• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Efektivitas Penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen..."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENERAPAN PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KLAUSULA

EKSONERASI DALAM MELINDUNGI DEBITUR DI PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) CABANG NGAWI

Dini Sukma Listyana Email : dinisukma407@yahoo.com

Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pujiyono

Email : pujifhuns@gmail.com

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

This article aimed to study the effectiveness of the implementation of Article 18 of Law Number 8 of 1999 about Consumer Protection (UUPK) against Exoneration Clause in banking loan agreement aiming to protect the debtor. The inclusion of unilateral clause by the creditor in standard contract result in imbalance of position between the parties because creditor has higher economic position as fund provider compared with debtor as the one needing fund. For that reason, there should be a law protection for the debtor against exoneration clause in standard contract in the implementation of loan agreement to achieve the balance position between debtor and creditor.This study employed a normative-empirical (applied law research) law research method in an evaluative research method with descriptive research nature. This research employed a qualitative method with primary data source and secondary data source including primary, secondary and tertiary law materials. Techniques of collecting data used were interview and supporting document study.The article showed that to anticipate the violation against Article 18 of UUPK included in Standard Contract of BRI was governed in Law Division’s Letter to BRI Selindo No. B245- SIU/SPH/HKM/09/2000 dated on October 3, 2000 about Law No.8 of 1999 about Consumer Protection.

Considering the result of the research, it could be found that the law protection for the debtor after the enactment of UUPK was conducted by preventive measures before the debtor and Ngawi Branch of PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) entered into a loan agreement and by imposing criminal, civil education and awareness of law were low. Although in loan agreement, the public was considered as understanding the law because of high demand for loaning fund for their survival. For that reason, the implementation of Article 18 of UUPK against exoneration clause was less effective in protecting the debtor in Ngawi Branch of PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Keywords: Consumer Protection, Exoneration Clause, Loan Agreement

Abstrak

Artikel ini bertujuan mengkaji efektivitas penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit perbankan yang bertujuan melindungi debitur. Pencantuman klausula sepihak oleh kreditur dalam bentuk perjanjian baku (standart contract) menimbulkan ketidakseimbangan kedudukan antara kedua belah pihak karena kreditur mempunyai kedudukan ekonomis lebih tinggi sebagai penyedia dana jika dibandingkan debitur sebagai pihak yang membutuhkan dana. Oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi debitur terhadap klausula eksonerasi dalam perjanjian baku (standart contract) pada pelaksanaan perjanjian kredit agar posisi seimbang antara debitur dan kreditur dapat tercapai. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris (applied law research) dalam bentuk penelitian evaluatif dan sifat penelitian deskriptif. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer dan sumber data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data berupa pengambilan data utama dari wawancara atau interview yang disertai dengan studi dokumen-dokumen pendukung. Artikel ini menunjukkan bahwa untuk mengantisipasi adanya

(2)

pelanggaran terhadap Pasal 18 UUPK yang dimuat pada formulir perjanjian baku BRI diatur dalam Surat Divisi Hukum Ke BRI Selindo No. B.245-SIU/SPH/HKM/09/2000 Tanggal 3 Oktober 2000 tentang Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Berdasarkan hasil tersebut perlindungan hukum kepada debitur setelah diberlakukannya UUPK, yaitu dengan upaya melakukan kegiatan pecegahan sebelum disepakatinya perjanjian kredit oleh debitur dengan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi dan memberikan sanksi berupa sanksi pidana, perdata, dan administratif yang akan hukum rendah. Meskipun dalam perjanjian kredit seringkali masyarakat dianggap paham hukum dikarenakan faktor tingginya kebutuhan dana pinjaman guna kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi kurang efektifnya penerapan Pasal 18 UUPK terhadap klausula eksonerasi dalam melindungi debitur di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Klausula Eksonerasi, Perjanjian Kredit.

A. Pendahuluan

Konsumen dan pelaku usaha merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan saling keterkaitan dan menguntungkan. Istilah konsumen Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebagai konsumen tentu saja dihadapkan pada pihak lawan yang sering disebut pelaku usaha. Pelaku usaha merupakan setiap orang perseorangan atau badan usaha, yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan/

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

(Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2005:120)

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain: kondisi, harga dari komoditas tertentu; penawaran dan syarat perjanjian;

fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya; kebutuhan para pihak pada rentan waktu tertentu. (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009:12).Keadaan seperti inilah seringkali menimbulkan permasalahan perjanjian berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian.

Pertimbangan pemerintah bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen dianggap belum memadai, maka pada tanggal 20 April 1999 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dalam rangka memayungi pemberian perlindungan kepada konsumen pada umumnya baik terhadap penggunaan produk barang maupun jasa, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen pengguna jasa.

Bagian konsideran UUPK menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.Mewujudkan keseimbangan per lindungan k epentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.Agar terciptanya keseimbangan posisi kedua belah pihak, satu- satunya cara adalah dengan membatasi pelaku usaha dalam membuat klausula baku dengan adanya campur tangan pemerintah. Klausula bakudiartikan secara berbeda-beda. Mariam Darus Badarulzaman menyebutnya dengan klausula eksonerasi(exoneratie clause). Remy Sjahdeini menyebutnya dengan istilah klausula eksemsi(exemption clause), sedangkan Shidarta membedakan antara klausula baku dengan klausula eksonerasi yaitu, bahwa dalam klausula baku yang ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan kalusula eksonerasi yang dipersoalkan adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha. UUPK tidak memberikan istilah mengenai klausula eksonerasi tetapi yang ada adalah klausula baku dalam Pasal 1 Angka (10):“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketenuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

(3)

Ketentuan pencantuman klausula baku dalam Pasal 18, yaitu: Pelarangan pelaku usaha membuat dan/atau mencantukan klausula baku pada setiap dokumen ataupun perjanjian dalam menawarkan barang dan /atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan.Banyaknya perjanjian baku (standart contract) dalam masyarakat pada umumnya digunakan oleh kalangan yang memiliki keunggulan ekonomi yang dominan. Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki maka dalam setiap hubungan hukum, mereka akan dengan mudah dan leluasa secara sepihak menentukan isi dan luas perjanjian bahkan tidak jarang mereka juga mencantumkan syarat-syarat atau klausula eksonerasi dalam perjanjian. Sedangkan pihak lawannya (waderpartij) yang umumnya mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuan hanya menerima apa yang disodorkan itu.

Perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi yang digunakan masyarakat pada umumnya dalam bentuk perjanjian baku (standart contract) yaitu dimulai dari yang paling sederhana seperti; nota pembelian, parkir kendaraan bermotor, karcis bus, dan masih banyak lagi. Adapun contoh perjanjian baku (standart contract) yang paling kompleks dalam prakteknya antara lain; Perjanjian (Polis) Asuransi, Perjanjian di bidang Perbankan, Perjanjian Sewa Guna Usaha, Perjanjian Jual Beli Rumah/Apartemen dari Perusahaan Real Estate, Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Perkantoran, Perjanjian Pembuatan Credit Card, Perjanjian Pengiriman Barang (Darat, Laut, dan Udara), dan lain sebagainya (Munir Fuady, 2006:77).

Klausula eksonerasi ini juga diatur dalam KUH Perdata Pasal 1493 dan Pasal 1494. Pasal 1493 menyatakan:

“Kedua belah pihak diperbolehkan dengan p e r s e t u j u a n - p e r s e t u j u a n i s t i m e w a , memperluas, atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung apapun”.

P a s a l 1 4 9 4 k e m u d i a n m e m b e r i k a n pembatasan, yaitu:“Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari sesuatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal”.

Perjanjian baku (standart contract) tidak terlepas dari hubungan kontraktual antara

bank dengan nasabah yang di dasarkan pada suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dan debitur (peminjam dana), lebih dikenal sebagai perjanjian kredit.

Perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis dan idealnya tentu harus disepakati oleh kedua belah pihak yang berisi seluruh keinginan serta semua mekanisme dari awal sampai akhir proses perjanjian sekaligus pembagian pertanggungjawaban masing-masing apabila terjadi suatu hal di luar dari apa yang telah diperjanjikan. Adanya perjanjian kredit tertulis memang lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Tidak hanya memiliki keuntungan bagi debitur tetapi debitur pula yang justru mengeluh tentang adanya perjanjian kredit yang mereka buat, hal ini dikarenakan proses pengajuan hingga saat penandatanganan yang terlalu rumit dan materi perjanjian kredit yang kurang proporsional dalam pembagian tanggung jawab antarapara pihak.

Adapun contoh klausula eksonerasi yang secara tidak wajar dan memberatkan debitur adalah klausula penetapan besarnya suku bunga.

Umumnya klausul tersebut berbunyi “Ketentuan suku bunga kredit dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak oleh bank terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut pihak bank cukup memberitahukannya secara tertulis dan pemberitahuan dimaksudkan mengikat pengambil kredit/nasabah debitur”. Apabila dilihat dari bunyi klausula tersebut sangat jelas tidak seimbang dan merugikan debitur. Seharusnya perubahan atau penyesuaian tingkat suku bunga mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam suatu perjanjian, pemberlakuan, perubahan, dan pengakhiran tetap harus dengan dasar persetujuan kedua belah pihak dan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Penelitian sebelumnya mengambil lokasi di Bank Mayapada dan BPR Lestari Kota Denpasar, pada perjanjian kredit kedua bank tersebut juga ditemukan klausula yang tidak memenuhi asas keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak dan debitur yang diasumsikan sebagai pihak yang lemah (Ni Kadek Femy Yulistiawati, 2014: 113)

Berpijak dari salah satu permasalahan mengenai pemberian kredit melalui klausula eksonerasi pada perjanjian baku (standart contract) yang ada di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) dalam hal ini mengkhususkan penelitian di wilayah Kabupaten Ngawi karena mayoritas debiturnya merupakan masyarakat dan pengusaha golongan menengah kebawah yang dapat menimbulkan

(4)

ketidakberdayaan debitur dalam menghadapi kreditur yang jelas merugikan kepentingan masyarakat terkait dengan adanya klausula eksonerasi tersebut. Maka, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai efektivitas penerapan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau yang lebih dikenal dengan UUPK terkait dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku (standart contract) untuk melindungi debiturdi PT.

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris (applied law research) yang bermula dari ketentuan hukum positif tertulis yang diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat. Bentuk penelitian evaluatif dan sifat penelitian deskriptif. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer dan sumber data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data berupa pengambilan data utama dari wawancara atau interview yang disertai dengan studi dokumen- dokumen pendukung.

B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

1. B e n t u k p e r l i n d u n g an h u k u m k e pa d a debitur dalam perjanjian kredit setelah diberlakukannya UUPK

Perjanjian kredit yang dibuat antara PT.

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi dengan debiturnya merupakan suatu perjanjian baku (standart contract), dimana klausul-klausul perjanjian kredit bank tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat pada suatu bentuk dan materi tertentu sehingga antara bank yang satu dengan bank yang lain dapat berbeda. Hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan dan persyaratan perjanjian kredit telah dibakukan terlebih dahulu oleh pihak kreditur. Calon debitur tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila menyetujui isi perjanjian tersebutdan tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut klausul-klausul yang diajukan oleh pihak kreditur. Klausula dalam perjanjian kredit bisa berubah apabila peraturan dari pusat juga berubah pula mengikuti kondisi dan perkembangan perekonomian negara.

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung resiko dan berpengaruh pada kesehatan maupun kelangsungan usaha bank. Maka dalam pelaksanakaannya bank harus berdasarkan pada as as- as as at au pr ins ip -pr ins ip perkreditan yang sehat. Timbulnya resiko kredit itu sendiri tergantung pada cara pemberian dan pengawasannya. Hal tersebut yang melatarbelakangi dikeluarkannya SE Direksi BRI NOSE : S.04-DIR/HKM/03/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Legal Manual Bidang Kredit.

Perlindungan hukum terhadap debitur tidak dapat memisahkan diri dengan UUPK, karena pada dasarnya UU inilah yang dijadikan bagi perlindungan konsumen termasuk halnya debitur secara umum. UU Perbankan bukan tidak ada membicarakan tentang debitur di dalamnya, tetapi karena UU tersebut hanya bersifat memberitahukan kepada debitur semata tidak memberikan akibat kepada perbankan itu sendiri sehingga dirasakan kurang memberikan perlindungan kepada debiturnya. Tetapi secara administrasi UU Perbankan memberikan konsekuensi diambilnya tindakan oleh Bank Indonesia terhadap bank menyalahi ketentuan UU Perbankan, sedangkan debitur tidak diberikan kesempatan melakukan aksi dari ketentuan UU Perbankan. Aksi tersebut hanya dapat dilakukan dengan dasar UUPK.UUPK tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang berupaya keras untuk melakukan perbaikan-per baikan pada sistem perbankan, termasuk didalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai ketentuan yang menyangkut aspek kehati-hatian.

Menurut Penulis bentuk perlindungan hukum dapat dikaji menggunakan teori Perlindungan Hukum yang dikemukakan oleh Phillipus M. Hadjon yaitu

a. Perlindungan Hukum Preventif. Upaya yang dilakukan pihak PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi untuk melindungi debitur, antara lain :

1) Perlindungan pada saat pembuatan dan perumusan Perjanjian Kredit.

Mengantisipasi adanya pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) butir g UUPK sehubungan dengan adanya penggunaan klausula eksonerasi pada perjanjian kredit BRI yang

(5)

dimuat dalam formulir perjanjian standart BRI diatur dalam Surat Divisi Hukum Ke BRI Selindo No.

B .245- S IU/ S PH/ HK M/ 09/20 00 Tanggal 3 Oktober 2000 tentang UUPK.

2) Perlindungan terhadap isi Perjanjian Kredit.

Dikeluarkannya Surat Edaran Direksi BRI NOSE : S.25-DIR/HKM/12/2011 Tanggal 28 Desember 2011 tentang Penulisan Komparasi Debitur pada Surat Hutang/Perjanjian Kredit.

2) Perlindungan dalam pelaksanaan Perjanjian Kredit.

Mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Masalah Tanggal 20 Januari 2005 yang merupak an salah satu bentuk peningkatan perlindungan debitur dalam menjamin hak-hak debitur d al a m h ub u ng a nn y a d en g an kreditur. Tujuan utama PBI ini untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan untuk menurunkan publikas i negatif t e r h a d a p b a n k y a n g d a p a t mem pengaruhi r eputas i bank tersebut. Selanjutnya, Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparasi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Dat a P r ibadi Nas abah diat ur ketentuan yang mewajibkan bank senantiasa memberikan informasi yang cukup mengenai produk- produk yang ditawarkan bank.

Tuj uan P B I ini ad ala h un tu k melindungi dan memberdayakan debitur serta untuk meningkatkan as pek good governance pada bank. Selain terkait peraturan yang disebutkan sebelumnya, bentuk upaya perlindungan hukum dari pemerintah, yakni membentuk organisasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

b. P e r l i n d u n g a n H u k u m R e p r e s i f . Penerapan sanksi dapat berupa : 1) Sanksi Pidana

Berdasarkan Pasal 62 ayat 1 UUPK, sanksi pidana dapat dipenjara paling lama 5 (lima) tahun/denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sanksi pidana tambahan menurut Pasal 63 UUPK berupa, perampasan barang tertentu, pengumuman put us an hak im , pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian debitur, kewajiban penarikan barang dari peredaran dan pencabutan ijin usaha.

2) Sanksi Perdata

a) Perjanjian baku yang dibuat jika digugat di depan pengadilan oleh debitur akan menyebabkan h a k i m m e m b u a t p u t u s a n declatoir bahwa perjanjian baku itu batal demi hukum.

b) Kreditur yang pada saat ini telah mencantumkan klausula eksonerasi dalam dokumen atau perjanjian baku yang digunakannya wajib merevisi s t an da r t y an g dig un ak a n tersebut agar sesuai dengan UUPK

3) Sanksi Administratif

a) Ganti rugi yang dapat dijatuhkan oleh BPSK atau Pengadilan Umum.

b) Sanksi administratif lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau pejabat pemerintah yang berwenang.

2. Penerapan Pasal 18 UUPK terhadap klausula eksonerasi dalam melindungi debitur di PT.

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi

Surat Perjanjian Pemberian Kredit di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi, berlaku pula Syarat-Syarat Umum Perjanjian Pinjaman Dan Kredit yang terdiri dari 52 Pasal yang harus disetujui dan mengikat pihak debitur. Syarat umum tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Surat Perjanjian Pemberian Kredit. Di dalam perjanjian kredit hanya dapat ditemui beberapa klausula-klausula tertentu sedangkan klausula eksonerasi lainnya

(6)

dicantumkan dalam Syarat-Syarat Umum Perjanjian Pinjaman Dan Kredit tersebut. Hal tersebut bertentangan dengan adanya Pasal 18 UUPK mengenai ketentuan pencantuman klausula baku dalam perjanjian.

Menurut Penulis kiranya perlu dikaji menggunakan teori efektivitas hukum sebagaimana yang ditulis oleh Lawrence M. Friedmen yang mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung pada struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).

Dari ketiga unsur hukum tersebut digunakan untuk menganalisis penerapan Pasal 18 UUPK terhadap klausula eksonerasi dalam melindungi debitur khususnya di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi.

Dari segi struktur hukum (legal structure), klausula yang dianggap memberatkan debitur yang tercantum dalam perjanjian kredit dan Syarat-Syarat Umum Perjanjian Pinjaman Dan Kredit , antara lain:

a. Kewenangan bank mengubah suku bunga kredit dan dianggap mengikat pihak debitur.

b. Kewenangan kreditur yang diberikan kepada debitur untuk menanggung segala biaya asuransi apabila debitur lalai untuk mengasuransikan atau memperpanjang asuransi.

c. Kewenangan kreditur menjual apabila debitur belum melunasi hutangnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

d. Kewenang kreditur secara sepihak menghentikan perjanjian kredit untuk alasan apapun dan pemberitahuan sebelumnya.

e. Kewenangan kreditur memberikan denda kepada debitur karena tunggakan angs uran at aupun k eterlambatan pembayaran.

Segi substansi hukum (legal substance), apabila dicermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan/

atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha pada Pasal 18 huruf a, seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas

kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana dalam Pasal 18 huruf b, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Pasal 18 huruf c yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi jika pengembalian tersebut dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Larangan Pasal 18 huruf d sudah tepat.

Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil karena dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 huruf f dan huruf h.

Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa.

Sehingga bunyi lengkapnya “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.” Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya kegunaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011: 110).

Terdapat perbedaan pendapat antara Ahmadi Miru dengan Sutarman Yodo mengenai ketentuan larangan Pasal 18 huruf g. Berkenaan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru mengatakan bahwa praktek pembuatan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 huruf g tersebut sudah berlangsung lama, sehingga ketentuan Pasal

(7)

18 huruf g tersebut tentu saja dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula semacam itu. Hanya saja jika tidak ada pengecualian larangan tersebut, dapat dipastikan penjual jasa tertentu, terutama bank tidak akan memenuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bangkrut (Ahmadi Miru, 2011: 116).

Sutarman Yodo mengatakan bahwa apabila klausula baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru, tambahan, dan/atau sejenisnya dalam masa konsumen memanfaatkan jasa, adalah untuk menghindari kerugian sebagai akibat kekeliruan manajemen palaku usaha (bank) yang bersangkutan, maka larangan klausula baku seperti ini dianggap memenuhi asas keadilan atau asas keseimbangan (Sutarman Yodo, 2011: 2).

Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan perbankan secara lebih professional dalam manajemen usaha (memenuhi fungsi hukum sebagai a tool of social engineering) sehingga lebih mampu bersaing terutama menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi yang dengan sendirinya juga untuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan secara berencana.

Dari segi budaya hukum (legal culture), faktor buday a hukum dan k es adaran masyarakat khususnya masyarakat Kota Ngawi merupakan hal yang sangat penting dan menentukan berlakunya suatu hukum dalam masyarakat. Dalam efektivitas hukum perlu diperhatikan apakah materi yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan sudah sesuai dengan kebudayaan yang ada di masyarakat. Hal ini karena hukum tidak akan berjalan jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar aturannya tidak mencerminkan kebudayaan masyarakat maupun juga tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat.

D. Kesimpulan

1. P erlindungan hukum k epada debitur setelah diberlakukannya UUPK antara lain perlindungan hukum preventif, yaitu bentuk upaya perlindungan hukum dengan melakukan kegiatan pencegahan. Upaya

tersebut oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi dalam melindungi debiturnya, antara lain perlindungan pada saat pembuatan dan perumusan perjanjian, perlindungan terhadap isi perjanjian kredit, dan perlindungan dalam pelaksanaan perjanjian kredit. Sedangkan perlindungan hukum represif, yaitu upaya menerapkan sanksi- sanksi yang tercantum dalam Pasal 62 dan 63 UUPK yang merupakan langkah terakhir jika dalam preventif tidak menciptakan situasi dan kondisi keamanan yang kondusif.

2. Klausula eksonerasi masih dapat ditemukan dalam perjanjian kredit di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi. Hal tersebut bertentangan dengan UUPK khususnya Pasal 18. UUPK memiliki fungsi unik sebagai undang-undang payung (umbrella act) sekaligus sebagai undang- undang sektoral. Dalam fungsinya sebagai umbrella act, ia dapat digunakan untuk melingkupi undang-undang lain termasuk UU Perbankan dan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Jika memperhatikan penjelasan Pasal 18 UUPK, bahwa yang mendasari pembuatan undang-undang adalah pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah didalam perjanjian dengan pelaku usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.UUPK tidak dan kesadaran masyarakat akan hukum rendah. Meskipun dalam perjanjian kredit seringkali masyarakat dianggap paham hukum dikarenakan faktor tingginya kebutuhan dana pinjaman guna kelangsungan hidupnya.

Sebagian besar debitur kurang memahami isi perjanjian yang didalamnya terdapat klausula eksonerasi yang sifatnya merugikan debitur.

Ketika dihadapkan dengan perjanjian tertulis yang sifatnya baku, debitur bersifat pasif dan sering tidak memperhatikan bahkan meneliti isi setiap klausula-klausula dalam perjanjian.Oleh karena itu, hal tersebut menjadi kurang efektivnya penerapan Pasal 18 UUPK terhadap klausula eksonerasi dalam melindungi debitur di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi.

E. Saran

1. Bagi pihak kreditur, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Ngawi harus

(8)

menaati dan melaksanakan ketentuan dari aspek-aspek hukum perjanjian yang menjadi dasar perjanjian kredit bankdan meninjau kembali klausula yang terdapat dalam perjanjian kredit serta menyesuaikannya dengan ketentuan Pasal 18 UUPK berkaitan tentangpencantuman klausula baku perjanjian kredit.Bank meskipun sebagai pihak kreditur yang notabene pihak yang mengeluarkan uang kepada debitur, tetaplah memberikan kesempatan debitur apabila ingin melakukan perubahan isi atau klausula perjanjian yang tidak sesuai dengan kehendaknya atau yang memberatkan kedudukan debitur.

Perubahan mana tidak boleh melanggar ketentuan perkreditan yang digariskan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia. Dengan demikian diharapkan semua pihak baik debitur maupun kreditur akan mendapatkan hak dan kewajibannya secara seimbang.

2. Bagi para debitur khususnya nasabah kredit diharapkan bertindak untuk lebih cermat dan telitidalam memahami sekaligus mengerti isi perjanjian yang ditawarkan bank dalam pemberian kredit agar meminimalisir

kerugian-kerugian akibat adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian meskipun pada kenyataannya debitur merupakan orang yang membutuhkan kredit yang diberikan oleh bank dan apabila debitur kurang memahami klausula tertentu beserta akibat hukum yang ditimbulkanhendaknya debitur melakukan negosiasi dengan pihak kreditur atau pihak lain yang paham hukum sehingga terhindar dari akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri.

3. Bagi pemerintah, dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri Teknis terkait dan lembaga-lembaga perlindungankonsumen untuk lebih aktif dan kreatif memberikan s o s i a l i s a s i t e n t a n g U U P K k e p a da masyarakat. Hal inisesuai dengan tugas pemerintah untuk bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hakkonsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalammenciptakan iklim usaha serta menumbuhkanhubungan yang sehat antara konsumen dan pelaku usaha.

Daftar Pustaka

Buku-buku

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen Persada.

Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen.

Elsi Kartika Sari, Advendi Simangunsong. 2005. Hukum Dalam Ekonomi.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hasanuddin Rahman. 1998. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.

Lawrence M. Friedman. 2011. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Perspektive), Penerjemah: M. Khozim. Bandung: Nusa Media.

Munir Fuady. 2006.Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Phillipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.Surabaya: PT. Bina Ilmu.

PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. 2013. Kompilasi Resume Surat Keputusan, Surat Edaran Dan Surat Selindo : Devisi Hukum. Jakarta: Grup Pengkaji dan Kebijakan (PKJ) Devisi Hukum Kanpus BRI.

Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

(9)

Buletin, Jurnal, Tesis, Disertasi

Ahmadi Miru, “Larangan Penggunaan Klausula Baku Tertentu Dalam Perjanjian antara Konsumen dan Pelaku Usaha”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. No. 17, Vol. 8 Juni 2001.UII. Yogyakarta.

Gabriela Shalev. 1977. “Control Over Exemption Clauses: A Comparative Synthesis”. B.C. Int’l & Comp.

L. Rev.dalam http://lawdigitalcommons.bc.edu/iclr./vol1/iss1/3, diakses pada 28 Januari 2016 pukul 10.20 WIB.

Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, “Penggunaan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen”, Jurnal Hukum Pro Justicia, Volume XXIV No. 2, April 2006.Universitas Atma Jaya Makassar.

Ni Kadek Femy Yulistiawati. 2014. “Penerapan Standart Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur”.Tesis. Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

Terdapat dalam Jurnal Alam Bima. Jilid 11. No. 2

Sutarman Yodo. 2001. “Hakikat Pasal 18 ayat (1) Huruf G UUPK dalam Menuju Era Globalisasi”. Makalah.

Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (UU Perbankan).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen ini dibuat oleh fungsi penerimaan untuk menunjukkan bahwa barang yang diterima dari pemasok telah memenuhi jenis, spesifikasi, mutu dan kuantitas seperti

Hasil uji daya lekat dapat dilihat pada Tabel II, menunjukkan bahwa formula IV dengan konsentrasi minyak atsiri jahe 6,25%v/b memiliki daya lekat yang paling lama

Untuk maksud perbincangan ini, peribahasa Bajau dipilih kerana pada hemat pengkaji, seseorang yang ingin mengkaji budaya perlu tahu bahasa masyarakat pendukung dan secara tidak

Suatu sintesa enzimatik senyawa glukasida yang dipublikasikan pada 1996, memperlihatkan kemungkinan dilakukannya reaksi kimia pada kondisi yang lebih "lunak" dari

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 62 ibu premenopause di Kelurahan Sengon dapat disimpulkan sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang paket

A vizsgált mutatók alapján a telepeket rangsoroltuk az SRD (Sum of Ranking Difference) módszerrel.. Az SRD módszert Héberger (2010) fejlesztette ki, és a módszer

Lokasi yang paling diminati oleh PKL untuk berdagang yaitu menempati ruang yang dirasa cukup untuk membuka lapak dagangan serta berada berdekatan dengan pusat