• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya? (TQS Muhammad [47]: 14).

Perilaku manusia ditentukan oleh pedoman yang diikuti. Apabila pedomannya benar, maka perilaku yang mengamalkan pedoman itu pun benar. Sebaliknya, ketika pedomannya salah, perilakunya yang mempraktekkannya pun dipastikan salah. Pedoman yang salah juga membuat pelakunya salah dalam menilai baik dan buruk. Akibatnya, dia akan mengira perbuatan buruk yang dilakukan seolah-olah baik. Jika ini terjadi, dipastikan dia terjerumus dalam kesesatan.

Inilah di antara yang diterangkan oleh ayat ini.

Berpegang pada Petunjuk

Allah SWT berfirman: Afaman kâna ‘alâ bayyinat[in]  min Rabbihi (maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya). Dalam beberapa ayat sebelumnya, diterangkan tentang dua golongan manusia yang kontradiktif, baik dari segi sifat maupun nasib yang dialaminya.

Pertama, orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Mereka itu ditempatkan ke dalam

(2)

yang menghabiskan hidupnya hanya untuk bersenang-senang dan makan, persis seperti layaknya binatang. Sebagai balasannya, mereka pun dimasukkan ke dalam neraka. Bahkan, di antara orang-orang kafir itu ada yang dibinasakan di dunia.

Setelah itu, ayat ini kembali menegaskan perbedaan tegas antara dua golongan tersebut.

Keduanya tidak sama, dan oleh karena itu tidak boleh dianggap sama. Hal ini dipahami dari huruf hamzah di awal ayat ini. Diterangkan Sihabuddin al-Alusi, huruf hamzah tersebut memberikan makna li inkâri [i]stiwâihâ (untuk mengingkari penyamaan antara dua kelompok tersebut). Bisa juga untuk mengingkari, bahwa perkaranya tidak seperti yang telah disebutkan.

Sedangkan man dalam frasa ini menunjuk kepada Rasulullah SAW dan orang Mukmin.

Demikian penjelasan al-Baghawi, al-Baidhawi, dan lain-lain. Dikatakan juga oleh al-Alusi, mereka adalah orang-orang Mukmin yang berpegang teguh dengan dalil-dalil agama. Sifat tersebut digambarkan ayat ini: kâna ‘alâ bayyinah (berpegang pada keterangan yang nyata). Secara bahasa, kata

al-bayyinah berarti al-h

ujjah al-wâdhi hah

(argumentasi yang jelas). Demikian menurut al-Manawi, dalam Kitab al-Tawqîf ‘alâ Muhimmat al-Ta’ârîf.

Al-Thabari juga memaknainya sebagai burhân wa

hujjah wa bayân

(bukti, argumentasi, dan keterangan).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bayyinah tersebut min Rabbihi (dari Tuhannya). Menurut Ibnu

‘Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, kata

‘alâ bayyinah di sini bermakna

‘alâ tsabât wa yaqîn

(atas ketetapan dan kepastian). Abu al-‘Aliyah menafsirkan bukti yang jelas itu adalah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan al-Qurthubi sendiri memaknainya sebagai wahyu. Tak jauh berbeda, menurut al-Zamakhsyari adalah Alquran yang menjadi mukjizat dan seluruh mukjizat Rasulullah SAW.

(3)

Mereka itu, kata Ibnu Katsir berada “Di atas bashîrah wa yaqîn (bukti dan kepastian) yang berasal dari perintah dan agama Allah, dengan petunjuk dan ilmu yang diturunkan Allah SWT dalam kitab-Nya, dan dengan fitrah (sifat dasar) yang lurus yang dilekatkan kepadanya.”

Ada penjelasan menarik dari Fakhruddin al-Razi terkait dengan sifat golongan pertama yang diterangkan ayat ini. Menurutnya, frasa: ‘alâ bayyinah (di atas bukti kebenaran) itu merupakan perbedaan yang membedakan. Sedangkan frasa:

min Rabbihi

(dari Tuhannya) merupakan penyempurna terhadapnya. Sebab, bayyinah

ketika bersifat teoritis, maka itu sudah cukup menjadi pembeda antara orang yang berpegang teguh terhadapnya dengan orang yang berkata tanpa dalil. Apabila

bayyinah

itu berasal dari Alah SWT yang lebih kuat dan lebih jelas, maka bayyinah

itu menjadi lebih tinggi dan lebih terang.

Inilah sifat golongan pertama. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada bukti yang kuat dan keterangan yang nyata dari Tuhannya. Seluruh pendapat dan tindak tanduknya didasarkan pada Alquran dan sunnah.

Mengikuti Hawa Nafsu

Setelah disebutkan golongan pertama beserta sifatnya, kemudian disebutkan: Kaman zuyyina lahu sûu ‘amalihi

(sama dengan orang yang [setan] menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu). Menurut al-Qurthubi, mereka adalah Abu Jahal dan kaum kafir. Dikatakan juga oleh al-Alusi, jika

man dalam frasa sebelumnya menunjuk kepada kaum Mukmin yang berpegang teguh dengan dalil-dalil agama, maka

(4)

dalam frasa ini menunjuk lawan mereka dari kalangan kaum musyrik.

Dalam ayat ini mereka itu digambarkan sebagai orang yang menganggap baik perbuatan buruk yang mereka lakukan. Menjelaskan ayat ini,  Ibnu Jariri al-Thabari berkata, “Orang tersebut dibuat setan menganggap baik perbuatan buruk dan jahat mereka, sehingga dia

memandangnya indah. Maka dia pun menjadi orang yang menegakkan perbuatan tersebut.”

Kemudian disebutkan: wa[i]ttaba’û ahwâahum (dan mengikuti hawa nafsunya?). Artinya, mereka mengikuti ajakan hawa nafsu mereka untuk maksiat kepada Allah dan menyembah berhala tanpa memiliki argumentasi yang kuat untuk itu. Demikian penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari.

Diterangkan al-Razi, frasa kaman zuyyina lahu sû`u ‘amalihi merupakan perbedaan yang

membedakan. Sedangkan frasa w

a[i]ttaba’û ahwâahum

merupakan penyempurna. Sebab, orang yang menganggap baik perbuatan buruknya dan dilanda kekaburan, merupakan lawan dari orang yang telah jelas baginya bukti yang nyata dan mau menerimanya. Namun orang yang sedang dilanda kekaburan kadang-kadang masih mau berpikir dan kembali kepada kebenaran. Maka, dia lebih dekat dengan orang yang berpegang kepada bukti kebenaran. Tapi ada juga yang mengikuti hawa nafsunya, tidak mau

mempertimbangkan bukti yang nyata dan memikirkan keterangan yang jelas. Maka, berada pada posisi paling jauh. Karena itu, Nabi SAW  beserta orang Mukmin dengan orang kafir berada pada dua kutub yang berlawanan dan batas paling jauh.

Secara keseluruhan, menurut al-Syaukani ayat ini berarti: “Bahwa tidak sama antara orang yang di atas keyakinan dari Tuhannya dengan orang yang menganggap baik perbuatan buruknya, yakni menyembah berhala, menyekutukan Allah, dan perbuatan maksiat

kepada-Nya, mengikuti hawa hawa nafsu mereka dalam ibadahnya, serius dalam berbagai kesesatan. Bahkan, kesamaran mengharuskan keraguan melebihi hujjah yang terang.”

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini senada dengan QS al-Ra’d [13]: 19 dan al-Hasyr [59]: 20.

Kontradiksi antara dua kelompok tersebut juga diterangkan dalam ayat sebelumnya, yakni ayat 3.

(5)

Itulah sifat dua golongan yang saling kontradiktif. Yang satu berpegang teguh dengan hujjah dan argumentasi dari Allah SWT, yang tertera dalam kitab-Nya, dan dijelaskan oleh Rasul-Nya;

sementara yang lain mengikuti ajak setan dan hawa nafsunya. Akibatnya, kesalahan dalam menilai baik dan buruk pasti terjadi. Riba, misalnya, yang jelas-jelas buruk karena diharamkan, mereka bolehkan karena alasan manfaat material. Demikian pula dengan zina, khamr, dan perkara haram lainnya lain-lain. Sebaliknya, jihad dianggap sebagai terorisme dan jilbab dinilai membelenggu wanita. Bahkan, syariah yang diwajibkan Allah SWT dianggap kuno dan

ketinggalan zaman sehingga dianggap tidak layak diterapkan.

Karena sifat mereka yang berlawanan, nasib mereka pun kontradiktif. Dalam ayat selanjutnya ditegaskan bahwa surga yang penuh kenikmatan disediakan kepada orang-orang bertakwa.

Yakni, orang-orang yang taat dengan syariah-Nya, yang berpegang teguh dengan

petunjuk-Nya. Sebaliknya, orang-orang kafir ditempatkan di dalam neraka yang penuh dengan siksa. Mereka kekal di dalamnya.

Masihkah kita menolak menggunakan syariah-Nya sebagai pedomana hidup kita dan lebih memilih sekulerisme, demokrasi, dan paham kufur lainnya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

1. Ada perbedaan mendasar antara orang Mukmin yang berpegang teguh dengan syariah-Nya dan orang yang mengikuti hawa nafsu mereka

2. Orang bertakwa disediakan surga, sedangkan orang kafir ditempatkan di neraka.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari Surat Perjanjian/Kontrak Kerja ini adalah untuk memberikan layanan bantuan hukum kepada setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara

1) Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. 2)

Keunggulan bersaing dapat dipahami dengan memandang perusahaan sebagai keseluruhan, berasal dari banyak aktivitas yang berlainan yang dilakukan oleh perusahaan dalam

Niat baik semata tidak cukup menjadikan amal ibadah seseorang diterima oleh Allah subhanahu wa ta‟ala, namun ibadah tersebut harus mencocoki ajaran Nabi

Ukur jabat tangan kita dengan kekuatan orang yang tangannya kita jabat. ✓ Pompa tangan lawan bicara satu atau dua

▪ Saat di depan umum, sesi percakapan dengan menggunakan perangkat telepon pintar dengan mudah dapat didengar oleh orang lain, hindari membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia,

Menurut Al-Ghazali (1998) bahwa konsep dan fungsi hati tidaklah sama seperti yang dipahami oleh orang awam, yang menganggap hati hanyalah sebagai alat

Utusannya datang ke dunia yang masih berada dalam ancaman kuasa gelap untuk membawa kembali orang -orang yang dekat padanya kembali ke sumber terang, kepada Allah,