Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina (TQS al-Furqan [25]: 68-69).
Ayat-ayat ini masih menjelaskan tentang sifat-sifat i’ibâd al-Rahmân. Jika dalam ayat-ayat sebelumnya telah diterangkan tentang ketaatan mereka dalam melaksanakan hukum syara’, maka dalam ayat ini dibeberkan sifat mereka yang meninggalkan perkara terlarang, baik dalam masalah akidah maupun dalam hukum syara’.
Tidak Menyekutukan Allah
Allah Swt berfirman: Wa al-ladzî lâ yad’ûna ma’al-Lâh ilâh[an] âkhara (dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah.
Sabab al-nuzûl
“Apakah dosa paling besar?”
Beliau menjawab,
“Kamu menjadikan tandingan(sesembahan lain) bagi Allah padahal Dia telah menciptakanmu.”
Dia bertanya lagi,
“Kemudian apa?”
Beliau menjawab,
“Kamu membunuh anakmu karena takut makan bersamamu.”
Dia kembali bertanya
, “Kemudian apa?”
Beliau bersabda,
“Kamu menzinai istri tetanggamu.”
Lalu turunlah ayat ini yang membenarkan perkataan Nabi SAW (QS al-Furqan [25]: 68). Demikian diriwayatkan al-Bukhari. Riwayat yang sama juga dikeluarkan oleh Muslim dan Ahmad.
Wâwu al-‘athf di awal ayat ini menunjukkan sosok yang digambarkan ayat ini masih merujuk
pada sifat ‘ibâd al-Rahmân. Mereka digambarkan tidak mengerjakan: yad’ûna ke
pada selain Allah. Dijelaskan al-Thabari, pengertian
yad’ûna
dalam ayat ini adalah
ya’budûna
(menyembah). Sehingga ayat ini bermakna,
“Mereka tidak menyembah tuhan-tuhan lain bersama Allah, tidak menyekutukan dalam ibadah kepada Allah. Sebaliknya, mereka justru memurnikan ibadah kepada-Nya dan
mengesakan-Nya dalam ketaatan.”
Penjelasan senada juga dikemukakan oleh al-Syaukani dalam tafsirnya.
Menyembah selain Allah SWT memang layak ditinggalkan oleh para hamba Yang Maha Penyayang. Sebab, sebagaimana diterangkan hadits di atas, menyekutukan Allah SWT merupakan dosa terbesar. Bahkan, satu-satunya dosa yang tidak diampuni Allah tatkala pelakunya tetap tidak bertaubat ketika mati ( lihat QS al-Nisa’ [4]: 48, 116).
Tidak Membunuh yang Diharamkan dan Tidak Berzina
Selain tidak menyekutukan Allah, mereka juga meninggalkan dosa besar. Allah SWT berfirman:
Wa lâ yaqtulûna al-nafs al-latî harramal-Lâh illâ bi al-haqq (dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah [membunuhnya] kecuali dengan [alasan] yang benar). Pengertian
al-qatl
adalah
izâlah al-rûh ‘an al-jasad
(menghilangkan nyawa dari jasad). Demikian al-Raghib al-Asfahani
al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân.
Membunuh jiwa yang tidak bersalah adalah perbuatan terlarang. Amat banyak nash yang menjelaskannya. Di antaranya adalah QS al-Nisa’ [4]: 29, al-An’am [6]: 151, al-Isra’ [17]: 31, dan lain-lain. Bahkan terkategori sebagai kabâir (dosa-dosa besar). Dalam hadits riwayat
al-Bukhari disebut sebagai salah satu dari al-s
ab’ al-mûbiqât
(tujuh perkara yang menghancurkan).
Kasus pembunuhan merupakan kasus yang pertama diadili di hadapan Allah pada hari kiamat (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan Turmudzi). Besarnya dosa membunuh juga tergambar dalam sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang membantu untuk membunuh
seorang Muslim walaupun dengan satu kata (ucapan), maka dia akan menjumpai Allah
Azza wa Jalla
dalam keadaan tertulis di antara kedua belah matanya 'orang yang putus asa dari rahmat Allah’
(HR Ibnu Majah).
Hukuman di dunia bagi pelaku pembunuhan secara sengaja juga sangat berat, yakni qishash (lihat QS al-Baqarah [2]:178). Apabila ahli waris memaafkannya, pelaku pembunuhan wajib membayar diyat sebesar seribu dinar atau seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya dalam keadaan bunting.
Frasa bi al-haqq berarti bimâ yahiqq an tuqtalu bihi al-nufûs (dengan alasan yang benar untuk membunuh jiwa itu). Alasan tersebut tentu harus berdasarkan hukum syara’. Jika tidak ada dalil yang menyebutkan kebolehannya, maka jiwa manusia itu tidak boleh dibunuh. Di antara jiwa yang boleh dibunuh disebutkan dalam hadits adalah pelaku zina muhsan, pembunuh, dan murtadin (HR Abu Dawud).
Kemudian disebutkan: Wa lâ yaznûna (dan mereka tidak berzina). Pengertian al-zinâ adalah w
ath` al-mar`ah min ghayri ‘aqd syar’iyy
(menggauli perempuan yang berada dalam aqad nikah yang syar’i). Sebagaimana membunuh, perbuatan zina juga perbuatan dosa. Perbuatan ini disebut sebagai
fâkhisyah
(perbuatan keji) dan
sâ`a sabîl[an]
(seburuk-buruknya jalan, lihat QS al-Isra` [17]: 32).
Besarnya larangan berzina terlihat pada tegasnya larangan mendekati zina. Sehingga yang dilarang bukan hanya zina, namun semua perbuatan yang dapat mengantarkan kepada
perzinaan. Perintah menutup aurat, membatasi pandangan, dan larang khulwah (berduaan pria dan wanita yang bukan mahram) adalah di antara perbuatan yang dapat mencegah terjadinya perzinaan.
Hukuman di dunia bagi pelaku perzinaan juga sangat berat, yakni dicambuk hingga seratus kali dan disaksikan sekumpulan orang beriman (lihat QS al-Nur [24]:2). Hukuman tersebut bisa ditambah dengan taghrîb (diasingkan) selama setahun. Sedangkan bagi sudah muhshan (sudah pernah menikah), hukumannya lebih berat lagi, yakni dirajam hingga mati.
Ancaman Bagi Orang yang Melanggar
Setelah menjelaskan tentang sifat ‘ibâd al-Rahmân, kemudian Allah SWT mengancam siapa pun yang mengerjakan perbuatan terlarang tersebut dengan firman-Nya:
Wa man yaf’al dzâlika yulqa atsâm[an]
(barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat [pembalasan] dosa[nya]). Kata
dzâlika
dalam ayat ini merujuk kepada tiga perbuatan yang disebutkan sebelumnya, yakni
menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang tidak dibenarkan, dan berzina. Ditegaskan, siapa pun yang mengerjakan tiga perbuatan tersebut diberikan:
yulqa atsâm[an].
Menurut al-Qurthubi, kata atsâm[an] dalam bahasa Arab bermakna al-‘iqâb (hukuman). Tak jauh berbeda al-Jazairi menafsirkannya sebagai
‘uqûbah syadîdah
(hukuman yang keras).
Kerasnya hukuman itu diterangkan dalam ayat berikutnya: Yudhâ’afu lahu al-‘adzâb yawm
al-qiyâmah ([yakni] akan
dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat). Menurut al-Nasafi, ayat ini merupakan
badal
dari
yulqâ atsâm[an].
Artinya, pelipatgandaan azab di akhirat itu merupakan hukuman keras yang ditimpakan bagi orang yang melanggar larangan tersebut. Azab yang ditimpakan kepada mereka di akhirat dari hari ke hari terus meningkat.
Ditegaskan pula: Wa yakhlud fîhâ muhân[an] (dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam
keadaan terhina). Kata muhân[an] berarti dzalîl[a
n] (terhi
na). Mengenai dahsyatnya siksa yang ditimpakan kepada mereka di akhirat bisa dijelaskan dalam nash-nash lainnya.
Bagi pelaku syirik, yang hingga mati tidak bertaubat, neraka adalah balasannya. Mereka kekal di dalamnya dan diharamkan masuk surga (lihat QS al-Maidah [5]: 72). Mengenai azab yang ditimpakan kepada orang yang membunuh seorang Muslim dengan sengaja adalah Jahanam dan kekal ia di dalamnya, Allah memurkai dan mengutukinya, serta azab yang besar (lihat QS al-Nisa’ [4]: 93).
Sedangkan dosa bagi pelaku perzinaan, diberitakan dalam hadits dari Abu Umamah al-Bahili ra, Rasulullah SAW bersabda, Kemudian keduanya membawaku, ternyata ada satu kaum yang
tubuh mereka sangat besar, bau tubuhnya sangat busuk, paling jelek dipandang, dan bau mereka seperti bau tempat pembuangan kotoran (comberan). Aku tanyakan, ‘Siapakah mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah pezina laki-laki dan perempuan’.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
sudah barang tentu para hamba Yang Penyayang tidak akan terperosok dalam kemaksiatan tersebut. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1. Menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT, dan berzina merupakan perbuatan dosa besar
2. Semua pelakunya diancam dengan azab yang sangat dahsyat
3. Termasuk sifat ‘ibâd al-Rahmân adalah menjauhi semua perbuatan terlarang tersebut.
.