8 BAB II
KEARIFAN LOKAL BUDAYA NUSANTARA
YANG DAPAT MENJADI PEREKAT PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA
1. ACEH
a. Meuseuraya1
Meuseuraya adalah sebutan orang Aceh untuk menyebut sebuah kegiatan yang merupakan ciri khas umum masyarakat nusantara gotong royong. Tradisi ini di satu sisi memang hanya mudah ditemui di desa-desa. Namun begitu, di beberapa tempat yang berdekatan dengan kota seperti Banda Aceh, tradisi demikian masih juga bisa ditemui. Sekalipun tidak sekuat desa-desa yang masih lebih kental dengan semangat kebersamaannya. Di desa yang berada berdekatan dengan kota, masyarakat sedikit terbawa kebiasaan masyarakat kota yang cenderung lebih percayakan hal-hal yang berbau kebersamaan itu dengan model "mewakili". Artinya, kalau misal sedang ada rapat desa, biasanya mereka yang mungkin memiliki kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan akan menyerahkannya pada seseorang yang ia percaya. Kalau memang kegiatan meuseuraya tersebut membutuhkan uang, mereka ini biasanya lebih memilih menjadi donatur atau yang membantu pendanaan seperti untuk kebutuhan makan dan minum warga selama berjalannya kegiatan meuseuraya tersebut. Sedangkan di desa-desa yang agak berjauhan dengan kawasan perkotaan, mereka sangat menjunjung tinggi kebersamaan.
Di Aceh, kegiatan meuseuraya ini bisa ditemui dalam banyak hal. Misal saja dalam acara kenduri kawinan (khanuri kawen). Juga, dalam acara kematian (ureueng matee). Juga bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan seperti turun sawah (troen u blang), aqiqah (peutroen aneuek) bahkan sampai dalam hal pengamanan kampung. Termasuk di sini menangkap pasangan yang terlihat bermaksud mencemari nama desa karena melakukan hal-hal yang tidak senonoh, asusila. Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan dengan konsep meuseuraya antara lain:
1) Acara Pernikahan (Khanuri kawen)
Dalam acara pernikahan, biasanya pihak keluarga akan memberitahukan pada kerabat dan tetangga terlebih dahulu. Selanjutnya mereka juga akan memberitahukan pula pada keluarga yang mungkin berdomisili di tempat yang jauh. Untuk acara-acara seperti ini, seringnya kalau di desa. Kalau pun misal ada warga yang berladang jauh dari kampung, akan tetapi kalau sedang dibutuhkan untuk acara di desanya. Maka mereka akan dengan sukarela untuk turun ke desa agar bisa ikut serta juga menunjukkan perannya.
Diawali dengan duek pakat (musyawarah). Pihak keluarga akan akan membicarakan berapa maskawin yang akan ditetapkan untuk pihak
1 Hasil Observasi Akbar Zulfikar di 5 kabupaten di Aceh. Meliputi Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Besar dan Aceh Utara, Meuseuraya: Tradisi Kebersamaan di Tengah Masyarakat Aceh diakses
https://www.kompasiana.com/soefi/5500ba53a333115372511d49/meuseuraya-tradisi-kebersamaan-di-tengah-masyarakat- aceh?page=all tanggal 3 November 2019
9
keluarga calon mempelai pria yang ingin melamar anak gadisnya. Setelah itu ditentukan dan kedua keluarga bertemu. Di sana akan dibicarakan kapan acara pernikahan akan dilakukan. Bagaimana mekanisme kegiatan yang akan dilakukan. Apakah nanti dalam acara pernikahan tersebut akan dilakukan semacam kenduri besar-besaran yang membutuhkan ketersediaan kerbau. Atau hanya kenduri biasa-biasa saja, biasanya tercermin dari pemilihan untuk hanya memotong kambing (untuk masyarakat berekonomi lemah bahkan bisa hanya dengan beberapa ekor ayam).
Jika dalam duek pakat tersebut disepakati untuk memotong kerbau.
Setidaknya sampai 10 tahun lalu, pihak keluarga akan saling membantu juga untuk bisa membeli kerbau untuk dipotong di acara pernikahan tersebut. Atau, untuk keluarga yang memang memiliki kemapanan dari sisi keuangan, tentunya mereka hanya butuh masukan berapa biaya yang dibutuhkan. Selebihnya mereka akan menanggung semuanya sendiri tanpa membebani pada keluarga lainnya.
Terkait dengan kesepakatan penentuan maskawin atau jeulamee, kalau sudah diputuskan ureung tuha (sebutan untuk bagian keluarga paling berpengaruh), sering kali ini tak bisa lagi diganggu gugat. Pakiban crah meunan beukah (seperti apa retak, harus seperti itu pecah). Filosofi ini mengisyaratkan perihal ini. Tak ayal, terkadang pilihan seperti ini juga membuahkan hal-hal yang tidak baik. Kendati kemungkinan yang tidak baik itu tidak terlalu sering juga terjadi. Sebut saja misal kalau calon pengantin laki-laki merasa maskawin yang ditetapkan sudah demikian memberatkan, mereka akan memilih untuk menghamili terlebih dahulu. Kalau sudah begini, biasanya dengan sendirinya jeulamee atau maskawin tersebut akan turun. Cuma, konsekuensinya keluarga mempelai ini akan dicap bahkan sampai ke anak cucunya dengan berbagai penyebutan yang tidak mengenakkan.
Terkait masalah itu lagi, juga tidak tertutup kemungkinan dengan melakukan pilihan yang sedikit terlihat konyol. Pemuda yang tidak sanggup lagi berpikir bagaimana bisa menjawab kewajiban pembayaran mahar dari calon mempelai perempuan akan melakukan skenario peudrop (tangkap).
Di sini, nanti si pemuda akan meminta beberapa ureung gampoeng untuk meringkusnya. Setelah terlebih dahulu memberitahukan di mana ia akan menyepi dengan gadis yang ingin dinikah inya. Sekalipun ini, lagi, terlihat konyol tetapi bisa menjadi pilihan dan sebagian kecil memang melakukannya. Kembali lagi, pilihan demikian pun akan memberi konsekuensi tidak baik, pastinya pada nama keluarga mereka sendiri.
Kembali pada pernikahan umumnya. Setelah proses rapat dan penentuan segala sesuatu selesai. Maka, jelang acara nikah dan khanurinya akan ada pembukaan kenduri yang dilakukan beberapa hari sebelum acara utamanya berjalan. Kenduri pertama ini disebut dengan pajoeh bu tuha (Makan Pulut). Meski nama acaranya demikian sederhana. Akan tetapi di sini biasanya menjadi moment untuk pihak aparat desa mengatur siapa saja yang terlibat untuk mengatur kelancaran kegiatan pesta pernikahannya nanti. Dari mulai siapa yang mencuci piring, menyambut tamu sampai dengan mengurus nasi.
10
Ada yang menarik dalam pengaturan peran ini. Sebab urusan masak memasak pun tidak semuanya diserahkan pada kaum perempuan. Untuk memasak nasi, seringnya ureueng gampoeng akan menggali lobang sekitar beberapa meter yang agak mirip kuburan. Di sana nanti akan ditempatkan besi berukuran satu meter atau lebih untuk menempatkan dandang (periuk besar), sedang di bawahnya dipergunakan untuk menempatkan kayu-kayu bakar yang seringnya berukuran besar sampai sebesar paha. Tungku-tungku dengan model unik ini juga dipergunakan untuk memasak air dalam jumlah banyak tentunya (akhir- akhir ini saja dengan adanya banyak tempat isi ulang air minum maka soal ini menjadi lebih simpel, untuk masyarakat yang berada di dekat daerah perkotaan).
Dalam memasak tadi, pihak laki-laki mengurus dari mulai menguliti ternak yang akan dimasak, baik kambing, sapi atau kerbau. Mereka juga yang akan memasaknya di sebuah belanga besar. Sedang pihak perempuan biasanya hanya diberikan tugas untuk memasak makanan-makanan yang lainnya, atau hanya untuk menghias ruangan acara.
2) Turun Sawah (troen u blang).
Ini merupakan kegiatan yang rutin dilakukan. Di sini akan dibicarakan tentang kapan akan dimulai melakukan penaburan bibit. Kapan mulai musim tanam dan lain sebagainya yang berhubungan sawah. Di samping, ini juga menjadi tempat untuk masyarakat bisa bersama-sama menikmati bu leukat (nasi ketan) yang menjadi makanan khas setiap ada acara-acara demikian. Dalam acara ini, seringnya yang menangani adalah Keujruen Blang (petugas pengairan sawah gampoeng), dan imum gampoeng (pemuka agama desa) untuk memimpin doa juga agar sawah mereka selalu dijaga Yang Mahakuasa.
3) Khanuri Matee
Dalam acara kematian, sesibuk apa pun warga desa, mereka akan meninggalkan kegiatannya untuk bisa bertakziah ke rumah keluarga si mati. Warga desa yang berkunjung (keumeunjoeng/ meukunoeng) hanya akan pulang kalau misal 4 (empat) kewajiban pertama sebagai muslim sudah dijalankan. Dari memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan.
Masyarakat desa yang misal memilih untuk pulang sebelum semua prosesi tersebut selesai. Lazimnya mereka akan dipandang sebagai masyarakat yang mendapat sebutan hana meuphoem adat (tidak memahami adat).
Kalau sudah begini, kemungkinan buruk yang bisa saja harus dialami adalah dijauhkan dari pergaulan masyarakat desa. Ini menjadi semacam hukuman adat yang tidak tertulis namun bisa saja berlaku pada siapa saja, tidak peduli seperti apa pun strata mereka di tengah masyarakat lainnya.
Dalam upacara kematian ini pula. Masyarakat biasanya akan bersama- sama mempersiapkan segala sesuatu. Jika keluarga si mati hanya dipercayakan untuk mengatur kebutuhan semisal kain kafan dan semisalnya. Sedang untuk yang lainnya biasanya akan ditangani oleh kerabat dekat mereka. Artinya, kebutuhan untuk menyediakan makan dan
11
minum untuk keluarga atau kerabat yang datang dari jauh, maka dengan sendirinya akan ada yang berinisiatif untuk menanganinya.
4) Peutroen Aneuek
Peutroen aneuk merupakan sebutan untuk acara aqiqah atau mencukur pertama sekali rambut anak yang baru lahir. Dalam kegiatan ini memang lebih banyak melibatkan kaum perempuan. Utamanya untuk kegiatan seperti meurateb (berzikir/ shalawatan). Terbalik, kaum lelaki akan menjadi penyedia kebutuhan untuk acara tersebut, seperti makanan dan sebagainya (kadangkala juga bekerjasama dengan kaum perempuan).
Beberapa tradisi demikian menjadi penegas bahwa gotong royong juga demikian mengakar di masyarakat yang dikenal sebagai tempat yang pernah lama dalam gejolak konflik. Meski dengan penyebutan yang berbeda. Semoga saja tradisi seperti ini tidak pernah tergerus jaman.
b. Duduak Keuchik
Dalam masyarakat Aneuk Jamee di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan Provinsi Aceh Duduek Keuchik adalah salah satu kewajiban sebagai media musyawarah dengan pemimpin mereka tentang adat apa yang akan digunakan dalam penyelenggaraan suatu perkawinan yang akan diselenggarakan.
Duduak Keuchik adalah musyawarah para pemangku adat untuk membicarakan tentang tata cara adat yang akan digunakan dalam pesta perkawinan yang akan diadakan.
c. Marompak
Merompak adalah upacara ritual setelah masa panen dilakukan pada masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue khususnya para petani sudah melakukan acara ini secara turun temurun di hampir seluruh kepulauan ini.
Upacara ini menurut Malid, sudah dilakukan semenjak dahulu kala setelah Islam masuk ke Simeulue yang dibawa oleh Teungku Di Ujong Khalilullah pada sekitar abad ke-15. Pelaksanaan upacara Merompak ini dilakukan dengan cara bergantian di antara sesama petani sawah dengan cara bergiliran mereka mengadakan makan bersama di rumah masing-masing. Setiap yang membuat undangan makan, artinya ia siap juga untuk menjamu satu keluarga, bahkan orang satu kampung, kecuali yang tidak mau pergi karena berhalangan. Pada acara kenduri Merompak ini kadangkala juga diadakan keramaian oleh para pemuda seperti permainan Kendang
d. Pelaksanaan di’iet, sayam, suloh, peusijuk dan peumet jaroe2
Di Aceh proses penyelesaian konflik yang berkembang dalam masyarakat diselesaikan dalam kerangka adat yang sarat dengan nilai-nilai agama.
Pelaksanaan di’iet, sayam, suloh, peusijuk dan peumet jaroe merupakan proses penyelesaian konflik berbasis adat yang sudah lama mengakar dalam masyarakat Aceh. Tradisi ini merupakan proses penyelesaian konflik yang sangat demokratis tanpa terjadinya pertumpahan darah dan dendam di antara kedua belah pihak yang berkonflik, baik vertikal maupun horizontal.
2 Abidin Nurdin, Revitalisasi Kearifan Lokal Di Aceh: Peran Budaya dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat, Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013 diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/57556-ID-revitalisasi-kearifan-lokal-di-aceh- pera.pdf
12 1) Di’iet atau Diyat
Pola penyelesaian konflik dapat diketahui tingkat kemaafan yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban. Jika kemaafan telah diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya tentang jumlah di’iet yang harus dibayarkan oleh pelaku pidana. Biasanya pembayaran di’iet dilakukan dengan suatu upacara adat yang didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuek dan peumat jaroe. Keterlibatan institusi adat dan budaya dalam penyelesaian kasus pidana, bertujuan untuk menghilangkan dendam antara para pihak yang bertikai.
Penyelesaian konflik dengan pola di’iet ditujukan untuk menghilangkan dendam dan rasa permusuhan berkepanjangan antara para pihak bertikai yang telah mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan. Kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh dapat saja bermula dari perebutan lahan pertanian, penguasaan sumber-sumber ekonomi gampong atau hal-hal lain yang mungkin terjadi dalam interaksi sosial masyarakat. Pola di’iet ini hanya ditujukan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan. Dalam penyelesaian konflik yang berakhir dengan pembunuhan, maka yang bertindak sebagai fasilitator, negosiator dan mediator adalah keuchik, teungku meunasah dan tetua gampong termasuk pemangku adat. Mereka inilah yang melakukan pembicaraan- pembicaraan awal dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya.
Pelibatan keluarga besar dari para pihak menjadi sangat penting dalam pembicaraan tersebut, karena untuk menghindari dendam di belakang hari.
2) Sayam
Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pola ini telah lama dipraktekkan dan bahkan jauh lebih lama dari pola di’ iet atau suloh. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebagian daerah di Aceh memberlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya darah seseorang akibat penganiayaan.
Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber dari adagium yang sudah dikenal lama yaitu “luka disipat, darah disukat”. Makna adagium ini adalah luka akibat penganiayaan atau kekerasaan harus diperhitungkan, demikian pula dengan tumpahnya darah juga harus diperhitungkan. Pandangan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh betul-betul memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap tubuh manusia, sebagai ciptaan Allah.
Sayam merupakan bentuk kompensasi yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap ciptaan Allah berupa tubuh manusia.
Sama halnya dengan di’iet, prosesi sayam dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa atau bertikai dihubungi oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila kedua pihak telah bersepakat baru prosesi sayam dilaksanakan di rumah korban atau di meunasah. Mengingat sayam hanya ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat ringan, namun menimbulkan luka atau keluar darah, maka peralatan dan bahan prosesi yang harus disiapkan oleh pelaku atau ahli warisnya sama dengan di’iet, namun
13
jumlahnya yang berbeda. Pola sayam banyak dipratekkan oleh masyakarakat pantai Utara Aceh dalam menyelesaikan kasus atau konflik perkelahian antar sesama warga. Bahkan masyarakat di setiap gampong memiliki peraturan sendiri yang disebut reusam yang dibuat secara demokratis. Kasus-kasus semacam ini diselesaikan secara musyawarah dan mufakat tanpa ada rasa dendam.
3) Suloh atau Islah
Kata suloh dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab yaitu al-sulhu- islah, yang berati upaya perdamaian. Suloh adalah upaya perdamaian antar para pihak yang bersengketa. Dalam tradisi penyelesaian konflik masyarakat Aceh, suloh lebih di arahkan sebagai upaya perdamaian di luar kasus-kasus pidana, tetapi mengarah kepada kasus perdata yang tidak melukai anggota tubuh manusia. Oleh karenanya dalam prosesi suloh ini tidak ada penyembelihan hewan kerbau atau kambing, karena tidak berkait an dengan meninggal atau rusaknya anggota tubuh korban. Kasus-kasus perdata yang diselesaikan melalui suloh ini umumnya berkaitan dengan perebutan sentra- sentra ekonomi seperti batas tanah, tali air (irigasi) di sawah, lapak tempat berjualan, daerah aliran sungai tempat menangkap ikan (seuneubok) dan lain-lain. Penyelesaian kasus melalui suloh ini, biasanya dapat juga diselesaikan di tempat kejadian oleh para petua adat yang menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau teungku meunasah.
Penyelesaian seperti ini biasanya untuk kasus-kasus sangat ringan dan cukup dengan bersalam salaman (peumat jaroe).
Soluh memang telah lama dikenal dalam masyarakat Aceh sebagai jalan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, baik pidana maupun perdata. Kasus pidana dan perdata ada sedikit perbedaan, jika perdata aparat gampong, seperti geuchik, teungku imum, tuha peut dan tokoh adat lebih banyak terlibat dalam proses soluh. Disinilah peran aparat gampong cukup krusial eksistensinya. Sedangkan kasus perdata seperti halnya persoalan harta domainnya lebih banyak pihak keluarga antara kedua pihak, meskipun pihak aparat gampong juga terlibat. Mekanisme soluh lebih banyak dipilih dan dipraktekkan oleh masyarakat mungkin lebih dari 75%
karena memiliki kelebihan antara lain. 1) Aib keluarga tidak terekspos ke masyarakat; 2) Tidak memakan waktu yang lama seperti jalur pengadilan; 3) Keretakan keluarga dapat terjaga.
4) Peusijuek dan Peumat Jaroe
Peusijuek dan peumat jaroe merupakan bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloh. Peusijuek berarti menepungtawari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan sengketa dalam upacara adat. Setelah dilakukan peusijuk diakhir sesi peumat jaroe yang bermakna saling berjabat tangan. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan antara para pihak yang bersengketa. Masyarakat Aceh menganggap belum sempurna penyelesaian konflik tanpa ada prosesi peusijuek dan peumat jaroe. Oleh karenanya dalam proses peumat jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata- kata khusus seperti; “Nyoe kaseb oh no, bek na deundam le. Nyoe beujeut keu jalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe” (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan
14
menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).
Hal yang sangat tepat jika menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat atau kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat.
Selain itu kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya dapat lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan kearifan lokal ini resolusi konflik dapat cepat terwujud dan diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.
2. SUMATERA UTARA a. Marsialapari 3
Masyarakat Mandailing yang berada di Sumatera Utara juga memiliki budaya atau tradisi-tradisi yang didalamnya mengandung aspek tolong-menolong.
Mereka berusaha tetap mempertahankan tolong-menolong yang didalamnya mengandung nilai-nilai luhur yang diteruskan dari generasi ke generasi. Hal ini dapat terlihat pada tradisi-tradisi pengelolaan lingkungan alam. Salah satunya masyarakat Mandailing masih melakukan tradisi marsialapari. Dalam tradisi marsialapari tersebut ada tradisi untuk saling bantu-membantu, bekerjasama dan bergotong-royong dalam mengerjakan sawah. Sehingga pekerjaan yang berat akan terasa ringan apabila dikerjakan bersama-sama.
Marsialapari merupakan salah satu tradisi yang ada di masyarakat Mandailing. Mandailing adalah salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara.
Dulu Mandailing merupakan daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, akan tetapi setelah mengalami pemekaran menjadi beberapa kabupaten/kota yaitu menjadi Kab. Mandailing Natal (Madina), Kota Padangsidimpuan, Kab.
Tapanuli Selatan, Kabupaten Padanglawas Utara (Paluta). Kelima daerah ini disebut Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel).
Di wilayah Mandailing inilah masih hidup tradisi marsialapari Marsialapari merupakan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing dalam pengelolaan sawah mereka. Marsialapari berasal dari dua suku kata yaitu alap (panggil) dan ari (hari), kemudian ditambah kata awalan mar yang berarti saling, sementara si adalah kata sambung yang kemudian menjadi kata marsialapari, yang dapat diartikan sebagai saling menjemput hari.
Marsialapari oleh masyarakat Mandailing dikenal sebagai suatu kegiatan tolong menolong dan gotong royong. Dimana pada saat itu masyarakat Mandailing secara sukarela dengan rasa gembira saling tolong menolong/
membantu saudara mereka yang membutuhkan bantuan, yang biasanya dilakukan di sawah atau kebun. Jadi, dapat disimpulkan bahwa marsialapari adalah suatu kegiatan menolong orang lain secara bersama-sama dengan rasa gembira dan dengan harapan orang lain dapat
3 Harvina, S.Sos Marsialapari Tradisi Gotong Royong Masyarakat Mandailing diakses dari
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/marsialapari-tradisi-gotong-royong-masyarakat-mandailing/ tanggal 3 November 2019
15
menolong kita di waktu lain ketika kita membutuhkan. Jumlah harinya juga dihitung berapa hari, misalnya kita pergi ke sawah si A selama 7 hari, maka si A juga akan datang ke sawah kita dengan jumlah hari yang sama.
Marsialapari dilakukan pada prosesi manyabii (memanen padi) ataupun prosesi marsuaneme (menanam padi), Pada saat marsuaneme (menanam padi), dibantu oleh enam hingga sepuluh orang yang berasal dari teman atau sanak saudara, baik yang muda ataupun yang tua untuk marsialapari ke sawah kita. Dalam satu hari bisa selesai marsuaneme (menanam padi), hal ini dikarenakan ada saling tolong menolong (marsialapari).
Meskipun marsialapari merupakan kerja sukarela tetapi ada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat bagian pekerjaan yang tergolong lebih berat dari perempuan. Pekerjaan laki-laki berkaitan dengan perbaikan atau penyiapan saluran air, tanggul atau jalan. Sementara perempuan cenderung mengerjakan bagian-bagian yang berkaitan dengan penanaman dan pemanenan,
Puncak dari kegiatan marsialapari adalah manyabi (panen). Manyabi (panen) itu bagaikan pesta yang dilakukan di sawah. Saat manyabi (panen) adalah saat paling ditunggu-tunggu baik oleh peserta marsialapari maupun anak- anak. Manyabi (panen) penuh kenangan dan sangat membahagiakan mereka karena semua dikerjakan secara bersama-sama. Dari kegiatan marsialapari ini terlihat bahwa pekerjaan yang sulit akan terasa lebih ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama, Sehingga mengerjakan sawah yang luas tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak, cukup dengan marsialapari. Kegiatan marsialapari ini dapat bertahan karena masyarakat Mandailing masih memegang teguh nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi ini.
Dalam tradisi marsialapari terdapat kegiatan saling bantu-membantu, bekerjasama, bergotong-royong dalam menyelesaikan sesuatu perkara yang dihadapi bersama dalam lingkup kehidupan bersama. Oleh karena itu, hendaknya tradisi ini tetap dipertahankan, sebab tradisi ini merupakan cerminan budaya lokal dari masyarakat Mandailing itu sendiri. Selain itu, dalam tradisi marsialapari tercermin nilai-nilai budaya masyarakat Mandailing Hal ini dikarenakan adanya esensi “kasih sayang (holong)” dan
“persatuan (domu)” yang hidup dalam khazanah budaya masyarakat Mandailing. Dimana rasa kasih sayang (holong) dan persatuan (domu) telah tertanam dalam diri masyarakat Mandailing.
Kasih sayang dan persatuan (holong dan domu), pada masyarakat Mandailing merupakan implementasi dari adat Dalian Na Tolu, yang menjelma dalam jejaring tiga dimensi Kahanggi, Mora dan Anak Boru. Sistem sosial dari Dalian Na Tolu tersebut yang menggiring masyarakat Mandailing untuk senantiasa memiliki rasa saling membantu dan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu persoalan yang menyangkut kehidupan bersama.
Pelaksanaan dari prinsip adat terlihat dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Mandailing yang masih menjalankan aturan adat sebagaimana yang telah ditradisikan oleh leluhur mereka.
b. Fondrak
16
Fondrak (baca Fondrake) dapat diartikan sebagai musyawarah pemuka adat Nias yang menjadi forum pembahasan dan pengesahan hukum adat baru atau Fondrak baru. Fondrak didefinisikan sebagai penetapan hukum adat baru yang disahkan dengan berkah bagi yang menaati dan kutukan untuk para pelanggar aturan adat oleh Ere atau imam/pandita agama Nias kuno.
Pada prinsipnya Fondrak yang tidak tertulis ini berasaskan pada lima nilai dasar dalam masyarakat Nias yaitu foadu (perbuatan baik), fangaso (kekayaan yang berhubungan dengan mata pencarian), foolo-olo hao-hao (sopan santun), fabarahao (tata pemerintahan dan stratifikasi sosial) dan bow masi-masi (adil dan saling mengasihi) sebagai asas penegakan hukum adat yang mengikat sekaligus menjamin hak-hak anggota masyarakat atas hak kepemilikan; kekayaan, kehormatan dan keselamatan.
Masa kini Fondrak direvitalisasi sebagai simbol supremasi hukum adat di Nias. Sejak UU Otonomi Daerah berlaku, 32 dari 33 kecamatan di Nias melembagakan Fondrak sebagai dasar penyelesaian masalah-masalah adat di Pulau Nias. Pembahasan Fondrak melibatkan para pemuka adat Banua (kampung) dan ri (negeri) dalam sebuah forum yang sering disebut Fondrak juga. Forum Fondrak diselenggarakan oleh satu Banua atau ri pada salah satu satu banua terutama ketika hukum adat dinilai tidak lagi mengikat atau menjamin hak anggota-anggota masyarakat. Sejak pengkristenan dilancarkan pada paruh kedua abad ke-19, kandungan hukum adat dalam Fondrak telah disesuaikan dengan agama ini.
Pembahasan rencana Fondrak baru dilakukan oleh para pemuka adat dengan mempertimbangkan bagian apa saja yang dinilai perlu diubah sedangkan pengesahannya dilakukan oleh Ere. Saat mengesahkan Ere mengibaskan daun kelapa muda sambil melafalkan doa pemberkatan yang kira-kira berarti sejahteralah orang yang menaati hukum ini, berkat baginya di bumi berkat baginya di langit. Masa kini Ere sudah menganut salah satu agama resmi, Protestan atau Katolik sehingga pengesahan Fondrak disesuaikan dengan agama tokoh adat yang diangkat sebagai Ere. Forum Fondrak, materi hukum adat yang ditinjau kembali serta produk hukum adat yang dihasilkan berbeda- beda di setiap tempat bergantung kebutuhan masing-masing banua atau ri.
Pasca gempa dan Tsunami 2004, beberapa forum Fondrak digelar untuk merevitalisasi materi hukum adat agar dapat menjadi landasan rekonstruksi dan rehabilitasi di Nias. BRR yang kemudian menyumbang kapal cepat, memberi nama kapal itu dengan Fondrak
c. Merdang Merdem:
Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga
17
lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda. Di suku Batak Toba Tradisi ini di sebut Horja Tahun.
d. Pur- pur Sage:
Pur-pur Sage adalah metode perdamaian ala masyarakat Karo, sering juga dikatakan sebagai salah satu upacara adat Karo. Dikatakan upacara adat, karena segala rentetan aktifitas dalam prosesi pelaksanaan pur-pur sagé ini telah(diatur) secara adat-istiadat Karo, sehingga disebut upacara adat perdamaian. Pur-pur Sagé sendiri, perlu dilakukan apabila ada pihak yang bertikai atau berselisih paham, baik orang perorang dalam satu keluarga atau dengan lainnya, ataupun antar keluarga, kelompok (organisasi), kesain ataupun kuta(daerah), maupun negara(kenjurun/urung ataupun kesebayaken), yang dimana pertikaian itu telah berlangsung cukup lama dan mengganggu ketenangan baik fisik, pikiran, hati, maupun roh-roh leluhur dan belum ditemukan kata sepakat untuk berdamai. Sehingga, dalam satu pemikiran dianggap perlu dilakukan musyawarah perdamaian agar situasi ini dapat kembali membaik dan jika telah ada kata sepakat maka dilaksanakanlah pur-pur sagé sebagai suatu pertanda jalan damai telah ditemukan serta dikukuhkan dalam satu upacara adat yang sakral.
Pur-pur Sage dilaksanakan, bukan hanya ingin mencapai suatu perdamaian untuk menstabilkan suasana dalam interaksi sosial saja, akan tetapi lebih kepada perdamaian yang sesungguhnya(abadi) untuk mencapai ketenangan tendi(roh), sehingga benar-benar diantara pihak-pihak yang bertikai memperoleh ketenangan tendi dan segala prasangka buruk sirna. Dalam pelaksanaannya sendiri, pur-pur sagé bukan hanya dilakukan antara pihak yang bertikai saja, melainkan harus dihadiri dan disaksikan oleh sangkep nggeluh(sistem kekerabatan Karo yang meliputi: Kalimbubu, Senina- sembuyak(sukut), anak beru, anak kuta, dan pemeritahan setempat) dari kedua-belah pihak yang berselisih. Maka oleh karena itu, terlebih dahulu seperti yang telah disinggung diatas sebelumnya, harus dilakukan runggu(musyawarah) antara pihak yang berselisih dengan disaksikan sangkep nggeluh-nya untuk menentukan pelaksanaan daripada upacara pur- pur sagé tersebut.
Jenis-jenis Pur-pur Sage:
Pur-pur Sage dalam pelaksanaanya terdiri dari beberapa jenis, hal ini ditentukan atas kesepekatan pada saat runggu dan biasanya ditelisik berdasarkan pertikaiannya. Adapun jenis-jenis Pur-pur Sage tersebut adalah:
1) Persada Man
Jika kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, “persada man” berarti:
makan bersama. Dimana, pihak yang bertikai makan bersama pada(dari) satu wadah(biasanya pinggan/piring) yang sama, dan dengan lauknya biasanya dibuatkan manuk sangkep, yakni: ayam yang digulai secara khusus dimana seluruh bagian tubuhnya masih utuh dan disertakan sebutir telur ayam yang direbus.
2) Nunggakken lau erpagi-pagi
Nunggakken: meminumkan, menyuapkan ataupu menyulangkan; lau: air;
dan erpagi-pagi yang berarti: saat pagi hari.” Nunggakken Lau Erpagi-pagi
18
berarti: meminumkan, menyuapkan, ataupun menyulangkan air dipagi hari.
Jadi, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bertikai saling nunggakken lau yang dimana air yang dipakai adalah bunga lau, yakni: air yang diambil dikala masih bersih/suci(air yang masih pertama kali dipergunakan saat itu) disaat subuh saat pancur ataupun sungai belum ada dipergunakan.
3) Nabéi
Sabé dalam bahasa Karo berarti: memakaikan. Dalam hal upacara perdamaian nabéi mengandung artian: memakaikan uis adat (kain/pakaian adat Karo) lengkap kepada pihak kalimbubu(tegun/ kelompok yang dihormati dan jadi panutan dalam sistem kekeluargaan Karo).
4) Putar Dareh
Dalam pelaksanaanya, darah orang yang paling patut dipersalahkan dituangkan dan diusapkan pada dahi seluruh penduduk kampung.
Biasanya, hal ini dilakukan pada pertikaian besar yang sampai menghilangkan nyawa ataupun setidaknya mengganggu ketentraman masyarakat umum, sehingga putar dareh perlu dilakukan.
Putar dareh ataupun sering juga disebut gancih dareh, adalah upacara perdamaian yang dimana darah orang yang bersalah harus ditumpahkan.
Darah dibayar dengan darah; berani berbuat haruslah berani bertanggungjawab. Siapa yang menyulut api, maka darahnya-lah ditumpahkan untuk menyiram memadamkan api tersebut! Agar tendi-tendi seluruh isi kuta menjadi tentram kembali.
Pelaksanaan Pur-pur Sage:
Seperti yang telah disinggung sebelumnya diatas, sebelum upacara pur- pur sagé dilakukan, terlebih dahulu kedua belah pihak melakukan runggu yang disaksikan sangkep nggeluh dari masing-masing pihak. Setelah ditemukan kata sepakat tentang segala hal dalam pelaksanaan pur-pur sagé, maka upacara ini telah dapat dilaksanak.
Membuka percakapan pada saat dilaksanakannya upacara pur-pur sagé, tegun(pihak) anak beru mengutarakan maksud kalimbubu-nya(yang bertikai) untuk melaksanakan upacara pur-pur sagé, setelah ada temu kata, maka disaksikan oleh seluruh yang hadir dilakukan persada man, nunggakken lau erpagi-pagi, nabéi, ataupun putar dareh duduk diatas amak mentar(tikar putih) yang telah dibentangkan. Yang bersalah kemudian menceritakan ataupun lebih tepatnya mengakui segala perbuatannya dan dilanjutkan dengan meminta maaf kepada seluruh yang hadir. Selanjutnya orang yang hadir diawali oleh tegun kalimbubu memberikan maaf namun diawali dengan kata-kata nasehat dan tidak jarang juga memarahi si yang bersalah. Setelah selesai, maka dilakukanlah makan bersama dengan seluruh yang hadir saat itu yang biasanya memotong kerbau atau lembu, ataupun babi.
e. Dalinha Na Tolu:
Dalinha Na Tolu (DNT) adalah bentuk interaksi Mahakarya Indonesia yang diwujudkan dalam demokrasi Pancasila, dimana setiap pengambilan keputusan didasarkan pada musyawarah menuju mufakat, bagaimana tidak? DNT adalah demokrasi kesetaraan dimana Hula-hula (Sebutan bagi
19
keluarga dari pihak istri yang kita nikahi) harus kita Somba (hormati) agar kita selalu mendapatkan berkat, keselamatan dan kesejahteraan. Dongan tubu (posisinya sejajar dengan kita, bisa teman/saudara semarga) harus kita hargai (Manat), hati-hati, tetap menjaga etika persaudaraan agar terhindar dari segala perselisihan. Dan, Elek Marboru (Selalu mengasihi saudara perempuan dan pihak marga suaminya, atau keluarga perempuan pihak ayah) agar damai dan berkat selalu menaungi keluarga masing- masing.
Setiap orang Batak – Toba pasti merasakan ketiga falsafah DNT ini, karena budaya ini sudah melekat dan terlihat saat ada pesta-pesta, baik itu pesta pernikahan, mangadati maupun saat ada kerabat atau keluarga yang meninggal. Budaya Batak – Toba tidak tergerus oleh jaman karena wejangan leluhur “Ompu na jolo, martungkothon siala gundi. Pinungka ni ompunta na parjolo, ihuthonon ni angka na parpudi”. Artinya, “Apa yang telah menjadi warisan budaya nenek moyang akan dilestarikan dan dilanjutkan generasi berikutnya”. Karena “Jongjong pe adat i ndang jaadi tabaon, peak pe adat i ndang jadi langkaan”. Artinya, “Adat dalam situasi apa pun harus tetap tegak dilestarikan”.
Struktur kekelurgaan dan/atau kekerabatan (Ompung, Bapa, Omak, Anak, Boru, Angkang, Anggi, Lae, Tunggane, Eda, Inang Bao, Amang Bao, Namboru, Amang Boru, Inang Baju, Tante, Tulang, Nantulang) adalah sebutan panggilan spesifik di kalangan Batak – Toba yang menunjukkan sikap Kerendahan Hati, mampu menempatkan dirinya dalam keluarga dan masyarakat, strata, ikatan kekelurgaan dan kekerabatan berdasarkan nilai- nilai keluhuran, sikap sopan – santun, serta adat budaya sejak dahulu kala hingga sekarang yang harus dipertahankan dan dijadikan kearifan lokal bagi generasi muda.
Satu hal lagi budaya Batak – Toba yang harus dipertahankan adalah sikap untuk tidak asal memperistri perempuan. Ada aturan siapakah yang bisa dikawini/diperistri, siapa yang tidak boleh dikawini/diperistri, karena tidak semua yang bersisik adalah ikan, bisa saja nenas, buya, ular, dan lain sebagainya. Artinya, tidak semua perempuan bisa dikawini/diperistri Batak – Toba, karena perempuan itu bisa saja saudara sedarah (Ito) atau besan (Inang Bao/Amang Bao, atau Subang ni tutur) dan sebagainya.
Sikap kerendahan hati masyarakat Batak – Toba diwujudkan dalam banyak hal, misalnya dalam memperjuangkan anak-anak mereka hingga berhasil dengan falsafah (Anakkon hi do Hamoraon di Ahu) yang artinya, “Anak adalah Kekayaaan yang paling utama”, sehingga bagaimanapun orang tua berusaha untuk menyekolahkan mereka. Menjunjung tinggi Kebudayaan yang telah diperkenalkan oleh nenek moyang, sebab kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
f. Tradisi Tutur Siwaluh:
Tutur Siwaluh (harafiah: tutur delapan) merupakan sistem kekerabatan masyarakat Karo yang terdiri dari delapan golongan : puang kalimbubu,
20
kalimbubu, senina, sembuyak, senina sipemeren, senina sipengalon, anak beru, anak beru menteri
Tutur Siwaluh merupakan konsep yang mirip dengan Rakut Sitelu (harafiah: ikatan tiga) yang membagi orang Karo menjadi tiga peran:
kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga peran ini digunakan kembali dalam Tutur Siwaluh. Kedua hubungan diatas tentunya belum lengkap tanpa adanya perkaden-kaden si sepuluh dua tambah sada yang dapat diartikan bentuk kekerabatan saudara terdekat, Tambah Sada ialah mereka orang-orang terdekat diluar lingkup keluarga seperti sahabat.
Berdasarkan hubungan kekeluargaan diatas maka muncullah semboyan atau sangkep nggeluh dalam masyarakat karo yang disebut dengan Merga Silima, Rakut sitelu, Tutur siwaluh, Perkade-kaden sepuluh dua tambah sada.
Kedua sistem ini dapat dimengerti dalam sebuah rumah tangga Karo. Pihak pemberi mempelai perempuan dinamakan Kalimbubu, sementara yang mengambil mempelai perempuan tersebut atau pemberi mempelai laki-laki adalah Anak Beru. Namun, kedua peran ini tidak terbatas dalam keluarga inti si perempuan atau si laki-laki saja. Dalam tradisi pesta adat masyarakat Karo, peran Kalimbubu dan Anak Beru terekstensi ke seluruh penduduk yang mempunyai kekerabatan dan marga yang sama dengan keluarga para mempelai.
Dalam pesta adat Karo, posisi Kalimbubu sangat dihormati dan diberikan hak terlebih dahulu untuk berbicara, menasehati dan makan. Sementara, Anak Beru diberi tugas untuk menjaga barang, memasak hidangan, serta mengatur jalannya pesta adat.
Sementara Senina berarti 'satu marga', dalam tradisi Karo satu marga berarti bersaudara. Ini berarti, tidak boleh meperistri seseorang yang Senina, ditambah lagi diharapkan antara orang yang Senina dibangun kedekatan familial seperti saudara kandung. Dalam pesta adat Karo orang yang saling senina saling mengajak untuk berperan sebagai Kalimbubu dan Anak Beru.
Kalimbu dan Anak Beru diwariskan dari orangtua ke anak dan dari saudara ke saudara. Misalkan, seorang pria Karo bermarga Tarigan menikahi perempuan bermarga Sinulingga (submarga dari Karo-karo). Maka keluarga dari wanita itu akan menjadi Kalimbubu bagi anak dari pernikahan tersebut dan juga saudara dari pria itu. Sementara keluarga pria yang bermarga Tarigan juga akan menjadi Anak Beru keluarga wanita tersebut.
Puang Kalimbubu adalah sebutan untuk Kalimbubu dari Kalimbubu kita.
Sembuyak berarti saudara kandung kita dari ibu, baik yang semarga ataupun yang tidak semarga. Senina sipemeren disini berarti saudara sebab ibu kandung mereka bersaudara. Seninan sipengalon berarti saudara sebab mempunyai istri yang satu beru. Anak Beru menteri adalah sebutan untuk Anak Beru dari Anak Beru kita.
Selain kedua sistem kekerabatan tadi, bertutur juga mempunyai arti berkenalan lewat sistem kekeluargaan. Banyak panggilan kerabat yang tidak masuk kedalam Tutur Siwaluh, tetapi digunakan dalam berkenalan lewat cara bertutur. Misalnya, anak dari saudara laki-laki ibu kita dinamakan
21
Impal. Dalam adat Karo tradisional menikahi Impal kita adalah sesuatu yang dibolehkan dan dianggap baik. Tidak hanya itu, sebutan untuk paman dan tante juga bermacam-macam. Misalnya, saudara laki-laki dari ibu kita dipanggil 'Mama' dan istrinya 'Mami'. Sementara saudari ibu adalah 'Bibi' dan suaminya 'Kila'. Paman dan Tante dari Bapak kita dipanggil 'Bapa' dan 'Nande' beserta urutannya sebagai anak. Misalkan, saudara Bapak kita yang sulung dipanggil 'Bapa Tua'.
Tradisi Bertutur ini masih berjalan didalam komunitas Karo dan bagi dua orang Karo yang berkenalan di perantauan sering berkenalan dengan menjelaskan Marga atau Beru dan Bere-berenya. Orang Karo yang dapat menjelaskan tuturnya dengan baik bisa mengubah status kenalan menjadi seorang Senina atau Kalimbubu tergantung Marganya. Di masyarakat Karo, orang seperti itu dianggap pintar bertutur dan bergaul serta dihormati sebab dianggap cakap dalam peradatan Karo.
3. SUMATERA BARAT a. Badoncek
Di masyarakat Pariaman Minang mengenal budaya badoncek4, yaitu budaya sosial masyarakat yang dipakai dahulunya dalam bentuk saling memberikan sumbangan secara materil untuk menopang kegiatan publik atau wujud spontanitas membantu anak nagari memenuhi kebutuhan individu yang tertimpa musibah. Lebih dari itu badoncek juga sebagai media menyukseskan semua kegiatan pembangunan infrastrukut untuk sosial di tengah-tengah nagari. Istilah badoncek pada saat ini tidak lagi populer di kalangan masyarakat Piaman Minang secara utuh. Keadaan ini disebabkan pada era orde baru melalui kebijakan sentralistiknya menggalakan program sosial khusus masyarakat yang dinamakan dengan gotong royong. Akibatnya budaya badoncek tersebut nyaris punah.
Jika dibandingkan nilai-nilai badoncek dengan nilai-nilai gotong royong sangat berbeda. Secara filosifi budaya, maupun dasar korenah nilai adat istiadat Minangkabau yang ada dimasyarakat. Namun secara tujuan akhir memang sama, kedua-keduanya merupakan kegiatan membantu sesama masyarakat.Nilai-nilai badoncek yang diwujudkan ditengah masyarakat Piaman Minang tempo dahulu adalah suatu kegiatan sosial kemasyarakatan yang saling bantu membantu berdasarkan nilai adat basandi syarak-syarak basandi kitab bullah (ABS-SBK). Melalui ikatan adat istiadat yang dikendalikan melalui budaya reward dan budaya punishment antara masyarakat Piaman Minang yang terlibat didalamnya.
Sekarang, budaya badoncek tidak lagi mengaung sebagai budaya Piaman Minangkabau yang menguntungkan masyarakat seperti dahulu. Terkesan di kalangan para tokoh masyarakat Piaman, budaya badoncek ini sekedar kebiasaan adat salingka Nagari saja. Akhirnya budaya badoncek tersebut tidak lagi memiliki tempat di jantung orang Piaman Minangkabau sebagai nilai- nilai yang memberi kebaikan untuk semua. Sikap yang mengatakan budaya
4 Bagindo Yohanes Wempi, Badoncek, Membangun Padang Pariaman, https://www.tribunsumbar.com/badoncek-
membangun-padang-pariaman/ diakses tanggal 7 November 2019
22
badoncek itu hanya milik beberapa Nagari, itu merupakan pemahaman yang keliru dan salah. Budaya badoncek pada dasarnya merupakan sosial budaya Pariaman Minangkabau yang menganut filosifi ABS-SBK sudah hilang dan perlu kembali digalakan.
Pembangunan yang ada ditengah masyarakat sebagian besar diselesaikan melalui peran nilai kebersamaan, alias badoncek melibatkan banyak orang tanpa melihat latar belakangnya. Contohnya seperti pembangunan Istano gadang pagaruyuang yang hangus ditelan api pada tahun 2012. Sekarang pembangunan rumah gadang tersebut telah selesai. Istana tersebut sudah kembali megah. Pembangunan tersebut sukses karna Bupati Tanah Datar, Shadiq Pasadigue membuka diri dan menghimpun donasi sumbangan melalu budaya badoncek di tengah masyarakat Minang. Baik yang ada di rantau maupun yang ada dikampung untuk membangunnya. Begitu juga pembangunan jalan layang kelok sembilan yang sekarang dinikmati oleh masyarakat Sumatra Barat untuk berpergian ke Pekanbaru. Kesemua prosesnya juga melalui pelibatan banyak pihak.
Perlu diberikan apresiasi bahwa budaya badoncek yang dilakukan selama ini diakui sangat membantu pembangunan Minangkabau. Apalagi pembangunan infrastruktur yang ada ditengah masyarakat nagari yang tidak banyak tersentuh dana pemerintah seperti pembangunan kantor KAN, Kantor Wali Nagari, Kantor Wali Jorong/Korong, tempat pertemuan adat dan tempat- tempat pertemuan anak nagari, kesemua dibangun melalui badoncek. Begitu strategisnya budaya badoncek dalam pembangunan Minangkabau selama ini, maka diminta para elit tidak boleh meninggalkan nilai-nilainya, baik secara aplikasi budaya badoncek untuk membangun Minangkabau maupun yang lainnya. Kesuksesan membangun nagari, membangun kabupaten Padang Pariaman dan propinsi tidak akan bisa terwujud tanpa ada gerakan budaya badoncek ditengah masyarakat. Sebagai contoh pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat karena tidak dibukanya peluang badoncek untuk pembangunannya, berakibat penyelesaiaan pembangunan Masjid itu agak lambat. Salah satu faktornya belum selesainya. dikarenakan tidak ada keterlibatan pihak luar untuk membantu memecahkan kebuntuan. Selain itu, pembangunan masjid merupakan proyek pemerintah, pemerintah propinsi terkesan jalan sendiri. Pemerintah provinsi mengambil kebijakan sendiri membangun Masjid Raya Sumatera Barat tersebut dengan menggelontorkan APBD. Dana yang telah digelontorkan sebesar tersebut pun belum bisa menyelesaikan pembangunan masjid yang diharapkan cepat selesai.
Contoh kecil kesuksesan hasil dari badoncek seperti pembagunan kantor- kantor ikatan-ikatan keluarga perantau di Jakarta, gedung Ikatan keluarga tersebut sukses dibangun dengan badoncek semua warganya. Pelaksanaan lain seperti event MTQ daerah Padang Pariaman dengan dilakukan budaya badoncek sehingga acara sukses dana dapat terkumpul baik dari rantau maupun di ranah sendiri sehingga kebersamaan itu timbul. Kesuksesan gerakan budaya bandoncek ini bisa diperdalam maknanya melalui dukungan bersama “barek samo dipikua, ringan sama dijinjiang”, artinya semua sama- sama terlibat.
23 b. Batobo5
Di masyarakat Sijunjung dikenal istilah batobo sebagai salah satu contoh implementasi nilai kegotong-royongan dalam kehidupan sehari-hari. Batobo, berkumpul bersama, mencari solusi atas masalah secara bersama, mengeksekusi pekerjaan secara bersama serta menikmati hasil secara bersama-sama. Begitulah hakekat yang diimplementasikan dalam batobo.
Sebagai daerah yang sumber penghasilan mereka sebagai petani, tradisi ini digunakan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan pertanian seperti manaruko, bersawah, berladang, mendirikan rumah, bahkan simpan pinjam. Uniknya, walau tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu bahkan mungkin sejak masyarakat mereka mengenal pekerjaan berladang tapi hingga kini masih tetap dijalankan. Malah, laporan penelitian Silvia Devi (2014) masih terdapat 18 tobo Konsi yang beranggotakan dari 30 orang sampai 86 orang.
Jumlah yang cukup signifikan untuk ukuran desa/nagari.
Batobo Konsi sesungguhnya adalah wadah berkumpulnya masyarakat Sijunjung khususnya nagari Koto Padang Ranah dan Tanah Bato untuk meringankan berbagai pekerjaan dan membahas aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya batobo mempunyai struktur kepengurusan yang terdiri dari penasehat, ninik mamak, ketua, tuo tobo, juru tulih, bendahara, anggota dan pembuat jadwal atau giliran. Anggota dibagi berdasarkan usia dan keterampilan serta anggota pemula dan penghubung.
Untuk pengambilan-pengambilan keputusan penting semua peserta mengadakan rapat yang dilaksanakan secara rutin. Materi rapat biasanya membahas segala hal yang berkaitan dengan tobo. Mulai dari aturan yang berlaku, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, larangan serta sanksi- sanksi. Selain itu rapat juga menentukan jenis pekerjaan, pembagian pekerjaan dan menentukan jadwal pekerjaan. Lebih jauh rapat batobo membahas terkait batas-batas wilayah dalam pertanian serta mengajarkan sopan santun kepada anggotanya atau cara-cara bergaul.
Artinya batobo oleh masyarakat Sijunjung difungsikan tidak hanya sebagai ikatan tolong menolong tapi juga sebagai tempat bersosialisasi.
Beberapa praktek tobo konsi pada masyarakat Sijunjung dilakukan dalam berbagai pekerjaan. Misalnya dalam mengerjakan lahan pertanian. Umumnya pekerjaan di ladang dilakukan secara bergilir ke ladang semua anggota tergantung urgensinya. Giliran ini diatur oleh tukang panyilih, apa bentuk pekerjaannya, kapan harus mengerjakan dan siapa saja yang harus mengerjakannya. Setelah disepakati lalu secara bersama-sama akan mengerjakannya. Ada kalanya seseorang tidak bisa terlibat karena ada urusan mendesak. Jika terjadi demikian, biasanya dia akan menggantinya dengan uang. Besaran uang yang dibayarkan ditentukan sesuai kesepakatan tobo, namun umumnya yang berlaku adalah upah sehari tenaga kerja di ladang.
Aturan yang sama juga dilakukan dengan jenis pekerjaan yang berbeda seperti meramu pekayuan, manaruko, bersawah dan lain-lain. Malah, kadang kala ketika tidak ada pekerjaan yang mendesak di anggota tobo, maka tobo
5 Firdaus Marbun, Belajar Gotong Royong dari Tradisi Batobo, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/belajar- gotong-royong-dari-tradisi-batobo/ diakses tanggal 7 November 2019
24
sering mengambil borongan pekerjaan. Hasil dari pekerjaan ini nantinya akan dinikmati bersama.
Tidak hanya saling membantu dalam hal tenaga, tapi juga modal usaha dan kebutuhan lain yang mendesak tentang uang. Batobo mempunyai konsep koperasi untuk membantu anggota ketika menghadapi kondisi-kondisi genting dan membutuhkan uang. Misalnya ketika mengalami sakit tapi sedang tidak punya cukup uang untuk berobat. Batobo mempunyai kas yang mana dikelola seperti halnya koperasi. Ya, anggota batobo berkewajiban menyerahkan iuran pokok dan iuran sukarela atau iuran rapek. Iuran pokok mereka hitung berdasarkan harga daging. Memang iuran ini dimaksudkan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari lebaran. Sehingga ini juga yang mendorong para anggota tobo untuk melunasi iuran dan utang (kalau ada) sebelum lebaran tiba. Iuran inilah yang dikelola untuk keperluan-keperluan mendesak anggota sebelum lebaran tiba.
Untuk memastikan setiap aturan ditaati oleh anggota, maka tobo mempunyai sanksi untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Sanksi ini diberlakukan sesuai dengan berat kecilnya pelanggaran. Mulai dari meminta maaf, denda, hingga mengeluarkan dari keanggotaan. Aturan ini berlaku kepada semua yang terlibat dalam tobo. Sanksi inilah yang kemudian bisa mengikat keanggotaan dan menciptakan disiplin dalam berbagai kewajiban yang harus dipenuhi.
Seseorang yang tidak taat aturan tentu saja akan merasa malu jika tidak mentaatinya. Ada budaya malu yang diciptakan ketika aturan tidak ditaati, hal ini karena rasa memiliki akan tobo tersebut sangat tinggi di kalangan anggota.
Batobo konsi semakin penting ketika fungsinya juga diperluas ke dalam pendidikan. Batobo konsi acapkali dimanfaatkan untuk menambah wawasan dalam bidang pertanian. Melalui pertemuan-pertemuan, seringkali disandingkan dengan penyuluhan-penyuluhan. Selain itu juga dimanfaatkan untuk melestarikan adat dengan memanfaatkan pertemuan untuk mendiskusikan dan menanamkan serta mengenal adat. Batobo juga dimanfaatkan untuk mengajarkan bagaimana cara berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Serta bagaimana bersosialisasi sebagai manusia yang beradab.
4. RIAU
a. Tepung Tawar6
Acara tepuk tepung tawar ini adalah kegiatan penyambutan tamu, dalam budaya Melayu. Budaya adat menyambut tamu ini berasal dari ritual di Kerajaan Sriwijaya yang dulunya beragama Hindu dan menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia di abad ke-7 Masehi, dan dilestarikan masyarakat Melayu sampai saat ini. Acara ini digelar untuk menyertai kegiatan masyarakat seperti kelahiran, khitanan, pernikahan, peresmian atau naik rumah, membuka lahan pertanian baru, menjemput semangat untuk orang yang lepas dari bahaya, dan lainnya. Orang yang akan ditepuk tepung tawar, duduk di tempat yang disiapkan lalu secara berurut dilakukan tepuk tepung
6 Arif Gunawan, Apa Itu Acara Adat Tepuk Tepung Tawar? Ini Rangkaian Kegiatannya, 04 September 2018 diakses dari https://sumatra.bisnis.com/read/20180904/533/834989/apa-itu-acara-adat-tepuk-tepung-tawar-ini-rangkaian-kegiatannya
25
tawar oleh ulama, pejabat setempat, orang patut dan layak, hingga ditutup pemangku adat,"
Rangkaian acara adat tepuk tepung tawar yaitu daun perenjis ditepukkan pada tangan, bahu kiri dan kanan, kepala dan pangkuan dengan niat dan doa.
Setelah itu ambil sedikit beras basuh, beras kunyit, bersih serta bunga rampai lalu ditaburkan kepada yang ditepung tawari. Menaburnya sama pula dengan merenjis atau menepuk, ini tergantung pada status sosialnya. Juga pada waktu menabur membaca doa dalam hati supaya Allah melimpahkan kurnia dan rahmat bagi yang ditepung tawari dan sekalian yang hadir. Setelah itu ambil sedikit inai kemudian oleskan ke telelapak tangan seraya berdoa agar dijauhkan dari bencana semoga dapat dikabulkan, lalu merenjiskan atau menepukkan dengan air pecung, terakhir yang ditepung tawari mengangkat tangan memberi salam sembah kepada yang menepung tawari.
Peralatan atau kelengkapan tepung tawar yang digunakan oleh masyarakat Melayu secara garis besar terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu terdiri dari Ramuan Penabur, Ramuan Rinjisan, dan pedupaan atau perasapan. Adapun Tepung Tawar yang diberikan ke penerima artinya adalah untuk menghapuskan atau membuang segala penyakit. Selain itu juga dijelaskan tepung tawar dilakukan sebagai lambang mencurahkan rasa kegembiraan dan sebagai rasa syukur atas keberhasilan, hajat, acara atau niat yang akan atau yang telah dapat dilaksanakan, baik terhadap benda bergerak (manusia) maupun benda mati (yang tidak bergerak).
5. SUMATERA SELATAN a. Bebehas7
Masyarakat memiliki kekayaan tradisi yang dipertahankan secara turun temurun. Salah satu tradisi tersebut adalah Bebehas. Bebehas merupakan tradisi yang dahulu kerap dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Muara Enim. Secara harfiah, Bebehas dapat dimaknai dengan menjadikan beras yang tadinya padi atau kegiatan mengumpulkan beras.
Tradisi Bebehas dahulu dilakukan manakala suatu keluarga akan mengadakan hajat, seperti ingin menikahkan putra putrinya atau yang biasa disebut dengan ngantenkan. Tradisi Bebehas hanya dilakukan oleh para ibu dan remaja putri. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara bergotong-royong.
Secara umum, tradisi Bebehas dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap awal dilakukan dengan mulai memisahkan padi pada tangkainya atau yang masyarakat Muara Enim menyebutnya dengan mengirik. Setelah padi dipisahkan dari tangkainya, biji padi tersebut kemudian dijemur, tahap ini dinamakan dengan mengisal.
Padi yang sudah dijemur kemudian masuk ke tahap selanjutnya, yaitu ditumbuk dengan menggunakan lesung. Proses ini dilakukan untuk memisahkan bulir padi dengan kulitnya. Setelah bulir padi terkelupas, barulah dilakukan tahap menampikan biji padi ke dalam alat yang terbuat dari balok kayu yang oleh masyarakat Muara Enim disebut dengan isaram. Tahapan terakhir dari tradisi Bebehas adalah membawa hasil panen padi ke tempat
7 Bergotong-Royong Mengumpulkan Beras dalam Tradisi Bebehas https://www.indonesiakaya.com/jelajah- indonesia/detail/bergotong-royong-mengumpulkan-beras-dalam-tradisi-bebehas diakses tanggal 7 November 2019
26
tuan rumah yang akan mengadakan hajat. Sebagai ungkapan terima kasih, si empunya hajat akan memberikan oleh-oleh berupa bakul yang berisi berbagai bahan makanan, seperti gula, kopi, dan minyak goreng. Berbagai tahapan dalam tradisi Bebehas tersebut dilakukan secara bergotong-royong, dan dilaksanakan tentu dengan suasana suka cita dan ikhlas.
Sebagai tradisi asli masyarakat Muara Enim di pedesaan, Bebehas makin tergerus oleh kemajuan zaman dan teknologi. Tradisi ini makin jarang atau bahkan sudah tidak pernah ditemukan lagi. Hal tersebut dikarenakan pola hidup guyub dan bergotong royong yang makin terpinggirkan, dan tergantikan oleh pola hidup individualistis. Padahal dalam Bebehas tergantung nilai-nilai luhur masyarakat Muara Enim yang guyub, saling menghormati, dan bersyukur atas limpahan berkah yang diberikan Tuhan
b. Ngelung8
Di daerah Lebak Lebung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) para petaninya memiliki tradisi sendiri sebelum masa tanam. Tradisi ini disebut “ngelung”
yang berarti bergotongroyong membersihkan lahan di sawah rawa lebak lebung. Lebak adalah kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua buah sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsurangsur kering pada musim kemarau. Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari tiga bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50—100 cm selama 3—
6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari enam bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung.
Lebak lebung membentuk kebudayaan lokal, khususnya lewat interaksi petani dengan alam yang dibangun berdasarkan nilai-nilai kearifan terhadap alam.
Sistem usaha tani yang dibangun dalam kebudayaan lebak lebung adalah sistem terpadu antara tanaman semusim (padi sawah, palawija, dan sayuran), ternak (kerbau dan itik), serta usaha penangkapan ikan. Sedangkan pohon, seperti kelapa, mangga, durian dan duku, hanya dapat ditanam di lahan yang tidak tergenang, misalnya di pinggiran sungai. Musim tanam pagi di lebak hanya sekali dalam setahun. Palawija dan sayuran ditanam bersamaan dengan padi yang ditanam pada galangan-galangan sawah lebak. Sedangkan pada musim hujan, petani menangkap ikan, menggembala ternak, atau mengusahakan kerajinan tangan, seperti tenun pakaian adat, anyaman tikar, dan alat rumah tangga. Tradisi ngelung kerap dilakukan untuk menumbuhkan semangat kebersamaan sesama petani. Setelah ngelung, petani juga makan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah.
c. Ngobeng9
Di Palembang terdapat tradisi makan berhidangan atau lebih di kenal dengan istilah "Ngobeng", yaitu salah satu tradisi kental masyarakat Palembang
8 Ngelung, Gotong Royong A la Petani SPI di Lebak Lebung OKI https://spi.or.id/ngelung-gotong-royong-la-petani-spi-di-lebak-lebung-oki/
diakses Tanggal 7 November 2019
9https://palembang.tribunnews.com/2018/10/31/tradisi-makan-berhidang-ngobeng-kunci-persatuan-masyarakat- palembang?page=all diakses tanggal 7 November 2019
27
dalam menjalani kebersamaan, tradisi biasa dilakukan pada saat ada acara kendurian, pernikahan dan lain sebagainya. Ngobeng sendiri dilakukan dengan cara bersusun berdiri secara shaf, dengan mengoper makanan/hidangan ke tempat makan. Maksudnya dari satu orang ke orang berikutnya. Tujuannya agar makanan cepat sampai ke tempat yang disediakan dan beban orang yang mengangkat makanan akan lebih ringan. Begitu makanan sudah dihidangkan, masyarakat duduk secara lesehan dan melingkar. Minimal satu hidangan itu, terdiri delapan orang dari berbagai unsur. Sekali lagi, Sayangnya adat ini sudah banyak ditinggalkan dan hilang, karena masyarakat Palembang kini lebih cenderung menggunakan prasmanan.
Dari sisi pendekatan filosofis makan di tempat berhidang (ngobeng) dengan prasmanan jauh berbeda. Di tradisi Ngobeng, ada interaksi. Disini, orang bisa mengenal satu sama lain tanpa mengenal status sosial dan nilai-nilai lainnya.
Tetapi prasmanan, orang cenderung individual sehingga menutup diri untuk berkomunikasi.
Di tengah isu radikalisme dan terorisme yang berkembang dan menakutkan itu, tradisi ngobeng dimanfaatkan untuk menjalin kebersamaan. Contohnya dengan melaksanakan Ngobeng setiap selesai shalat Jumat. Interaksi dibangun di makan berhidang (ngobeng) yang dilakukan setiap selesai shalat jumat. Ibu-ibu rumah tangga dan warga menjamu jemaah shalat jumat makan bersama dengan tradisi ngobeng di beranda Masjid. Salah satu Masjid di Palembang mengadakan ngobeng dengan sumber pendanaan hasil dari
"zakat dapur" warga yang disisihkan. Setelah yang dikumpulkan dan dimasak secara bersama. Usai shalat jumat, warga dijamu makan siang. Tidak hanya jemaah sholat Jumat saja, tetapi jamuan ini juga diperuntukkan bagi mereka yang datang ke masjid ini, termasuk yang berbeda keyakinan sekali pun.
Kebersamaan itu berhasil dibangun, kita bisa kenal dengan orang lain. Saling berkomunikasi di hidangan hingga berbicara soal pekerjaan sebagai tindak lanjut dari acara makan. Tradisi kearifan lokal ini mampu menjalin persatuan dan secara dini mampu mengantisipasi terorisme.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pun tergerak untuk kembali menghidupkan kebudayaan ini dengan cara menggandeng Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJI) Palembang. Banyak manfaat yang akan dirasakan para tamu dengan makanan secara ngidang. Duduk berkelompok dengan menikmati sejumlah makanan, membuat mereka memiliki waktu untuk saling bercerita dan mengenal satu sama lain. Kalau selama ini makan secara prasmanan, sudah ngambil makan, makan sendiri- sendiri, terus pulang. Dengan ngobeng ada kesempatan untuk saling ngobrol sambil makan. Makan secara hidang ini merupakan hidangan yang disiapkan secara gotong royong. Orang-orang yang mempersiapkan inipun cukup banyak. Mulai dari menyiapkan taplak meja untuk tempat lauk pauk, serta menyiapkan makanan-makanan yang disusun secara rapi.
28 d. Tradisi Malemang10
Tradisi Malemang merupakan tradisi adat tahunan yang sangat unik dilaksanakan pasca panan padi yang pada awalnya menurut penulis, tradisi ini secara historis lahir dari tiga aspek penting yaitu agama (simbol sistem keyakinan), pola kehidupan petani, dan kolonialisme dimana proses panjang kehidupan sosial pergulatan ketiga aspek itu berkembangan menjadi tradisi yang kompleks seiring perubahan sosial budaya dan moderniasi yang begitu kuat. Tradisi Malemang merupakan tradisi adat yang khas di masyarakat kecamatan Sungai Keruh Musi Banyuasin, tradisi ini bercirikan pembakaran lemang2 dipagi hari oleh setiap penduduk di desa Kertayu. Tradisi ini berawal dari upaya masyarakat setempat untuk menolak balak ketika zaman kolonial terjadi wabah penyakin, sehingga tradisi tolak balak yang berdimensi mistik itu dilakukan dengan rangkaian adat tradisi yang menghubungkan antara tradisi Malemang, syukuran pasca panen, makam Puyang Burung Jauh,dan konsep keselamatan, serta terjadinya akulturasi agama dan budaya lokal.
Dalam tradisi Malemang keterlibatan masyarakat adat begitu besar hal itu dapat dilihat dari acara upacara dan berebut lemang dan prosesi lainnya, yang dihadiri tidak hanya dari masyarakat setempat, melaikan dari desa tetangga di Kecamatan Sungai Keruh, juga dihadiri masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang, ada juga yang dari kabupaten lain, dan juga dihadiri oleh Bupati, Camata, dan seluruh kepala desa. Nilai kesadaran kolektif telah berlangsung puluhan dan bahkan ratusan tahun telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sungai Keruh melalui tradisi Malemang yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang telah membentok pola hubungan dan sistem sosial yang menunjukan bagaimana pola perilaku dalam kehidupan sosial diatur melalui tata aturan norma adat sebagai perwujudan nilai kebersamaan, kohesi sosial, dan juga makna tradisi Malemang mampu memelihara tata nilai, keharmonisan sosial, penyelesaikan konflik yang terjadi masyarakat melalui nilai kearifan budaya lokal.
6. JAMBI
a. Serayo atau nyanyo
Serayo atau nyanyo adalah sistem gotong royong pada masyarakat suku Kerinci yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Sistem ini juga sering disebut baselang atau berselang. Pada prinsipnya, serayo merupakan gotong royong yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu. Adapun permintaan tersebut dilakukan oleh salah satu pihak kepada kaum kerabat terdekatnya, para tetangga yang berada di dekat rumahnya, maupun warga sekampung (kelurahan ataupun dusun). Orang yang dimintai pertolongan akan memberikan bantuan sesuai dengan permintaan pihak yang memerlukan bantuan. Dalam sistem serayo terlihat adanya unsur kerja sama dalam mengerjakan sesuatu yang dipimpin oleh orang yang meminta pertolongan.
10 Dendi Sutarto, Kearifan Budaya Lokal Dalam Pengutan Tradisi Malemang Di Tengah Masyarakat Modernisasi Di Sungai Keruh Musi Banyuasin Sumatera Selatan diakses dari
https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/view/54/52
29
Orang yang diminta biasanya tidak menolak dan dapat diperkirakan warga akan "membalas" kebaikan sebelumnya.
Istilah serayo atau nyanyo lebih dekat pada pengucapan yang dipengaruhi oleh bahasa Minang, sedangkan istilah baselang atau berselang lebih dekat pengucapannya pada bahasa Melayu. Serayo atau nyanyo berarti
“menyampaikan maksud yang akan dikerjakan", sedangkan baselang sedangkan baselang atau berselang berarti "kerja sama dalam bidang mata pencaharian hidup". Serayo berwujud pengerahan tenaga kerja tanpa adanya unsur pamrih seperti halnya kegiatan gotong royong. Kegiatan ini lebih menjurus kepada kerja sama yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu. Lawan dari kegiatan serayo adalah gawe karepat, yaitu gotong royong untuk menyelesaikan kepentingan umum (seperti membuat jalan desa, memperbaiki jembatan, membersihkan saluran irigasi, dan sebagainya). Untuk membedakannya dengan serayo, masyarakat suku Kerinci cukup menyebutnya dengan istilah gotong royong atau kerja bakti saja.
Serayo merupakan ajakan dari seseorang untuk bergotong royong menyelesaikan pekerjaan tanpa upah. Kegiatan serayo mencakup berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, pembangunan rumah, dan upacara adat. Sistem dalam serayo tidak mengenal adanya pembagian tingkatan kerja berdasarkan keahlian. Hal ini disebabkan karena serayo sudah berulang kali dilaksanakan dalam masyarakat. Keahlian akan dipilah-pilah ketika dilaksanakan gotong royong dalam mendirikan rumah dan upacara adat.
Pembagian kerja dalam aktivitas membuat rumah memang diperlukan mengingat rumah dibuat sebagai tempat berlindung dalam jangka waktu yang lama, sedangkan pembagian kerja dalam gotong royong upacara keagamaan sangat diperlukan karena tidak semua masyarakat suku Kerinci benar-benar paham dengan adat. Serayo dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh sko depati (pemimpin adat tertinggi) dan sko ninik mamak (pemimpin dalam kekerabatan). Adapun upacara adat tersebut antara lain upacara lingkaran hidup (kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian), upacara membuka tanah, dan upacara mendirikan rumah.
Pemberitahuan serayo pada masa lampau dilakukan dengan cara memukul canang (gong kecil) mengelilingi kampung, tetapi ada juga yang mengunjungi rumah orang-orang yang hendak dimintai pertolongan sambil membawa sirih pinang untuk dicicipi kaum kerabat atau tetangga dekat yang didatangi. Apabila dirasa sudah cukup banyak orang yang didatangi, si pembawa sirih pinang akan kembali ke rumahnya karena dia menginginkan bantuan tenaga dari orang yang dikunjungi saja.
Kegiatan serayo dibagi menjadi dua berdasarkan jumlah orang yang berpartisipasi di dalamnya. Kegiatan gotong royong serayo berskala kecil atau kelompok kecil disebut dengan mbobo, yaitu hanya diikuti oleh 5-10 orang. Adapun kegiatan gotong royong serayo berskala besar disebut dengan andin, yaitu diikuti oleh lebih dari 10 orang. Serayo berskala besar biasanya ditujukan untuk membuka ladang. Gotong royong serayo dalam kelompok kecil atau mbobo biasanya diikuti oleh sko tigo takah (tiga perangkat pemimpin informal). Kelompok kecil dari sko tigo takah ini antara