• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (TQS al-Furqan [24]: 64-66).

Ayat-ayat ini merupakan kelanjutan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang sifat-sifat ‘

ibâd al-Ra h

mân,

hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang. Dalam ayat sebelumnya telah digambarkan bahwa hamba tersebut memiliki sifat tidak angkuh dan tidak sombong ketika berjalan di muka bumi. Sebaliknya, mereka adalah hamba yang

hawn[an],

rendah hati. Ketika orang-orang bodoh melontarkan perkataan yang buruk dan tidak

menyenangkan, mereka pun tidak membalasnya dengan perkataan yang sama. Sebaliknya, mereka membalasnya dengan ungkapan yang baik.

(2)

Allah SWT berfirman: Wa al-ladzîna yabîtûna li Rabbihim sujjad[an] wa qiyâm[an] (dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka). Jika ayat

sebelumnya menjelaskan sifat mereka dalam berhubungan dengan diri mereka sendiri dan orang lain, ayat ini menjelaskan tentang hubungan mereka dengan Tuhan mereka. Al-Hasan, sebagaimana dikutip al-Alusi, jika membaca ayat sebelumnya dia berkata, ”

Ini adalah sifat mereka di siang hari.

Dan jika membaca ayat ini, dia berkata,

“Ini adalah sifat mereka di malam hari.”

Dalam ayat ini memang dijelaskan tentang keadaan mereka pada malam hari. Kata yabîtûna b erasal dari

al-baytûnah.

Dijelaskan al-Zamakhsyari, kata tersebut berarti menjumpai malam, baik dengan tidur maupun tidak.

Tatkala malam hari, mereka tidak menghabiskan waktunya untuk tidur atau begadang yang tidak jelas. Akan tetapi mereka mengisi sebagian waktu malamnya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (li Rabbihim sujjada[an] wa qiyâm[an]). Aktivitas sujud dan berdiri untuk Allah SWT menunjuk kepada satu perbuatan, yakni shalat. Telah maklum, bahwa di dalam shalat terdapat dua gerakan tersebut.

Sifat mereka yang mengisi waktu malamnya untuk shalat dan beribadah kepada Allah SWT ini sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di

akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)

(TQS al-Dzariyat [51]: 17-18). Juga firman-Nya:

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap

(TQS al-Sajdah [32]: 15).

Patut dicermati, penyebutan kata sujud dalam ayat ini lebih didahulukan daripada kata berdiri. Padahal, dalam pelaksanaan shalat, yang dilakukan justru sebaliknya. Yakni, berdiri terlebih dahulu, kemudian ruku’ dan i’tidal, baru sujud. Menurut al-Alusi, itu disebabkan karena sujud menjadi pemisah. Juga karena ketika itu seorang hamba dalam keadaan paling dekat kepada Allah SWT dan orang-orang yang sombong enggan melakukannya. Allah SWT berfirman: Dan

apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang", mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada

(3)

Tuhan y

ang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?"

(TQS al-Furqan [25]: 60).

Menurut Ibnu ‘Athiyah dalam al-Muharrar al-Wajîz fî al-Kitâb al-‘Azîz, ayat ini memberikan dorongan untuk mendirikan shalat malam. Ditegaskan juga oleh al-Baidhawi, disebutkannya secara khusus ibadah pada malam hari, karena ibadah pada waktu itu lebih kuat dan jauh dari riya’. Selain ayat ini, cukup banyak nash yang memerintahkan shalat malam dan menjelaskan keutamaannya.

Minta Dipalingkan dari Azab

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa al-ladzîna yaqûlûna Rabbanâ [i]shrif ‘annâ ‘adzâba

Jahannam (dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami). Selain mengisi waktu malam mereka dengan shalat, mereka juga mengucapkan doa tersebut. Doa tersebut bisa mereka panjatkan sesudah shalat atau pada sebagian besar waktunya.

Doa yang mereka munajatkan adalah: Rabbanâ [i]shrif ‘annâ ‘adzâba Jahannam. Menurut al-Alusi, ini menambah pujian terhadap mereka. Sebab, sekalipun mereka telah melakukan mumalah yang baik dengan sesama makhluk dan rajin beribadah dengan benar, mereka masih tetap takut dengan azab dan berdoa sungguh-sungguh dipalingkan dari azab tersebut. Mereka masih merasa tidak cukup dengan amal shalih mereka sehingga harus memohon dipalingkan dari azab tersebut. Ini sebagaimana firman Allah SWT:

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka

(TQS al-Mukminun [23]: 60). Sikap tersebut menunjukkan keimanan mereka yang amat besar terhadap hari Kebangkitan dan Pembalasan (hari Kiamat).

Dijelaskan juga oleh Ibnu ‘Athiyah, pujian Allah SWT terhadap mereka pada doa yang mereka panjatkan untuk dipalingkan dari azab Jahannam; dari segi pujian menjadi dalil atas kebenaran

(4)

akidah dan keimanan mereka; dan dari segi amaliyah menunjukkan kemuliaan dan keluhurannya.

Kemudian disebutkan: Inna ‘adzâbahâ kâna gharâma (sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal"). Secara dzahir, ini masih merupakan pemberitaan atas perkataan hamba al-Rahman itu. Bisa juga ini merupakan firman Allah SWT.

Dijelaskan al-Syaukani dalam Fat-h al-Qadîr, kata al-gharâm bermakna al-lâzim al-dâim (terus menerus dan kekal). Ibnu Jarir al-Thabari menafsirkannya sebagai

muli h

[an] lâzim[an] dâim[an] ghayra mufâriq wa muhlik[an]

(terus menerus, tetap, kekal, tidak berpisah dari yang disiksa, dan menghancurkan). Sedangkan menurut al-Zajjaj, kata tersebut bermakna

asyadd al-‘adzâb

(azab yang paling pedih). Abu Ubaidah mengartikannya sebagai

al-halâk

(kebinasaan). Al-Zamakhsyari dan Fakhruddin al-Razi juga menafsirkannya

halâk[an] wa khusrân[an] muli h

[an] lâzim[an]

(kehancuran, kerugian, terus-menerus, dan tetap).

Masih pengertian gharâm[an], Muhammad bin Ka’ab, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, mengatakan: Allah meminta mereka untuk membayar kenikmatan di dunia. Mereka tidak bisa

mendatangkannya, lalu Allah aghramahum (mendenda mereka)

untuk membayarnya dengan dimasukkannya ke dalam neraka.

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Innahâ sâat mustaqarr[an] wa muqâm[an] (sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman). Kata

sâat

termasuk

fi’l al-dzamm

(kata kerja yang menunjukkan celaan). Sebagaimana kalimat sebelumnya,

dhamîr al-ghâib

(kata ganti pihak ketiga) merujuk kepada Jahannam.

(5)

Ditegaskan ayat ini bahwa Jahannam merupakan sâat mustaqarr[an] wa muqâm[an]. Artinya, b

i`sat mawdhi’ iqâmah wa istiqrâr

(seburuk-buruk tempat tinggal dan menetap). Demikian al-Jazairi dalam

Aysar al-Tafâsîr.

Dijelaskan Ibnu Jarir al-Thabari, kata

al-mustaqarr berarti al-qarâr (kediaman) dan al-muqâm berarti al-iqâmah (tempat tinggal).

Lalu apa perbedaan antara al-mustaqar dan al-muqâm? Menurut Fakhruddin al-Razi, al-musta

qarr dituj

ukan untuk para pelaku kemaksiatan dari kalangan ahli iman. Mereka menetap di neraka namun tidak tinggal selamanya di dalamnya. Sedangkan

al-iqâmah

(tinggal yang terus menerus) diperuntukkan bagi orang kafir.

Inilah sifat-sifat hamba Alllah Yang Maha Penyayang. Tampak sekali mereka adalah orang yang rajin dan tekun beribadah. Ketika banyak orang lain menghabiskan malam-malamnya hanya untuk tidur dan melepas lelah setelah seharian beraktivitas, mereka masih menyisakan waktunya, bahkan sebagian besar waktunya untuk shalat dan beribadah kepada-Nya.

Meskipun begitu, mereka tidak membuat mereka ujub dan berbangga diri. Juga tidak

menjadikan merasa aman dari azab. Mereka berdoa sungguh-sungguh dihindarkan dari siksa yang kekal dan menghancurkan. Gelar ‘ibâd al-Rahmân yang disematkan kepada mereka memang layak. Semoga kita termasuk di dalamnya.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Iktisar:

(6)

(2) berdoa dipalingkan dari azab Jahannam

2. Doa mereka yang meminta dipalingkan dari azab padahal mereka telah melakukan banyak ibadah menunjukkan kebenaran akidah mereka dan keutamaan amal mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian disebutkan tentang salah satu otoritas Allah SWT yang diberikan kaum musyrik kepada sesembahan mereka, yakni: syara’û lahum min al-dîn mâ lam ya`dzan bihil-Lâh

Perbuatan buruk pertama yang disebutkan adalah: baddalû ni’matal-Lâh kufr[an] (orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran).. Menurut Fakhruddin al-Razi ada

Mereka tidak seperti orang-orang yang ketika diingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka terlihat tersungkur atasnya, menghadap kepada orang yang mengingatkan, dan menampakkan

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti

Jika Allah SWT telah menghancurkan umat-umat terdahulu yang mendustakan para rasul, sementara umat itu lebih kuat dari mereka, maka apa yang terbayang oleh mereka dengan hukuman

Ditegaskan ayat ini, apabila terjadi perselisihan --baik antara rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan penguasa-- maka mereka diperintahkan untuk mengembalikannya kepada Allah

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka

Sesungguhnya mereka, seandainya melakukan tadabbur terhadap Alquran, maka akan melihat ilmu dan hukum-hukum di dalamnya menunjukkan secara pasti bahwa Kitab itu tidak mungkin