a. Tradisi Siwaliparri (Suku Mandar, Polewali Mandar).
Dalam bahasa Mandar bermakna kebersamaan dan saling tolong-menolong, tradisi undtuk membangun kapal atau memindahkan rumah yang berbobot puluhan ton. Dengan kerja sama secara bergotong-royong, rumah panggung ini dengan mudah diangkat dan digeser pemiliknya ke tempat yang dikehendaki. Tanpa diupah atau dibayar sepersen pun, warga datang secara sukarela untuk membantu mengangkat dan memindahkan rumah sejauh. Untuk meminta bantuan warga, pemilik hajatan tak perlu repot mengundang warga secara khusus di rumahnya satu per satu. Cukup mengumumkan lewat pengeras suara di masjid atau gereja, warga ringan tangan datang membantu sanak tetangga yang membutuhkan bantuan pada hari yang sudah ditentukan.
31) MALUKU
a. Pela Gandong41
Kata “pela” berasal dari kata “Pila”, yang berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama. Kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu” menjadi pilatu.
Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian berubah artinya yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan. Gandong, secara harafiah diterjemahkan sebagai “berasal dari rahim yang sama,” sehingga mereka percaya memiliki leluhur yang sama (kandung), Menurut Jacky Manuputty “Gandong adalah relasi kekerabatan berdasarkan hubungan geneologis darah, sedangkan pela adalah pakta sosial yang diangkat oleh dua atau lebih desa yang berbeda berdasarkan peristiwa tertentu.” Maka pela gandong adalah ikatan perjanjian oleh dua atau desa baik berbeda agama berdasarkan hubungan darah garis keturunanan kedua atau lebih desa di Kota Ambon.
Cara-cara seperti ini telah dimiliki dan dilaksanakan masyarakat di Kota Ambon sejak ratusan tahun silam, diawali para leluhur, kemudian secara
41Hendry Bakri, Resolusi Konflik melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pela Gandong di Kota Ambon , The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Volume 1, Number 1, January 2015
http://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/view/133/pdf
63
turun-temurun berlaku sampai sekarang. Seperti contoh hubungan pela gandong Negeri Batu Merah dan Negeri Passo. Dalam hubungan pela gandong tersebut terdapat perjanjian antara dua negeri yaitu:
1) Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku kawin.
2) Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku musuh.
3) Orang Passo dan Orang Baru Merah harus saling tolong menolong satu sama lain.
Hubungan pela gandong yang terjadi antara Negeri Passo dan Negeri Batu Merah sekiranya menunjukan ikatan persaudaraan yang begitu kuat di antara masyarakat Ambon. Ikatan saling tolong menolong dengan saling menghargai sudah melekat sejak dulu kala. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotongroyongan antara kedua negeri yang mempunyai hubungan pela gandong. Sifat kegotong royongan ini sampai masuk ke wilayah identitas sensitive suatu kelompok,misalnya dalam hal ini pembangunan rumah ibadah.
Maka jika dilihat dari prespektif jaringan negeri-negeri di Kota Ambon masih dapat dihubungkan satu dengan yang lain, menjadi salah faktor penting bagi terciptanya integrasi sosial yang kokoh. Pada umumnya di Kota Ambon perbedaan agama sering dikalahkan dengan kuatnya ikatan kekerabatan yang menganut sistem patrelinial atau garis keturunan ayah. Setiap keluarga menganut agama tertentu,namun ada juga yang berbeda agama dan mereka dapat menjalankan ibadahnya secara damai. Sebagai contoh pada saat kerusuhan tokoh Negeri Passo dan Batu Merah yang berpela gandong berkomunikasi secara langsung untuk menghindari perluasan ketegangan konflik di wilayah mereka.
Pada hakikatnya pela gandong telah mengandung unsur rekonsiliasi. Dalam pela gandong itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian antar Negeri Negeri yang memiliki ikatan pela gandong.
Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Ambon merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini pasca konflik Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Ambon di masa mendatang. Realita sejarah menunjukkan bahwa sistem pela gandong selain mampu mendamaikan problematika kehidupan masyarakat, akan tetapi pernah juga jatuh dalam himpitan modernisasi sosial politik, ekonomi dan agama di negeri ini baik secara internal maupun eksternal. Modernitas secara perlahan dapat mengikis sendi-sendi kehidupan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal menjadi kehilangan jati diri dan mengabaikan nilai lokal sebagai pedoman hidup. Sifat kebersamaan luntur perlahan menjadi sikap egoistik yang mementingkan kepentingan pribadi. Keegoisan yang ditimbulkan dapat menjadi pemicu konflik.
64 32) MALUKU UTARA42
a. falsafah “Jou Se Ngofa Ngare”
Daerah Maluku Utara sebagai daerah bekas kesultanan meninggalkan beberapa kearifan Lokal berupa filosofis, budaya, dan beberapa ajaran dasar yang melandasi tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Soa (kampung) merupakan sebuah tatanan sosial yang demokratis, karena sangat egaliter dan akomodatif terhadap berbagai aliran dan keyakinan keagamaan. Secara keseluruhan tatanan ini bertumpu pada falsafah “Jou Se Ngofa Ngare”, yang merupakan common platform yang akomodatif terhadap kemajemukan
Legu Gam, adalah pesta rakyat memperingati hari ulang tahun Sultan.
Dalam acara ini ditampilkan pentas seni budaya tarian-tarian tradisonal, pembacaan puisi, pameran kerajinan lokal, hingga kegiatan seminar nasional yang menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, politisi dan budayawan tingkat nasional. Semua unsur masyarakat dilibatkan tanpa melihat latar belakang suku dan agama
Adat se Atorang (adat dan aturan) dapat dikatakan sebagai prinsip kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam bingkai ”Morimoi Ngone Futuru” (bersatu kita teguh). Cinta, keadilan, kebenaran, kebebasan dan persaudaraan teraplikasikan dalam berbagai kehidupan. Misalnya, di bidang keagamaan kebersamaan dalam silaturahim pada hari-hari besar keagamaan, acara perkawinan dan kematian. Di bidang ekonomi seperti aktivitas bakti sosial, gotong royong, dan membangun rumah. Adat ini dikenal dalam masyarakat Moloku Kie Raha. Adat ini masih fungsional dalam perilaku dan tindak tanduk kehidupan bermasyarakat
falsafah”Jou Se Ngofa Ngare” yang disimbolkan dalam ”Goheba depolo romdidi”, (dua kepala burung garuda), dan satu hati, mengandung arti bahwa masyarakat Ternate sangat menghargai keanekaragaman kultural. Simbol itu juga melambangkan bahwa penguasa dan rakyat memiliki kesamaan derajat dan kesamaan tujuan demi tercapainya kesejahteraan bersama Kie Se Gam magogugu ma titi rara (enam sila dasar):
1) Adat se Atorang, merupakan hukum dasar yang dipatuhi dan disusun menurut kebiasaan yang dapat diterima masyarakat.
2) Istiadat se Kabasang; Lembaga adat dan kekuasaannya menurut ketentuan.
3) Galib se Lakudi; kebiasaan lama yang menjadi pegangan suku bangsa diatur menurut sendi ketentuan.
4) Ngale se Dulu; bentuk budaya masing-masing suku bangsa dapat digunakan secara bersama sesuai dengan keinginan.
42 Drs. H. M. Yusuf Asry, M.Si.,APU (ed), Menelusuri Kearifan Lokal Di Bumi Nusantara: Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat Dan Daerah Di Provinsi Maluku Utara, Papua, Dan Maluku, Balitbang dan Diklat
Kemenag, 2010
http://simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/menelusuri%20kearifan%20lokal%20di%20bumi%20 nusantara%20melalui%20dialog%20pengembangan%20wawasan%20multikultural%20antara%20pemuka%20a gama%20pusat%20dan%20daerah%20di%20provinsi%20maluku%20utara%20papua%20dan%20maluku-2010.pdf
65
5) Sere se Diniru; tata kehidupan seni budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergaulan masyarakat yang diterima secara bersama.
6) Cing se Cingare; pasangan wanita pria merupakan kesatuan yang utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing dijaga kelestariannya.
Keenam sila dasar ini menjadi ikatan yang menyatukan sistem kekerabatan dalam pergaulan masyarakat adat Moloku Kie Raha, khususnya Ternate.
Kalau terjadi sengketa atau perselisihan dalam masyarakat maka sandaran penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum dasar tersebut Sistem norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat didasarkan pada:
1) Adat se Atorang, 2) Cara se-Ngale, 3) Galep se Lukudi, 4) Cing se Cingare,
Cing se Cingare, yaitu manusia sebagai mahluk sosial mempunyai ketergantungan satu dengan yang lain. Jika ingin dihormati atau disayangi orang lain, maka hormati dan sayangi orang lain. Budaya ini mencerminkan semangat gotong royong, penuh persaudaraan dan kebersamaan atas dasar tolong menolong
5) Baso se Hormat
Baso se Hormat, yaitu penghormatan atau sapaan. Dalam pergaulan hidup sehari-hari banyak digunakan bahasa sapaan untuk menciptakan keakraban sesama.
6) Baso se Rasai,
Baso se Rasai, memiliki makna toleransi spiritual. Misalnya, salah satu warga membangun rumah tinggal, masyarakat sekitarnya tanpa dipanggil dan diminta datang akan membantunya, baik tenaga maupun materiil.
7) Duka se Cinta.
Duka se Cinta, mengandung arti mengenang atau turut merasakan penderitaan yang dialami seseorang. Jika ada suatu keluarga yang ditimpa musibah berupa kecelakaan, bencana alam, kerusuhan atau kematian, maka semua anggota masyarakat sekitarnya meraka merasakan seakan-akan peristiwa tersebut terjadi pada diri atau keluarganya.
b. filosofi Adili, Palihara, dan Diayi
Di daerah Jailolo, Halmahera Barat terdapat filosofi Adili, Palihara, dan Diayi.
Adili artinya perlakuan yang adil terhadap semua pihak. Palihara artinya memelihara satu dengan yang lain, membagi apa yang dimiliki, tanpa membedakan suku dan agama. Diayi artinya menjaga hubungan yang rukun, tanpa melihat latar belakang agama.
c. tradisi babari
Di Ternate dikenal tradisi babari atau gotong royong, menangkap ikan dengan menggunakan layangan, memberi kesempatan laut beristrahat, atau pantang menangkap ikan di waktu tertentu dan bersih laut.
66 33) PAPUA
a. Slogan,“Satu tungku tiga tiang”
Struktur kemasyarakatan adat Papua yang tergabung dalam rumah adat (onai) menunjukkan adanya relasi yang seimbang, sehubungan adanya sistem “tiga tungku (dapur) satu rumah. Sistem demikian juga disebut sistem
“tiga batu dari satu tungku” atau tiga kamar dalam satu rumah. Konsep tiga tungku menurut masyarakat Papua juga dipahami sebagai “adanya keterkaitan antara adat, agama dan pemerintah”. Dalam kaitan ini, adat melindungi agama. Keberadaan pemerintah diakui adat. Jika terjadi perselisihan antar kelompok termasuk agama, ditangani secara adat.
Slogan,“Satu tungku tiga tiang”, yaitu kebersamaan antara pemerintah, adat, dan agama. Semua masalah diselesaikan oleh tiga unsur utama tersebut.Dalam adat Papua, anggota masyarakat dalam satu fam dapat terdiri atas tiga agama. Struktur kemasyarakatan demikian menunjukkan adanya sikap toleransi dalam hudup beragama. Adanya dasar adat perkawinan orang Papua, silsilah marga atau keturunan, serta adanya budaya rumah adat yang disebut “Nemen Naga” menumbuhkan sikap toleransi antar sesama. Adat budaya perkawinan orang Papua membolehkan perkawinan dengan tanpa melihat latar belakang agama. Dengan demikian memungkinkan dalam satu keluarga besar orang Papua terdiri atas berbagai agama. Dalam silsilah keturunan, orang Papua menganut sistem garis keturunan laki-laki (patrilineal). Dengan demikian melalui sistem ini dapat mengikat para anggota keluarga dari berbagai latar belakang yang berbeda, termasuk berbeda agama.
b. Tradisi Bakar batu43
Di Papua, tradisi bakar batu merupakan acara sakral yang masih berlangsung hingga kini. Pesta bakar batu dianggap sebagai simbol kebersamaan dan persatuan warga di bumi Papua. Makanan pun matang sempurna, dan lezat. Masyarakat Papua memiliki tradisi dan identitas sangat unik. Dari makanan, pakaian tradisional, hingga upacara adatnya. Salah satu tradisi Papua yang paling dikenal dan masih terjaga hingga kini adalah tradisi bakar batu. Tradisi bakar batu sendiri merupakan ritual memasak bersama yang bertujuan untuk memanjatkan rasa syukur, bersilaturahim dengan keluarga dan kerabat, menyambut kabar bahagia, atau mengumpulkan prajurit untuk berperang. Saat menjalani tradisi yang diwariskan secara turun temurun ini, seluruh warga desa ikut berkumpul dan duduk melingkar sambil memasak bersama dengan akrab.
Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman atau pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, dan Yahukimo. Tradisi ini sejatinya memilliki nama yang berbeda-beda di berbagai daerah yang melangsungkannya. Misalnya di Paniai, ritual itu dinamakan Gapila, di Wamena dinamakan Kit Oba Isogoa, sementara di Jayawijaya dikenal dengan nama Barapen.
43 Tradisi Bakar Batu, Pengikat Kebersamaan Bumi Papua diakses dari
https://pesona.travel/keajaiban/1388/tradisi-bakar-batu-pengikat-kebersamaan-bumi-papua
67
Sebetulnya tradisi ini tak begitu sering dilakukan warga. Sebab harga daging sangatlah tinggi. Harga satu ekor babi bahkan bisa mencapai 30 juta rupiah.
Karena itu, warga biasanya mengumpulkan dana bersama dengan desa-desa lain agar bisa patungan membeli daging. Nantinya, daging itu dibagi-bagi secara adil. Biasanya di masing-masing desa terdapat koordinator yang mengurusi pembagian daging tersebut agar tak terjadi kecurangan dan ketidakadilan. Saat memasak, warga desa benar-benar membakar batu-batuan keras yang didapat dari sungai atau kali di sekitar mereka hingga panas membara. Biasanya dibutuhkan waktu hingga dua jam agar batu bisa digunakan untuk memasak. Saat proses pemanasan batu ini berlangsung, kepulan asap membumbung tinggi dengan pekatnya.
Setelahnya, batu panas itu diletakkan di sebuah lubang dan ditutupi daun pisang yang di atasnya ditaruh berbagai bahan masakan. Yang paling umum, biasanya berupa daging babi yang sudah dibumbui. Tapi tak ada aturan khusus, kalau kita ingin membakar ayam, sapi, hingga ubi di atasnya pun tak jadi soal. Makanan yang dibakar di atas bebatuan itu lalu ditutup lagi dengan daun pisang dan batu panas hingga matang. Umumnya, daging matang dalam waktu empat jam. Selama itu, warga dengan sabar menanti sambil menyanyikan lagu dan yel-yel bersama-sama. Meski tak menggunakan api dan dimasak di atas wajan atau panci seperti pada umumnya, ternyata daging yang ditumpuk di atas batu bisa matang sempurna dan terasa lezat.
Awal munculnya tradisi ini merujuk kepada rasa sukur menyambut kebahagiaan atas kelahiran seorang anak dari suku tersebut. Kemudian berkembang lagi sebagai peringatan kematian, atau dilakukan untuk mengumpulkan prajurit ketika berperang. Selain itu, tradisi ini juga dipakai untuk menyelesaikan perselisihan antarsuku yang bermasalah. Biasanya, atarsuku yang bermasalah atau berperang diajak duduk bersama dan makan hasil dari upacara 'Bakar Batu'. Seusai makan bersama, semua perselisihan dianggap telah selesai.44
Hingga saat ini Tradisi Bakar Batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu2 penting yang berkunjung, seperti bupati, gubernur, Presiden dan tamu penting lainnya. Di sebagian masyarakat pedalaman Papua yg beragama Islam atau saat menyambut tamu muslim, daging babi bisa diganti dengan daging ayam atau sapi atau kambing atau bisa pula dimasak secara terpisah dengan babi. Hal seperti ini contohnya dipraktikkan oleh masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jayawijaya untuk menyambut Bulan Ramadhan.