SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai per syar atan memper oleh Gelar Sar jana pada FISIP UPN: “VETERAN” J awa Timur
Disusun oleh :
AGNITYAS RACHMADIYAN NPM. 0741010016
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PELAKSANAAN PROYEK OPERASI
NASIONAL AGRARIA ( PRONA ). (Studi kasus pelaksanaan Prona di
Kelurahan Pulorejo, Mojokerto)
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum
Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs.
Hartono Hidayat, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan skripsi ini
diantaranya:
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak DR. Lukman Arif, M.Si, Kepala Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Susi Hardjati, MAP, sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Fakulatas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional
data untuk melengkapi penulisan skripsi.
6. Kedua Orangtuaku mama papa dan adikku Dwimas dan Rana yang selalu
mendukung dan memberi semangat serta doa-nya selama ini.
7. Buat Mira, Lita, Nilam, Anggi, Bagus, Bela, Gita, Syamsi, Dinda, Erna,
semua angkatan 07’ dan temen kos ku yang selalu memberi semangat kepada
penulis, terima kasih atas semangat dan doanya.
8. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan. Akhir kata semoga dengan Skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan khususnya bagi penulis dan bagi fakultas pada umumnya serta para
pembaca.
Surabaya, Desember 2011
KATA PENGANTAR ... iii
2.2.2. Implementasi Kebijakan ... 28
2.2.2.1. Pengertian Kebijakan Publik ... 28
2.2.2.2. Model – model Kebijakan Publik ... 29
2.2.2.3. Faktor – faktor Pengaruh Kebijakan... 37
2.2.2.4. Sumber – Sumber Kebijakan ... 38
2.2.2.5. Keberhasilan dan Kegagalan implementasi Kebijakan ... 40
2.2.2.6. Prospek Untuk memperbaiki kebijakan ... 41
2.2.3. Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) ... 42
2.2.3.5. Biaya Pelaksanaan Prona ... 48
2.2.3.6. Prosedur PelaksanaanProna ... 49
2.2.3.7. Pelaksanaan Prona ... 50
2.2.5. Pendaftaran Tanah... 59
2.2.5.1. Dasar Pendaftaran Tanah... 59
2.2.5.2. Pengertian Pendaftaran Tanah ... 60
2.2.5.3. Azas Pendaftaran Tanah ... 61
2.2.5.4. Tujuan Pendaftaran Tanah ... 62
2.2.5.5. Obyek Pendaftarn Tanah ... 63
2.2.5.6. Penyelenggaraan Pelaksanaan Pendaftarn Tanah ... 63
2.2.5.7. Pelaksanaan Pendaftaran tanah ... 65
4.1.2. Kantor BPN Mojokerto ... 84
4.1.3. Visi, Misi BPN Kota Mojokerto ... 86
4.1.4. Struktur Organisasi ... 88
4.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi ... 89
4.1.6. Karakteristik Pegawai BPN Kota Mojokerto ... 93
4.1.7 Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) ... 98
4.1.8 Pelaksanaan PRONA di Kelurahan Pulorejo ... 101
4.2. Hasil Penelitian ... 106
4.2.1 Prosedur ... 106
4.2.2 Persyaratan Administrasi ... 111
4.2.3 Biaya Pelaksanaan PRONA ... 115
4.3. Pembahasan ... 119
4.3.1. Prosedur ... 119
4.3.2 Persyaratan Administrasi ... 123
4.3.3 Biaya PelaksanaanPRONA ... 125
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 128
5.2. Saran ... 129
Tabel 1.3 Jumlah tanah yang sudah bersertifikat dan yang belum bersertifikat di Kelurahan Pulorejo ... 12
Tabel 4.1 Karakteristik Pegawai BPN Kota Mojokerto Berdasarkan jenis Kelamin ... 91
Tabel 4.2 Karakteristik Pegawai BPN Kota Mojokerto Berdasarkan Pendidikan ... 92
Tabel 4.3 Karakteristik Pegawai BPN Kota Mojokerto Berdasarkan Pangkat/ Golongan ... 93
Tabel 4.4 Karakteristik Pegawai BPN Kota Mojokerto Berdasarkan jenis pekerjaan ... 95
Gambar 3 Analisis Data ... 78
Lampiran 2 :Matriks Reduksi Data
Lampiran 3 : Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 4 : Dokumen Foto
Lampiran 5 : Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Lampiran 6 : Keputusan Menteri Dalam Negeri No 189 Tahun 1981
Lampiran 7: PerKBPN RI No 1 Tahun 2010
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menggambarkan secara mendalam obyek penelitian dari fakta – fakta yang ada. Berdasarkan fenomena tersebut permasalah yang di dapat adalah masalah biaya yang ditetapkan pihak Kelurahan untuk memenuhi kelengkapan berkas memberatkan masyarakat. Sehingga perumusan masalah dari masalah tersebut adalah : “Bagaimana implementasi PRONA di Kelurahan Pulorejo, Mojokerto”. Dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Implementasi PRONA di Kelurahan Pulorejo, Mojokerto.
Pelaksanaan PRONA diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No 189 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan PRONA, pelaksanaan PRONA merupakan pensertifikatan tanah secara masal dan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pulorejo Mojokerto, karena tempat tersebut yang menjadi obyek pelaksanaan PRONA. Dengan fokus penelitian ini adalah : 1. Prosedur pelaksanaan PRONA, 2. Persyaratan administrasi pelaksanaan PRONA, 3. Biaya pelaksanaan PRONA.
Informan dan responden dalam penelitian ini adalah Kepala seksi pengaturan dan penataan pertaahan Kota Mojokerto selaku koordinator dan penanggung jawab dalam pelaksanaan PRONA, pelaksana kegiatan yaitu staf Kantor BPN dan staf Kantor Kelurahan Pulorejo serta masyarakat peserta PRONA.
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang dan
membangun, memiliki susunan perekonomian dan corak kehidupan rakyat
yang masih bersifat agraris. Fungsi tanah sebagai faktor produksi utama,
memegang peranan penting dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan
taraf kehidupan rakyat.
Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang
bersifat abadi, dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat indonesia.
Tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia,
karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga
keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaturan dan
pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban
hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa, dan konflik
pertanahan yang timbul.
Dengan begitu kebijakan nasional di bidang pertanahan perlu
disusun dengan memperhatikan apirasi dan peran serta masyarakat guna dapat
2.1. Penelitian Ter dahulu
1. Ayu Wulandari, 2003 Dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi
Kebijakan IMB di kota Surabaya”. Penelitian ini merupakan deskriptif
kualitatif focus penelitian adalah Implementasi kebijakan Perda No.7
Tahun 1992 tentang IMB kota Surabaya. Teknik pengumpulan datanya
adalah accidental sampling, sedangkan pengumpulan datanya adalah
menggunakan teknik berstruktur dan teknik wawancara mendalam(indepth
interview) yang diajukan kepada para calon pengurus IMB. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan di kota Surabaya sangat
berpengaruh kepada tatanan dan wajah kota mendatang. Sehungga perlu
adanya peningkatan kegiatan pemerintah daerah untuk mengatur dan
menata bangunan maka untuk mencapai maksud tersebut Pemerintah
Daerah Kotamadya Surabaya dengan persetujuan DPRD Kotamadya
Surabaya dituangkan dalam Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya
No.7 Tahun 1992 tentang IMB.
2. Kukuh Aprianto, 2007 dalam penelitiannnya yang berjudul Komparasi
pelayanan pengurusan sertifikat tanah antara hak milik dengan hak guna
bangunan di kantor badan pertanahan nasional kabupaten Sidoarjo.
karena itu penelitian ini mengoperasikan 1 variabel dengan 2 sample,
yakni variabel pelayanan pengurusan sertifikat tanah dan sampelnya
adalah sertifikat ahak milik dengan sertifikat hak guna bangunan.
Indikatorvariabel pelayanan publik adalah sesuai dengan standart
pelayanan menurut SK MENPAN NO 63/kep/M.PAN/2003. Dalam
penelitian ini hipotesa yang diajukan adalah diduga terdapat perbedaan
pelayanan paengursan sertifikat tanah antara hak milik dengan hak guna
bangunan di kantor Badan Pertnahan Nasional Kabupaten Sidoarjo
terbukti kebenarannya. Sehingga diharapkan pihak kantor Badan
Pertanahan Kanbupaten Sidoarjo harus lebih bersifat transparasi di dalam
proses pengurusan sertifikat tanah terutama syarat – syarat pengurusan,
prosedur pengurusan serta biaya pengurusan sertifikat.
3. Fia Arin Setyoningsih, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas
pembangunan nasional “veteran” jawa timur. Dengan judul implementasi
kebijakana Perda No 25 tahun 2001 tentang IMB ( Ijin Mendirikan
Bangunan). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakana Perda No 25
tahun 2001 tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), diharapkan agar
masyarakat dapat mengetahui dan mengerti akan kebijakaan peraturan
daerah karena dapat memperlancar masalah – masalah khususnya yang
berkaitan langsung dengan IMB. Fokus dalam penelitaian adalah
Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut terdapat persamaan dan juga
perbedaan. Persamaan dari penelitian pertama adalah sama-sama
menggunakan metode deskriptif kualitatif, pengumpulan data sama-sama
dengan wawancara secara mendalam kepada sasaran. Penelitian kedua
sama-sama membahas tentang pengurusan sertifikat tanah. Pada penelitian ketiga
sama-sama membahas tentang Implementasi Kebijakan dari Pemerintah.
Perbedaan dari ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah
terletak pada sudut pandang peneliti, ruang lingkup yang menjadi obyek
peneliti serta pengguna metode penelitian antara penelitianpertama, kedua,
dan ketiga.
2.2. Landasan Teor i
Tujuan landasan teori ini adalah untuk memberikan suatu landasan
berfikir pada penulis dalam usahanya unuk mencari kebenaran yang berkaitan
dengan masalah yang akan dibahas, dimana hasilnya belum mampu dijadikan
sebagai pegangan dalam hubungannya dengan masalah yang dihadapi.
2.2.1. Kebijakan Publik
2.2.4.1.Penger tian Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik dalam literatur ilmu politik. Misalnya
Thomas Dye dalam Analisis Kebijakan Publik (2005 :2) mendefinisikan
kebijakn publik mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut
publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan
oleh badan pemerintah.
Anderson dalam Islamy (2004:19) mendefinisikan kebijan publik
sebagai berikut : “publik policies are those policies developed by
gevermental bodies and official”. (kebijakan publik adalah kebijakan
yang dikembangkan oleh badan – badan dan pejabat – pejabat
pemerintah).
Dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah:
a. Bahwa kebijakan Negara itu harus mempunyai tujuan tertentu
atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
b. Bahwa kebijakan Negara itu berisi tindakan atau pola pejabat
pemerintah.
c. Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar – benar dilakukan
oleh pemerintah.
d. Bahwa kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah
tertentu atau bersifat negatif.
e. Bahwa kebijakan pemerintah setidak- tidaknya dalam arti yang
positif atau selalu didasarkan pada peraturan perundang –
undangan dan bersifat memaksa.
Definisi yang dikemukakan oleh Anderson diatas menganggap
atau pemerintah. Sejalan dengan pemikian diatas, Dye dalam
Alisahbana (2004:2) mengemukakan juga bahwa kebijakan publik
adalah :
“whatever government choose to door not to do” ( segala sesuatu
atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan). Apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu
tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan dan kebijakan
publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya
keinginan pejabat pemerintah saja.
Menurut Edi Suharto,PhD (2007 : 5) mengatakan kebijakan publik
adalah seperangkat tindakan pemerintah yang di desain untuk mencapai
hasil –hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen
pemerintah.
Ciri – ciri kebijakan publik menurut Wahab (2002:6) yaitu :
a. Merupakan rangkaian keputusan publik.
b. Melibatkan seorang aktor politik dan atau sekelompok lain.
c. Sebagai proses pemilihan tujuan dan sarana untuk mencapainya.
d. Berlangsung dalam situasi tertentu.
e. Ada dalam lingkup atau batas – batas kekuasaan para aktor.
Berdasarkan pengertian – pengertian di atas bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil
oleh seorang aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih
suatu pemerintah dengan lingkungannya dan apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
2.2.4.2.Sifat k ebijakan publik
Winarno (2002 : 19) sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat
dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci beberapa kategori
sebagai berikut :
A. Tuntutan – tuntutan kebijakan
Adalah tuntutan – tuntutan yang dibuat oleh aktor swasta atau
pemerintah, ditujukan kepada pejabat – pejabat pemerintah dalam
suatu sistem politik.
B. Keputusan kebijakan
Adalah keputusan – keputusan yang dibuat oleh pejabat
pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi
kepada tindakan – tindakan kebijakan publik.
C. Pernyataan –pernyataan kebijakan
Adalah pernyataan– pernyataan resmi atau artikulasi – artikulasi
(penjelasan) kebijakan publik.
D. Hasil – hasil kebijakan
Adalah manifestasi nyata dari kebijakan–kebijakan publik hal–hal
yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan–keputusan dan
pernyataan-pernyataan kebijakan.
Adalah akibat – akibatnya bagi masyarakat baik yang diinginkan
atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya
tindakan dari pemerintah.
2.2.4.3.Bentuk bentuk kebijakan publik
Bentuk – bentukkebijakan publik dapat dikelompokan menjadi tiga,
yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro, umum atau mendasar.
Kebijakan ini berbentuk peraturan perundang – undangan yang
mencakup Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, undang – undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Daerah.
2. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah atau penjelas
pelaksana.
Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat edaran menteri,
peraturan gubernur, peraturan bupati, dan walikota. Kebijakannya dapat
pula berupa surat keputusan bersama SKB antar menteri gubernur,
bupati atau walikota.
3. Kebijakn publik yang bersifata mikro.
Adalah kebijakan yang mengtur pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik di bawah mentri, gubernur, bupati dan
2.2.4.4.Tahap – tahap kebijakan publik
Winarno (2002 : 28) proses pebuatan kebijakan merupakan proses
yang komplek karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang
harus dikaji. Oleh karena itu kebijakan publik membagi proses – proses
penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap – tahap
kebijakan publik sebagai berikut :
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik.sebelumnya masalah – masalah ini
berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda
kebijakan.
2. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian di
bahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah – masalah tadi di
definisikan untuk kemudian dicari masalah terbaik.
3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh
para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan - catatan
elit jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh sebab
itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif
pemecahan masalah harus di implementasikan
5. Tahap penilaian kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dibuat
telah mampu memecahkan masalah
2.2.4.5.Tipe – tipe model kebijakan
Menurut Gaas dan Sisson dalam alisjahbana (2004:15),
menjelaskan model kebijakan (policy models) sebagai representasi
sederhana mengenai aspek – espek yang terpilih dari suatu kondisi
masalah yang disusun untuk tujuan tertentu. Model kebijakan dapat
digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan, dan
mempredikskan elemen–elemen suatu kondisi masalah melainkan juga
untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan
untuk memecahkan masalah – masalah tertentu. Tipe – tipe model
kebijakan antar lain :
1. Model deskriptif
Model – model kebijakan dapat dibandingkan dan dikontraskan
dari berbagai dimensi, yang paling penting diantaranya adalah
metodologis dan model. Dan kebijaksanaan yang dikenal saat
iniadalah model deskriptif dan model normatif. Tujuan model
deskriptif adalah menjelaskan sebab- sebab dan konsekuensi dari
pilihan – pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk
memantau hasil – hasil dari aksi – aksi kebijakan.
2. Model normatif
Tujuan model normatif selain menjelaskan dan atau memprediksi
juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan
beberapa utilitas (nilai). Jenis model normatif yang membantu
menemtukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model
antri), waktu pelayanan yang optimum (model penggantian)
pengaturan volume dan waktu yang optimum (model inventaris)
dan keuntungan yang optimum pada investasi publik (model
biaya dan manfaat) masalah – masalah keputusan normatif
biasanya dalam bentuk mencari nilai nilai variabel yang
terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang
terbesar (nilai) sebagai mana terukur dalam variabel keluaran.
3. Model verbal
Model – model normatif dan deskriptif dapat di ekspresikan di
dalam tiga bentuk utama yaitu : verbal, simbol dan prosedural.
Model verbal dapat di ekspresikan dalam bahasa sehari – sehari,
tidak menggunakan bahasa logika simbolis dan matematis, tetapi
menggunakan model verba, analis bersandar pada penilaian nalar
untuk memprediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian
nalar menghasilkan argumen kebijakan. Model verbal secara
relatif mudah dikomunikasikan para ahli dan orang awam dengan
biaya yang murah.
4. Model simbolis
Model simbolis menggunakan simbol – simbol matematis untuk
menerangkan hubungan diantara variabel – variabel kunci yang
dipercaya mencari suatu masalah. Prediksi atau solusi yang
optimal diperoleh dari model – model simbolis dengan meminjam
metode – metode matematika, statistk,dan logika. Model simbolis
sulit dikomunikasikan diantara orang awam, termasuk pembuat
kebijakan, dan bahkan diantara para ahli pembuat model sering
terjadi kesalah pahaman tentang elemen – elemen dasar dari
model.
5. Model prosedural
Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis diantara
variabel – variabel yang menjadi ciri suatu masalah kebijakan.
Prediksi – prediksi dan solusi – solusi yang optimal diperoleh
dengan menstimulasi dan meneliti seperangkat hubungan yang
mungkin. Ada perbedaan utama antara model simbolis dan
prosedural, yakni bahwa model simbolis menggunakan data
kebijakandan hasil, sedangkan model prosedural mengasumsikan
(mensimulaksikan) hubungan diantara variabel – variabel
tersebut. Salah satu bentuk model prosedural yang paling
sederhana adalah pohon keputusan, yang dibuat dengan
memproyeksikan keputusan – keputusan kebijakan dan
konsekuensi - konsekuensinya yang mungkin pada masa
mendatang. Pohon keputusan berguna untuk membandingkan
perkiraan subyektif atas konsekuensi dari bermacam – macam
pilihan kebijakan.
2.2.2. Implementasi Kebijakan
2.2.2.1. Penger tian Implementasi Kebijakan
Webster dalam Wahab (2004 : 64 ) menyatakan bahwa
implementasi kebijakan adalah suatu proses melakukan kebijaksanaan.
Pressman dan Wildavsky dalam Tangkilisan (2003 : 17)
mengtakan bahwa Implementasi kebijakan diartikan sebagai interaksi
antara penyusunan tujuan dan sarana – sarana tindakan dalam mencapai
tujuan tersebut atau kemampuan untuk menghubungkan antara yang
diinginkan dengan cara untuk mencapainya.
Meter dan Horn dalam Winarno (2005 : 102) membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan oleh
individu – individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan
Jadi dapat disimpulkan implementasi kebijakan adalah Proses
melaksanakan keputusan kebijakan yang telah dittapkan tujuannya.
2.2.2.2. Model- model Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model
implementasi yang dikenal. Model ini berguna untuk menyederhanakan
sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.
Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 71) mengemukakan
model “Top Down Approach”. Menurut Hogwooddan Gunn untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect
implementasion), ada 10 (sepuluh) persyaratan yaitu:
a) Untuk melaksanakan program tersedia waktu dan sumber – sumber
yang cukup memadai.
b) Perpaduan sumber- sumber yang diperlukan benar – benar tersedia.
c) Kebijaksanaan yang akan diiplementasikan disadari oleh suatu
hubungan kausalitas yang handal.
d) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit rantai
penghubungnya.
e) Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
f) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
g) Tugas – tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
h) Komunikasi dan koordinat yang sempurna.
i) Pihak – pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan
j) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan /instansi pelaksana
tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
Sedangkan Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004 :
81) menawarkan suatu model dasar dalam implementasi kebijakan
yang disebut A Frame Work For Implementasion Analysis
(Kerangka Analisis Implementasi). Dimana analisis implementasi
kebijaksanaan Negara mengidentasikan variabel – variabel
yangmempengaruhinya tercapainya tujuan – tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi.
Variabel – variabel tersebut diklasifikasikan menjadi tiga kategori
besa,yaitu:
1) Mudah tidaknya masalah yang akan dikerjakan
dikendalikan.
2) Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstruktur
secara tepat proses implementasinya.
3) Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap
keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat yang
dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
Gambaran mengenai kerangka konseptual implementasi kebijaksanaan
Gambar 1
Var iabel – var iabel Implementasi Kebijaksanaan
Sumber :
Sumber : Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004:82)
A. M udah/ t idaknya masalah dikendalikan • Kesukaran – kesukaran t eknis
• Keragaman perilaku kelompok sasaran
• Prosent ase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk
• Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
B. Kemampuan kebijaksanaan unt uk menst rukt ur proses implement asi
• Kejelasan dan konsent rasi t ujuan • Digunakannya t eori kausal yang
memadai
• Ket epat an alokasi sumber dana • Ket erpaduan hirarki dalam dan
diant ara lembaga pelaksana • At uran - at uran keput usan dari
badan pelaksana
• Rekruit men pejabat pelaksana • Akses formal pihak luar
C. Variabel diluar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implement asi
• Kondisi sosio-ekonomi dan t eknologi
• Dukungan publik
• Sikap dan sumber – sumberyang dimiliki kelompok – kelopok • Dukungan dari pejabat at asan • Komit men dan kemampuan
kepemimpinan pejabat - pejabat pelaksana
D. Tahap – t ahap dalam proses implement asi (variabel t ergant ung)
Variabel variabel yang mempengaruhi proses implementasi
kebijaksanaan tersebut dijelaskan sebagai berikut :
A. Mudah atau tidaknya masalah dikendalikan
Terlepas dari kenyataan bahwa banyak kesukarandalam implementasi
program, sebenarnya ada sejumlah masalah sosial yang jauh lebih mudah
untuk ditangani bila dinbandingkan dengan masalah lainnya. Kategori ini
terdiri dari :
1). Kesukaran- kesukaran teknis
Tercapai atau tidaknya tujuan program tergantung pada persyaratan
teknis,termasuk kemampuan mengembangkan indikator pengukur
prestasi kerja yang tidak mahal serta pemahaman mengenai prinsip
hubungan kausal yang mempengaruhi masalah.
2). Keragaman perilaku kelompok sasaran
Semakin beragam perilaku yang diatur atau semakin beragam
pelayanan yang diberikan,semakin sulit upaya membuat peraturan
yang tegas dan jelas, sehingga semakin besar kebebasan bertindak
yang harus diberikan kepada para pejabat dilapangan,pemberian
kebebasan bertindak kemungkinan akan menimbulkan perbedaan
yang cukup mendasar dalam tingkat keberhasilan pelaksanaan
program.
3). Prosentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran.
Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya
dukungan politik terhadap program sehingga akan lebih terbuka
peluang bagi pencapaian tujuan.
4).Tingkat ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.
Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki, semakin
sukar memperoleh implementasi yang berhasil.
Suatu permasalahan sosial akan lebih dapat dikembalikan apabila:
1) Tersedia teori yang handal yang mampu menjelaskan hubungan
antara perubahan perilaku dan pemecahan masalah, persyaratan
tekhnologinya terpenuhi, dan tindakan/langkah yang dimaksud
untuk mengatasi masalah tersebut tidak mahal.
2) Variabel/perbedaan perilaku yang menyebabkan timbulnya
masalah relatif kecil
3) Kelompok sasaran tersebut merupakan sebagaian kecil dari
totalitas penduduk suatu wilayah.
4) Tingkat dan Ruang Lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
sedang.
B. Kemampuan kebijaksanaan untuk menstruktur proses implementasi
Kebijaksanaan dapat menstruktur proses implementasi dengan
cara menjabarkan tujuan formal yang akan dicapainya, menseleksi lembaga
yang tepat untuk mengimplementasikannya, memberikan kewenangan dan
Kategori ini terdiri dari :
1) Kecenderungan dan kejelasan perjenjangan tujuan resmi yang akan
dicapai.
Semakin mampu peraturan memberi petunjuk yang cermat dan
disusun menurut kepetingannya maka semakin besar kemungkinan
output kebijaksanaan badan pelaksana dan pada gilirannya perilaku
kelompok sasaran akan sejalan petunjuk tersebut.
2) Keterandalan teori kausalitas yang digunakan
Setiap usaha pembaharuan setidaknya secara emplisit teori kausal
yang menjelaskan bagaimana tujuan pembaharuan itu dicapai.
Teorikausal yang baik mensyaratkan : Hubungan timabal balik antara
campur tangan pemerintah disatu pihak dan tercapainya tujuan
program dipahami dengan jelas, pejabat yang bertangggung jawab
mengimplementasikan mempunyai kewenangan yang cukup.
3) Ketepatan alokasi sumber – sumber dana
Dana merupakan faktor penentu dalam suatu program, tersedianya
dana juga diperlukan untuk mencapai tujuan.
4) Keterpaduan hirarki didalam lingkunagan dan diantara lembaga –
lembaga/instansi-instansi pelaksana
Tingkat kepaduan hirarki diantara badan pelaksana dipengaruhi oleh :
pihak yang akan membatalkan keputusan dalam usaha pencapaian
tujuan. Pengaruh dan wewenang pendukung pencapaian tujuan dalam
5) Aturan – aturan pembuatan keputusan-keputusan di badan – badan
pelaksana
Suatu kebijaksanaan dapat mempengaruhi implementasi dengan
menggariskan aturan – aturan pembuatan keputusan dari badan
pelaksana. Selain itu diatur bahwa suara mayoritas diperlukan untuk
mengambil tindakan – tindakan khusus apbila yang terlihat adalah
keanggotaanya beranekaragam.
6) Kesempatan para pejabat terhadap tujuan yang termasuk dalam
undang – undang/peraturan.
Upaya pencapaiann tujuan tidak akan membawa hasil kecuali kalau
para pejabat dalam badan pelaksana memiliki komitmen yang tinggi
terhadap upaya pencapaian tujuan.
7) Akses formal pihak – pihak luar
Implementasi juga dipengaruhi peluang untuk berpartisipasi bagi para
aktor diluar badan pelaksana. Kebijaksanaan selain mempengaruhi
implementasi melalui pilihan badan pelaksana yang tepat juga
mempengaruhi partisipasi dua kelompok diluar badan pelaksansa
yaitu : kelompok sasaran program dan atasan dari badan pelaksana.
C. Variabel diluar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi
Implementasi didorong oleh sekurang-kurangnya dua proses penting yaitu :
kebutuhan setiap programyang berusaha untuk mengubah perilaku, mengatasi
sejumlah besar orang, dan dampak perubahan keadaan sosial- ekonomi dan
teknologis pada pendukung tujuan kebijaksanaan. Kategori ini terdiri dari :
1)Kondisi – kondisi sosio ekonomi dan teknologi.
Pebedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah hukum
pemerintahan dalam kondisi sosial ekonomi dan teknologi
berpengaruh pada pencapaian tujuan.
2)Dukungan politik.
Untuk keberhasilan implementasi diperlukan dukungan publik yakni
bisa melalui pendapat umum, opini masyarakat atas isu-isu yang
dianggap menonjol maupun pemungutan suara
3)Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.
Dilema yang dihadapi oleh para penganjur program yang berusaha
untuk mengubah perilaku dari satu atau lebih kelompok sasaran ialah
bahwa derajat dukungan publik atas program tersebut berbeda – beda
dari waktu ke waktu.
4)Dukuangan dari badan/lembaga atasan yang berwenang.
Lembaga atasan dari badan pelaksana dapat memberikan dukungan
tehadap tujuan melalui jumlah dan arah pengawasan, penyediaan
suber – sumber keuangan, banyaknya tugas- tugas baru dan saling
bertentangan diantara tugas – tugas tersebut.
5)Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
Variabel yang berpengaruh langsung terhadap output kebijakan
terhadap upaya mewujudkan tujuan kebijakan, yang terdiri dari dua
komponen yaitu arah dan ranking tujuan tersebut dalam skala
prioritas pejabat tersebut dan kemampuan pejabat dalam mewujudkan
prioritas- prioritas tersebut.
2.2.2.3. Faktor – faktor yang mempengar uhi implementasi kebijakan
Islamy (2007 : 107) menjelaskan bahwa suatu kebijaksanaan negara
akan menjadi efektif bila dilaksanakandan mempunyai dampak positif bagi
anggota – anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan
manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa
yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian apabila
mereka tidak bertindak atau berbuat sesuai dengan keinginan
pemerintah/negara itu,maka kebijaksanaan negara menjadi efektif
Secara jujur kita akan mengatakan bahwa kebijaksanaan negara
apapun sebenarnya mendukung resiko untuk gagal. Hogwood dan Gunn
dalam Wahab (2004: 61) telah membagi pengertian kegagalan
kebijaksanaan (policy failure) dalam dua kategori besa yaitu Non
Implementation ( tidak implementasi ) dan Unseccesful Implementation (
implementasi tidak berhasil)
Tidak terimplementasi mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan
tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak- pihak
yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama atau mereka
telah bekerja tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu
kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba –
tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasan, bencana alam dansebagainya),
kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau
hasil akhir yang dikehendaki.
2.2.2.4. Sumber - sumber implementa si kebijakan
Winarno ( 2002 : 132 ) perintah perintah implementasian mungkin
diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana
kekurangan sumber – sumber yang diperlukan umtuk melaksanakan
kebijakan – kebijakan maka implementasi ini cenderung tidak efektif.
Dengan demikian sumber – sumber dapat merupakan faktor yang penting
dalam melaksakan kebijakan publik. Sumber – sumber yang penting
meliputi :
a)Staf
Sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah
staf. Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak
selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini
berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis
mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah
atau staf, namun di sisi yang lain kekurngan staf juga akan
kebijakan pegawai pemerintah atau staf, namun di sisi yang lain
kekurngan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik
menyangut implementasi kebijakan ang efektif.
b)Informasi
Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam
implementasi kebijakan. Informasi mengenai program – program
adalah penting terutama bagi kebijakan- kebijakan yang melibatkan
persoalan – persoalan teknis.
c)Wewenang
Sumber lain yang penting dalam pelaksanaan adalah wewenang.
Wewenang ini akan berbeda – beda dari satu program ke program
yang lain, serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda.
d)Fasilitas – fasilitas
Fasilitas fisik mungkin pula merupakan sumber – sumber yang
penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin
mempunyaialatyang memadai, mungkinmemahami apa yang harus
dilakukan,dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan
koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan maka besar
2.2.2.5. Keber hasilan dan kegagalan Implementa si Kebijakan
Keberhasilan dan kegagalan implementasi dapat dilihat dari
terjadinya kesesuaian antara pelaksanaan dengan disiplin, tujuandan
sasaran itu sendiri.
a) Keberhasilan implementasi kebijakan
Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003 : 21) menyatakan
keberhasilan implementasi kebijakan program dapat ditinjau dari tiga
faktor:
1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan
aparatur pelaksana.
2. Keberhasilan implementasidiukur dari kelancaran rutinitas dan
tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang
memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat
yang diharapkan.
b) Kegagalan implementasi kebijakan
Peters dalam Tangkilisan (2003 : 22) mengatakan implementasi
kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu:
1. Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya
gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan
maupun kepada para pelaksana dari kebjakan yang akan
2. Isi kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi
atau kebijakan atau ketidaktepatan dan ketidaktegasan intern
maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya
kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang
menyangkut sumber daya pembantu.
3. Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila
pelaksananya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
4. Pembagian Potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor
implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam
kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
2.2.2.6. Pr ospek untuk memper baiki Implementasi
Pelaksanaan kebijakan selama ini telah diidentifikasi bahwa
banyak masalah yang timbul. Proses pelaksanaan kebijakan merupakan
proses yang rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut disebabkan banyak
faktor, baik menyangkut karakteristik program kebijakan yang di jalankan
maupun oleh aktor yang terlihat dalam implementasi kebijakan. ( Winarno,
2002 : 161)
Kebijakan apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 61) membagi pengertian
(tidak terimplementasi) danunsuccesfull implementation (implementasi
yang tidak berhasil)
Islamy (2003: 108) menjelaskan bahwa kebijakan akan menjadi
efektif bila dilaksanakan dan berdampak positif bagi anggota masyarakat.
Selain itu untuk mencapai efektifitas pelaksanaan kebijaksanaan proses
komunikasi harus baik yaitu menyebarluaskan kebijaksanaan kepada
anggota masyarakat.
2.2.3. Pr oyek Oper asi Nasional Agr ar ia (PRONA)
2.2.4.1. Pr oyek Oper asi Nasional Agr ar ia (PRONA)
Pelaksnaana prona dilakukan secara terpadu dan
diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat golongan ekonomi
lemah yang berada di wilayah desa. Kebijakan ini dimaksudkan agara
masyarakat golongan ekonomi lemah dapat memiliki sertifikat hak
milik atas tanah dengan biaya yang lebih murah. Tujuan pelaksanaan
program ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
kepada para pemegang hak atas tanah.
Pelaksanaan Prona merupakan suatu usaha untuk memberikan
rangsangan dan partisipasi kepada pemegang hak atas tanah agar mau
melakukan sertifikat atas tanahnya dan berusaha membantu
menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis dengan
Tujuan pelaksanaan Prona sesuai dengan tujuan Catur Tertib
Pertanahan,yaitu :
1. Tertib hukum pertanahan
Bertujuan agar setiap tanah mempunyai sertifikat,
sehingga tanah tersebut mempunyai kepastian hukum maupun
hak yang kuat. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa
peraturan hukum pertanahan sudah dilaksanakan dengan baik.
Dengan adanya sertifikat tanah, diharapkan sengketa – sengketa
pertnahan dapat terhindari.
2. Tertib administrasi Pertanahan
Adalah bertujuan untuk peningkatan mutu Kantor
Pertanahan kepada masyarakat dengan cara yang cepat, mudah
dan biaya murah bagi pemohon hak atas tanah.
Adapun maksud dari cepat, mudah dan biaya murah,
adalah :
a) Cepat, bahwa pelaksnaannya sudah diprogramkan dan harus
cepat selesai tepat waktunya, sesuai jadwal waktu yang telah
ditetapkan.
b) Mudah, dimana petugas pelaksana aktif di lokasi yang telah
di tentukan, sehingga pemohon tidak harus datang ke Kantor
Pertanahan setempat. Proses permohonan hak atas tanah itu
c) Murah. Dimana biaya yang dibebankan kepad pemohon hak
atas tanah relatif murah dan dapat juga di jangkau oleh
masyaraakat.
Dengan adanya Prona yang dilaksanakan denan biaya yang
murah, cepat dan mudah tersebut, diharapkan membawa
manfaat bagi masyaraakat, khususnya masyarakat golongan
ekonomi lemah.
3. Tertib penggunaan tanah
Bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat
akan arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana,
sehingga dapat di peroleh pemanfaatan tanah secara optimal,
berkesinambungan antara berbagai keperluan dan bersifat
selamanya.
4. Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup
Dewasa ini banyak terjadi orang atau badan hukum yang
menguasai tanah tanpa berusaha untuk mencegah terjadinya
kerusakan. Padahal dalam pasal 15 peraturan dasar Pokok –
Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan secara tegas bahwa
memelihara kesuburan, mencegah kerusakan merupakan
kewajiban setiap orang atau badan hukum, instansi yang
mempunyai hubungan dengan tanah itu, serta memperhatikan
Hal ini mempunyai tujuan untuk mencegah agar terjadinya
kerusakan tanah dan lingkungan hidup
2.2.4.2. Latar Belakang Pelaksanaan Pr ona
Dalam petunjuk pelaksanaan Prona, dijelaskan tujuan Prona
adalah sebagai berikut :
1. Memberikan rangsangan kepada masyarakat khususnya pemegang
hak atas tanah, untuk bersedia membuatkan sertifikat atas hak yang
dimilikinya tersebut.
2. Menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang
pertanahan.
3. Membantu pemerintah dalam hal menciptakan suatu suasana
kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram.
4. Menumbuhkan partisipasi masyarakat, khususnya pemilik tanah
dalam menciptakan stabilitas politik serta pembangunan di bidang
ekonomi.
5. Menumbuhkan rasa kebersamaan dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan.
6. Memberikan kepastian hukum pada pemegang hak atas tanah.
7. Membiasakan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk memiliki
alat bukti yang otentik atas tanahnya trsebut.
Proses untuk mendapatkan sertifikat tersebut tidak akan
2.2.4.3. Syar at Pelaksanaan Prona
Lokasi pelaksanaan PRONA di setiap wilayah mempunyai
ketentuan yang berbeda-beda hal ini disebabkan karena setiap daerah
atau wilayah mempunyai perbedaan faktor pendukung. Di bawah ini
akan disebutkan syarat-syarat pelaksanaan PRONA, dimana syarat ini
tidak harus dipenuhi semua melainkan boleh salah satunya yaitu :
a) Subyek peserta prona harus pemilik /pihak yang menguasai tanah
perseorangan dari golongan ekonomi lemah. Kriteria ini
ditentukan oleh panitia yang didalamnya termasuk Camat dan
Kepala Desa / Lurah setempat.
b) Tanah yang dapat menjadi subyek Prona adalah tanah pertanian
yang tidak lebih dari 2 (dua) hektar.
c) Untuk tanah non pertanian, luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua
ribu meter persegi).
d) Letak bidang tanah yang belum terdaftar tersebut tidak
berpencar-pencar dalam arti mengelompok.
e) Persentase tinggi tanah yang dicakup oleh peta dasar, berbentuk
peta foto atau peta garis.
2.2.4.4. Sasaran Pelaksanaan Prona
Sasaran Pelaksanaan Prona adalah pelaksanaan sertifikat tanah
bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah yang
miskin kota, pertanian subur atau berkembang atau daerah
pengembangan ekonomi rakyat.
Dalam pelaksanaan PRONA semua warga negara Indonesia /
pemegang hak atas tanah berhak untuk menjadi peserta Prona, namun
tidak semua warga negara Indonesia akan menjadi peserta Prona.
Maka dari itu dalam menentukan peserta Prona secara teknis diadakan
penggolongan. Penggolongan ini dimaksudkan untuk melindungi
golongan ekonomi pada tiga golongan yaitu :
a) Golongan ekonomi lemah
Hal ini dimaksudkan karena melalui pensertifikatan tanah ini
dapat memberikan keringanan karena tanpa dipungut
pembayaran kepada kas Negara.
b) Golongan menengah
Dengan berlakunya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
266 Tahun 1981 Tentang Beberapa Pungutan Biaya Dalam
Rangka Pemberian Sertifikat Hak Atas Tanah, maka golongan
menengah dimasukkan menjadi obyek Prona.
c) Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga
Pendidikan.
Sasaran dari pelaksanaan Prona :
a. Subyek Prona adalah pemilik tanah perseorangan yang
termasuk golongan ekonomi lemah dan masih mampu
b. Obyek Prona adalah pendaftaran tanah pertama kali
terhadap bidang – bidang tanah yang belum teradftar.
c. Obyek Prona adalah tanah pertanian yang luasnya
kurang dari 2 ha, atau tanah non pertanian yang luasnya
kurang dari 2000 m².
Dengan demikian sasaran Prona yang utama adalah masyarakat
yang tergolong ekonomi lemah yang mempunyai hakmilik atas tanah.
2.2.4.5. Biaya Pelaksanaan Prona
Biaya yang terkait dengan Prona terdiri dari proses penetapan
hak / penerbitan sertifikat, pembayaran Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Pengalihan Tanah dan/ atau Bangunan (Pph), sebagai
berikut :
a) Penetapan Hak/ Penerbitan Sertifikat
Peserta Prona tidak dibebani kewajiban pembayaran semua
biaya pelayanan pertanahan sebagaimana yang dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif Pelayanan
Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Biaya tersebut
seluruhnya dibebankan pada pemerintah melalui APBN sesuai dengan
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran BPN-RI Tahun 2007 pada Kantor
b) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dikenakan BPHTB
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
BPHTB jo. No. 20 Tahun 2000. Sedangkan objek pajak yang tidak
kena BPHTB adalah obyek yang diperoleh dari orang pribadi karena
konversi / pengakuan hak, orang pribadi karena perbuatan hukum
dengan tidak adanya perubahan nama, karena wakaf, orang pribadi
untuk dipergunakan bagi kepentingan ibadah dan orang pribadi karena
pemberian hak atas tanah negara yang Nilai Perolehan Obyek Pajak
Tidak Kena Pajak (NJOP) yang ditetapkan secara regional paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) atau karena waris
atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat
termasuk suami / istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOP) ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 jo. No.20 Tahun 2000.
2.2.4.6. Pr osedur Pelak sanaan Prona
Prona dilaksanakan melalui dua pendekatan prosedur
pensertifikatan tanah pertama kali, yaitu :
a) Prosedur pendaftaran tanah secara sporadik, apabila letak
b) Prosedur pendaftaran tanah secara sistematik, apabila letak
tanah obyek Prona mengelompok minimal (minimal 10
(sepuluh) bidang tanah untuk lokasi tanah di luar pulau jawa
atau 25 bidang tanah untuk lokasi Prona di Pulau Jawa)
dalam lokasi yang ditetapkan.
Adapun proses penerbitan sertifikatnya dilakukan melalui :
1) Bagi tanah milik adat yang bukti penguasaan atau pemilikan
tanahnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997, pendaftaran
tanahnya dilakukan melalui proses konversi atau pengakuan
hak.
2) Bagi tanah negara penetapan hak atas tanahnya dilakukan
melaui proses pemberian hak atas tanah.
3) Bagi tanah diterbitkan sertifikat tanah wakaf atas nama
nadzir.
2.2.4.7. Pelaksanaan Pr ona
Kegiatan dalam pelaksanaan Prona antara lain :
a) Penyuluhan
Penyuluhan diselenggarakan di wilayah yang menjadi obyek
Prona. Penyuluhan ini dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
kecamatan maupun aparat desa/ kelurahan serta mengikutsertakan
tokoh masyarakat wilayah yang bersangkutan.
Menurut Pasal 56 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, hal- hal yang
disampaikan dalam penyuluhan tersebut meliputi kewajiban dan
tangung jawab pemegang hak atas tanah atau kuasanya yaitu :
a) Memasang tanda-tanda batas pada bidang tanah dengan
ketentuan yang berlaku.
b) Berada di lokasi saat panitia Prona melakukan
pengumpulan data yuridis dan data fisik.
c) Menunjukkan tanda-tanda batas atau menetapkan
batas-batas bidang tanag kepada panitia Prona.
d) Menunjukkan bukti pemilikan atau penguasaan atas
tanahnya.
e) Memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi pemegang hak
atau kuasanya selaku pihak yang berkepentingan.
Para pemegang hak atau kuasanya atau pihak lain yang
berkepentingan akan diberitahukan :
a) Arti pentingnya dan kegunaan sertifikat sebagai tanda bukti
hak.
c) Cara permohonan pengukuran atau pengajuan permohonan
sertifikat tanah baik melalui Prona maupun melalui
permohonan secara rutin
d) Akibat hukum yang terjadi apabila kewajiban dan tanggung
jawab dimaksud dalam ayat (3) tidak dipenuhi.
e) Hak-hak dari para pemegang hak untuk mengajukan keberatan
atas hasil pelaksanaan Prona yang diumumkan selama jangka
waktu pengumuman.
b) Pengumpulan data
Kegiatan pengumpulan data meliputi :
1) Penelitian luas tanah, inventarisasi subyek, identifikasi
calon subyek hak.
2) Penelitian status tanah, ha ini dimaksudkan untuk
menentukan apakah tanah yang dimohonkan itu termasuk
kegiatan landreform, pemberian hak atau penegasan hak.
3) Penelitian berkas permohonan yang meliputi identifikasi
nama, alamat, pekerjaan pemohon.
4) Penelitian alat bukti pemilikan tanah yang wajib disertakan
oleh pemegang hak atas tanah kepada panitia Prona.
c) Penetapan biaya pemberian hak dan pendaftaran tanah Biaya yang
dikenakan meliputi :
1) Biaya untuk keperluan administrasi pendaftaran tanah.
pemetaan.
d) Penunjukan batas, pemasangan tanda batas dan penetapan batas pada
tanah.
Penunjukan batas dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atau
kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan yang dibuktikan
secara tertulis sesuai batas bidang tanah yang dikuasainya.
Pemasangan tanda batas dikakukan pada setiap sudut batas atau
garis batas yang tidak jelas. Tanda batas dipasang berdasarkan
kesepakatan pemegang hak atas tanah atau kuasanya atau pihak
lain yang berkepentingan. Sedangkan untuk tanah negara,
pemasangan tanda batasnya dilakukan oleh Satgas Pengukuran dan
Pemetaan dengan memeperhatikan garis sempadan jalan, hal ini
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1996.
e) Pengukuran dan pemetaan bidang tanah.
Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dapat dilakukan dengan
cara teristis dan atau fotogrameti. Hasil pengukuran batas bidang
tanah yang dilaksanakan secara teristris dituangkan pada lembar
gambar ukur.
f) Pemeriksaan tanah oleh panitia Prona.
Kegiatan ini dilaksanakan untuk mendapatkan kelengkapan atas
berkas yang telah diterima dari pemohon, dengan demikian data
g) Pembuktian hak melalui pengumuman dan pengesahan
Para pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan mengenai data fisik dan data yuridis yaitu
berupa lembar peta bidang-badang tanah dan daftar isian yang
berisi identitas pemohon yang telah dikumpulkan oleh Panitia
Prona dengan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) hari di Kantor
Pertanahan, Kantor Desa/Kelurahan. Apabila setelah jangka waktu
tersebut tidak ada yang mengajukan keberatan, maka lembar peta
bidang tanah tersebut dan daftar isian yang bersangkutan disahkan
oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
h) Pemberian hak
Penetapan pemberian hak dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa :
pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 2 HA m2 (dua hektar), pemberian hak milik atas tanah
non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu
meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha,
pemberian hak milik tersebut dilaksanakan salah satunya dalam
i) Pembukuan dan penertiban sertifikat hak atas tanah.
Pembukuan hak-hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Prona
sedangkan penandatanganan sertifikat dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan, apabila berhalangan hadir dalam rangka
melayani pendaftaran tanah secara massal maka dapat dilimpahkan
kepada Kepala Seksi yang ditunjuk.
2.2.4. Ser tifikat Tanah.
2.2.4.1. Penger tian Ser tifikat
Menurut “Chomzah” dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pertanahan (2002 :123) sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang terdiri
dari salinan buku tanah dan surat ukur, diberikan sampul jilid dijadikan
satu, yang bentuknya ditetapkanoleh Menteri Negara Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan P.P 24 tahun 1997 pasal 32 sertifikat adalah surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai
data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik
dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan
buku tanah hak yang bersangkutan.
Sedangkan menurut Saleh ( 1982) sertifikat adalah salinan buku
tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama – sama
Mentri dan menurut pasal 19 UUPA sertifikat adalah surat tanda bukti hak
yang mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sertifikat adalah suatu surat tanda
bukti baik berupa data fisik maupun data yuridis yang memiliki
kekuatan hukum / bukti yang kuat bagi masyarakat bagi masyarakat
terdiri dari surat ukur, gambar situasi yang dijilid dan mempunyai
fungsi dan kekuatan yang diatur dalam peraturan perundang – undangan
2.2.4.2. Fungsi Ser tifikat
Menurut Parangin (1992) fungsi utama sertifikat adalah sebagai
alat bukti hak atas tanah. Selain itu fungsi sertifikat tanah yang diberikan
itu akan memberikan arti dan peranan bagi pemegang hak yang
bersangkutan, yang dapat berfungsi sebagai alat bukti apabila ada
persengketaan terhadap tanah yang bersangkutan ataupun dapat pula
berfungsi sebagai jaminan perlunasan suatu hutang pada bank pemerintah
atau swasta.
Walaupun fungsi utama sertifikat adalah sebagai alat bukti, tetapi
sertifikat bukan satu – satunya alat bukti hak atas tanah seseorang, masih
mungkin dibuktikan dengan bukti lain. Alat bukti lainitu misalnya sanksi –
sanksi, akta jual beli, surat keputusan pemberian hak. Yang membedakan
dengan sertifikat adalah bahwa sertifikat ditegaskan oleh peraturan
perundang –undangan sebagai alat bukti yang kuat. Kuat dalam hal ini
berarti selama tidak ada alat bukti lain yang membutuhkan ketidak
benar dengan tidak perlu bukti tambahan. Sedangkan alat bukti lain itu
hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan, harus dikuatkan oleh alat
bukti.
2.2.4.3. Pengeluar an Ser tifikat
Menurut Parangin (1992) bahwa permintaan sertifikat itu mungkin :
1. Atas kemauan sendiri
Seseorang mengajukan permohonan pengeluaran sertifikat dengan
alasan antara lain :
a. Sadar akan kegunaan sertifikat
b. Hendak mengamankan atau memperkuat pembuktian hak atas
tanah.
2. Diwajibkan oleh peraturan
Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan
haknya (sertifikat) apabila terjadi atau akan dilakukan peristiwa
tertentu. Sebelum sertifikat hak atas tanah dikeluarkan harus ada
kepastian terlebih dahulu tentang apa – apa yang dibutuhkan oleh
sertifikat itu nantinya dengan perkataan lain, untuk pengeluaran
sertifikat hak atas tanah harus dipastikan terlebih dahulu mengenai :
a. Status hukum tanahnya, status tanah sampai berlakunya
UUPA.
b. Siapa pemegang hak telah memenuhi syarat yang ditentukan
c. Ada atau tidak pihak lain.
d. Keadaan fisik tanah, berapa luas, panjang, bentuk danbatas –
batas tanah.
2.2.4.4. Pener bitan Ser tifikat
Berdasarkan undang – undang no 24 tahun 1997. Bagian ke empat pasal
31, mengatakan :
1) Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang
bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang
telah di daftar dalam buku tanah.
2) Jika dalam buku tanah terdapat catatan yang menyangkut data
yuridis atau catatan yang menyangkut data fisik maka
penerbitan sertifikat ditangguhkan sampai catatan yang
bersangkutan di hapus.
3) Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya
tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai
pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
4) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum di
terbitkan satu sertifikat, yang diterima kepada salah satu
pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang
hak bersama yang lain.
5) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
pemegang hak bersama untuk di berikan kepada tiap pemegang
hak bersama yang bersangkutan, untuk memuat nama serta
besarnya bagian masing – masing dari hak bersama tersebut.
6) Bentuk, isi, cara pengisian dan penandatanganan sertifikat
ditetapkan oleh menteri.
2.2.5. Pendaftar an Tanah
2.2.5.1. Dasar Hukum Pelaksanaan Pr ona
Dasar hukum dari pendaftaran tanah di Indonesia antara lain yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria sebagai landasan bagi pembaharuan hukum agraria untuk
terwujudnya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat. Adanya
jaminan kepastian hukum ini tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi, “Untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah”.
Pendaftaran tanah wajib dilakukan bagi pemegang hak atas tanah.
Pasal 23 ayat (1) menjelaskan bahwa hak milik demikian pula setiap
peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19 Pendaftaran tanah untuk hak-hak itu ditujukan kepada pemegang hak
agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka, oleh karena
demikian pendaftaran pertama kali ataupun pendaftaran karena
konversi, ataupun pembebasannya akan banyak menimbulkan
komplikasi hukum jika tidak didaftarkan padahal pendaftaran
merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegang haknya ( A.P.
Parlindungan, 1999:17 ).
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional seperti diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, Pasal
Pasal tersebut mengatur tentang dasar hukum pendaftaran tanah dan
pendaftaran hak-hak atas tanah. Sedangkan ketentuan selanjutnya diatur
melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP No. 24 Tahun 1997.
Adapun peraturan yang lainnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2.2.5.2. Penger tian Pendaftar an Tanah
Pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda
kadaster) yaitu istilah untuk suatu rekord atau rekaman, menunjukkan
kepada luas, nilai, kepemilikan terhadap suatu bidang tanah dan untuk
kepentingan perpajakan ( AP Parlindungan, 1999 :18 ). Menurut Pasal 1
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang dimaksud
dengan pendaftaran tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah secara terus- menerus, berkesinambungan dan teratur,
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Pengertian pendaftaran tanah menurut Budi Harsono adalah suatu
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah secara
terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data
tertentu yang ada di wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, termasuk penerbitan
tanda bukti pemeliharaannya (Boedi Harsono, 2005 :72).
2.2.5.3. Azas Pendaftar an Tanah
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan
berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
a) Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksud agar ketentuan–
ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat
dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para
pemegang hak atas tanah.
b) Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran
hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai
dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
c) Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak
yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
d) Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya.
Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir.
e) Asas terbuka dimana masyarakat dapat memperoleh informasi
kepada pihak pihak yang berkepentingan sebelum melakukan
perbuatan hukum terhadap bidang-bidang tanah yang sudah
terdaftar
2.2.5.4. Tujuan Pendaftar an Tanah
Menurut Pasal 3 PP No.24 Tahun 1997 adalah :
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun