• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Torang samua Basudara38

Kredo Torang Samua Basudara bukan untuk menyatukan perbedaan atau untuk menyamakan keberagaman, tetapi untuk mengakui dan memahami bahwa perbedaan adalah hal yang indah dan mengandung nilai kehidupan.

Torang Samua Basudara adalah kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara.

Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantu-membantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang sangat mulia untuk hidup rukun dan damai.

Keterbukaan masyarakat Sulawesi Utara tercermin dalam sikap hidup suka bekerja sama dalam bidang apa saja, namun yang paling menonjol adalah kerja sama dalam bidang pertanian. Dalam kerja sama ini, tiap etnis memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya sama, yaitu saling membantu atau tolong-menolong secara bergiliran untuk membuka lahan baru misalnya. Di

38 Soleman Montori, Makna Dan Nilai Filosofi “Torang Samua Basudara”, diakses dari https://beritamanado.com/soleman-montori/

tanggal 21 November 2019

57

Minahasa, bentuk kerja sama ini disebut Mapalus; di Sangihe disebut Mapaluse; di Bolaang Mongondow disebut Mopasad.

Walaupun Mapalus, Mapaluse dan mopasad, merupakan tiga nama dengan sebutan berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Semula bentuk kerja sama (Mapalus, Mapaluse dan Mopasad) hanya terbatas di kalangan masyarakat tani, di antaranya kerja sama dalam membuka lahan pertanian baru, menanam padi dan atau memanem padi, atau bentuk pekerjaan lainnya;

tetapi kemudian berkembang sampai arisan uang, perkumpulan dalam bentuk rukun keluarga, rukun marga, atau rukun dalam satu sub etnis, perkumpulan atau arisan membawa makanan ke rumah duka secara bergiliran, dan bentuk kerja sama lainnya seperti menjaga tempat ibadah secara bergantian antara pemeluk agama yang yang berbeda. Dari bentuk kerja sama inilah mulai tercipta rasa saling menghargai, menyayangi dan saling mencitai dalam wujud hidup rukun intern kelompok. Selanjutnya dari hidup rukun intern kelompok berkembang sebagai cikal bakal hidup rukun antarkelompok, baik dengan kelompok masyarakat penduduk asli, atau yang sudah berasimilasi maupun dengan kelompok masyarakat pendatang baru.

Masyarakat Sulawesi Utara menyadari bahwa tanpa keterbukaan hidup tidak mungkin ada kebersamaan. Kebersamaan adalah salah satu kerarifan lokal di Sulawesi Utara dan kota Manado sebagai ibu kotanya yang sampai saat tetap terpelihara dengan baik. Antara lain saling mengunjungi antara sahabat, atau kerabat, atau saudara yang berbeda keyakinan pada saat hari-hari besar keagamaan, misalnya hari-hari raya ketupat dan pengucapan syukur (thanksgiving). Umat atau jemaat yang berbeda agama menjaga tempat ibadah umat beragama lainnya saat perayaan hari keagamaan; misalnya saat Natal, keamanan gereja dijaga oleh umat Muslim; demikian pun sebaliknya, saat idul fitri, Mesjid dijaga oleh umat Kristiani, semuanya ini merupakan wujud nyata kebersamaan dalam kredo “Torang Samua Basudara.”

Torang Samua Basudara, dimaknai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan religius tidak hanya hidup sendiri, dan tidak mungkin hanya hidup sendiri;

dengan kata lain, Torang Samua Basudara walaupun berbeda-beda dalam banyak hal, namun masing-masing diberi kebebasan untuk melakukan apa yang dikehendaki serta memiliki kewajiban untuk memperlakukan orang lain yang berbeda dengan penuh rasa hormat.

b. Mapalus (Minahasa)/Mapaluse (Sangihe)/ Maposad (Bolaang Mangondow Merupakan sistem tradisional orang Minahasa berbentuk gotong royong dengan prosedur kerjasama secara bergiliran oleh tiap-tiap anggota untuk kepentingan bersama. Mapalus menjadi kegiatan yang bermakna saling membantu sejak dulu kala dalam masyarakat Minahasa

58 28) SULAWESI TENGGARA

a. Pokadulu39

Masyarakat Kabupaten Muna memiliki budaya Pokadulu. Budaya Pokadulu merupakan suatu budaya yang terdapat unsur sistem kerjasama atau gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Muna bagi setiap orang yang sudah dewasa dan mampu bekerja untuk membantu masyarakat yang bercocok tanam pada suatu wilayah atas dasar keikhlasan dan kemauan sendiri, tanpa ada tekanan dan paksaan dari orang lain. Dalam sistem pertanian masyarakat yang berada di Kabupaten Muna menerapkan budaya pokadulu sebagai media untuk memperkokoh persatuan masyarakat karena dapat memperlancar nilai perekonomian dengan terciptanya pola kerja sama masyarakat.

Implementasi Nilai-nilai sosial Budaya Pokadulu diantaranya nilai kebersamaan, persatuan tolong-menolong dan sosialisasi diterapkan dalam kegiatan pertanian yang di mulai pada saat pembukaan dan pembersihan lahan, bercocok tanam hingga panen maupun aktitas sosial lainnya yang masih diterapkan sampai sekarang. Proses pelaksanaan budaya Pokadulu tehadap aktifitas pertanian mulai dari pembersihan lahan perkebunan, bercocok tanam samapai pada tahap panen masih eksis atau dipertahankan oleh masyarakat. Budaya Pokadulu sebagai salah satu tradisi gotong royong merupakan warisan kekayaan budaya yang patut untuk dilestarikan dimana memiliki nilai-nilai sosial yang tinggi serta sebagai pranata sosial yang mesti dikembangkan untuk menunjang kehidupan bermasyarakat dengan semangat solidaritas yang tinggi antar sesama manusia.

29) GORONTALO40

Masyarakat suku bangsa Gorantalo sejak masa lampau telah mengenal sistem gotong royong. Dalam perkembangannya sistem gotong royong ini bukan saja pada kegiatan memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi sudah lebih luas lagi, antara lain dalam membangun rumah, sarana ibadah, membangun/membuat jalan, membuat fasilitas umum, kegiatan upacara, dan lain-lain.

Sifat gotong royong atau tolong-menolong pada suku bangsa Gorontalo mempunyai beberapa istilah sebagai berikut:

a. Ambu ialah tolong menolong antara kelompok orang untuk kepentingan bersama misalnya membuat jalan baru dan lain-lain.

b. Hileiya ialah tolong menolong apabila ada kedukaan. Orang-orang yang datang ketempat kedukaan disamping menghibur, juga membawa makanan dan tinggal beberapa hari. Mereka memasak makanan sehingga yang berduka tidak perlu memasak lagi sehingga terhibur hatinya.

39Darwin dkk, Implementasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Pokadulu (Kerjasama) (Studi Pada Masyarakat Petani di Desa Warambe Kecamatan Parigi Kabupaten Muna) diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/246733-implementasi-nilai-nilai-sosial-budaya-p-5dfe277d.pdf pad 21 November 2019

40 Domili, Drs.Burhanudin, Budaya Gotong Royong (Tolong-Menolong) Pada Masyarakat Suku Bangsa Gorontalo, diakses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/budaya-gotong-royong-tolong-menolong-pada-masyarakat-suku-bangsa-gorontalo/ 3 November 2019

59

c. Huyula ialah tolong menolong yang hampir sama dengan ambu.

Pada huyula biasanya lebih banyak orang yang terlibat.

d. Tiayo ialah tolong menolong antara kelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang. Biasanya orang yang ditolong hanya menyediakan makanan dan berkewajiban membalasnya bila orang yang pernah menolongnya akan mengerjakan sesuatu pekerjaan pula. Misalnya pada hari pertama membuat pondasi rumah.

Di Gorontalo terdapat berbagai kegiatan gotong royong atau huyula dalam berbagai bidang kehidupan, namun yang dibahas disini huyula membangun rumah (motiayo mopotihulo bele), dan huyula dalam kematian (dembulo). Gotong-royong atau huyula dalam kegiatan sosial membangun rumah telah ada sejak manusia mulai hidup menetap di dataran Gorontalo. Setiap keluarga atau masyarakat yang hendak membangun rumah meminta bantuan atau minta tolong (motiayo) kepada tetangga, saudara atau kerabatnya. Yang bersangkutan cukup hanya memberi makan bagi pekerja pada siang hari. Pekerjaan membangun rumah tersebut dikerjakan secara bersama-sama sampai selesai bangunan rumah.

Dalam perkembangannya pembangunan rumah mulai disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga dalam membangun rumah saat ini sudah membutuhkan ketrampilan khusus seperti para tukang, yang ahli/terampil yang diberi upah/uang. Hal ini telah mengurangi kegiatan motiayo (meminta bantuan, tolong menolong tanpa balas jasa). Sebagai pengaruh dari perubahan ini timbul huyula dalam bentuk mengumpulkan bahan bangunan rumah seperti batu kapur, pasir, semen, kayu dan seng. Masing-masing peserta secara bergilir membangun rumahnya. Dengan jalan demikian yang mengerjakan adalah para tukang yang disewa/dibayar oleh pemilik rumah.

Bentuk kegiatan huyula membangun rumah bertujuan untuk meringankan beban pemilik rumah. Hal ini dapat dilihat dalam istilah motiayo, yang artinya minta tolong atau minta bantuan dari orang lain. Kelompok yang ikut serta dalam kegiatan ini adalah para kerabat dan tetangga. Diutamakan mereka yang baru berumah tangga atau yang belum memiliki rumah sendiri.

Ketentuan-ketentuan para peserta yang ikut dalam pengumpulan bahan bangunan rumah memberikan bahan sesuai yang disepakati bersama. Pemilik yang minta bantuan motiayo dari para kerabat dan tetatangganya (tihedu) untuk membangun rumah wajib memberikan makanan kepada mereka yang datang membantu, baik dalam bentuk membalas jasa maupun mereka yang datang dengan sukarela (mohubode). Demikian pula sebaliknya yang sudah dibantu wajib mengembalikan apa yang disepakati dan membantu juga secara suka rela bagi yang membutuhkan bantuan. Mereka yang sudah pernah dibantu dan tidak membalas akan mendapat sanksi cemoohan masyarakat dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan huyula yang lain.

Pelaksanaan huyula dimulai dari pemilik rumah sudah menyiapkan bahan-bahan dan pekarangan yang akan dibangun rumah. Tiga hari sebelum pekerjaan dimulai, yang bersangkutan menyampaikan secara lisan kepada kerabat/tetangga untuk mengadakan musyawarah (heluma) mengenai pekerjaan yang akan dilakukan seperti ukuran rumah, bahan yang telah tersedia dan makanan yang telah disediakan. Yang memimpin musayawarah adalah panggoba (orang yang mahir dalam segala hal/usaha pekerjaan yang

60

dihadapi). Biasanya hari Minggu, Senin atau Kamis dianggap hari-hari yang baik menurut ta’jul muluk. Pada hari yang ditetapkan kira-kira jam 07.00 atau 08.00 pagi, mulai bekerja secara gotong royong (huyula) dan berhenti pukul 11.30 pekerjaan dihentikan untuk makan siang dan melakukan shalat/istirahat dan dilanjutkan pukul 14.00 sampai 16.30. Pekerjaan huyula ini ada yang dilakukan selama beberapa hari atau sesuai dengan persediaan bahan yang ada.

Biasanya rumah yang dikerjakan tidak selesai 100 persen.

Hasil yang disepakati dalam kegiatan huyula mendirikan rumah, ialah meringankan beban pemilik rumah agar dapat mendiami rumahnya. Dari istilah motiayo atau tiayo, yang artinya minta tolong/bantuan, sudah dapat diketahui tujuannya. Disamping itu dapat memelihara ikatan hubungan kerabat (ungala’a) dan hubungan persaudaraan antar tetangga. Sebagai hasil akhir dari kegiatan ini ialah setiap warga desa memperoleh tempat berteduh yang layak untuk hidup berumah tangga dalam kekeluargaan.

Selanjutnya pada masyarakat Gorontalo terdapat gotong-royong dalam kematian disebut dembulo. Jumlah peserta huyula dalam kematian (dembulo) tidak dapat ditentukan secara pasti. Hal ini tergantung pada kelompok-kelompok sosial penduduk desa dan juga tergantung pada status sosial tertentu.

Misalnya pemangku adat (bate) yang meninggal maka jumlah orang yang akan ikut dalam kegiatan itu mencapai ratusan bahkan ribuan. Kalau yang meninggal penduduk biasa maka akan terlihat bahwa jumlah peserta hanya puluhan atau ratusan orang saja.

Bagi para ungala’a (keluarga luas) dan warga desa (kambungu) memberi bantuan material atau bahan dalam bentuk natura tidak ada ketentuan yang berlaku. Sebab bantuan yang diberikan ini sama sekali tidak ada balas jasa. Jadi hal ini bersifat spontanitas dan tanpa pamrih. Jikalau keluarga yang menerima bantuan tidak membalasnya, tidak ada sanksi. Tetapi karena sudah menjadi adat kebiasaan, maka secara spontan juga mereka membalasnya. Termasuk bantuan tenaga dan pikiran, semuanya bersifat spontan. Kebiasan ini diperkuat lagi oleh agama yang mewajibkan memberi bantuan pikiran, tenaga, bahan-bahan/natura atau uang, semuanya semata-mata karena Allah.

Apabila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia (ilopateya), semua kerabat datang berkumpul bahkan sebagian warga suatu desa datang kerumah duka. Mereka datang memberi bantuan baik berupa tenaga, pikiran, bantuan materi seperti uang, beras, ayam, kelapa, kain putih dan lain-lain. Pemberian tenaga maupun material tersebut, oleh warga masyarakat diberikan langsung kepada angota keluarga yang kena duka. Terjadilah huyula (Gotong-royong) dalam berbagai kegiatan.

Tahap-tahap pelaksanaan huyula dalam kematian dimulai dari kerja sama mendirikan bangsal, tenda atau sabua (bantayo). Bambu-bambu sebagai rangka diperoleh dari warga desa dengan cuma-cuma. Seng/atap, dipinjamkan dari kerabat/warga desa. Sesudah itu kerja sama mengatur kursi kursi yang dipinjam dari tetangga, kerabat, warga desa yang memberikannya secara spontanitas. Selanjutnya kerja sama membersihkan rumah dan mengatur tirai jendela, bunga kemenyan dan lain-lain. Dilanjutkan dengan kerja sama meminjam alat-alat perlengkapan dapur (piring, mangkuk, belanga) dan kerjasama mengatur sumbangan bahan-bahan makanan dari para kerabat

61

tetangga dan warga desa. Pada saat itu juga dilakukan kerja sama menyiapkan usungan, papan, menggali kuburan, menjahit kelambu, kain kafan dan lain-lainnya. Imam, pegawai syara’, para orang tua bekerja sama memandikan mayat, mengkafankan mayat, menyembahyangkan mayat, bekerja sama mengusung mayat dan menguburkan mayat. Selanjutnya huyula/kerja sama dalam memberikan penghiburan atau ta’ziah serta hari-hari selamatan (3, 5, 7, 40 dan 100 hari) orang meninggal bertempat di rumah keluarga yang berduka.

Hasil dari pada gotong-royong/huyula dalam kematian ini adalah meringankan beban atau tanggungan penderitaan dari keluarga yang berduka serta merupakan penghiburan bagi mereka yang berduka serta mempererat hubungan persaudaraan. Hasil fisik yang dicapai dalam kegiatan huyula kematian (dembulo) yaitu terkumpulnya bahan-bahan makanan/minuman yang sangat dibutuhkan dalam acara kematian tersebut.

Hasil akhir yang diperoleh dari huyula yaitu dapat menciptakan kehidupan yang rukun antar kerabat/warga desa.

Kebiasaan-kebiasaan huyula dalam kematian (dembulo) yang secara spontanitas ini sudah mulai jarang ditemui pada warga masyarakat yang berdomisili di perkotaan. Huyula dalam kematian tersebut mulai terkikis bentuknya akibat masuknya teknologi dan ekonomi uang dimana segala sesuatu diperhitungkan dengan uang. Oleh karena itu bentuk huyula dari spontanitas dan tanpa pamrih berubah menjadi balas jasa. Seperti yang berkembang saat ini pada masyarakat Gorontalo, yaitu budaya heia.

Budaya heia terdapat dalam berbagai bentuk huyula seperti pada kematian, perkawinan, gunting rambut. Namun yang terkenal adalah budaya heia dalam kematian. Kata Heia berasal dari kata hei yang artinya pindah, sedangkan heia artinya memindahkan. Kemudian heia berkembang sudah dalam bentuk mengerjakan atau melakukan kegiatan. Heia adalah tolong-menolong bila ada orang yang kedukaan. Di samping menghibur, juga membawa makanan dan tinggal beberapa hari. Mereka memasak makanan sehingga yang berduka tidak perlu memasak lagi, sehingga terhibur hatinya.

Heia yaitu pindah dalam arti memindahkan dapur (mohei depula) berarti ruangan dapur yang dipindahkan, akan tetapi yang dimaksudkan adalah memindahkan bahan makanan yang ada di dapur ke rumah orang yang terkena musibah.

Heiya berawal dari kebiasaan warga desa membawa makanan pada acara kedukaan secara spontanitas untuk meringankan beban keluarga. Dengan masuknya pengaruh uang, maka berkembanglah cara huyula dari membawa bahan berubah dalam bentuk uang, namun yang membawa bahan masih tetap ada, tapi sudah berkurang. Terjadinya perkembangan ini dikarenakan masyarakat lebih memilih yang paling praktis yaitu memberi uang dibandingkan memberi bahan makanan atau bahan-bahan lain. Selain itu sebagian masyarakat tidak mempunyai waktu lagi untuk membuat bahan makanan, karena bekerja mencari nafkah sebagai pegawai negeri maupun swasta. Sehingga budaya memberi bantuan berupa bahan berubah menjadi pemberian berbentuk uang. Ada juga keluarga yang kena duka menyiapkan toples yang diletakkan di atas meja pada pintu masuk pekarangan rumah.

Sehinga setiap pelayat yang datang bagi yang berkenan akan mengisi uang

62

bantuan di dalam toples. Uang tersebut akan diserahkan pada keluarga yang kena duka.

Selain pemberian dalam bentuk toples, ada lagi menjadi huyula dalam bentuk kelompok rukun duka. Setiap kelompok terdiri dari beberapa orang, beberapa rumah tangga yang termasuk pemimpin rukun duka dan anggota anggotanya. Huyula dalam bentuk ini berupa sistem balas jasa. Mereka yang ikut dalam kerukunan duka ini harus didaftarkan dan mengikuti prosedur sebagaimana yang berlaku. Warga masyarakat sebagai peserta harus mengikuti ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Antara lain apabila tidak mengikuti ketentuan akan didenda selanjutnya diberhentikan sebagai anggota rukun duka.

Dokumen terkait