• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rokhmat S. Labib. M.E.I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rokhmat S. Labib. M.E.I."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Rokhmat S. Labib. M.E.I.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta

"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung; (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih (TQS al-Nahl [16]:

116-117).

Menetapkan halal dan haram merupakan otoritas Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang boleh mengambil alih otoritas dan kewenagnan tersebut. Terlebih itu dilakukan dengan berbohong atas nama Allah SWT. Tidak ada hukuman yang pantas dijatuhkan kepada orang yang melakukan itu kecuali azab yang pedih. Inilah yang di antara perkara penting yang dikandung ayat ini.

Membuat Hukum Sendiri

Allah SWT berfirman: Walâ taqûlû limâ tashifu alsinatukum al-kadziba (dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta). Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan ketentuan hukum tentang makanan. Dalam

(2)

menyembah (TQS al-Nahl [16]: 114).

Kemudian dalam ayat berikutnya diterangkan mengenai makanan yang diharamkan. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Nahl [16]: 115).

Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang memiliki otoritas dan wewenang untuk menetapkan suatu benda terkategori halal atau haram adalah Allah SWT. Ketentuan hukum itu tidak boleh dilanggar oleh manusia. Kemudian ayat ini memberikan penjelasan ketentuan penting dalam penetapan halal dan haram. Dalam ayat ini disebutkan: Walâ taqûlû limâ tashifu alsinatukum al-kadziba. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, ayat tersebut bermakna: Walâ taqûlû liwashfi alsinatikum al-kadziba (janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta).

Ucapan dusta mereka itu adalah dengan mengatakan: Hadzâ halâl wa hadzâ harâm ("Ini halal dan ini haram"). Menurut al-Syaukani, ayat ini berarti: Janganlah kalian mengharamkan atau menghalalkan sesuatu melalui ucapan lisan-lisan kalian tanpa hujjah. Tak jauh berbeda,

al-Zamakhsyari juga menafsirkannya dengan pernyataan: Janganlah kamu mengharamkan dan menghalalkan hanya dengan perkataan yang ucapkan lisan-lisan dan mulut-mulut

kalian—bukan karena ada hujjah dan alasan yang jelas—akan tetapi hanya sekadar ucapan dan klaim yang kosong.

Orang kafir memang menambah dan mengurangi sesuatu yang diharamkan. Tindakan mereka menambah perkara yang diharamkan diberitakan dalam firman Allah SWT: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahîrah, sâibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi

orang-orang kafirmembuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti (TQS al-Maidah [5]: 103).

Istilah bahîrah mereka gunakan untuk menyebut unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan. Unta betina tersebut menurut mereka harus dibelah telinganya,

dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi, dan tidak boleh diambil air susunya.

(3)

Sedangkan sâibah adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika mereka akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka mereka biasa bernazar akan menjadikan untanya sebagai sâibah apabila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.

Washîlah adalah seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri atas jantan dan betina. Anak domba yang jantan ini mereka sebut washîlah. Domba tersebut tidak disembelih dan harus diserahkan kepada berhala.

Istilah Hâm disematkan kepada unta jantan yang telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. yang tidak boleh diganggu gugat lagi. Itu semua merupakan kepercayaan Arab jahiliyah.

Sedangkan tindakan mereka mengurangi yang diharamkan –yakni menghalalkan yang diharamkan—adalah menghalalkan bangkai, darah, dagiung babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.

Kemudian disebutkan: litaftatarû ‘alâl-Lâh al-kadziba (untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah). Menurut al-Razi, makna ayat ini adalah mereka menisbahkan perngharaman dan penghalalan kepada Allah SWT dengan mengatakan: Sesungguhnya Allah SWT

memerintah kita demikian.  Huruf al-lâm dalam kata litaftatarû, menurut para mufassir

merupakan lâm al-‘âqibah. Artinya, tindakan menghalalkan dan mengharamkan itu dilakukan untuk mengadakan kedustaan atas nama Allah SWT.

Ancaman

Allah SWT berfirman: Inna al-ladzîna yaftarûna‘alâl-Lâh al-kadziba (sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah). Menurut al-Thabari, ayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang yang membuat kebohongan dan kedustaan atas nama Allah, sesungguhnya mereka tidak kekal dan abadi di dunia. Yang mereka nikmati sesungguhnya amat sedikit.

(4)

Dengan demikian, ayat ini memberikan penegasan apa yang telah disebutkan sebelumnya.

Bahwa siapa saja yang melakukan perbuatan demikian, akan menuai akibat yang sama, yakni:

Lâ yuflihûn (tiadalah beruntung).

Pengertian al-falâh adalah al-fawz al-mathlûb (kemenangan atau kesuksesan yang diminta).

Sehingga, kata lâyuflihûn  (mereka tidak beruntung) dalam semua hal. Demikian penjelasan al-Syaukani. Ini berarti, jika mereka melakukan tindakan membuat hukum sendiri tanpa hujjah itu didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan, maka keinginan mereka tidak akan tercapai. Bahkan, sebagaimana diinyatakan Ibnu Katsir, mereka tidak beruntung di dunia maupun di akhirat.

Ancaman terhadap mereka kemudian ditegaskan dalam ayat berikutnya: Matâ’[un] qalîl[un] (itu adalah kesenangan yang sedikit). Bisa jadi di dunia mereka mendapatkan kesenangan dan keuntungan dari perbuatan mengada-adakan hukum sendiri itu. Akan tetapi, kesenangan dan keuntungan yang mereka dapatkan amat sedikit: Matâ’[un] qalîl[un]’. Dikatakan sedikit, karena kenikmatan yang mereka dapat itu pasti terputus dan sesaat.

Sedangkan di akhirat, mereka harus menerima hukuman yang berat. Dalam ayat ini disebut:

Walahum ‘adzâb[un] ‘alîm[un] (dan bagi mereka azab yang pedih). Ini merupakan ancaman yang keras. Azab yang yang pedih akan ditimpakan kepada mereka.

Menurut Ibnu Katsir, ancaman tersebut seperti halnya dalam firman Alllah SWT: Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras (TQS Luqman [31]: 24). Juga firman-Nya: Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (Bagi mereka)

kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka (TQS Yunus [10]:

69-70).

(5)

Imam al-Qurthubi berkesimpulan tentang makna ayat ini, penghalalan dan pengharaman

sesungguhnya merupakan otoritas Allah SWT. Tidak ada seorang yang boleh mengatakan atau menjelaskan tentang sesuatu kecuali Alah SWT telah memberitakannya tentang hal itu.

Kesimpulan senada juga dikemukakan Ibnu Katsir. Menurutnya, ayat ini melarang perilaku orang-orang musyrik yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu yang mereka sifati dan namanya mereka buat berdasarkan pendapat mereka sendiri. Itu seperti ketentuan tentang al-bahîrah, al-sâibah, al-wahîlah, al-hâm, dan lain-lain yang mereka jadikan sebagai ketentuan syariah bagi mereka yang mereka ada-adakan sendiri dalam jahiliyah.

Masih menurut Ibnu Katsir, termasuk dalam tindakan yang dilarang ayat ini adalah semua bida’ah yang diada-adakan yang tidak memiliki sandaran syar’i, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan hanya berdasarkan pendapat dan selera mereka semata.

Demikianlah ketentuan Islam tentang pemilik otoritas pembuat hukum. Berdasarkan ayat ini–sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir di atas--, maka demokrasi yang doktrin utamanya adalah kedaulatan rakyat harus ditolak. Sebab dalam demokrasi, rakyat dianggap memiliki kewenangan untuk membuat hukum sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka. Apa pun kehendak rakyat atau mayoritasnya harus dituruti sekalipun jelas-jelas menabrak ketentuan hukum Allah SWT. Kesalahan menjadi makin berlipat ketika doktrin itu membawa-bawa nama Tuhan. Bahwa suara mereka sama dengan suara Tuhan seperti jargon mereka: Fox Populi fox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Ini jelas merupakan kebohongan yang nyata.

Sebagaimana ditegaskan ayat ini, tidak balasan yang setimpal bagi mereka kecuali azab yang pedih. Masihkah kita mau menerima demokrasi? Wal-Lâh a’lam bi al-sahwâb.

Ikhtisar:

Otoritas menetapkan halal dan haram hanya pada Allah SWT

Dilarang menetapkan halal dan haram yang tidak memiliki sandaran hujjah

(6)

Orang yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan halal diancam dengan azab yang pedih

Referensi

Dokumen terkait

5Xa H& '& i * I j$, G X “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih

Aisyah berkata: Hai keponakanku, ayat itu berbicara tentang seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, di mana harta anak perempuan itu telah bercampur dengan

Setan adalah musuh bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, maka yang diinginkan setan terhadap manusia  adalah kecelakaan., kesengsaraan, dan kerugian. Sebaliknya, dia tidak

Perbuatan buruk pertama yang disebutkan adalah: baddalû ni’matal-Lâh kufr[an] (orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran).. Menurut Fakhruddin al-Razi ada

Mereka tidak seperti orang-orang yang ketika diingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka terlihat tersungkur atasnya, menghadap kepada orang yang mengingatkan, dan menampakkan

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti

Jika Allah SWT telah menghancurkan umat-umat terdahulu yang mendustakan para rasul, sementara umat itu lebih kuat dari mereka, maka apa yang terbayang oleh mereka dengan hukuman

Ditegaskan ayat ini, apabila terjadi perselisihan --baik antara rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan penguasa-- maka mereka diperintahkan untuk mengembalikannya kepada Allah