• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. satu dengan yanng lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan banyak mengubah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. satu dengan yanng lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan banyak mengubah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Hutan dan Manfaatnya

Hutan menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam dan lingkungannya satu dengan yanng lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan banyak mengubah keseimbangan panas pada permukaan tanah khususnya selama periode radiasi positif bersih dan dapat mengurangi fluktuasi suhu tanah. Sehingga dapat mempengaruhi kualitas air baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemungutan kayu dan degradasi lahan merupakan gangguan ekosistem dengan dampak-dampak yang secara potensial drastis terhadap kualitas produksi air, erosi dan percepatan sedimentasi.

Gangguan terhadap ekosistem ini dapat mempengaruhi debit air pada sungai (Richard, 1990).

Hutan dengan penyebaran yang luas dengan struktur dan komposisi yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sementasi serta pengendalian daur air. Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaaan hutan yang tetap mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman sesuai dengan pola sebaran hujannya. Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai intersepsi sampai pengendalian aliran. Kebanyakan persoalan distribusi sumber daya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir-akhir ini sering dihadapkan

(2)

pada suatu keadaan berlebihan air pada musin penghujan dan kekurangan air di musim kemarau (Suryatmojo, 2004)

Tinjauan nilai ekonomi manfaat kawasan lindung mensyaratkan bahwa pengelolaan kawasan lindung harus berorientasi ekonomi wilayah yang menjadi bawahannya (daerah aliran sungai dan ekosistem wilayah) agar bisa melihat besarnya nilai dan peran manfaat kawasan lindung sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil, khususnya dalam pemanfaatan kawasan lindung, mengarah kepada efisiensi.

Kegagalan pengelolaan dan kebijakan, mengakibatkan hutan lindung yang tersisa di seluruh Indonesia hanya sekitar 15% saja, dan rusaknya hutan lindung akan berkonsekuensi sosial, ekonomi dan ekologi. Hubungan saling ketergantungan manusia dan hutan dalam suatu sistem interaksi kehidupan telah berlangsung lama.

Masyarakat di dalam dan sekitar hutan banyak menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan dan memiliki hubungan yang erat dengan hutan (Yudilasdiantoro, 2009).

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pembangunan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam

(3)

dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat

dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi. Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air (Priyono dan Cahyono, 2003).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus

(4)

perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Efendi, 2007).

Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa. Air merupakan benda yang sangat vital dan mudah dibutuhkan bagi kehidupan dan penghidupan umat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sepanjang masa. Oleh karena itu sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dan diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketersediaan air dipermukaan bumi sangatlah berlimpah. Sekitar dua pertiga dari permuaan bumi tertupi oleh air. Secara selintas tidak ada masalah dengan air bila ditinjau dari keberadaan dipermukaan bumi maupun fungsinya sebagai faktor utama kehidupan. Namun bila dicermati akan nampak bahwa jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sangat terbatas dibandingkan jumlah air yang ada (Rohmat, 2001).

Air merupakan bagian penting dari sumber daya alam yang mempunyai karakteristik unik dibandingkan sumber daya lainnya. Air bersifat sumber daya yang dapat diperbaharui dan dinamis. Artinya sumber daya air yang berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun. Air secara alami mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah yang tinggi ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir di atas permukaan tanah namun air juga mengalir di dalam tanah. Di daerah tangkapan atau imbuhan (recharge area) air tanah, air dari permukaan tanah meresap ke dalam tanah mengisi akuifer baik akuifer bebas maupun akuifer tertekan. Di daerah pelepasan atau luahan air tanah keluar dari berbagai cara, misalnya terjadi

(5)

mata air, air dalam sumur dangkal maupun air dalam sumur bor atau aliran menjadi aliran dasar (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Air yang disalurkan di daerah tangkapan yang berhutan utuh pada umumnya adalah sesuai untuk penggunaan yang menguntungkan, namun aktivitas-aktivitas manusia dalam ekosistem hutan dapat berpengaruh besar terhadap kualitas produksi air. Adanya penutupan hutan diasoasikan dengan berkurangnya produksi air tahunan, ini ditunjukkan secara berulang-ulang dengan membandingkan debit-debit daerah tangkapan yang berhutan dan yang tidak berhutan yang berdekatan dengan memperhatikan pengaruh-pengaruh penggundulan hutan reboisasi dan penghijauan.

Penutupan hutan juga dimodifikasikan resim-resim aliran sungai tahunan, pola musiman dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang dihutankan, ditebang sebagian dan digundulkan tergantung tipe hutan dan iklim. Dalam kondisi lantai hutan terganggu atau ketika hutan dialihgunakan menjadi lahan pertanian, sebagian besar air hujan yang datang akan meninggalkan areal tangkapan dengan cepat selama dan setelah kejadian hujan. Air yang tertinggal untuk menggantikan air di lapisan tanah yang lebih dalam hanya sedikit. Dengan demikian, sedikit pula air yang tertinggal untuk mempertahankan kelangsungan aliran sungai selama musim kemarau (Richard, 1990).

Kebutuhan Pemakaian Air

Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan.

Jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) secara

(6)

sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri (Sutawan, 2001).

Pemakaian air secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan berdasarkan tujuan penggunaanya, yaitu air untuk keperluan irigasi, air untuk keperluan pembangkit energi, air untuk keperluan industri dan air untuk keperluan umum. Kebutuhan air bagi sektor pertanian, sumber pangan manusia sangat luar biasa besarnya. Air dalam kehidupan tanaman berfungsi sebagai penjamin kelangsungan proses fisiologis dan biologi pertumbuhannya. Air untuk keperluan pertanian (irigasi) pada umumnya bersumber dari sungai, danau, waduk dan air tanah. Air sungai mempunyai sifat-sifat umum sebagai berikut:

1. Debitnya cukup besar dibandingkan dari sumber-sumber alami air lainnya namun besar debitnya itu sendiri tidak konstan melainkan tergantung musim dan lokasinya.

2. Kualitas dan suhunya pada umumnya baik, karena banyak mengandung lumpur dan larutan zat-zat tertentu yang sangat berguna bagi lahan disamping itu suhu airnya hampir sama dengan suhu udara atmosfir.

(7)

3. Pengambilan airnya relatif mudah, tergantung pada topografi daerah sumber pertanian yang dialiri (Dumairy, 1992).

Permasalahan Sumber Daya Air

Hutan yang merupakan faktor yang utama dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air sehingga ada tuntutan dan keinginan agar hutan sebagai daerah tangkapan utama dan berfungsi sebagai pengatur tata air perlu dikelola dengan baik.

Sebagai pengguna air baik pemerintah, swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan berupa kontribusinya sebagai kompensasi agar kebutuhan akan sumber air dapat terpenuhi (Sylviani, 2009).

Hutan selalu dikaitkan dengan fungsi positif terhadap tata air dalam ekosistem. Fungsi hutan dalam ekosistem DAS perlu dipandang dari tiga aspek berbeda, yaitu pohon, tanah dan lansekap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun laju transpirasi yang tinggi mengakibatkan penggunaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya. Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah, dan jumlah makroporositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian (Farida dan Noordwijk, 2004).

Sungai merupakan satu kesatuan antara wadah air dan air yang mengalir karena itu merupakan persekutuan yang mendasar yang tidak terpisahkan. Dengan sendirinya pengelolaan lingkungan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya perairan, namun asa tersebut sering diabaikan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan sehingga orientasi kolektif terhadap pelestarian aspek

(8)

lingkungan sungai sering amat rendah. Pemanfaatan lahan di sempadan sungai untuk keperluan permukiman, pertanian dan usaha lain yang mengganggu kelancaran pengaliran air merupakan contoh khas dari pengabaian aspek lingkungan sosial sungai. Dengan demikian praktik-praktik membuang sampah ke perairan terbuka merupakan kelemahan dalam pengelolaan sumber daya air (Sunaryo dkk, 2004).

Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-

cuma atau gratis. Padahal air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah (Sutawan, 2001).

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap kelangkaan air adalah pertambahan jumlah penduduk, perluasan lahan pertanian, industrialisasi, perluasan hunian, serta berbagai perubahan demografis lainnya. Meningkatnya kebutuhan air bersih dan berkurangnya kuantitas air bersih yang dapat dimanfaatkan akan menyebabkan tekanan terhadap sumber-sumber air dan pada akhirnya akan menjadi penyebab kelangkaan air. Ketika air makin langka maka persaingan untuk memiliki, menguasai, memanfaatkan, dan mengelola air juga akan meningkat. Hal semacam ini seringkali memicu konflik dan menjadi perhatian di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Tekanan-tekanan seperti itulah yang pada akhirnya akan dirasakan di daerah aliran sungai sebagai penyedia air dan berbagai jasa lingkungan maupun daerah tangkapan air (Chandler dan Suyanto, 2003).

(9)

Dalam tiga dasawarsa terakhir alih guna lahan hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian lainnya, merupakan kegiatan yang disoroti karena pengaruhnya terhadap fungsi hidrologi daerah aliran sungai di daerah hulu. Hutan umumnya dikaitkan dengan fungsi positif tata air dalam suatu ekosistem aliran air dan semua alih guna lahan dianggap akan berdampak negatif terhadap kuantitas dan kualitas air bagi masyarakat di daerah hilir. Akhir-akhir ini telah dikembangkan sekumpulan kriteria fungsi daerah aliran sungai yang difokuskan pada dampak alih guna lahan terhadap fungsi daerah aliran pada kondisi lokal spesifik (iklim dan kondisi alamnya) (Farida dan Noordwijk, 2004).

Valuasi Ekonomi Air

Sumber daya alam dipandang sebagai barang atau jasa yang mempunyai fungsi pemenuhan kepuasan akan hasrat untuk mengkonsumsi dan suatu sumber daya baru benar-benar mempunyai nilai atau harga jika sumber daya tersebut terbatas (terjadi kelangkaan), dimana untuk mendapatkannya diperlukan suatu pengorbanan berupa membayar sejumlah uang. Dengan demikan harga adalah suatu indikator yang merefleksikan fungsi nilai kepuasan dalam mengkonsumsi sumber daya. Dari keadaan ini melahirkan sumber daya ekonomi sebagai hasil mekanisme pasar sehingga dapat dikategorikan sebagai sumber daya marketable. Sedangkan sumber daya yang non marketable dan non use tidak dinilai berdasarkan fungsi pemenuhan kepuasan konsumsi tetapi lebih sebagai fungsi dalam sistem alam yang saling terkait satu sama lain, dimana fungsinya secara keseluruhan adalah mendukung dan memelihara kehidupan (Ichwandi, 1996).

(10)

Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna sesuatu objek atau sumber daya hutan bagi individu tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi panca indra untuk proses pemikiran. Oleh karena itu nilai sumber daya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam tergantung kepada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, dengan demikian nilai antar masyarakat akan berbeda (Bahruni, 1999).

James, R.F dalam Bahruni (1999) membuat klasifikasi nilai manfaat yang membagi habis seluruh macam manfaat nilai (nilai total manfaat) yang menurut interpretasi didasarkan atas sumber atau proses manfaat tersebut diperoleh yaitu:

1. Nilai guna (uses value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya hutan seperti kayu bulat untuk keperluan industri pengolahan kayu, kayu bakar, produksi tanaman pangan seperti perladangan, produksi air, untuk berbagai keperluan.

2. Nilai fungsi (functions value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari fungsi ekologis sumber daya hutan seperti pengendalian banjir pencengahan intrusi air laut, habitat satwa.

3. Nilai atribut (attributes value) yaitu seluruh nilai yang diperoleh bukan dari penggunaan materi (hasil produksi barang dan jasa) tetapi aspek kebutuhan psikologis manusia yaitu menyangkut budaya masyarakat.

Untuk dapat mengetahui berapa besar nilai manfaat hutan dalam mengatur tata air sehingga masyarakat dapat memanfaatkan air dari sumber-sumber air tersebut, perlu dilakukan penilaian ekonomi atas manfaat hidrologis hutan tersebut. Penilaian ekonomi atas manfaat hidrologis yang dihasilkan hutan lindung ini khususnya untuk

(11)

memberi gambaran secara kuantitatif manfaat hidrologis hutan sebagai pengatur tata air untuk berbagai pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman banyak pihak tentang besarnya nilai manfaat hutan khususnya dalam mengatur ketersediaan dan kualitas air (Nurfatriani dan Handoyo, 2007).

Pendekatan fungsi produksi (dosis respon), dengan fokus pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar. Metode penilaian ini sering disebut dengan teknik perubahan dalam produksi, metode input-output atau pendekatan fungsi produksi. Metode ini menekankan pada hubungan antara kehidupan manusia atau lebih sempitnya lagi pada pertambahan output dari barang dan jasa yang memiliki pasar dan perubahan dari sumber daya alam baik kualitas maupun kuantitas.

Menurut Alam dkk (2009) menyatakan bahwa pendekatan fungsi produksi dapat digunakan untuk mengestimasi nilai guna tidak langsung dari fungsi ekologis hutan, melalui kontribusi nilai guna tersebut terhadap kegiatan pasar. Terdapat dua tahapan prosedur dalam metode ini, yaitu pertama menentukan pengaruh secara fisik dari perubahan lingkungan pada kegiatan ekonomi. Kedua menilai hasil perubahan lingkungan tersebut terhadap produksi dan konsumsi, biasanya menggunakan harga pasar. Pendekatan fungsi produksi relatif sederhana pada kondisi single use system, yaitu pada kondisi dimana hanya terdapat satu fungsi ekologis dari nilai hutan.

(12)

Kondisi Umum Sub DAS Sitobu DAS Asahan Barumun Letak astronomis

Daerah aliran sungai (DAS) Asahan Barumun terletak di Sumatera Utara, DAS ini mencakup Danau Toba sebagai hulunya dan sungai Asahan sebagai sungai utamanya. Secara astronomis DAS ini berada pada 2o15’00” LU - 3o3’00” LU dan 98o25’10” BT - 99o51’30” BT. Kawasan ini mempunyai luas area sebesar 3741 Km2, dengan panjang sungai utamanya adalah 147 Km dan daerah hulunya Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba seluas lebih kurang 369.854 Ha, yang terdiri dari 190.314 Ha keliling luar danau, 69.280 Ha daratan Pulau Samosir atau di tengah danau dan 110.260 Ha berupa perairan Danau Toba (luas permukaannya). Menurut wilayah administrasi pemerintahan Ekosistem Kawasan Danau Toba meliputi tujuh Kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo dan Kabupaten Dairi (BAPEDA, 2005).

Gambar 1. Peta Daerah Aliran Sungai Toba Asahan Skala 1: 10.000

(13)

Topografi

Permukaan Danau Toba terletak pada ketinggian 903 meter dpl, sedangkan DTA Danau Toba ini berada pada ketinggian sampai dengan 1.981 meter dpl.

Kondisi topografi pada EKDT ini didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan dari datar (kemiringan lahan 0 – 8 %), landai (kemiringan lahan 8 – 15 %), agak curam (kemiringan lahan 15 - 25 %), curam (kemiringan lahan 25 - 45 %), sangat curam sampai dengan terjal (kemiringan lahan

> 45%). Daerah yang datar meliputi lebih kurang 27,2 % dari total DTA, daerah yang landai 30,6 %, daerah yang agak curam 24,0 %, daerah curam 16,5 % dan daerah yang sangat curam sampai terjal lebih kurang 1,7 % dari total daerah tangkapan air (DTA) (Depertemen Pekerjaan Umum, 2006).

Jenis batuan dan tanah

Formasi batuan yang membentuk kawasan Danau Toba didominasi oleh Volkanik Kuarter dan selanjutnya dalam jumlah yang lebih terbatas dijumpai pula batuan sedimen tersier dan batuan metamorfosis dengan umur yang lebih tua, seperti serpih, batu sabak, batu gamping dan sebagainya. Sedangkan struktur geologi pada EKDT ini secara umum dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok struktur geologi Pulau Samosir dan kelompok struktur geologi Danau Toba (BAPEDA, 2005).

Berdasarkan pada klasifikasi tanah maka DTA Danau Toba di bagian timur merupakan jenis tanah kompleks litosol dan regosol yang sangat peka terhadap erosi, bagian tenggara jenis podsolik coklat (peka erosi) dan jenis tanah kompleks pegunungan. Di bagian barat DTA ini jenis tanah podsolik coklat (peka erosi),

(14)

sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya sebagain besar merupakan jenis tanah Brown Forest (agak peka erosi).

Tabel 1. Jenis Tanah dan Kepekaan Lahan Terhadap Erosi

No. Jenis tanah %

terhadap luas DTA

Variasi bentuk lahan kepekaan

Kepekaan terhadap erosi

1 Litosol 36.4 Daerah curam Sangat p eka

2 Podsolik coklat kelabu, Podsol,

Tanah diatomea

13,8 Datar dan berombak

Pek - sangat peka

3 Litosol/podsolik/regosol 3,5 Daerah curam Peka - sangat Peka

4 Podsolik coklat, Regosol 18,7 Bergelombang, curam

Peka – sangat Peka

5 Alluvial regosol, Orga- nosol

3.2 Datar Tidak peka

6 Podsilik coklat keku- ningan

2.7 Datar dan

bergelombang

Peka

7 Podsolik coklat kelabu, Podsolik coklat

21.6 Datar dan bergelombang

Peka

Sumber: Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I,

Iklim

Menurut klasifikasi iklim Oldeman maka kawasan ini termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan E2. Dengan demikian bulan basah (curah hujan ≥ 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara kurang dari 3 bulan sampai dengan 7 – 9 bulan, sedangkan bulan kering (curah hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2 – 3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidt dan Ferguson maka kawasan ini termasuk ke dalam tipe iklim A, B dan C. Dari tujuh stasiun penakar hujan yang terdapat di kawasan ini diketahui bahwa curah hujan tahunan di kawasan ini berkisar antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun. Puncak

(15)

musim hujan terjadi pada bulan November - Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/bulan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni- Juli dengan curah hujan berkisar antara 54 – 151 mm/bulan (BAPEDA, 2005).

Suhu udara bulanan kawasan ini berkisar antara 18oC – 19,7oC di Balige.

Suhu udara selama musim kemarau cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79 - 95%. Pada bulan-bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di kawasan ini berkisar antara 74 - 88 mm/bulan. Angka evaporasi selama musim musim kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan selama musim hujan

Pada dasarnya terdapat 19 sungai yang mengalir ke Danau Toba salah satunya yaitu adalah sungai Sitobu. Sub DAS Sitobu secara administratif berada di kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Tapanuli Utara, Sub DAS ini mempunyai luas kawasan 7301.19 Ha, dengan kawasan hutan sebesar 918.82 Ha, permukiman sebesar 173.54 Ha, sawah irigasi sebesar 1116.74 Ha dan tanah ladang 5092.74 Ha (Depertemen Pekerjaan Umum, 2006).

Kondisi Umum Desa Gurgur Aek Raja

Desa lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir, secara astronomis kawasan ini terletak pada 2o19’ LU – 2o20’ dan 99o1’ BT Adapun batas-batas kecamatan ini adalah:

Sebelah utara : Danau Toba

Sebelah selatan : Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara Sebelah barat : Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara

(16)

Sebelah timur : Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir

Berdasarkan BPS Toba Samosir (2010) luas Kecamatan Tampahan adalah 24.45 Km2 dengan 1.21% dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Kawasan ini terletak di ketinggian 905-1000 meter di atas permukaan laut yang mempunyai topografi datar hingga berbergelombang sedang dan mempunyai rata-rata kemiringan lahan 2o-30odengan struktur tanah yang labil. Sesuai dengan letaknya di khatulistiwa kawasan ini tergolong kedalam iklim tropis basah, dengan suhu rata rata 17oC-29oC dan kelembapan rata-rata adalah 85.04%. Berdasarkan pendataan Geofisika dan Meteorologi mempunyai jumlah bulan basah 9 bulan dengan curah hujan rata-rata 158 mm/tahun dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan curah hujan 403 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni dan Juli dengan curah hujan 21mm dengan masing-masing hari hujan selama 3-5 hari.

Desa Gurgur Aek Raja berada di Kecamatan Tampahan yang mempunyai luas 9.60 Km2. Berdasarkan pendataan sensus penduduk tahun 2010, Desa Gurgur Aek Raja mempunyai jumlah penduduk 1466 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 236 rumah tangga. Sesuai dengan topografinya pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah bertani. Pada umumnya penduduk Desa Gurgur Aek Raja mayoritas suku Batak Toba. Fasilitas umum yang terdapat di desa ini adalah bangunan sekolah dasar, puskesmas, gereja, jalan raya, dan kantor kepala desa (BPS Toba Samosir, 2010).

Gambar

Gambar 1. Peta Daerah Aliran Sungai Toba Asahan Skala 1: 10.000
Tabel 1. Jenis Tanah dan Kepekaan Lahan Terhadap Erosi

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan tugas dan fungsi LPA Lape yang sangat penting dan strategis dalam setiap penyelesaian sengketa tersebut, maka penulis melakukan penulisan sebuah jurnal ilmiah

Kemasan asli mesin Comings dilengkapi dengan perangkat katup listrik yang dapat menyesuaikan konsumsi bahan bakar yang sesuai dengan tenaga mesin, mewujudkan kecepatan diam otomatis

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kepuasan anggota koperasi syari’ah BEN IMAN, dengan kata lain apabila akad murabahah meningkat satu satuan maka

Gambar 7 Kurva Luasan Area A dan Area B Hasil yang akan ditimbulkan karena pangaruh bilge keel adalah luasan area B lebih besar dari pada luasan area A.dari hasil analisa

 Bisnis: misalnya merger dan akuisisi, untuk membangun inisiatif bisnis baru Penggerak pelanggan Penggerak teknologi Penggerak organisasional Penggerak bisnis

Skim kredit tersebut kiranya dapat dimanfaatkan dengan kombinasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan lain yang dapat dimanfaatkan adalah KKP, Kredit Taskin Agribisnis, Modal

Puskesmas di Kabupaten banyumas memiliki persepsi positif terhadap peran Apoteker yang berarti semua kepala Puskesmas setuju dengan peran Apoteker tentang

Pada PT Tunas dwipa Matra selama ini belum pernah dilakukannya Audit Tata Kelola Informasi nya, mengingat Teknologi Informasi merupakan aset penting bagi