• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. Jepang,jika dilihat dari segi geografis, merupakan salah satu negeri yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. Jepang,jika dilihat dari segi geografis, merupakan salah satu negeri yang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Jepang ,jika dilihat dari segi geografis, merupakan salah satu negeri yang berdekatan dengan China. Tak jarang kebudayaan yang dipahami oleh masyarakat Jepang merupakan adaptasi dari budaya masyarakat China. Pada saat pemerintahan Pangeran Shoutoku (聖徳太子) (547 – 622 M), Konfusianisme masuk ke Jepang melalui Korea dan China. Konfusianisme adalah sebuah ajaran yang diajarkan oleh Konfusius (lahir pada tahun 551 sebelum masehi), di mana beliau mengajarkan ajaran norma salah satunya norma dalam bersosialisasi dan norma dalam keluarga (Tamura, 1997: 47 – 48). Oleh Pangeran Shotoku, ajaran tersebut digunakan sebagai dasar konstitusi pemerintahannya yaitu 17 Pasal Konstitusi atau dalam bahasa Jepang disebut kenhoushuushichijou (憲法十七条)(lihat pada lampiran). Konfusianisme pun menyebar dan menyatu dalam kehidupan masyarakat Jepang pada saat itu. Konfusius dikenal sebagai seorang guru besar pada masa dinasti Zhou. Pemikirannya akan mengenai norma, kedisiplinan guna keharmonisan bagi masyarakat sangat menginspirasi banyak orang pada masanya. Beliau juga menulis buku – buku filosofi dan idenya. Di dalam semua buku yang beliau tulis, sebagian besar mencantumkan kata – kata mengenai pendidikan dan pembelajaran. Di dalam salah satu bukunya ditulis pernyataan bahwa guna mencapai negeri yang makmur, setiap warga negara haruslah menjadi warga yang baik. Caranya adalah dengan mengenyam pendidikan, mendapatkan kebijakan dan memperdalam pengetahuan ( Weiming, 1996: 141).

(2)

Sampai pada masa Tokugawa, Konfusianisme terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jepang baik dalam bidang politik maupun dasar etika masyarakat Jepang ( Schumacher, 2007). Pada masa pemerintahan Edo, dibangun berbagai sekolah yang mengajarkan pemikiran Konfusianisme, Neo – Konfusianisme yang dikenal sebagai Konfusiaisme ortodoks, atau gabungan dari Konfusianisme dan Shinto (Deal, 2006: 224 – 227). Selain itu, dibangun juga sekolah marga. Yang dimaksud dengan sekolah marga adalah sekolah yang dibangun oleh sebuah klan. Salah satunya adalah sekolah klan Mito (Lombard, 2009: 92). Umumnya, sekolah – sekolah yang dibangun pada masa tersebut digunakan sebagai wahana pendidikan bagi para calon samurai.

Selain samurai dianggap memegang peran dalam militer, mereka juga memegang peran penting dalam masalah politik pemerintahan Jepang. Oleh karena itu, sekolah – sekolah samurai membekali para calon samurai dengan mengajarkan budaya, tata karma dan seni perang guna kepentingan tugas mereka. Selain dibangun sekolah untuk samurai, dibangun juga terakoya (sekolah yang diselenggarakan di kuil Buddha) untuk masyarakat yang bukan berasal dari kalangan samurai. Di terakoya, anak – anak diajarkan membaca, menulis dan aritmatika untuk petani dan penduduk kota, yang dibutukan dalam kehidupan sehari – hari mereka. Dalam belajar matematika, mereka menggunakan sempoa sebagai alat bantu belajar (Yasuo, 1990: 165 – 169).

Ajaran Konfusianisme dalam pendidikan tidak bertahan lama, tetapi masih berlanjut dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang. Salah satunya adalah ajaran mengenai bagaimana bersikap terhadap orang yang kedudukannya lebih tinggi dan lebih rendah. Hal itu diterapkan di Jepang dalam bentuk senioritas dalam bersosialisasi dan dalam dunia kerja (Schumacher, 2007). Bentuk senioritas dalam kehidupan sosial adalah menghormati orang tua maupun yang memiliki pengalaman

(3)

lebih banyak, sedangkan senioritas dalam dunia kerja berupa mendahulukan mereka yang telah lama mengabdi pada sebuah instansi.

Jika Konfusius dianggap sebagai seorang pencetus pentingnya pendidikan guna keharmonisan masyarakat, maka di Jepang pun terdapat seseorang yang mendukung akan pendidikan Jepang guna kemajuan masyarakat Jepang. Beliau adalah Fukuzawa Yukichi (福沢諭吉), yang dikenal sebagai pelopor pendidikan Jepang modern.

Beliau menerbitkan bukunya yang berjudul Gakumon no Susume (学問のすゝめ; Encouragement of Learning) pada tahun 1882 dan menuliskan idenya dengan kalimat bahwa surga tidak menciptakan manusia berada di atas manusia lainnya dan di bawah manusia lainnya, saat lahir tidak ada perbedaan di antara kaya dan miskin atau di antara kedudukan tinggi dan rendah ( Motoyama, 1997: 240 ). Dengan dasar pemikiran Fukuzawa tersebut, pemerintah Jepang mulai menyadari bahwa dengan adanya pendidikan, negara akan maju dengan pesat. Oleh karena itu, pembangunan sekolah – sekolah semakin marak dilakukan dan ditetapkanlah wajib belajar enam tahun pada tahun 1908. Kemudian guna membantu anak – anak dalam memainkan peran di masyarakat luas, setelah lulus dari pendidikan sekolah dasar, ditetapkan wajib belajar 3 tahun di sekolah menengah. Pelajaran bahasa Inggris pun diajarkan pada tahun pertama di sekolah menengah. Setiap pelajaran diajarkan oleh pengajar – pengajar yang berbeda.

Berbekal pendidikan yang semakin baik, Jepang pun melakukan invasi ke berbagai negeri seperti Korea, China, dan Indonesia. Dan akhirnya melakukan penyerangan ke pelabuhan Pearl (Pearl Harbor) milik Amerika Serikat yang menjadi salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia Kedua. Setelah kalah di Perang Dunia Kedua, Jepang memilih menutup diri dan memperbaiki kerusakan – kerusakan yang

(4)

terjadi sebagai akibat dari perang dunia tersebut. Terutama daerah yang terkena serangan bom nuklir oleh Amerika Serikat yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Setelah melakukan pembenahan diri, kegiatan belajar mengajar pun dilaksanakan kembali dengan adanya peraturan – peraturan baru dalam sistem pendidikan di Jepang. Salah satunya adalah perluasan sistem pendidikan di sekolah di mana anak – anak harus mengikuti sistem wajib belajar 6-3-3 ( enam tahun di sekolah dasar, tiga tahun di sekolah menengah pertama, dan tiga tahun di sekolah menengah atas ) ( Okano & Tsuchiya, 1999: 30 ).

Di tengah – tengah masyarakat Jepang yang memberikan pendapat bahwa pendidikan itu adalah hal yang baik, terdapat pula masyarakat yang berpikiran bahwa terlalu banyak pendidikan yang didapat akan menciptakan masyarakat yang memberontak, sombong, pertengkaran keluarga dan jurang pemisah antar generasi yang tidak dapat diatasi. Namun ide – ide tersebut tidak pernah mencuat sejak ditetapkannya kebijakan pendidikan di akhir masa restorasi Meiji, meskipun masih banyak pendapat tentang wanita yang mengenyam pendidikan merupakan hal yang percuma dan akan mengubah mereka menjadi istri yang buruk. Meskipun demikian, sama seperti negara lainnya, sejak tahun 1960, muncul permintaan akan pendidikan dan kebijakan pendidikan memberikan pengaruh bahwa pendidikan merupakan hal yang baik dan semakin banyak mengenyam pendidikan maka akan semakin baik. Sebagai masyatakat demokratis dan egalitarian, mereka menganggap, jika pendidikan adalah hal yang baik, maka setiap warga berhak mendapatkannya dengan gratis dan terbuka. Pendidikan dasar seharusnya disediakan bagi anak – anak guna memenuhi tugas mereka sebagai warga negara yang demokrat dan menentukan masa depan mereka. Sedangkan pendidikan lanjutan seharusnya disediakan bagi siapa pun yang ingin mendapatkannya. Dengan demikian, sangatlah penting bagi anak – anak

(5)

untuk mendapatkan pendidikan tanpa memandang status sosial, kesempatan yang sama untuk membuktikan kemampuan mereka, keadaan adil untuk menentukan pilihan, dan tentu saja dengan keadaan ekonomi yang memungkinkan dalam menentukan pilihan ( Goodman & Refsing, 1992: 116 – 117 ).

Dalam pembenahan dirinya, masyarakat Jepang mulai menyama-ratakan pandangan mereka terhadap pendidikan, dimana muncul sebuah keyakinan bahwa dengan pergi ke sekolah, lalu mendapatkan nilai yang bagus dianggap sebagai sebuah prasyarat untuk mendapatkan masa depan yang baik ( Kariya & Rosenbaum, 1987 ). Tidak hanya dengan belajar di sekolah dan mendapatkan nilai yang bagus saja dapat menjamin masa depan anak mereka baik. Faktor kualitas sekolah atau universitas tempat anak mereka belajar juga berpengaruh. Refsing ( Goodman & Refsing, 1992: 124 ) menjelaskan setiap universitas memiliki mutu yang berbeda dan diurutkan berdasarkan nilai mutunya. Lulusan dari beberapa universitas top dipekerjakan dengan posisi atau kedudukan yang top. Begitu juga dengan lulusan dari universitas bertaraf rendah dipekerjakan pada perusahaan rendah pula. Dengan adanya keyakinan tersebut, para orang tua di Jepang beramai – ramai menyekolahkan anak – anak mereka agar kelak mendapatkan pendidikan yang baik lalu bekerja di perusahaan yang baik dan mendapatkan masa depan yang baik pula. Standar pendidikan pun semakin lama semakin ditingkatkan.

Keyakinan akan pentingnya pendidikan tidak hanya mempengaruhi keluarga – keluarga Jepang tetapi juga menyebar di sektor lapangan kerja. Banyaknya permintaan akan pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan. Tetapi penyebab permintaan akan pekerja yang berpendidikan tidak hanya dikarenakan perluasan sistem pendidikan. Penyebab lainnya adalah berkurangnya lapangan pekerjaan bagi remaja umur 15 hingga 18 tahun. Pengurangan lapangan pekerjaan tersebut

(6)

merupakan salah satu taktik untuk memberikan kesempatan mengenyam pendidikan kepada kaum muda ( Goodman & Refsing, 1992: 117 – 118 ).

Sebagai akibatnya, efek dari keyakinan masyarakat Jepang tersebut perlahan – lahan muncul. Anak – anak didoktrin untuk mendapatkan prestasi yang bagus. Pada akhirnya, persaingan untuk bersekolah di sekolah yang bergengsi semakin ketat. Orang tua pun berbondong – bondong membawa anak mereka ke juku ( 塾; tempat les ) untuk meningkatkan pendidikan akademik anak mereka di samping kegiatan belajar mengajar di sekolah (Sugimoto, 2010: 131).

Keyakinan lain yang timbul dalam anak – anak Jepang adalah school culture atau disebut dengan budaya sekolah. Dalam Tomari dan Kudomi (2007:2), disebutkan bahwa budaya sekolah adalah budaya yang melekat pada sekolah dan menciptakan sebuah pola kehidupan di sekolah tersebut sehingga timbul pemikiran dari warga sekolah bahwa itulah yang selalu rutin dilakukan di dalam sekolah tersebut. Sekolah memiliki suasana dan atmosfir yang tidak ada di tempat lain, seperti waktu luang yang tidak dimiliki oleh orang dewasa dan kedekatan dalam berkomunikasi dengan teman tanpa mempedulikan faktor ekonomi dan kepentingan sosial. Selain itu, anak – anak harus mematuhi peraturan – peraturan yang sangat ketat dibandingkan dengan lingkungan sosial orang dewasa. Di antara peraturan – peraturan yang ada, terdapat batasan lingkungan yang dinamakan dengan kelas, yang mengatur siswa – siswa dengan umur yang sama. Pembagian kelas memberikan efek positif dan negatif bagi siswa – siswa. Kondisi – kondisi tersebut melingkupi school culture. Siswa – siswa akan mengikuti budaya yang ada di sekolah karena ditetapkan dalam peraturan yang harus dipatuhi. Akan tetapi, dengan adanya efek negatif yang tercipta dari school culture, siswa merasa tertekan dan akhirnya muncul berbagai permasalahan sosial dalam dunia pendidikan di Jepang. Salah satunya adalah kasus futoukou.

(7)

Dalam Deshi Jisho ( 2011 ), futoukou (不登校) memiliki arti truancy yang berarti

mangkir/bolos dari sekolah. Sedangkan, dalam Kamus Jepang Indonesia kata futoukou dibagi menjadi dua terlebih dahulu, yaitu fu (不) yang berarti tidak dan toukou (登校) yang berarti masuk sekolah. Sebelumnya, istilah untuk siswa yang menolak untuk masuk sekolah disebut dengan toukoukyohi (登校拒否). Fenomena toukoukyohi ini sudah muncul pada tahun 1960-an. Akan tetapi melonjaknya jumlah anak yang tidak ingin masuk sekolah membuat permasalahan kasus ini menjadi perhatian publik yang serius di pertengahan tahun 1980-an. Akhirnya, penggunaan kata toukoukyohi diganti dengan kata futoukou pada beberapa pembahasan publik mengenai kasus ini, di mana arti kedua kata tersebut memiliki kesamaan dan terdapat banyaknya alasan yang menyebabkan anak – anak tidak ingin bersekolah (Goodman, 2000: 129 – 130).

Kasus futoukou ini tidak membuat Menteri Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang (atau selanjutnya akan disingkat dengan MEXT) berpangku tangan. Tercatat di statistik dalam situs MEXT ( Ministry of Education, Culture, Sports, Sience and Technology – Japan ), jumlah siswa yang menolak untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar pada tahun 1960 sebesar 155.684 anak, dengan puncaknya 231.142 anak pada tahun 2001. Akan tetapi jumlah anak yang menolak untuk masuk sekolah menjadi menurun yaitu 191.464 anak pada tahun 2004. Dalam statistik tersebut terdapat catatan yg menuliskan bahwa sebelum tahun 1990, siswa yang tidak masuk sekolah selama 50 hari atau lebih tercatat dalam 1 tahun dianggap sebagai anak yang menolak untuk masuk sekolah (futoukou). Namun sejak tahun 1991 hingga sekarang, jangka waktu siswa yang tidak masuk sekolah dikurangi menjadi 30 hari atau lebih dalam jangka waktu 1 tahun.

(8)

Dalam statistik yang dipublikasikan oleh MEXT (2010), terdapat beberapa alasan siswa tidak masuk sekolah, diantaranya dikarenakan masalah ekonomi keluarga, penyakit yang diderita oleh siswa, beberapa kasus selain permasalahan ekonomi keluarga dan penyakit, dan lain - lain. Kasus yang tidak berkaitan dengan ekonomi keluarga dan penyakit dikategorikan dalam futoukou. Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Okano dan Tsuchiya disebutkan bahwa penyebab para siswa tidak masuk sekolah adalah permasalahan yang timbul dalam sekolah siswa tersebut. Permasalahan tersebut timbul dari adanya kasus ijime yang terjadi di sekolah, peraturan sekolah yang memojokkan pihak siswa dan perilaku siswa sendiri dalam sosialisasi di lingkungan sekolah yang membuatnya tidak ingin lagi kembali bersekolah. Dalam data statistik, terdapat laporan jumlah futoukou pada masa 平成 3 年度 ( tahun 1991) untuk tingkat sekolah dasar (SD) tercatat 12.645 siswa, untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP) tercatat 54.172 siswa. Kemudian pada tahun 2009 diketahui jumlah futoukou pada tingkat SD mencapai 22.327 siswa dan pada tingkat SMP mencapai 100.105 siswa.

Mengingat negara Jepang dikenal akan kecanggihan teknologi, yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, banyaknya jumlah futoukou merupakan hal yang cukup mengejutkan. Apalagi jumlah kelahiran tiap tahun di Jepang tergolong rendah. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti faktor yang menyebabkan terjadinya futoukou di sekolah Jepang.

1.2. Rumusan Permasalahan

Peneliti ingin meneliti penyebab munculnya futoukou dari sudut school culture di sekolah Jepang.

(9)

1.3. Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi ruang lingkup permasalahan yaitu masalah yang dihadapi siswa di dalam batasan school culture di sekolah Jepang. Dari permasalahan tersebut akan dipersempit lagi ruang lingkupnya menjadi dua, yaitu faktor eksplisit dari pihak siswa yang mendapatkan pengaruh dari orang lain seperti guru dan sekolah, dan faktor implisit di antara siswa – siswa saja.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulis meneliti rumusan permasalahan ini adalah untuk mendalami faktor – faktor eksternal dan internal penyebab kemunculan futoukou sehingga membuat fenomena futoukou menjadi sorot perhatian masyarakat Jepang.

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca mengenai kasus futoukou yang telah lama menjadi permasalahan dalam pendidikan di Jepang di samping kasus ijime yang telah banyak muncul dalam berbagai media, baik drama Jepang, manga maupun di dalam artikel dunia maya..

1.5. Metode Penelitian

Dalam mengkaji rumusan permasalahan, metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian pustaka, deskriptif analitis dan kualitatif. Metode kajian pustaka adalah dengan cara mencari informasi – informasi yang mendukung penelitian sumber data. Menurut Ratna ( 2011 ) metode deskriptif analitis adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta – fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sedangkan menurut Winartha ( 2006 ) dalam Susanti ( 2010:36 ) metode deskriptif kualitatif adalah menganalisis, menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa

(10)

hasil dari wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan. Buku yang dipakai sebagai teori dasar yang mendukung penelitian ini berasal dari perpustakaan dan SALLC Universitas Bina Nusantara. Penulis juga mengambil beberapa data pendukung yang berasal dari situs di internet yang tepercaya, terutama situs resmi dari pemerintah Jepang sebagai data pendukung utama.

1.6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab yang masing – masing akan dibagi ke dalam sub bab untuk mempermudah dalam melakukan pembahasan dan memberikan gambaran penelitian secara jelas. Peneliti akan menguraikan garis besar dari skripsi ini.

Bab 1 , merupakan bagian pendahuluan. Peneliti akan menguraikan latar belakang penelitian, perumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2, landasan teori semua teori yang mendukung penelitian ini akan diuraikan, baik dari buku – buku, jurnal, maupun data – data yang didapat dari internet.

Bab 3, adalah analisis data. Peneliti menguraikan permasalahan yang diteliti, menganalisisnya dan menyambungkan dengan teori – teori yang ada pada bab dua. Bab 4, adalah simpulan dan saran. Bab ini peneliti menguraikan simpulan dari hasil analisis data yang telah dilakukan dan saran kepada pembaca.

Bab 5 , merupakan bab ringkasan. Pada bab ini ringkasan dari seluruh skripsi ditulis dan disusun dalam bentuk bahasa Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh GH besar yang berisi stroberi memiliki enam rak bertingkat tiga masing-masing berukuran panjang 18 m, lebar 1.5 m, dan tinggi 1.2 m yang untuk tempat meletakkan

SKKNI dapat digunakan oleh perusahaan atau organisasi untuk acuan evaluasi dan asesmen kompetensi tenaga kerja, baik dalam kaitannya dengan rekrutmen, pengembangan karier

Tuna mata besar yang merupakan pelagis besar di perairan selatan Jawa banyak ditangkap dengan menggunakan longline. Produktivitas alat tangkap longline cukup tinggi dimana daya

Pengakuan Aktiva Tetap Biaya harga perolehan aktiva tetap adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diberikan untuk memperoleh suatu

Izin Lingkungan Nomor 02.21.06 Tahun 2014 Tanggal 2 Juni 2014 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Survei Seismik 2D dan 3D di Blok Sakti, Perairan Laut Jawa, Kabupaten Rembang

Tidak merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan, dan/atau lembaga lain... 01 Ikhtisar Data

(Jurnal Terproduktif di Sinta) Komponen Penilaian Bobot Penilaian (bukan prosentase) Jumlah Dokumen Artikel di Scopus 40 Jumlah Dokumen Non Artikel di Scopus 15 Jumlah Sitasi

Standar kinerja adalah tingkat yang diharapkan suatu pekerjaan tertentu untuk dapat diselesaikan, dan merupakan pembanding atas tujuan atau target yang ingin