• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rokhmat S Labib

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rokhmat S Labib"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Rokhmat S Labib

Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? maka

sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (TQS Fathir [35]: 8).

Di antara penyebab tergelincirnya seseorang ke dalam perbuatan jahat dan dosa adalah persepsi yang salah tentang perbuatan yang dikerjakan. Ketika seseorang menganggap baik sebuah perbuatan yang jahat, maka akan mengerjakan kejahatan tanpa merasa bersalah.

Demikian juga sebaliknya, menganggap jahat perbuatan yang baik, maka dia akan dengan mudah meninggalkan kebaikan.

Agar tidak salah, tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan petunjuk Allah SWT sebagai

pedoman dalam menilai setiap perbuatan. Ayat ini adalah di antara yang menjelaskan tentang fatalnya kesalahan persepsi tersebut.

Perbuatan Buruk Terlihat Baik

Allah SWT berfirman: Afaman zuyyina lahu sûa’amalihi fara’âhu hasan[an] (maka apakah orang yang dijadikan [setan] menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya dua golongan manusia yang berbeda akidah dan nasibnya. Pertama, orang-orang kafir yang akan mendapatkan siksa yang pedih; dan kedua, orang-orang yang beriman dan beramal shalih yang diberikan anugerah surga.

(2)

Menurut al-Syaukani dalam tafsirnya Fat-h al-Qadîr, ayat ini merupakan kalimat lanjutan yang berguna untuk menetapkan perkara yang telah disebutkan sebelumnya, yakni perbedaan

antara dua kelompok manusia tersebut . K

eduanya memiliki sifat yang kontradiktif, sehingga nasibnya pun berkebalikan. Dikemukakan juga Fakhruddin al-Razi, ayat ini memberitakan bahwa orang yang mengerjakan keburukan tidak sama dengan mengerjakan kebaikan.

Kelompok manusia yang pertama itulah yang disebut ayat ini. Mereka disebut sebagai manusia yang: Zuyyina lahu sû’a ‘amalihi (yang dijadikan indah dalam memandang perbuatan

buruknya). Yang dimaksud dengan perbuatan sû` adalah

adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan agama-Nya. Dikatakan al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr,

perbutan buruk itu adalah syirik dan maksiat. Ibnu Jarir al-Thabari juga mengatakan, perbuatan buruk itu adalah maksiat dan kufur kepadaAllah SWT dan menyembah selain-Nya, seperti menyembah kepada berhala-berhala dan patung-patung.

Terhadap semua perbuatan buruk itu, mereka justru melihatnya sebagai perbuatan baik.

Dikatakan al-Thabari, “Maka dia melihatnya sebagai perbuatan baik, lalu mengira keburukan itu sebagai kebaikan; dan menyangka perbuatan tercela sebagai sesuatu yang indah, lantaran dibuat indah oleh setan.”

Orang seperti ini tak terbayangkan bisa diharapkan untuk berhenti dari kejahatan dan mau bertaubat. Jika ada orang melakukan keburukan, namun dia mengetahui bahwa perbuatannya salah dan buruk, maka suatu saat bisa bertaubat. Namun jika tidak mengetahui bahwa dia bersalah, bahkan merasa dirinya benar dan mengerjakan perbuatan baik, maka selama persepsinya tetap dan tidak berubah, tidak akan bertaubat.

Ayat ini pun menegaskan kesesatan orang seperti ini. Dalam ayat ini digunakan susunan kalimat tanya retoris: “Apakah orang tersebut sama dengan orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT?” Dijelaskan Wahbah al-Zuhaili, frasa yang menjadi jawaban dari ayat ini dihilangkan. Ini ditunjukkan oleh lafadz ini, yakni:

Seperti orang yang menganggap baik perbuatan buruknya.

Juga ditunjukkan oleh penggalan ayat berikutnya:

Fa innal-Lâh  yudhillu man yasyâ`.

Oleh karena itu, frasa:

faman

(3)

berkedudukan sebagai mubtada`

(subyek), sedangkan khabar

(predikat) -nya adalah:

Kaman hadâhul-Lâh

(seperti orang yang diberikan petunjuk Allah).

Kesesatan mereka ditegaskan dalam firman Allah SWT berikutnya: Fa innal-Lâha yudhillu man

yasâ` (maka sesungguhnya

Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya). Artinya, Allah SWT menyesatkan orang tersebut berdasarkan keadilan-Nya dan sesuai dengan sunnah-Nya dalam menyesatkan hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Demikian menurut al-Jazairi.

Berkaitan dengan orang yang disesatkan Allah SWT, menarik diikuti penjelasan

al-Zamakhsyari. Menurutnya, pengertian tazyîn al-‘amal (menghiasi perbuatan buruk sehingga

terlihat baik) dan al-idhlâl adalah

sama. Yakni, pelaku maksiat berada dalam suatu sifat yang tidak berguna lagi kemaslahatan baginya, hingga akhirnya dia berhak ditelantarkan, ditinggalkan, dan tidak dipedulikan Allah SWT. Akibatnya, dia mengalami kebingungan dalam kesesatan, dan meyakini ketaatan terhadap hawa nafsunya; hingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, dan kebaikan

sebagai keburukan seolah-olah akalnya telah hilang dan kemampuan membedakan baik-buruk juga sudah tercabut.

Ditegaskan juga: Wayahdî man yasyâ` (dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya). Demikian juga orang yang diberikan petunjuk. Allah SWT menunjukkan –dengan anugerah-Nya—orang yang dikehendaki-Nya kepada petunjuk-Nya. Inilah orang yang beriman dengan-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan balasan surga.

Tidak Perlu Bersedih

Setelah menjelaskan tentang sifat dua golongan manusia tersebut, kemudian Allah SWT berfirman: Falâ tadz-hab  nafsuka ‘alayhim hasarât (maka janganlah dirimu binasa karena

(4)

kesedihan terhadap mereka). Kata al-hasa rah (kesedihan) berarti

kesedihan jiwa karena hilangnya sesuatu.

Yakni,

al-talahhaf ‘alayhi

(bersedih atasnya). Demikian penjelasan al-Zuhaili dalam tafsirnya.

Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga mengartikan

hasarât adalah syuddat al- huzn

(kesedihan yang amat sangat) karena ada perkara yang hilang.

Diterangkan al-Zamkahsyari, ketika Allah SWT telah menelantarkan, melepaskan, dan tidak mempedulikan orang yang telah bersikeras dengan kekufuran, maka Rasulullah SAW juga tidak diperbolehkan mempedulikan urusan mereka dan mengingat mereka. Tidak pula bersedih dan berduka cita terhadap mereka karena mengikuti sunnatullah dalam menelantarkan dan

meninggalkan mereka.

Penjelasan yang sama juga dikemukakan Ibnu Jarir al-Thabari. Menurutnya, makna ayat ini adalah: “Janganlah kamu merusak jiwa dengan merasa sedih atas kesesatan mereka, pengingkaran mereka kepada Allah, dan sikap mendustakan mereka terhadap kamu.”

Al-Syaukani juga mengatakan bahwa Allah SWT melarang Nabi SAW untuk berduka dan bersedih hati terhadap mereka. Ini sebagaimana dalam QS al-Kahfi [18]: 6). Juga dalam QS Ali Imran [3]: 176).

Allah SWT berfirman: Inal-Lâh ‘Alîm bimâ yashna’ûn (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat). Artinya, tidak ada satu perkara pun yang tersembunyi oleh-Nya, baik ucapan maupun perbuatan mereka. Demikian dikatakan al-Syaukani. Ditegaskan juga oleh al-Khazin, kalimat ini memberikan ancaman berupa siksa atas perbuatan buruk mereka.

(5)

Demikianlah. Orang yang tersesat itu salah membedakan antara kebaikan dengan keburukan.

Penyebabnya, karena tidak menggunakan petunjuk dari Allah SWT. Mereka lebih menuruti hawa nafsu, mengikuti akal yang cekak, dan percaya kepada ilmu mereka yang dangkal.

Sebagaimana telah maklum, Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, memisahkan antara yang haq dan yan batil, dan menjelaskan yang haram dan yang halal. Maka siapa pun yang mengiman dan mengikutinya, hidupnya akan berada di atas petunjuk.

Namun sebaliknya, siapa pun yang ingkar kepada Allah SWT dan ayat-ayat-Nya, maka pasti dia tersesat. Itu terjadi ketika mereka mengabaikan petunjuk dari Allah SWT dan mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Maka sebagaimana diberitakan ayat sebelumnya, mereka harus mendapatkan azab yang pedih. Sungguh sangat ironis! Semoga kita termasuk dalam golongan

ini. Wal-Lâh a’lam bi

al-shawâb.

Ikhtisar:

1. Orang yang mengingkari Allah dan petunjuk-Nya, pasti terjerembab dalam kesesatan.

2. Orang yang beriman dan mau mengikuti petunjuk-Nya, hidupya dalam bimibingan petunjuk Tuhannya.

3. Tidak perlu menyedihkan kepada orang yang memilih kesesatan dan bersikeras dengannya.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dengan simulasi FEM menghasilkan kesimpulan, bawasannya tegangan paling besar pada kondisi footrest tertabrak dari belakang, yaitu

Dengan demikian, ketika beberapa orang Arab Badui mengatakan bahwa mereka telah beriman, berarti mereka menyatakan bahwa diri telah membenarkan dengan pasti terhadap semua perkara

Setan adalah musuh bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, maka yang diinginkan setan terhadap manusia  adalah kecelakaan., kesengsaraan, dan kerugian. Sebaliknya, dia tidak

Kemudian disebutkan tentang salah satu otoritas Allah SWT yang diberikan kaum musyrik kepada sesembahan mereka, yakni: syara’û lahum min al-dîn mâ lam ya`dzan bihil-Lâh

Perbuatan buruk pertama yang disebutkan adalah: baddalû ni’matal-Lâh kufr[an] (orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran).. Menurut Fakhruddin al-Razi ada

Mereka tidak seperti orang-orang yang ketika diingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka terlihat tersungkur atasnya, menghadap kepada orang yang mengingatkan, dan menampakkan

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti

Jika Allah SWT telah menghancurkan umat-umat terdahulu yang mendustakan para rasul, sementara umat itu lebih kuat dari mereka, maka apa yang terbayang oleh mereka dengan hukuman