• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR-DASAR PERANCANGAN STRUKTUR GEDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II DASAR-DASAR PERANCANGAN STRUKTUR GEDUNG"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR-DASAR PERANCANGAN STRUKTUR GEDUNG

2.1. Tinjauan Umum

Suatu sistem beton bertulang sering kali memperbolehkan perancang untuk memadukan fungsi arsitektur dan fungsi struktur. Beton mempunyai keunggulan bahwa penempatannya dilakukan pada keadaan cair dan mendapatkan bentuk dan tekstur yang diinginkan melalui perancah dan teknik penyempurnaan.

Hal ini dapat menyebabkan elemen yang berupa plat datar atau tipe lantai lainnya tersebut dapat bertindak sebagai penahan beban sekaligus permukaan jadi dari lantai atau langit-langit. Hal yang sama dapat pula ditunjukkan oleh beton bertulang yang menarik secara arsitektual sekaligus mempunyai kemampuan menahan beban berat sendiri, angin atau gempa. Akhirnya dengan menggunakan beton bertulang, pilihan terhadap ukuran dan bentuk dapat ditentukan oleh perancang dan bukan oleh ketersediaan ukuran dan bentuk baku dari pabrik.

Dalam menganalisa dan mendesain suatu struktur perlu ditetapkan kriteria yang dapat digunakan sebagai ukuran maupun untuk menentukan apakah struktur tersebut dapat diterima untuk penggunaan yang diinginkan atau untuk maksud desain tertentu. Kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan dalam analisis dan desain struktur diantaranya yaitu:

1. Kemampuan layan (Serviceability)

Struktur harus mampu memikul beban rancang serta aman tanpa kelebihan tegangan pada material dan mempunyai deformasi yang masih dalam daerah yang diizinkan. Dengan memilih ukuran serta bentuk elemen struktur dan bahan yang digunakan, taraf tegangan pada struktur dapat ditentukan pada taraf yang dipandang masih dapat diterima dan aman, hal ini merupakan kriteria kekuatan dan merupakan dasar yang sangat penting. Defleksi atau deformasi

(2)

besar dapat diasosiasikan dengan struktur yang tidak aman, tetapi hal ini tidak selalu demikian. Deformasi dikontrol oleh kekakuan struktur dan kekakuan sangat bergantung pada jenis, berat dan distribusi bahan pada struktur.

2. Efisiensi

Kriteria ini mencakup tujuan desain struktur yang relatif lebih ekonomis.

Ukuran yang sering digunakan adalah banyak material yang diperlukan untuk memikul beban yang diberikan dalam ruang pada kondisi dan kendala yang ditentukan.

3. Konstruksi

Tinjauan konstruksi sering juga mempengaruhi pilihan struktural dimana perakitan elemen-elemen struktural akan efisien apabila materialnya mudah dibuat dan dirakit.

Syarat-syarat dalam mendesain suatu struktur diantaranya yaitu:

a. Kekuatan

Struktur harus kuat terhadap gaya-gaya dan beban-beban yang bekerja padanya seperti beban mati, beban hidup, beban angin dan beban gempa b. Kekakuan

Dalam perencanaan suatu gedungperlu diperhitungkan kekakuannya agar didapat struktur yang kaku dan tidak mudah rusak saat terjadi gempa serta aman dari faktor tekuk.

c. Stabilitas

Dalam mendesain struktur perlu juga diperhatikan kestabilannya terhadap momen-momen yang bekerja padanya seperti momen guling, momen geser dan gaya uplift.

2.2. Tinjauan Desain Struktur

Desain konstruksi melibatkan pemakaian penilaian teknik untuk menghasilkan sebuah sistem konstruksi yang memadai akan memuaskan keperluan pemilik. Dalam tinjauan keamanan, untuk menyatakan suatu struktur sudah dirancang dengan cukup aman atau tidak dinyatakan dengan faktor

(3)

keamanan. Faktor keamanan bergantung pada banyak hal seperti bahaya terhadap kehidupan dan barang-barang sebagai akibat collapse satu jenis elemen struktur, keyakinan dalam metode analisis struktur, prediksi beban, variasi sifat material, dan kerusakan yang mungkin terjadi selama masa hidup struktur, dll.

Untuk itu, perlu ditinjau hal-hal yang mempengaruhi dalam tinjauan desain suatu struktur seperti kondisi pembebanan serta desain struktur bangunannya.

Berdasarkan standar perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung SNI 1726 gedung dapat dikategorikan menjadi dua yakni struktur gedung beraturan dan tidak beraturan. Suatu struktur gedung akan ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidk lebih dari 10 tingkat atau 40 m.

b. Denah struktur gedung adalah persegi pajang tanpa tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut

c. Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.

d. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurusdan sejajar dengan sumbu-sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan

e. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka.

f. Sistem struktur gedung tidak memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah

(4)

suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang 70 % kekakuan lateral tingkat diatasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat diatasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar tingkat.

g. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150%

dari berat lantai tingkat diatasnya atau dibawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini.

h. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.

i. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat.

Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh gempa rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa static ekivalen, sehingga menurut standar ini analisanya dapat dilakukan berdasarkan analisis static ekuivalen.

Struktur gedung yang tidak memenuhi ketentuan menurut kaidah-kaidah diatas dapat ditetapkan sebagai struktur gedung tidak beraturan, Untuk struktur gedung tidak beraturan, pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respon dinamik.

2.3. Tulangan Baja

Agar dapat berlangsung lekatan erat antara baja tulangan dengan beton, selain batang polos berpenampang bulat/polos (BJTP) juga digunakan batang deformasian (BJTD), yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur dengan pola tertentu. Baja Tulangan Polos

(5)

(BJTP) hanya digunakan untuk tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya.

Baja tulangan untuk beton terdiri dari batang, kawat, dan jaring kawat baja las yang seluruhnya dirakit sesuai dengan standard SNI.

Standard tulangan yang ada di Indonesia : 1. Tulangan baja

a. Baja tulangan deform (BJTD) sebaiknya digunakan untuk tulangan utama.

b. Baja tulangan polos (BJTP) sebaiknya digunakan untuk tulangan sengkang.

2. Modulus Elastisitas : Es = 200.000 MPa 3. Modulus Geser : G = 80.000 MPa 4. Nisbah Poisson’s :µ = 0,3 MPa 5. Koefisien Pemuaian :α = 12 x 10-6 /°C

2.4. Balok

Lentur pada balok merupakan akibat dari adanya regangan yang timbul karena adanya beban luar, apabila bebannya bertambah, maka pada balok terjadi deformasi dan rengangan tambahan yang mengakibatkan timbulnya (atau bertambahnya) retak lentur disepanjang bentang balok. Bila beban semakin bertambah, pada akhirnya dapat terjadi keruntuhan elemen stuktur yaitu pada saat beban luarnya mencapai beban kapasitas elemen taraf pembebanan, demikian disebut keadaan limit dari keruntuhan pada lentur karena itulah perencanaan harus mendesain penampang elemen balok sedemikian rupa sehingga tidak terjadi retak yang belebihan pada saat beban bekerja dan masih mempunyai keamanan yang cukup dan kekuatan cadangan untuk menahan beban dan tegangan tanpa mengalami keruntuhan.

Pada desain ukuran penampangnya ditentukan terlebih dahulu untuk kemudian dianalisis untuk menentukan apa penampang tersebut dapat dengan aman memikul beban luar yang diperlukan atau tidak, untuk mendalami prinsip-prinsip mekanika dasar mengenai keseimbangan merupakan hal yang harus terpenuhi untuk setiap keadaan pembebanan.

(6)

Seperti pada plat, balok juga terdapat beberapa peraturan penggambaran detail penulangan yang lebih banyak berhubungan dengan praktek merencana struktur yang baik daripada berdasarkan perhitungan.

Jarak antara batang tulangan harus cukup lebar agar butir-butir aggregat terbesar dapat melewatinya dan jarum penggetarpun mungkin dapat dimasukkan kedalam untuk memadatkan beton. Untuk ini jarak antara batang tulangan diambil sebesar 40 mm baik untuk tulangan atas maupun bawah dan jarak inipun dianggap sebagai nilai minimum.

Dari segi ekonomi, berlaku peraturan praktis berikut bagi tulangan balok : - batasilah penggunaan beberapa diameter batang yang berbeda-beda

- gunakan diameter-diameter berikut : 6, 8, 10, 12, 14, 16, 19, 20, 22, 22, 25, 28 dan 32 mm

- gunakan tulangan sedikit mungkin, yaitu dengan mengambil jarak antara tulangan sebesar mungkin

- gunakan panjang batang yang ada dipasaran

- batang yang dibengkokkan harus cukup pendek, sebaiknya gunakan batang tulangan yang panjang hanya untuk tulangan lurus

- bila mungkin, hanya menggunakan sengkang yang semuanya terbuat dari satu mutu baja dengan diameter yang sama

- diameter batang yang dipilih dalam satu penampang disarankan jangan mempunyai perbedaan lebih dari satu meter

- usahakan agar jarak antara sepasang batang pada tulangan atas balok tidak kurang dari 50mm agar dapat terbentuk celah memanjang yang cukup lebar untuk pengecoran dan pemadatan, ini khusunya bila terdapat tulangan dua lapis.

(7)

Peraturan ”Syarat penulangan balok yang baik” diatas ini dapat dilihat pada gambar 2.1

Jarak Minimum 25 mm

Jarak minimum tulangan utama Jarak minimum tulangan utama 25 mm

Jarak minimum tulangan utama 25 mm Penutup beton

150 mm pada maksimum momen lapangan momen tumpuan momen jepit tak terduga

300 mm momen menurun Jarak maksimum sengkang 250 mm tulangan polos 300 mm tulangan diprofilkan

tidak langsung berhubungan dengan tanah/cuaca

- Untuk tulangan utama : 40 mm yang langsung berhubungan dengan tanah/cuaca

- untuk >φ16 : 50 mm - untuk≤ φ16 : 40 mm (disarankan 40 mm)

samping 300 mm Jarak maksimum tulangan

Gambar 2.1 Syarat-syarat penulangan balok 2.5. Kolom

Kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang bekerja pada semua lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada sato bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan rasio maksimum dari momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan

Pada konstruksi rangka atau struktur menerus, pengaruh dari adanya beban yang tak seimbang pada lantai atau atap terhadap kolom luar ataupun dalam harus diperhitungkan. Demikian pula pengaruh dari beban eksentris karena sebab lainnya juga harus diperhitungkan .

(8)

Kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vetikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak 3 kali dimensi lateral terkecil, bagian-bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran seperti tersebut, kolom menempati posisi penting didalam sistem stuktur bangunan.

Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen stuktur lain yang berhubungan dengan, atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan struktur bangunan, secara garis besar ada 3 jenis kolom beton bertulang, seperti terlihat pada gambar 2.2. Pembahasan kolom ada 2 jenis yang pertama, yaitu kolom dengan mengunakan pengikat lateral sengkang dan spiral, untuk komponen stuktur tekan yang diperkuat dengan gelagar atau pipa baja disebut kolom komposit.

Gambar 2.2 Jenis-jenis kolom

Spasi

Kolom pengikat sengkang lateral

Pengikat spiral

(a)

Pengikat sengkang

Tulangan pokok memanjang Penampang

Sengkang

Kolom komposit beton-baja Kolom pengikat

spiral

(b) (c)

Pipa baja Spiral

Gelagar baja

(9)

Tulangan pengikat lateral berfungsi untuk memegang tulangan pokok me- manjang agar tetap kokoh ditempatnya dan memberikan tumpuan lateral sehingga masing-masing tulangan memanjang hanya dapat tertekuk pada tempat diantara dua pengikat. Dengan demikian tulangan pengikat lateral tidak dimaksudkan untuk memberikan sumbangan terhadap kuat lentur penampang tetapi meperkokoh kedudukan tulangan pokok kolom.

2.6. Pelat Lantai

Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi.

Syarat-syarat tumpuan menentukan jenis perletakan dan jenis penghubung ditempat tumpuan. Bila pelat dapat berotasi bebas pada tumpuan, maka pelat itu dikatakan ”ditumpu bebas” karena pelat tertumpu oleh tembok bata. Bila tumpuan mencegah pelat berotasi dan relatif sangat kaku terhadap momen puntir, maka pelat itu ”terjepit penuh” dimana pelat itu adalah monolit (menyatu) dengan balok yang tebal.

Stuktur bangunan gedung umumnya tersusun atas komponen pelat lantai, balok anak, balok induk, dan kolom yang umumnya dapat merupakan satu kesatuan monolit atau terangkai seperti halnya pada sistem pencetakan, pelat juga di pakai untuk atap, dinding, dan lantai tangga, jembatan, atau pelabuhan. Petak plat dibatasi oleh balok anak pada kedua sisi panjang dan terhadap sisi pendek yang saling tegak lurus, namun apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek yang saling tegak lurus lebih dari 2, pelat dapat dianggap hanya berkerja sebagai pelat satu arah dapat didefinisikan sebagai pelat yang didukung pada dua tepi yang berhadapan sehingga lenturan timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu pada arah yang tegak lurus terhadap arah dukungan tepi.

(10)

a . P la t S a tu A ra h

B e a m B e a m

B e a m

b . P l a t D u a A r a h

B e a m

Gambar 2.3 Sistem Plat Lantai

Pada gedung kantor yang direncanakan menggunakan sistem pelat 2 arah dan dikerjakan dengan metode monolit, hal ini dapat terlihat pada gambar 2.3.

Untuk menentukan tebal pelat lantai menurut Dr. Edward G. Nawy, P.E. (1998) tercantum pada table 2.1

Tabel 2.1 Tebal minimum pelat (h) Perletakan sederhana L/20 Satu ujung perletakan menerus L/24 Kedua ujung menerus L/28

Kantilever L/10

(11)

2.7. Keamanan Struktur

Untuk dapat memenuhi tujuannya, suatu stuktur harus aman terhadap keruntuhan dan bermanfaat. Suatu struktur mensyaratkan bahwa lendutan-lendutan yang terjadi harus cukup kecil. Apabila ada retak-retak harus diusahakan berada dalam batas-batas yang masih dapat ditoleransi dan getaran-getaran yang terjadi harus diusahakan seminimum mungkin.

Keamanan mensyaratkan bahwa suatu stuktur harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk memikul semua beban yang mungkin bekerja padanya. Apabila kekuatan dari suatu stuktur yang dibangun sesuai dengan perencanaan dan dapat dengan tepat untuk perhitungan besar beban berserta gaya-gaya dalam yang ditimbulkan (momen gaya geser dan gaya aksial), maka keamanan stuktur dapat ditentukan dengan jalan menyediakan daya dukung stuktur sedikit lebih besar dari beban yang bekerja pada stuktur tersebut, namun demikian pada umumnya didalam analisis, perencananaan dan pembangunaan stuktur-stuktur beton bertulang terdapat sejumlah sumber ketidakpastian. Sumber-sumber ketidakpastian ini, yang menyebabkan diperlukannya suatu faktor keamanan tertentu, dapat diperinci sebagai berikut :

1. Besar beban yang sebenarnya terjadi dapat berbeda dengan yang ditentukan dalam perencanaan.

2. Beban yang sebenarnya pada stuktur mungkin didistribusi dengan cara yang berbeda dari yang ditentukan dalam perencanaan .

3. Asumsi-asumsi dan penyederhanaan-penyederhanaan yang dilakukan didalam analisis stuktur bisa memberikan hasil perhitungan pembebanan seperti momen, geser dan lain-lainnya yang berbeda dengan besar gaya- gaya yang sebenarnya bekerja pada stuktur.

4. Perilaku stuktur yang sebenarnya dapat berbeda dari perilaku yang dimisalkan dalam perencanaan, disebabkan karena tidak sempurnanya pengetahuan mengenai perilaku beban yang bekerja pada stuktur .

5. Besar dimensi batang yang sesungguhnya terdapat dilapangan dapat berbeda dari dimensi yang ditentukan oleh perencana.

6. Letak tulangan mungkin tidak pada posisi yang sebenarnya.

(12)

7. Kekuatan material yang sesungguhnya mungkin berbeda dari yang ditetapkan oleh perencanaan .

Disamping itu, didalam menetapkan suatu spesifikasi mengenai keamanan, juga harus diperhatikan akibat-akibat yang ditimbulkan apabila terjadi keruntuhan.

Pada beberapa kasus-kasus lainnya, suatu keruntuhan dapat melibatkan suatu kehilangan jiwa atau kerugian material yang sangat besar, apabila terjadi keruntuhan, maka hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat dari keruntuhan tersebut.

2.8. Kriteria desain

Pokok-pokok pedoman syarat umum analisa dan desain bangunan sesuai dengan ketentuan dalam SNI 2847, kemudian diberikan beberapa esensi ketentuan umum desain gempa yang ada pada SNI 1726, dan dilanjutkan dengan ciri-ciri ketentuan desain berupa prosedur dan batasan untuk desain struktur dengan mempertimbangkan wilayah gempa, jenis tanah setempat, kategori gedung, konfigurasi, system struktur, tinggi bangunan dan lain-lain.

SNI 2847 menentukan kombinasi beban sesuai yang dipakai oleh ACI 2002. Load factor lama untuk E memakai nilai 1,4. Kini diganti 1,0, karena peraturan baru telah memakai beban gempa berupa beban batas. Berikut ini tabel kombinasi pembebanan

Untuk prarencana pelat dan balok kombinasi beban yang perlu diperhitungkan adalah :

1. U = 1,4 D

2. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 ( A atau R )

Secara umum menurut SNI beton 2002 pasal 11.2, ada 6 macam kombinasi beban yang harus dipertimbangkan :

1. U = 1,4 D

2. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5(A atau R)

3. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5(A atau R) 4. U = 0,9 D ± 1,6 W

(13)

5. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E 6. U = 0,9 D + ± 1,0 E

dimana

D = Beban mati : yaitu beban yang selalu ada pada struktur.

L = Beban hidup : yaitu beban yang sifatnya berpindah-pindah.

A = Beban atap : beban yang tidak tetap di atap (beban orang bekerja atau/dan beban peralatan).

R = Beban hujan : genangan air hujan di atap.

W = Beban angin

E = Beban gempa : beban ekivalen yang bekerja pada struktur akibat pergerakan tanah pada peristiwa gempa.

Wilayah gempa ( lampiran tabel 11. peta wilayah gempa Indonesia ) dicirikan oleh nilai Percepatan Puncak Effektif Bantuan Dasar (PPEBD) dimasing-masing wilayah dan dinyatakan dalam fraksi dari konstanta gravitasi (g). Seperti yang tertera pada SNI 1726 Gambar 1, WG 1 adalah wilayah kegempaan paling rendah dengan PPEBD = 0,03g, sedangkan wilayah gempa 6 menyandang wilayah kegempaan tertinggi dengan PPEBD = 0,30g (PPEBD = PGA tersebut di butir 4.4).

2.8.1. Jenis tanah

Perambatan gelombang PPEBD melalui lapisan tanah dibawah bangunan diketahui dapat memeperbesar gempa rencana dimuka tanah, tergantung pada jenis lapisan tanah. Karena itu SNI 1726 telah menetapkan jenis-jenis tanah tersebut ada 4 jenis yaitu tanah keras, tanah sedang, tanah lunak, dan tanah khusus yang identik dengan jenis tanah versi UBC berturut-turut SC, SD, SE, dan SF.

2.8.2. Kategori gedung

Pada setiap bangunan harus dikenal masuk dalam kategori salah satu dari 5 kategori gedung tersebut di SNI 1726 Tabel 1. Kolom 5 (lihat tabel III.2), tabel ini mencantumkan faktor utama I yang dipakai untuk menghitung beban gempa

(14)

nominal (V) pada SPBL. Tabel 1 ini mencantuman pula I1 dan I2 yang menurut penjelasan di AA.1.1.1 dan 1.1.2 pemakaiannya tergantung pada umur pakai bangunan yang didesain.

Perlu diketahui, bahwa SNI 1726 Ps.10.5 mengatur pula faktor utama P yang dipakai pada penentuan beban gempa nominal FP untuk perencanaan unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi mesin/listrik.

Lihat Lampiran Tabel 2.1 pada SNI03-1726-2003

Pada SNI03-1726-2003 menyebutkan : Pasal 10.5 Pengaruh Gempa Rencana

Pasal 10.5.1 Setiap unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik harus direncanakan terhadap suatu beban Gempa Nominal statik ekuivalen Fp, yang bekerja dalam arah yang paling berbahaya dan yang besarnya ditentukan menurut persamaan:

( 2.1 )

di mana C1 adalah Faktor Respons Gempa yang didapat dari spektrum respons Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung yang memikul unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik tersebut, yang beratnya masing-masing adalah Wp, sedangkan R adalah faktor reduksi gempa struktur pemikul tersebut dan Kp dan P adalah berturut-turut koefisien pembesaran respons dan faktor kinerja unsur yang ditentukan dalam ayat-ayat berikut.

Pasal 10.5.2 Koefisien pembesaran respons mencerminkan pembesaran respons unsur atau instalasi terhadap respons struktur bangunan gedung yang memikulnya, yang bergantung pada ketinggian tempat kedudukannya pada struktur bangunan gedung. Apabila tidak dihitung dengan cara yang lebih rasional, koefisien pembesaran respons Kp dapat dihitung menurut persamaan:

P P

P K PW

R F =C1 . .

(15)

n P

P Z

K =1+ Z ( 2.2 )

di mana zp adalah ketinggian tempat kedudukan unsur atau instalasi dan zn adalah ketinggian lantai puncak gedung, keduanya diukur dari taraf penjepitan lateral menurut Pasal 5.1.2 dan Pasal 5.1.3.

Pasal 10.5.3 Faktor kinerja unsur P mencerminkan tingkat keutamaan unsur atau instalasi tersebut dalam kinerjanya selama maupun setelah gempa berlangsung. Jika tidak ditentukan dengan cara yang lebih rasional, faktor kinerja unsur P ditetapkan dalam Tabel 8 dan Tabel 9.

Pasal 10.5.4 Waktu getar alami unsur sekunder, unsur arsitektur dan instalasi mesin dan listrik yang nilainya berdekatan dengan waktu getar alami struktur bangunan gedung yang memikulnya harus dihindari, sebab dapat menimbulkan gejala resonansi yang berbahaya. Apabila rasio waktu getar alami antara ke duanya adalah antara 0,6 dan 1,4, maka nilai faktor kinerja unsur P harus dikalikan 2, kecuali jika dilakukan suatu analisis khusus

2.8.3. Konfigurasi Struktur Gedung

Keteraturan (beraturan atau tidak) atau konfigurasi gedung akan sangat mempengaruhi kenirja gedung sewaktu kena gempa rencana, karena itu struktur gedung dibedakan dalam dua golongan yaitu yang beraturan dan yang tidak berdasarkan konfigurasi denah dan elevasi gedung.

Pada SNI 1726 Ps.4.2.1 mengatur 9 tipe struktur gedung yang beraturan kemudian Ps.4.2.2 menetapkan struktur yang tidak memenuhi Ps.4.2.1 dianggap sebagai struktur gedung yang tidak beraturan. Analisa gedung beraturan dapat dilakukan berdasarkan analisis statik ekuivalen tersebut pada Ps.6, sedangkan yang tidak, pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respons dinamis tersebut pada Ps.7.

(16)

2.8.4. Sistem Struktur

Dasar sistem struktur utama yang tercantum dalam SNI-1726 Tabel 3 diilustrasikan di gambar 4-3. Ada 4 sistem struktur diantaranya :

2.8.4.A. Sistem Dinding Penumpu

Dinding penumpu ini memikul hampir seluruh beban lateral, beban gravitasi juga ditahan oleh dinding ini sebagai dinding strutural (DS). Diwilayah gempa 5 dan 6, dinding struktural ini harus diditail khusus (DSK) sesuai SNI 2847 Pasal 23.6 (6) disamping syarat-syarat yang masih berlaku di Pasal 3 sampai dengan 20.

Diwilayah gempa 3 dan 4, tidak dituntut ditail spesial untuk dinding struktural ini.

2.8.4.B. Sistem Rangka Gedung

Pada sistem ini terdapat rangka ruanglengkap yang memikul beban-beban gravitasi, sedangkan beban lateral dipikul oleh dinding struktural. Diwilayah gempa 5 dan 6, dinding struktural ini harus diditail sesuai SNI 2847 Pasal 23.6 (6) disamping syarat-syarat yang masih berlaku di Pasal 3 sampai dengan 20. Dinding struktural di wilayah gempa yang lebih rendah, tidak perlu diditail khusus.

Walau dinding struktural direncanakan memikul seluruh beban gempa, namun rangka balok-kolom diatas harus diperhitungkan terhadap efek simpangan lateral dinding struktural oleh beban gempa rencana, mengingat rangka tersebut ditiap lantai masih menyatu dengan dinding struktur melalui lantai.

Efek ini dinamakan ”syarat kompatibilitas diformasi” yang oleh SNI 2847 Pasal 23.9 ditetapkan bahwa komponen struktur yang semula bukan merupakan SPBL harus sanggup tetap memikul beban gravitasi bila terkena diformasi lateral yang disebabkan oleh beban gempa rencana. Hal ini telah ditentukan oleh Pasal 23.9, bahwa detail gempa khusus diperlukan untuk komponen-komponen non SPBL.

2.8.4.C. Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM)

Menurut Tabel 3 SNI-1726 tercantum 3 jenis SRPM yaitu SRPMB (B=Biasa);

SRPMM (M=Menengah); dan SRPMK (K=Khusus). SRPMB tidak perlu

(17)

pendetailan spesial, komponen strukturnya harus memenuhi syarat Pasal 3 sampai dengan 20 dan hanya dipakai untuk wilayah gempa 1 dan 2. SRPMM harus memenuhi persyaratan pendetailan dipasal 23.8 dan Pasal sebelumnya yang masih relevan dan dipakai untuk SRPM yang berada diwilayah gempa 3 dan 4.

Sedang yang terakhir SRPMK harus dipakai di wilayah gempa 5 dan 6, dan harus memenuhi persyaratan disain pada Pasal 23.2 sampai dengan 23.7. disamping pasal-pasal sebelumnya yang masih berlaku. Menurut footnote Table 16-N UBC,SRPMM tidak boleh dipakai di Zone 3 dan 4 yang identik dengan WG 4 dan 5. Kiranya ketentuan ini berlaku pula untuk daerah Indonesia.

2.8.4.D. Sistem Ganda (Dual Sistem)

Tipe sistem struktur ganda memiliki 3 ciri dasar. Pertama, rangka ruang lengkap berupa SRPM yang penting berfungsi memikul beban gravitasi. Kedua, pemikul beban lateral dilakukan oleh DS dan SRPM dimana yang tersebut terakhir ini harus secara tersendiri sanggup memikul sedikitnya 25% dari beban dasar geser nominal V. Ketiga, DS dan SRPM direncanakan untuk menahan V secara proporsional berdasarkan kekakuan relatifnya. Diwilayah gempa 5 dan 6, rangka ruang itu harus didisain sebagai SRPMK dan DS harus sesuai ketentuan SNI 2847 Pasal 23.6.6, yaitu sebagai DSBK termasuk ketentuan-ketentuan pasal-pasal sebelumnya yang masih berlaku.

Di wilayah gempa 3 dan 4, SRPM harus didisain sebagai SRPMM dan DS tak perlu diditail khusus. Sedang untuk wilayah gempa 1 dan 2, SRPM boleh pakai Rangka Pemikul Momen Biasa juga DS pakai DS beton biasa. Disamping 4 tipe sistem struktur tersebut, SNI 1726 juga mengenalkan 3 tipe sistem struktur lain.

Di SNI 1726 table 3 kolom 4 tercantum Rm yang merupakan nilai faktor Reduksi Gempa, R, maksimum. R ini adalah ratio Ve/V, dimana arti Ve adalah beban yang dapat direspon oleh struktur berprilaku elastis sepenuhnya, sedangkan V sesuai SNI 2847 pasal 23.2 (1) adalah beban gempa nominal yang telah ditentukan berdasarkan disipasi energi pada rentang nonlinier dari respons struktur yang bersangkutan.

(18)

Melihat R selalu >1, berarti semua struktur akan selalu didisain dengan beban gempa <Ve. Hal ini ditempuh untuk memperoleh struktur yang ekonomis dan desain yang praktis. Namun kesepakatan ini harus diikuti oleh ketentuan bahwa struktur yang didetail secara tepat harus dapat memberikan respons secara elastis dan sanggup memencarkan kelebihan energi lebih besar.

2.8.5. Perencanaan Struktur Gedung

SNI-1726 menyediakan prosedur statik maupun dinamis untuk menentukan beban gempa minimum pada SPBL, pada prinsipnya semua struktur boleh didisain sesuai prosedur dinamis tersebut di Ps.7. Namun harus diingat, struktur yang tidak memnuhi Ps.4.1.2, ditetapkan sebagai struktur tidak beraturan, dengan demikian pengaruh gempa rencana harus dianalisis berdasarkan salah satu dari prosedur dinamis yang ada di Ps.7. Sedang untuk struktur yang beraturan dibolehkan memakai beban gempa nominal ekivalen yang ditetapkan di Ps.6.1

2.8.6. Beban Gempa

Sementara untuk struktur gedung beraturan beban gempa nominal (V) akibat gempa rencana dalam arah masing-masing sumbu utama denah struktur yang terjadi ditingkat dasar, dihitung dengan rumus Ps.6.1.2 berikut :

Wt

R I

V =C1 ( 2.3 )

dimana C1 adalah nilai faktor respons gempa yang didapat dari spektrum respons gempa rencana di SNI 1726 ( lihat lampiran tabel 8 ) dan juga di pengaruhi oleh jenis tanah ( lihat lampiran tabel 10 ) untuk waktu getar alami fundamental T.

Faktor keutamaan (I) gedung ( lihat lampiran tabel1); dan Wt adalah total beban gravitasi (D+L). C1 adalah suatu faktor yang tergantung pada lokasi wilayah gempa dan jenis lapisan tanah yang berada dibawah gedung yang didisain.

Sedangkan nilai R harus diambil dari Tabel 3 SNI 1726 ( lihat lampiran tabel 7 ) sesuai sistem struktur yang akan dipakai. Beban L boleh direduksi sesuai SNI 03- 1727-1987 atau yang telah direvisi, dimana beban L untuk perhitungan Wt dikenai koefisien reduksi sebesar 0,30.

(19)

2.8.7. Syarat Kekakuan Komponen Struktur (Syarat Pemodelan)

Pengaruh retak-retak pada komponen-komponen struktur akibat beban gempa juga harus diperhitungkan pada analisa struktur untuk distribusi beban, dan perhitungkan Kinerja Batas Layan (atau ∆s menurut UBC). Baik pada SNI 2847 (lihat pasal 12.11.1) maupun SNI 1726 (Ps.5.5.1) keduanya menentukan momen inersia penampang komponen-komponen struktur utuh (Ig) harus dikalikan dengan suatu persentase efektifitas penampang <1.

Nampaknya antara kedua peraturan tersebut dalam menentukan persentase efektivitas terjadi sedikit perbedaan, dalam hal ini baiknya diikuti pedoman SNI 2847 saja yang memakai persentase efektivitas penampang sama dengan pedoman ACI 1999.

2.8.8. Pengaruh P

Semua struktur akibat beban lateral akan melentur kesamping (∆), begitu juga akibat beban gempa.∆ ini akan menimbulkan momen sekunder (disebut pengaruh P-∆) oleh beban gravitasi yang titik tangkapnya menyimpang ke samping dan dengan demikian terjadi beban momen tambahan pada komponen-komponen kolom. Pada SNI – 1726 Ps.5.7 ditetapkan, struktur gedung yang bertingkat lebih dari 10 lantai atau 40 m, harus diperhitungkan terhadap pengaruh P-∆ tersebut.

Ketentuan ini berbeda dengan pedoman UBC section 1630.1.3 yang menetapkan bila ratio momen sekunder terhadap momen primer > 0,1, maka pengaruh P-∆ harus diperhitungkan. Untuk zone 3 dan 4 (identik dengan Wilayah Gempa 5 dan 6) pengaruh P-∆ tak perlu diperhitungkan bila∆s ≤ 0,02 hi/R. Sudah barang tentu struktur fleksibel yang memiliki R lebih besar akan memungkinkan lebih besar terkena peraturan P∆ ini.

2.8.9. Waktu Getar Alami Fundamental (T1)

Di SNI 1726 diatur perhitungan T1 dengan ketentuan baru sebagai berikut : a. Ps.6.2.2 menyebut T1 harus ditentukan dengan rumus-rumus empiris.

(20)

b. Ps.5.6 mensyaratkan T1 harus lebih kecil dariξn untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel. Nilai ξ tercantum tergantung lokasi wilayah gempa.

c. Nilai T1 dari hasil rumus empiris tidak boleh menyimpang lebih dari 20% dari nilai T1 yang dihitung dengan rumus Rayleigh tersebut di Ps.6.2.1.

Untuk diketahui bila SNI 1726 tidak menentukan rumus empiris untuk menghitung T1, maka UBC 1997 Pasal 1630.2.2 mengenalkan rumus empiris tersebut (Methode A) kemudian mengendalikan hasil methode A itu dilakukan oleh formula Rayleigh (Methode B).

2.8.10. Distribusi dari V

Beban geser dasar nominal V yang diperoleh menurut Ps.6.1.2 harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekivalen Fi yang menangkap pada pusat masa lantai tingkat ke-i menurut rumus :

Fi =

= n

i i i

i i

z W

z W

1

V ( 2.4 )

Namun bila ratio antara tinggi struktur gedung terhadap ukuran denahnya yang searah dengan ebban gempa≥3, maka 0,1 V harus lebih dahulu dianggap sebagai beban horizintal terpusat yang menangkap pada pusat masa lantai paling atas, baru kemudian sisa 0,9 V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung seperti pada rumus (1).

Catatan : UBC section 1630.5 menentukan pemakaian beban terpusat dilantai tingkat teratas tidak berdasarkan ratio yang≥3, tapi berdasarkan T1≤ 0,7 sec. Juga besarnya beban terpusat ditentukan oleh rumus Ft = 0,07 T1 V yang tidak perlu lebih dari 0,25 V. Pada T1≤ 0,7; Ft dianggap = 0

(21)

2.8.11. Eksentrisitas Rencana ed

SNI 1726 mengatur edini di Pasal 5.4.3 dan 5.4.4 sebagai berikut :

Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat (e) harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana ed. Bila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung pada lantai tingkat itu, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :

Untuk O < e≤ 0,3 b :

ed= 1,5 e + 0,05 b ( 2.5 )

atau

ed= e - 0,05 b ( 2.6 )

Dan dipilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau :

Untuk e > 0,3 b :

ed= 1,33 e + 0,1 b ( 2.7 ) atau

ed= 1,17e - 0,1 b ( 2.8 ) dan dipilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau.

Dalam perencanaan struktur gedung terhadap pengaruh gempa rencana, eksentrisitas rencana ed antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat menurut Pasal .5.4.3. harus ditinjau baik dalam analisis statik, maupun dalam analisis dinamik 3 dimensi.

2.8.12. Pembatasan penyimpangan lateral

Pada SNI 1726 pasal 8, simpangan antara tingkat akibat pengaruh gempa nominal dibedakan dua macam :

- Kinerja batas layan (KBL) struktur gedung yang besarnya dibatasi

hi

R 03 ,

0 atau≤30 mm ( 2.9 )

(22)

Pembatasan ini bertujuan mencegah terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan disamping menjaga kenyamanan penghuni.

- Kinerja batas ultimit (KBU) struktur gedung akibat gempa rencana untuk struktur gedung beraturan dibatasi sebesar ≤ 0,7 R x (KBL) atau≤ 0,02 hi.

Pembatasan ini bertujuan membatasi kemungkinan terjadi keruntuhan struktur yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah beraturan berbahaya antar gedung. Tersedia pula batas KBU untuk struktur tak beraturan.

Untuk diketahui, UBC juga menetapkan dua macam simpangan yaitu ∆s yang identik dengan KBL dan∆M yang sama dengan KBU, namun UBC tidak memberi batasan pada ∆s yang nampaknya hanya dipakai untuk menentukan rumus ∆M = 0,7 R∆s dan batasan interstory drift yang harus memperhitungkan pengaruh P∆.

2.8.13. Pengaruh arah pembebanan gempa

Untuk memperhitungkan pengaruh arah gempa yang kemungkinan tidak searah sumbu utama struktur gedung, maka SNI 1726 Pasal 5.8.2 menetapkan, pengaruh pembebanan searah sumbu utama harus dianggap terjadi bersamaan dengan 30%

pengaruh pembebanan dalam arah tegak lurus pada arah utama pembebanan tadi.

UBC section 1633.1 memberi kemudahan 2 cara menggabung 2 pengaruh pembebanan tersebut sebagai berikut :

1. Desain komponen dengan 100% beban disain gempa pada satu arah ditambah 30% beban disain gempa dari arah tegak lurus atau,

2. Gabung pengaruh beban gempa dari 2 arah orthogonal tersebut dari hasil akar dua dari jumlah kwadrat masing-masing beban.

Perlu diketahui UBC membebaskan ketentuan beban tambahan ini bila beban aksial kolom akibat beban gempa yang bekerja pada masing-masing arah ternyata lebih kecil dari 20% kapasitas beban aksial kolom

(23)

2.8.14. Kompatibilitas Deformasi

SNI 1726 Pasal 5.2 menetapkan suatu kelompok kolom atau subsistem struktur gedung boleh dianggap tidak menjadi bagian SPBL gempa rencana bila partisipasi memikul pengaruh gempanya adalah kurang dari 10%. Dalam hal ini, unsur atau subsistem tersebut selain kena beban gravitasi juga harus direncanakan terhadap simpangan struktur akibat pengaruh gempa rencana, yaitu terhadap simpangan inelastic sebesar R/1,6 kali simpangan akibat beban gempa nominal (∆S) pada struktur gedung tersebut.

UBC section 1633.2.4 juga mengatur ini dengan menetapkan simpangan tadi sebesar nilai yang lebih besar dai∆M atau simpangan antar tingkat sebesar 0,0025 hi. Pada waktu menghitung penyimpangan ∆S kekakuan dari unsur-unsur non SPBL harus diabaikan.

2.8.15. Komponen-komponen rangka yang tidak direncanakan untuk menahan gaya akibat gempa bumi

Komponen-komponen rangka jenis ini diatur oleh Pasal 23.9 yang berlaku untuk wilayah gempa 3 sampai 6. Komponen-komponen ini didetail tergantung pada besar momen yang timbul oleh pergeseran lateral akibat beban lateral. Persyaratan ini bertujuan agar tetap terjamin kestabilan komponen struktur tersebut oleh beban gravitasi yang bersamaan dengan timbulnya momen-momen hasil persimpangan antar tingkat (story drift).

2.9. Desain dan Pendetailan

Struktur beton bertulang yang berada di wilayah gempa 1 dan 2 hanya perlu memenuhi persyaratan desain SNI 2847 Pasal 3 sampai 20, yaitu persyaratan umum desain konstruksi beton bertulang dan tidak ada syarat khusus pendetailan.

Struktur beton bertulang yang berada di wilayah gempa 3 dan 4 harus memenuhi persyaratan pendetailan menengah seperti dicatat dikolom 3 tabel 6.1 sampai 6.5.

SNI 2847. Dengan persyaratan ini struktur akan memiliki perilaku cukup inelastic untuk menyerap beban gempa dengan RG menengah. Ketentuan ini hanya berlaku untuk SRPM (sistem rangka pemikul momen) dan sistem pelat dua arah tanpa

(24)

balok, tidak termasuk dinding struktural yang dalam hal ini cukup didesain dengan Pasal 3 sampai 20 (persyaratan umum) dan dipandang cukup memiliki daktilitas pada tingkat drift yang terjadi didaerah RG menengah.

Untuk struktur beton bertulang yang berada diwilayah gempa 5 dan 6 dengan RG Tinggi (kerusakan merupakan resiko utama), maka semua komponen struktur harus memenuhi syarat perencanaan dan pendetailan dari pasal 23 (kecuali pasal 23.10), seperti yang tercatan di kolom 2 tabel 6.1 sampai dengan tabel 6.5.

2.10. Komponen struktur yang tidak direncanakan untuk memikul beban gempa

Ketentuan baru ini (pasal 23.9) diadakan berdasarkan pengalaman kegagalan struktur di California, Amerika pada tahun 1994. Pendetailan sesuai pasal 23.9 yang dikenakan pada komponen-komponen struktur pemikul momen adalah untuk menjamin tetap mampu memikul beban gravitasi pada perpindahan lateral yang diatur oleh pasal 23.9 (1). Penyimpangan lateral akibat beban gempa rencana akan menimbulkan beban momen dan lintang pada komponen non SPBL yang lebih besar. Pasal 5.2.2 menetapkan penyimpangan lateral nominal untuk tujuan analisa struktur yang dipakai menentukan syarat-syarat detailing.

SNI 2847 pasal 23.9.2 menetapkan pula kombinasi beban batas tersendiri untuk perhitungan kuat perlu komponen struktur yang ditinjau.

2.11. Faktor reduksi kekuatan

Sesuai pasal 23.2 (3) fakor reduksi kekuatan (φ) yang tercantum di pasal 11.2(2) dapat dipakai untuk desain ini.

2.12. Kuat tekan beton

Kuat tekan beton (fc’) sesuai pasal 23.2 (4(1)) tidak boleh kurang dari 20 Mpa.

Kuat tekan 20 Mpa atau lebih dipandang menjamin kualitas perilaku beton.

Pemakaian beton ringan harus memenuhi syarat yang tercantum di pasal 23.2.(4(2)).

(25)

2.13. Penulangan

Tulangan pada komponen struktur yang merupakan bagian dari SPBL harus memenuhi pasal 23.2.(5).

2.14. Persyaratan pendetailan komponen struktur beton

Syarat-syarat pendetailan untuk berbagai komponen struktur beton bertulang yang berada diwilayah gempa dengan resiko gempa tinggi dan wilayah gempa menengah.

2.14.1. Komponen lentur

Komponen-kompoenn lentur harus memenuhi pasal 23.3 (1(1)) sampai dengan 23.3 (1(4)) agar penampangnya terbukti berkinerja baik. Tiap komponen harus cukup detail dan cukup efisien mentransfer momen ke kolom. Perlu dicatat, kolom-kolom yang terkena momen dan hanya kena beban aksial terfaktor <

Agfc’/10 boleh didesain sebagai komponen lentur.

2.14.2. Penulangan lentur

Adapun persyaratan penulangan untuk komponen lentur yang berada diwilayah gempa 5 dan 6 ditunjukkan pada gambar 6-1. Syarat momen nominal minimal di sembarang penampang komponen lentur dinyatakan dalam momen nominal pada muka kolom. Syarat ini menjamin kekuatan dan daktilitas bila terjadi lateral displacemen besar.

Persyaratan yang mengharuskan sedikitnya ada 2 batang tulangan menerus disisi atas maupun bawah balok, dimaksudkan untuk keperluan pelaksanaan. Sedang persyaratan penulangan untuk komponen lentur yang berada di wilayah gempa menengah 3 dan 4 adalah sama seperti tertera di gambar 6-1.

2.14.3. Sambungan lewatan

Sementara untuk sambutan lewatan (SL) harus diletakkan di luar daerah sendi plastis. Bila dipakai SL, maka sambungan itu harus didisain sebagai SL tarik dan

(26)

harus dikekang sebaik-baiknya (lihat gambar 6.2). pada sambungan mekanikal boleh juga dipakai dan harus memenuhi ketentuan pasal 23.2 (b).

2.15. Tulangan pengekang

Pengekangan yang cukup disyaratkan harus ada diujung-ujung komponen lentur yang kemungkinan besar akan etrjadi sendi plastis untuk menjamin kemampuan daktilitasnya, bila kena beban bolak-balik. Tulangan transversal perlu dipasang pula untuk menahan gaya melintang dan menghindarkan tulangan memanjang menekuk. Diwilayah gempa 5 dan 6, tulangan transversal tersebut harus terdiri dari hoops seperti diperlihatkan pada gambar 3.1. sedangkan begel (stirrups) boleh dipakai untuk pengekangan di wilayah gempa 3 dan 4. adapun persyaratan kuat geser ditentukan dipasal 23.3.(4) untuk wilayah gempa 5 dan 6 dan pasal 23.10 (3) untuk wilayah gempa 3 dan 4.

2.15.1. Komponen terkena beban lentur dan aksial

Pada tabel 3.1 dicantumkan persyaratan komponen rangka yang terkena kombinasi beban lentur dan aksial. Persyaratan ini berlaku khas untuk kolom dari suatu rangka dan komponen lentur lainnya yang terkena beban aksial terfaktor Pu

> Ag fc’ / 10.

2.15.2.A. Persyaratan kuat lentur

Berdasarkan prinsip ”Capacity design” dimana kolom harus diberi cukup kekuatan, sehingga kolom-kolom tidak leleh lebih dahulu sebelum balok.

Goyangan lateral memungkinkan terjadinya sendi plastis di ujung-ujung kolom akan menyebabkan kerusakan berat, karena itu harus dihindarkan. Oleh sebab itu kolom-kolom selalu didisain 20% lebih kuat dari balok-balok disuatu hubungan balok kolom (HBK) sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3.2. Kuat lentur kolom dihitung dari beban aksial berfaktor, konsisten dengan arah beban lateral yang memberikan kuat lentur paling rendah. Untuk wilayah gempa 5 dan 6, ratio tulangan dikurangi dari 8% menjadi 6% untuk menghindarkan kongesti oleh tulangan, sehingga mengurangi hasil pengecoran yang kurang baik. Ini juga untuk menghindarkan terjadinya tegangan geser besar dikolom. Biasanya pemakaian

(27)

ratio tulangan yang lebih besar dari ± 4% dipandang tidak praktis dan tidak ekonomis.

2.15.2.B. Sambungan lewatan (SL)

Sambungan lewatan boleh diletakkan di lokasi lo (lihat gambar 3.2 yang kemungkinan besar akan terjadi pelupasan dan tegangan tinggi, tapi harus diletakkan ditengah tinggi kolom. Sambungan itu harus didisain sebagai sambungan tarik dan harus dikekang oleh tulangan transversal yang cukup.

Sedang sambungan mekanikal dan las harus sesuai dengan pasal 23.2 (6).

2.15.2.C. Tulangan transversal (TT)

Ujung-ujung kolom perlu cukup pengekangan untuk menjamin daktilitasnya bila terjadi pembentukan sendi plastis. Ujung-ujung itu perlu juga tulangan transversal untuk mencegah pertama kegagalan geser sebelum penampang mencapai kapasitas lentur dan kedua tulangan menekuk (buckling). Peraturan menentukan jumlah, jarak, dan lokasi dari tulangan transversal ini, sehingga kebutuhan tulangan pengekangan, kuat geser, dan tekuk dipenuhi.

Tulangan trnasversal untuk wilayah gempa 5 dan 6 harus beripa tulangan spiral atau hoop bulat atau hoop persegi panjang seperti digambar 3.3. untuk kolom- kolom penyangga komponen kaku (menumpu dinding struktur) ditunjukkan oleh gambar 3.4, tulangan transversal dipasang sepanjang kolom penuh dan harus diteruskan sedikitnya sama dengan panjang penyaluran tulangan longitudinal kolom yang masuk dalam dinding struktur. Tulangan transversal tersebut harus pula membungkus tulangan memnajang kolom yang masuk dalam pondasi atau poer sedikitnya sepanjang 300 mm.

2.15.3. Hubungan balok-kolom (HBK)

Integrasi menyeluruh SRPM sangat tergantung pada perilaku HBK. Degradasi pada hubungan balok-kolom akan menghasilkan deformasi lateral besar yang dapat menyebabkan kerusakan berlebihan atau bahkan keruntuhan. Tabel 3.3 mencantumkan syarat untuk hubungan balok-kolom. Diwilayah gempa 1 dan 2,

(28)

hubungan balok kolom tak mensyaratkan desain khusus seperti pada wilayah gempa 5 dan 6, walaupun di wilayah gempa 3 dan 4 tidak dituntut pendetailan khusus, namun demikian sebaiknya pendetailan seperti pada wilayah gempa 5 dan 6.

2.15.4. Penulangan memanjang

Penulangan memanjang harus menerus menembus hubungan balok kolom dan dijangkar sebagai batang tarik atau tekan dengan panjang penyaluran sesuai pasal 23.5(4) dalam suatu inti kolom terkekang. Lekatan antara tulangan memanjang dan beton tidak boleh sampai lepas (slip) didalam hubungan balok kolom yang berakibat menambah rotasi hubungan balok kolom. Persyaratan ukuran minimum dipasal 23.5(1(4)) mengurangi kemungkinan kegagalan dan kehilangan lekatan pada waktu terjadi beban berbalik diatas tegangan leleh tulangan.

2.16. Analisis dinamis

Apabila tidak ditinjau interaksi tanah-struktur, untuk analisis struktur bagian atas, struktur tersebut dapat dianggap terjepit pada taraf penjepitan lateral, yaitu pada taraf lantai dasar jika ada basemant, pada taraf bidang di atas pur tiang pondasi dan pada bidang telapak pada pondasi langsung jika tidak ada basement.

Berdasarkan denah struktur yang dihadapi, harus ditetapkan arah gempa yang mnetukan, yaitu searah dengan bidang kerja subsistem struktur penahan beban gempa (portal terbuka, dinding geser) yang dominan. Biasanya, arah ini adalah arah yang paling cocok untuk dijadikan arah salah satu sumbu koordinat (sumbu x atau y) dalam sistem koordinat global yang dipakai dalam analisis struktur. Pada denah struktur gedung yang sangat tidak beraturan, arah gempa yang menentukan harus dicari dengan sebaik-baiknya (trial error). Arah pembebanan gempa dalam kenyataannya adalah sembarang, sehingga pada umumnya selalu terdapat 2 komponen beban gempa dalam arah masing-masing sumbu koordinat ortogonal yang bekerja bersamaan pada struktur gedung. Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksialdapat menimbulkan pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh tetapi uniaksial. Kondisi ini

(29)

disimulasikan dengan meninjau pembebanan gempa gempa dalam suatu arah sumbu koordinat yang ditinjau 100%, yang bekerja bersamaan dengan pembebanan gempa dalam arah tegak lurus tetapi ditinjau 30%.

Apabila untuk suatu arah sumbu koordinat nilai R untuk sistem struktur yang dihadapi belum diketahui, maka nilainya harus dihitung sebagai nilai rata-rata berbobot dari nilai R semua subsistem struktur yang ada dalam arah itu, dengan gaya geser dasar akibat beban gempa yang dipikul masing-masing subsistem Vs dipakai sebagai besaran pembobotnya. Dalam hal ini, tentunya nilai R dari masing-masing subsistem tersebut harus diketahui, misalnya untuk portal terbuka R = 8.5 dan untuk dinding geser kantilever R = 5.3, yaitu nilai-nilai maksimumnya menurut standar SNI 03-1726-2003. Untuk arah sumbu x, perhitungan nilai R rata-rata berbobot dapat ditulis sebagai :

∑ ∑

=

=

xs xs

x xs

xs xs

x V R

V R

V R V

0

( 2.10 ) Dan untuk arah sumbu y :

∑ ∑

=

=

ys ys

y ys

ys ys

y V R

V R

V R V

0

( 2.11 )

Untuk dapat menerapkan persamaan IX-1 dan IX-2, untuk masing-masing arah sumbu koordinat harus dilakukan analisis struktur pendahuluan terhadap beban gempa statik ekuivalen untuk mengetahui VS. Strukturnya harus dalam keadaan tidak berotasi (2D) dengan beban gempa statik ekuivalen yang dapat diambil sembarang, tetapi dapat juga akibat penuh Gempa Rencana (artinya dengan I=1 dan R = 1). Nilai terfaktor reduksi gempa yang representatif untuk struktur gedung 3D secara keselkuruhan R, kemudian dihitung sebagai nilai rata-rata berbobot dari nilai Rx dan Ry, dengan gaya geser dasar V danx0 V diapakaiy0 sebagai besaran pembobotnya :

y y x x

y x

R V R V

V

R 0V 0

0 0

+

= + ( 2.12 )

(30)

Nilai R, menurut persamaan III-3 merupakan nilai maksimum yang boleh dipakai, sehingga dapat dipakai nilai yang lebih rendah bila dikehendaki, sesuai dengan nilaiµ yang dipilih.

Dalam analisis struktur pendahuluan di atas dan analisis struktur 3D selanjutnya, pengaruh P-Delta harus diperhitungkan, apabila tinggi struktur adalah lebih dari 10 tingkat atau 40 m. Pengaruh P-Delta adalah suatu gejala yang terjadi pada struktur gedung yang fleksible, dimana simpangan ke samping yang besar akibat beban gempa akibat beban gempa menimbulkan beban lateral tambahan akibat momen guling yang terjadi oleh beban gravitasi yang titik tangkapnya menyimpang ke samping. Sifat 3D dari struktur gedung tercerminkan oleh persyaratan harus adanya eksentrisitas rencana ed antara Pusat Massa dan Pusat Rotasi, yang ditinjau di setiap lantai tingkat yang dapat dianggap bekerja sebagai diafragma.

Sebelum analisis struktur terhadap beban gempa dilakukan, harus diperiksa terlebih dahulu berapa waktu getar alami fundamental dari struktur gedung T1. Pada struktur gedung beraturan, dengan mengisikannya ke dalam persamaan sebagai berikut :

=

= =n

i i i n

i i i

d F g

d W T

1 1

2

1 6,3

( 2.13 )

dimana :

Wi : Berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai

Fi : Beban-beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i

di : Simpangan horisontal lantai tingkat ke-i dari hasil suatu analisis satatik g : Percepatan gravitasi

Untuk perkiraan awal, waktu getar alami fundamental (T1 ) struktur, dapat di hitung dengan rumus empiris berikut :

T = H 3/4 ( 2.14 )

(31)

dimana :

H = tinggi total struktur (m)

= nilai koefisien ( lihat lampiran tabel 9 )

Sebelum melakukan analisis struktur terhadap pengaruh gempa Rencana, harus dipastikan terlebih dahulu kategori gedung, yaitu dengan menetapkan nilai faktor keutamaan I, seperti pada lampiran tabel .1

Lihat Lampiran Tabel 1 . Faktor Keutamaan I untuk Berbagai Kategori Gedung atau Bangunan

Faktor ini adalah untuk menyesuaikan periode ulang gempa, apakah lebih panjang atau lebih pendek dari periode ulang Gempa Rencana 500 tahun (I>1) harus ditinjau, bila dihadapi 2 hal berikut :

1. Probabilistik terjadinya gempa yang merusak dalam kurun waktu umur gedung 50 tahun harus lebih rendah dari 10 % (misalnya rumah sakit), sehingga periode ulangnya menjadi lebih panjang dari 500 tahun.

2. Umur gedung yang dihadapi adalah jauh lebih panjang dari 50 tahun (misal monumen atau gedung yang sangat tinggi), sehingga dengan probabilistik 10% terjadinya gempa yang merusak dalam kurun waktu umur gedung, periode ulangnya menjadi lebih panjang dari dari 500 tahun.

Periode ulang yang lebih pendek dari 500 tahun (I<1) dapat ditinjau, pada umumnya bila umur gedung lebih pendek dari 50 tahun (misal gedung rendah), sehingga probabilitas 10% terjadinya gempa yang merusak dalam kurun waktu umur gedung, periode ulangnya menjadi lebih pendek dari 500 tahun. Untuk selanjutnya, setiap pengaruh Gempa Rencana harus dikalikan dengan faktor keutamaan I. Bila yang ditinjau adalah taraf pembebanan nominal, maka pengaruh gempa rencana harus dikalikan I/R.

2.17. Pedoman Perencanaan

Anggapan perencanaan yang di pakai sebagai dasar perencanaan beton bertulang adalah sebagai berikut:

(32)

- Bahwa beton sangat mampu menahan tegangan tekan tetapi lemah menahan tegangan tarik.

- Bahwa baja tulangan mampu menahan tegangan tarik yang terjadi pada saat tegangan tarik beton melampaui kekuatan tarik beton.

- Sifat adhesi atau lekatan yang memungkinkan kedua bahan dapat saling bekerja sama secara struktural sangat baik.

- Koefisien muai kedua bahan yaitu beton dan baja tulangan mempunyai kesamaan yaitu 1.2 x 10-5/ °C

Dalam perencanaan model struktur tugas akhir ini, pedoman yang digunakan sebagai acuan adalah:

- Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah Dan Gedung, Tahun 1987

- Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, (SNI 03-2847-2002).

- Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2003).

2.18. Data Desain Bangunan

Bentuk yang direncanakan adalah gedung perkantoran dengan struktur beton bertulang di Jakarta, dengan data-data sebagai berikut :

DIMENSI

Panjang/Lebar Gedung : 22 m / 22 m Tinggi gedung : 40 m

SPESIFIKASI MATERIAL Mutu beton : fc’ = 30, 35 Mpa Mutu baja : fy = 390 Mpa

fys = 240 Mpa

Modulus Elastisitas Beton = 4700 fc’

(33)

DENAH LANTAI 1 S/D 10 6.00

6.00 A

B

6.00 6.00

6.00

A B C D

6.00

2.00 2.00

1 2 3 4

2.00 2.00

2.22 1.56 2.22

3.00 3.00

(34)

4.00 4.00

6.00

POTONGAN A-A & B-B 6.00

6.00

4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00

2.00 2.00

A B C D

Lt. 2 Lt. 3 Lt. 4 Lt. 5 Lt. 6 Lt. 7 Lt. 8 Lt. 9 Lt. 10 Lt. Atap

Lt. 1 4.00

(35)

2.19. Perancangan Awal (Preliminary Design)

Langkah-langkah perencanaan struktur atas dapat digambarkan seperti bagan alir berikut ini:

Cek persyaratan tebal pelat

Hitung beban dan momen terfaktor balok

Hitung dimensi balok yang optimum

Prarencana kolom

Cek persyaratan desain awal kolom ( portal bergoyang ):

Hitung beban-beban terfaktor

Analisis ETAB

Penulangan memanjang pelat,balok da kolom(dari analisis ETAB ) Tidak

Tidak

Ya

Ya

Hitung gaya geser rencana balok dan kolom serta hitung tulangan geser

Data ( Gambar) arsitektural dan material gedung

Perkiraan awal ukuran pelat dan balok

Gambar rencana dan detail

Selesai

(36)

Keterangan:

1. Data( gambar ) arsitektural dan material gedung

Perencana struktur akan mendapatkan data dari gambar rencana ( arsitek ) contohnya : fungsi gedung ,wilayah gempa. Dari data-data tersebut perencana akan menentukan material-material akan digunakan untuk gedung tersebut.

2. Perkiraan awal tebal pelat

Pada awal perencanan pelat, dipakai persamaan untuk menentukan tebal pelat (h) sebagai berikut ( SNI beton 2002 ACI pasal 11 ) :

Untuk m 0, 2

- Pelat tanpa penebalan, h 120 mm - Pelat dengan penebalan, h 100 mm 1. Untuk 0, 2 < m 2, 0

h

) 2 , 0 ( 5 36

1500 / 8 , 0

− +

+ m fy Ln

α

β ( 2.15 )

h 120 mm 2. Untuk m > 2, 0

h

β 9 36

150 / 8 , 0

+ + fy

Ln ( 2.16 )

h 90 mm 3. h tidak perlu lebih besar dari

36

)) 1500 / ( 8 , 0

( fy

Ln +

( 2.17 ) dimana :

ln = bentang bersih pelat.

= panjang sisi terpanjang panjang sisi terpendek m = nilai rata-rata dari .

= perbandingan kekakuan balok dengan pelat pada sisi yang ditinjau Pada pra desain dimensi balok dapat di gunakan persamaan sebagai berikut : 1. Tinggi balok (H) diambil untuk perkiraan awal sebesar 1/10 L – 1/2 L 2. Lebar balok untuk perkiraan awal diambil ½ H – 2/3 H

3. bw*400 250mm ( 2.18 ) 4. bw/H 0,3 ( 2.19 ) 5. min < < max = ( 2.20 )

(37)

1,4/fy < < 0,75 b ( 2.21 ) b = 0,85* 1*(fc’/fy)*[600/(600+fy)] ( 2.22 )

3. Cek persyaratan tebal pelat

Adapun persyaratan tebal plat seabagai berikut : 1.Dapat di lihat pada tabel lampiran 3. 4 dan 5 . 2.Dalam segala hal

h min pelat lantai : 12 cm.

h min pelat atap : 10 cm.

4 .Hitung beban dan momen terfaktor balok.

Jika pra desain pelat telah memenuhi syarat maka dapat dihitung beban-beban yang dipikul balok dan memperkirakan momen terfaktor untuk perencanaan awal dipakai persamaan 1.2 D+ 1.6 L.

5. Hitung dimensi balok optimum.

Pada perencaan balok diupayakan untuk mendapatkan ukuran ynag optimum dan biasanya dipakai besarnya = 0.1. Dan faktor ekonomis juga harus menjadi pertimbangan dalam mendesain balok Persamaan berikut ini menjadi pertimbangan faktor ekonomis balok yaitu :

bd2 Mu / [ Ø fc ( 1- 0.59 ) ] ( 2.23 ) = ( fy/ fc )

b = 0.55 d

6. Prarencana kolom

Setelah perencanaan awal pelat dan balok selesai maka dapat hitung beban-beban yang akan di terima oleh kolom. Dan dapat diperkirakan ukuran-ukuran kolom yang akan di pakai.

7. Cek persyaratan desain awal kolom ( portal bergoyang ).

Persamaan persyaratan kolom untuk portal bergoyang sebagai berikut : a. klg/r 34-12 (M1/ M2) ( SNI beton 2002 ACI pasal 12. ) ( 2.24 )

(38)

b. faktor panjang efektif (k) kolom kedua ujung terkekangmenggunakan persamaan : k = 2.0 + 0.3 , ( SNI beton 2002 ACI pasal 12 ) ( 2.25 )

8. Hitung beban-beban terfaktor

Beban yang diperhitungkan sebagai berikut :

D = Beban mati : yaitu beban yang selalu ada pada struktur.

L = Beban hidup : yaitu beban yang sifatnya berpindah-pindah.

A = Beban atap : beban yang tidak tetap di atap (beban orang bekerja atau b atau/dan beban peralatan).

R = Beban hujan : genangan air hujan di atap.

W = Beban angin

E = Beban gempa : beban ekivalen yang bekerja pada struktur akibat pergerakan tanah pada peristiwa gempa.

9. Analisis ETABS

Dari data prarencana pelat, balok dan kolom serta beban–beban yang telah dihitung, kemudian masukan kedalam program ETAB untuk mendapatkan momen-momen yang terjadi dan dapat menghitung keperluan tulangan memanjang serta dapat mengetahui apakah ukuran-ukuran pada saat prarencana apakah sudah mampu memikul beban yang terjadi pada komponen struktur tersebut.

10. Penulangan memanjang pada balok , kolom dan pelat.( dari analisis ETAB ).

Dari analisis ETABS sudah muncul keperluan yang akan di gunakan untuk tulangan memanjang atau dari ETABS sudah dapat diambil volume yang akan digunakan untuk tulangan memanjang .

11. Hitung gaya geser rencana balok dan kolom serta hitung penulangannya.

Dari analisis ETABS, perencana tidak bisa langsung mengambil luas tulangan karena masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan seperti persamaan berikut ini:

1. Balok

Vu ={ [(Mnl + Mnr ) /ln] + [ (Wu ln)/ 2 ] } ( 2.26 )

(39)

Dimana : Mnl = momen ujung kanan balok (dapat diambil dari analisis ETAB) Mnr = momen ujung kiri balok (dapat diambil dari analisis ETAB) ln = bentang balok netto

Wu = beban terfaktor ( 1.2 D +1.0 L ) 2. Kolom

Vu = [ Mat + Mab ] / hn ( 2.27 ) Dimana :

Mat = momen ujung atas kolom (dapat diambil dari analisis ETAB) Mab = momen ujung bawah kolom(dapat diambil dari analisis ETAB) hn = tinggi kolom netto

12. Gambar rencana dan detail.

Jika semua komponen struktur sudah selesai di desain kemudian untuk memperjelas perencanaan dan untuk gambar kerja , maka hrus di buat gambar detail,agar mempermudah pekerjaan dilapangan.

13. Selesai

Setelah semua gambar kerja dan gambar rencana sudah siap maka pekerjaan struktur sudah siap untuk di kerjakan.

2.20.1 Beban-Beban dan Gaya yang Bekerja Pada Struktur Terdiri Dari : 1. Beban Mati (D) ialah berat dari semua bagian dari gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, mesin-mesin serta peralatan tetap.

Contoh :

a. Berat sendiri struktur (pelat, balok, kolom, dll) b. Berat penutup lantai (keramik, aduk, dll)

c. Langit-langit (rangka plafon dan plafonnya sendiri) d. Dinding (bata, partisi), sesuai dengan lokasinya.

e. Perlengkapan gedung yang sifatnya tetap (AC, pemipaan, dll), sesuai dengan lokasinya.

(40)

2. Beban Hidup (L) ialah semua beban akibat penggunaan gedung, termasuk beban dari barang-barang yang dapat di pindah, mesin dan peralatan yang berpindah-pindah.

Contoh :

a. Berat orang b. Perabot

3. Gaya Angin (W) ialah semua gaya yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang disebabkan oleh angin.

4. Gaya Gempa (E) ialah semua gaya statik ekivalen yang bekerja pada gedung atau bagian gedung, yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu.

5. Beban Atap ialah beban hidup yang khusus bekerja pada atap, yaitu :

a. Beban peralatan tidak tetap yang diletakkan di atap dan orang yang bekerja di atap (A)

b. Beban air hujan (R)

Beban Mati pada struktur bangunan gedung ditentukan dan digunakan acuan “Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung (SKBI-1.3.53.1987, Dept. PU )” ( Lihat lampiran tabel 4.1 ).

2.20.2 Beban Pelat

Semua beban yang berada di atas pelat, terdiri dari : a. Beban Mati ( Wd )

Contoh : beban mati pelat tebal 12 cm yaitu pejumlahan dari :

1. Berat sendiri pelat diperoleh dari tebal pelat dikalikan dengan berat jenis beton = 24 KN/m3

2. Berat penutup lantai diperoleh dari tebal penutup lantai dikalikan dengan berat jenis penutup lantai ( misal keramik + semen = 25 KN/m3)

(41)

3. Berat plafon + rangka diperoleh dari berat jenis plafon + rangka ( misal plafon + rangka = 0,18 KN/m3)

b.Beban Hidup

Contoh : ( penggunaan gedung untuk kantor ) WL = 2, 50 kN /m2

Wu = 1, 2Wd + 1, 6WL

2.21. Konsep Desain Kapasitas

Struktur di desain dapat memikul beban (gempa kuat) sampai batas maksimum tidak runtuh, walaupun di beberapa tempat elemen struktur terjadi kerusakan struktural yang mungkin tidak dapat diperbaiki lagi.

Sebaliknya dengan konsep desain elastis, struktur dapat memikul beban (gempa kuat) tanpa ada kerusakan struktural.

Gambar 2.6 Mekanisme Plastis Akibat Gempa

(42)

Gambar 2.7 Mekanisme Keruntuhan Ideal Pada Gedung

2.22. Perencanaan Pelat

Pelat adalah struktur yang berbentuk bidang datar (tidak melengkung), plat dapat dimodelkan sebagai pelat satu arah maupun dua arah. Pelat dapat ditumpu di seluruh tepinya, atau hanya pada titik-titik tertentu (misalnya oleh kolom-kolom), atau campuran antara tumpuan menerus dan titik. Kondisi tumpuan dapat sederhana atau jepit. Untuk merencanakan plat beton bertulang yang perlu dipertimbangkan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi. Syarat yang harus dipenuhi bukan hanya kekuatan tapi juga kekakuannya. Plat selain sebagai penahan beban berlaku juga sebagai bagian pengaku lateral struktur

Pelat lantai beton dapat dibagi dalam 2 kategori :

1. Pelat 1 arah (one way slab) : momen yang terjadi pada penampang pelat hanya satu arah. Biasanya pada pelat yang ditumpu balok hanya pada 2 sisi yang berseberangan.

2. Pelat 2 arah (two way slab) : momen yang terjadi pada pelat dua arah.

Menurut SNI Beton pasal 11.5, persyaratan tebal minumum pelat satu arah berikut dapat digunakan tanpa perlu melakukan pengecekan defleksi.

(43)

( Lihat Lampiran Tabel 3 Tebal Minimum Pelat Satu Arah ) Dalam segala hal

hmin pelat lantai : 12 cm.

hmin pelat atap : 10 cm.

SNI Beton 2002 : Untuk m 0, 2

- Pelat tanpa penebalan, h 120 mm - Pelat dengan penebalan, h 100 mm Untuk 0, 2 < m 2, 0

h

) 2 , 0 ( 5 36

1500 / 8 , 0

− +

+ m fy Ln

α

β ( dari persamaan 2.15 ) h 120 mm

Untuk m > 2, 0 h

β 9 36

150 / 8 , 0

+ + fy

Ln ( dari persamaan 2.16 )

h 90 mm dimana :

ln = bentang bersih pelat.

= panjang sisi terpanjang panjang sisi terpendek m = nilai rata-rata dari .

= perbandingan kekakuan balok dengan pelat pada sisi yang ditinjau.

Untuk perhitungan nilai , ukuran balok ditaksir sbb :

Menurut SNI Beton pasal 11.5, persyaratan tinggi (h) minumum balok berikut dapat digunakan tanpa perlu melakukan pengecekan defleksi.

Kemudian lebar balok (b) sebagai fungsi dari h.

b 1/2 s/d 2/3 h

Pelat Tanpa Balok Interior Menurut SNI Beton 2002 pasal 11.5.3.2, tebal minimum pelat tanpa balok interior yang menghubungkan tumpuan-tumpuannya dan < 2 harus memenuhi ketentuan berikut :

Lihat Lampiran Tabel 4. Tebal Minimum Pelat Tanpa Balok Interior Lihat Lampiran Tabel 5 Tebal Minimum Pelat Tanpa Balok Interior

Gambar

Gambar 2.1  Syarat-syarat penulangan balok 2.5.  Kolom
Gambar 2.2 Jenis-jenis kolom
Tabel 2.1 Tebal minimum pelat (h) Perletakan  sederhana   L/20 Satu ujung perletakan menerus  L/24 Kedua  ujung  menerus   L/28
Gambar rencana dan detail
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggambarkan bahwa produk yang ditawarkan oleh pelaku bisnis toko online sesuai dengan profile facebooker, dimana produk yang paling banyak di tagged

(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang

Prinsip ini dipilih karena fasilitas pajak merupakan faktor yang dapat menimbulkan distorsi terhadap kegiatan usaha, sementara Prinsip Economic Growth and Efficiency

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pemesinan menggunakan parameter sesuai kondisi di lapangan membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya pemesinan lebih rendah

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang diberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat

Adanya pengaruh antara iklan dan keputusan pembelian pada penelitian ini sama seperti penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Puji Kurniawati tahun 2010 dengan judul

Dari latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan Bagaimana asuhan kebidanan komprehensif pada ibu hamil dengan usia risiko usia tinggi Bersalin, Nifas,

Za zadato gorivo izračunati donju i gornju toplotnu moć pomoću VD obrasca, izraditi dijagram zapremine vazduha, suhih i vlažnih produkata sagorijevanja po kilogramu goriva u