulkan kesadaran konsumtif, dan kesadaran konsumtif mengiringi pemirsa ke kesadaran aktual (perilaku). Kesadaran-kesadaran itu
membentuk dialektika yang dikendalikan oleh iklan televisi.
Konstruksi sosial kadang mampu menghadirkan dunia kesadaran
jauh sebelum manusia memahami ektensi materi dari apa yang disadari itu
sendiri. Hal ini dilakukan malalui trial end error terhadap peluang paar,
yang dilakukan oleh media iklan televisi sebagai bagian subtansi dari
kekuatan iklan pada umumnya.( Bungin, 2008 : 68-69) 2.4 Masyarakat dan Kebudayaan
Masyrakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi.
(Koentjaraningrat, 2000 : 144) Masyarakat adalah, orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan, sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan mempunyai makna yang luar biasa pentingnya bagi masyarakat. Kebudayaan menyentuh hampir semua segi kehidupan kita. Pada awalnya, kita datang ke dunia
tanpa suatu bahasa, tanpa nilai dan moralitas, tanpa ide mengenai agama, perang, uang, cinta, pemanfaatan ruang dan seterusnya. Kita jug tidak memiliki orientasi
kita akan menjadi tipe manusia seperti apa. Dalam suatu waktu kita memperolehnya yang oleh para sosiolog disebut kebudayaan dalam diri kita.
(Syarbaini dan Rusdiyanta, 2009 : 105)
Unsur-unsur dari masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan. Kategori sosial adalah kesatuan manusia
yang terwujudkan karena adanya suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri obyektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu. Ciri-ciri obyektif itu biasanya
dikenakan oleh pihak dari luar kategori sosial itu sendiri tanpa disadari oleh yang bersangkutan, dengan suatu maksud praktis tertentu. Golongan sosial berbeda dengan konsep kategori sosial. Golongan sosial, merupakan suatu kesatuan
manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun
demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Hal itu dapat disebabkan karena kesadaran identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap caranya pihak luar memandang
golongan sosil tadi, atau mungkin juga karena golongan itu memang terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat tertentu.
Walaupun konsep golongan sosial dapat dibedkan dari konsep kategori sosial karena ada tiga syarat pengikat lagi, yaitu sistem norma, rasa identitas, dan sudah tentu komunitas, namun konsep golongan sosial sama dengan konsep
kategori sosial, dan tidak memenuhi syarat untuk disebut masyrakat. Hal itu disebabkan karena ada suatu syarat pengikat masyarakat yang tidak ada pada
Kelompok dan Perkumpulan. Suatu kelompok atau group juga merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, dengan adanya sistem interaksi
antara para anggota, dengan adanya adat-istiadat serta sistem norma yag mengatur interaksi itu, dengan adanya komunitas, serta dengan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Namun, disamping ketiga ciri tadi, suatu
kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai kesatuan dari
individu-individu pada masa-masa yang secara berulang berkumpul dan kemudian bubar lagi. (Koentjaraningrat, 2000 : 149-154)
Suatu daerah kebudayaan menggolongkan ke dalam satu golongan,
beberapa puluh kebudayaan yang stu dengan lain berbeda, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri menyolok dalam kebudayaa-kebudayaan
bersangkutan. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klarifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik, seperti misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transport, senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan,
benuk-bentuk dan gaya pakaian, benuk-bentuk-benuk-bentuk tempat kediamman dan sebagainya, melainkan juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau
sistem budaya, seperti misalnya unsur-unsur organisasi kemasyrakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, unsur cara berpikir dan adat-istiadat. (Koentjaraningrat, 2000 : 272-273)
2.4.1 Masyarakat Multikultural
Indonesia terdiri dari ribuan pullau dan ratusan suku dengan
perjumpaan dan pergaulan antar suku semakin mudah. Di satu sisi kenyataan ini menimbulkan kesadaran akan perbedaan dalam berbagai
aspek kehidupan. Perbedaan bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan konflik, yang bahkan akhir-akhir ini sudah menjadi kenyataan. Di lain pihak kenyataan ini juga menimbulkan kesadaran
perlunya dan pentingnya dialog dalam kehidupan yang semakin terbuka saat ini.
Dengan demikian sikap multikultural merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan : perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang bisa
menimbulkan konflik, namun bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu
syarat agar sikap multikultural efektif adalah bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia adalah makhluk yang selalu menjadi. Padahal agar dapat menjadi manusia
membutuhkan sesamanya.
Dengan perkataan lain sikap yang seharusnya mendasari
masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki Kebenaran Absolut, karena Kebenaran Absolut melampaui ruang dan
waktu, padahal manusia adalah makhluk yang berjalan bersama menuju Kebenaran Absolut tersebut. Untuk itu kita perlu mengembangkan sikap
membeda-bedakan entah atas dasar gender, agama dan etnis. Selain daripada itu perlu juga mengembangkan sikap hormat pada masing-masing
pribadi/kelompok dengan cara-cara berada mereka masing-masing. (Ata Ujan,dkk, 2009 : 16-17)
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari
beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk
organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society,
then is one that includes several cultural communities with their
overlapping but none the less distinc conception of the world, system of
[meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and
practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses 24 September 2013).
Karakter Tradisi Suku J awa
1. Suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan
menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung,
menjaga etika berbicara baik secara koten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan
objek yang diajak bicara.
2. Soal etika, suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi persoalan
berbicara, seorang yang lebih mudah hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
3. Suku Jawa itu sendiri terdiri dari berbagai macam jenis tergantung
pada lokasi daerah meraka berdiam. Biasanya secara lebih khusus lagi, setiap suku Jawa tersebut memiliki ragam kebudayaan yang
lebih khas lagi, baik soal bahasa, adat kebiasaan, makanan khas dan sebagainya. (http://www.anneahira.com/jawa.htm diakses 22
September 2013)
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan pertanian dengan irigasi yang hidup untuk sebagian besar dalam masyarakat pedesaan yang dahulu
dikuasai oleh suatu rangkaian kerajaan-kerajaan kuno sejak abad ke-9, dengan agama Hindu dn Buddha Mahayana yang kemudian terpengruh
oleh agama islam. (Koentjaraningrat, 2000 : 305) 2.4.2 Masyarakat J awa Timur
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
terletak di Pulau Jawa, tepatnya terletak di sisi timur Pulau Jawa, dan Pulau Madura, yang juga merupakan bagian dari provinsi. Ibukotanya
adalah Surabaya, yang merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dan pusat industri dan pelabuhan. Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudera Hindia di selatan, serta
Provinsi Jawa Tengah di barat. Secara geografis, wilayah Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan (plato), zona
Dataran rendah dan dataran tinggi pada bagian tengah (dari Ngawi, Blitar, Malang, hingga Bondowoso) memiliki tanah yang cukup subur.
Pada bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif
tandus. (http://www.eastjava.com/books/glorious/ina/ diakses 25
September 2013).
Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian,
etnisitas nang Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami nang Pulau Madura lan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama nang daerah pesisir
utara lan selatan. nang sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir nang seluruh kota nang Jawa Timur terdapat
minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja nang sektor informal.
Suku Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar nang Pegunungan Tengger lan sekitarnya. Suku Osing tinggal nang
sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samin tinggal nang sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Selain penduduk asli, Jawa Timur juga
merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas sing cukup signifikan lan mayoritas nang beberapa tempat, diikuti dengan Arab; mereka umumnya tinggal nang daerah perkotaan. Suku Bali uga tinggal nang
sejumlah desa nang Kabupaten Banyuwangi.
Keanekan-ragaman regional dari kebudayaan Jawa paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri kebudayaan Jawa tidan merupakankesatuan yang
homogen. Orang Jawa sadar akan adanya variasi-variasi regional. Yang meliputi seluruh daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional ini sedikit-banyak cocok dengan daerah-daerah logat bahasa Jawa, dan terlihat juga
dari unsur-unsur lain, seperti jenis makana, upacara rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara.
Kebudayaan Jawa yang hidup di kota-kota Yogyakarta dan Solo merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di Kraton. Peradaban ini mempunyai suatu sejarah kesusasteraan sejak empat abad yang lalu serta kesenian
yaang maju, berupa tarian dan seni suara kraton, yang ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, yakni campuran dari unsur-unsur
agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama kita dapati di Kraton Solo, tempt berkembangnya berpuluhan gerakan keagamaan kontemporer yang disebut “gerakan kebatinan”. Daerah dari istana-istana Jawa ini sering disebut
Negarigung. Orang Jawa juga membedakan kebudayaan di kota-kota di pantai-pantai utara Pulau Jawa, yang mereka sebut Pesisir. Kebudayaan ini meliputi
daerah antara Indramayu-Cirebon di sebelah barat Gresik di sebelah timur. Penduduk daerah ini pada umumnya pemeluk agama Islam puritan, yang mempengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka. Sejarah kesusasteraan mereka