• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta (TQS al-Furqnn [25]: 73-74)

Ayat ini masih melanjutkan sifat-sifat ‘ibâd al-Rahmân, para hamba Dzat Yang Penyayang.

Dalam ayat sebelumnya,  mereka diterangkan sebagi orang-orang yang tidak mau menghadiri tempat yang di dalamya terdapat kemusyrikan, kebatilan, dan kemaksiatan. Kalaupun harus melewatinya, mereka tetap menjaga kehormatan, dengan menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar atau segera berlalu dengan cepat tanpa terlibat sedikit pun. Kemudian dalam ayat ini diceritakan tentang sikap mereka terhadap Alquran.

Tidak Seperti Orang Kafir

Allah SWT berfirman: wal-ladzîna idzâ dzukkirû bi âyâti Rabihim (dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka). Kata

al-ladzîna

kembali merujuk kepada

‘ibâd al-Ra hmân

yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan âyâti Rabihim

(ayat-ayat Tuhan mereka) menunjuk kepada Alquran yang di dalamnya terkandung berbagai nasihat dan hukum. Demikian penjelasan al-Alusi dalam tafsirnya. Menurut al-Syaukani, selain Alquran, kata tersebut juga bermakna semua yang terkandung di dalamnya berupa

maw’izhah wa ‘ibrah

(nasihat dan pelajaran). Sehingga, sebagaimana diterangkan al-Jazairi, frasa ayat ini bermakna:

(2)

Apabila mereka dinasihati dengan ayat-ayat Alquran.

Ketika itu dilakukan kepada mereka, mereka pun: Lam yakhirrû ‘alayhâ shumm[an] wa

‘umyân[an] (mereka tidaklah menyikapinya

sebagai orang-orang yang tuli dan buta). Kata yakhirru

berarti

yaqa’u wa yasquthu

(jatuh dan tersungkur). Sedangkan shumm[an]

berarti tuli dan

‘umyân[an]

berarti buta.

Diterangkan al-Zamakhsyari dan al-Khazin dalam tafsir mereka bahwa frasa ayat ini tidak

menafikan tindakan khur

ûr (

menundukkan kepala, tersungkur). Sebaliknya, justru menetapkan tindakan tersebut. Yang dinafikan ayat ini adalah keadaan tuli dan buta. Sehingga secara keseluruhan ayat ini

bermakna: “Sesungguhnya ketika mereka diingatkan, mereka tersungkur karenanya lantaran keinginan kuat untuk mendengarkannya, menghadap orang yang mengingatkannya dalam keadaan tersungkur, mendengarkan dengan telinga yang sadar, dan melihat dengan mata yang memperhatikan. Mereka tidak seperti orang-orang yang ketika diingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka terlihat tersungkur atasnya, menghadap kepada orang yang mengingatkan, dan menampakkan keinginan kuat untuk mendengarkannya. Akan tetapi, sesungguhnya mereka adalah orang yang tuli lagi buta lantaran tidak mau memahami dan merenungkan isinya seperti orang munafik dan semacamnya.”

Dijelaskan oleh al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, ayat ini berarti: “Mereka tidak menundukkan kepala mereka dalam keadaan tuli sehingga tidak bisa mendengar nasihat. Juga tidak dalam keadaan buta sehingga tidak bisa menyaksikan pengaruh ayat-ayat-Nya. Sebaliknya, mereka menundukkan kepala mereka untuk mendengarnya, memahami apa yang dikatakan dan apa yang diserukan, melihat pengaruh ayat-ayat itu, menyaksikan faktanya, dan terpengaruh olehnya.”

Diterangkan pula Ibnu Katsir bahwa sikap mereka berbeda dengan orang kafir yang ketika mendengar ayat-ayat Allah tidak berpengaruh terhadap mereka. Hal itu terus berlangsung seolah-olah tidak mendengarnya sebagaimana orang yang tuli dan buta”. Tak jauh berbeda,

(3)

Imam al-Qurthubi juga memaknainya dengan ungkapan, “Apabila mereka dibacakan Alquran dan diingatkan akhirat dan tempat kembali mereka, mereka tidak melalaikannya hingga seperti orang yang tidak mendengarnya.”

Menurut al-Sudi, sebagaimana dikutip Abu Hayyan al-Andalusi, tindakan tersebut adalah sifat orang kafir. Gambaran itu merupakan ungkapan atas sikap berpaling mereka dan kesungguhan mereka dalam sikap tersebut. Dikemukakan al-Hasan al-Bashri, seperti dinukil oleh Ibnu Katsir,

“Berapa banyak orang yang dibacakan ayat-ayat Allah, namun mereka tuli dan buta.”

Mengomentari ayat ini, Qatadah berkata,

“Mereka tidak tuli dan tidak buta dari kebenaran. Mereka, demi Allah adalah kaum yang memahami kebenaran dan memanfaatkan apa yang mereka dapatkan dari Kitab-Nya.”

Patut diketahui, di antara sifat orang kafir terhadap ayat-ayat Allah beserta nasihat terhadapnya, adalah tidak mau mendengarkannya. Mengenai hal ini, banyak ayat yang menjelaskannya, seperti dalam firman Allah SWT: Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka

tidak mengerti (TQS al-Baqarah [2]: 171).

Mereka juga sangat enggan mendengar. Telinga dan mata mereka ditutup rapat-rapat agar tidak bisa mendengarkan semua ayat-ayat Allah SWT dan semua pelajaran yang terkandung di dalamnya. Inilah yang dilakukan kaum Nuh ketika diberikan nasihat dan petunjuk Nabi Nuh AS, sebagaimana diceritakan dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru

mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat

(TQS Nuh [71]: 7).

Tak hanya menutup rapat telinga dan mata mereka, lebih dari mereka menghindar dari peringatan kebaikan tersebut sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?",

seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa

(TQS al-Muddatstsir [74]: 49-51).

Akibat sikap mereka yang seperti orang tuli dan buta itu, mereka pun dicela dengan celaan

(4)

yang amat keras. Mereka diserupakan dengan binatang, bahkan dinyatakan sebagai

seburuk-buruknya binatang. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti

apa-apa pun (TQS al-Anfal [8]: 22). Akibat

tidak menggunakan akal, mata, dan telinga dengan benar, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam (lihat QS al-A’raf [7]: 179).

Di akhirat kelak, mereka akan menyesal karena tidak mau mendengar dan berpikir sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala"

(TQS al-Mulk [67]: 10).

Sikap Orang Mukmin

Bertolak belakang dengan kaum kafir, sifat orang Mukmin terhadap Alquran ketika dibacakan adalah mendengarkannya. Sikap ini dilakukan sebagai bentuk pengamalan terhadap perintah Allah Swt: Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (TQS al-A’raf [7]: 204).

Lebih dari itu, ketika dibacakan Alquran mereka tersungkur untuk bersujud karenanya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang diberi

pengetahuan sebelumnya apabila Alquran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur

atas muka mereka sambil bersujud (TQS al-Isra’

[17]: 107). Juga firman-Nya:

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk (TQS al-Isra’ [17]: 109)

.

Kesediaan mereka mendengar itu didasarkan atas keimanan. Dan ketika ayat-ayat itu dibacakan kepada mereka, iman mereka pun bertambah. Allah SWT berfirman: Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) (TQS al-Anfal [8]: 2).

(5)

Tak sekadar mendengar, mereka pun berusaha memikirkan dan memahami isinya. Sebab, ada celaan bagi orang-orang yang tidak mau melakukan tadabbur terhadap Alquran (lihat QS al-Nisa’ [4]: 82 dan  Muhamad [47]: 24).

Mendengarkan dan upaya memahami kandungan Alquran itu dilakukan untuk mereka amalkan.

Sebab, sebagaimana diberitakan dalam QS al-Baqarah [2]: 2, yang benar-benar menjadikan Alquran sebagai petunjuk adalah orang-orang yang bertakwa.

Oleh karena itu, perkataan yang keluar dari lisan mereka ketika dipanggil kepada Allah SWT dan rasul-Nya adalah ucapan: Sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar dan taat, QS al-Nur [24]:

51. Lihat juga QS al-Baqarah [2]: 285 dan Ali Imran [3]: 193). Sikap ini juga kontradiksi dengan

orang-orang kafir yang mengatakan: Sami’n

â wa ‘ashaynâ

(kami mendengar, tetapi kami tidak mau menaatinya). Itulah ucapan mereka orang-orang kafir Bani Israel sebagaimana diberitakan dalam QS al-Baqarah [2]: 93 dan al-Nisa’ [4]: 46.

Demikianlah sifat para hamba Dzat Yang Maha Penyayang terhadap Alquran. Mereka tidak enggan mendengarkan Alquran beserta semua nasihat, pelajaran, dan hukum yang ada di dalamnya sebagaimana orang kafir. Mereka tersungkur mendengarkan Alquran bukan seperti orang yang tuli dan buta. Namun mereka tersungkur dalam rangka mendengarkan dan

melihatnya. Mereka bersujud untuk benar-benar khusuk menyimaknya, memikirkannya, dan bertekad untuk mengerjakannya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

1. Di antara sifat ‘ibâd al-Rahmân adalah ketika dibacakan Alquran, mereka tersungkur

untuk mendengarkan dan merenungkannya

2. Sifat tersebut kontradiksi dengan orang kafir yang enggan mendengarkan Alquran, menutup telinganya dengan jarinya, dan berpaling dari kebenaran yang terkandung di dalamnya.

Referensi

Dokumen terkait

Airil Haimi, dibangunkan pula Inventori Psikometrik Keusahawanan Riza-Airil atau IKRA-Azam dengan 270 item yang melihat, mengukur serta menilai kecenderungan serta potensi

Hasil skoring 20 karakter morfologi kayu manis dari 60 individu tanaman di tujuh Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan

Boarding School adalah sistem sekolah berasrama, dimana peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada dalam lingkungan sekolah

Temuan terkait pengaruh Size terhadap ROA bank dalam penelitian ini memperkuat hasil penelitian Pupik Damayanti dan Dhian Andanarini Minar Savitri tahun 2012 bahwa

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perubahan skor tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu serta tingkat kecukupan energi,

Aisyah berkata: Hai keponakanku, ayat itu berbicara tentang seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, di mana harta anak perempuan itu telah bercampur dengan

Setan adalah musuh bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, maka yang diinginkan setan terhadap manusia  adalah kecelakaan., kesengsaraan, dan kerugian. Sebaliknya, dia tidak

Perbuatan buruk pertama yang disebutkan adalah: baddalû ni’matal-Lâh kufr[an] (orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran).. Menurut Fakhruddin al-Razi ada