• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Filososfi Jer Basuki Mawa Beya

Kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” amat akrab bagi telinga orang Jawa, khususnya yang di Provinsi Jawa Timur. Demikian tinggi maknanya sehingga kalimat tersebut tertera di bawah Lambang Daerah Jawa Timur yang ditetapkan dengan Perda. Ringkasnya kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” mengandung arti

“Untuk mencapai kebahagiaan diperlukan pengorbanan” Jer artinya ‘agar’.

Basuki bermakna bahagia, sejahtera. Mawa berarti ‘dengan’ dan bea adalah biaya. Jadi secara keseluhan nasihat di atas bermakna: “Untuk mencapai sesuatu maka orang harus mau berkorban”. Secara mudah, artinya adalah, bahwa untuk selamat, beruntung, dan mulia, butuh biaya, pengorbanan dan kerja keras.

43

Kalau kita menghayati prinsip hidup ‘jer basuki mawa bea’ maka dengan sendirinya kita akan menjadi orang yang sabar, tekun, gigih dan ulet dalam mengerjakan sesuatu atau berusaha mencapai sesuatu. Setiap kali merasa putuh asa atau frustrasi dalam proses mencapai sesuatu dan ingat akan prinsip ‘jer basuki mawa bea’, maka kita akan bersemangat kembali. Kesulitan, kendala, halangan, waktu, dan segala yang kita korbankan itu adalah sekedar ongkos. Sikap ‘jer basuki mawa bea’ dapat memotivasi diri kita untuk meyakini keberhasilan. Orang bijak mengatakan bahwa keberhasilan itu ada dibalik kegagalan. Artinya, kegagalan itu juga adalah ongkos untuk mendapatkan keberhasilan.

Secara spiritual, sikap ‘jer basuki mawa bea’ merupakan perwujudan dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Apa yang dikatakan orang awam bahwa ‘putus asa adalah dosa’ ada benarnya juga. Dalam setiap upaya kita harus menyakini bahwa keberhasilan merupakan ketentuan dari Tuhan.

Tetapi Tuhan tidak akan menetapkan keberhasilan kalau kita tidak bersedia membayar ongkos berupa pengorbanan.

b. Pepatah “Siro yo ingsun, ingsun yo siro”

Dalam bahasa Indonesia berarti kamu adalah aku dan aku adalah kamu, hal tersebut sebagai wujud empati, sebagai dasar toleransi dalam masyarakat.

c. Song-Osong Lombhung (Madura)

Merupakan istilah kerja sama yang ada di lingkungan masyarakat Madura, termasuk pekerjaan bertani garam. Umumnya petani di Madura bekerjasama pada saat mengumpulkan garam yang nantinya akan membentuk bukit-bukit garam berwarna putih di seluruh areal pembuatan garam.

d. sambatan23

Sambatan berasal dari kata sambat yang secara harfiah berarti mengeluh.

Namun dalam arti luas, sambatan merupakan sistem gotong royong antar warga dalam rangka membantu sesama yang sedang tertimpa musibah atau sedang melakukan pekerjaan besar seperti membangun rumah, hajatan, panen dan lain-lain. Seperti yang diketahui sambatan gotong royong membantu membangun rumah biasanya hanya pada awal membuat pondasi dan diakhir menaikan gawang dan pemasangan genteng. Tradisi gotong royong tersebut diawali dengan selamatan yang dihadiri warga desa setempat. Sambatan tidak mengandung nilai materi namun rasa kekeluargaan sebagai dasar melakukan pekerjaan sosial dengan bergotong-royong membantu sesamanya. “Budaya sambatan merupakan wujud kepedulian pada sesama. Sambatan adalah kegiatan gotong-royong yang ditujukan bagi individu atau perorang. Berbeda dengan Gerubuhan yaitu kegiatan gotong royong yang ditujukan pada lingkungan seperti kerjabakti membangun jalan, mendirikan pos ronda, renovasi balai pertemuan dan masih banyak contoh lainnya.

17. BALI

a. Tri Hita Karana

23 Sama dengan sambatan yang ada di Provinsi Jawa Tengah dan DIY

44

Tri Hita Karana merupakan kosmologi sekaligus falsafah hidup masyarakat Hindu Bali. Tri Hita Karana terbentuk dari tiga kata, yaitu Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan atau sejahtera, Karana artinya sebab atau penyebab.

Jadi Tri Hita Karana mempunyai arti tiga penyebab kebahagiaan. Sumber-sumber kebahagiaan tersebut dalam ajaran Hindu berSumber-sumber dari tiga keharmonisan, yaitu parhyangan (manusia dengan Tuhan), palemahan (manusia dengan alam lingkungan), dan pawongan (manusia dengan sesama). Tri Hita Karna berasal dari Bahasaa Sansekerta Tri: tiga, Hita:

selamat/sejahtera/Bahagia dan Karana : sebab/lantaran/karena, sehingga jika dirangkai menjadi Tiga hal yang menyebabkan selamat dan sejahtera. Ketiga penyebab tersebut tentunya tercipta dari hubungan keseimbangan dan keharmonisan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dalam satu keatuan yang utuh.

b. Ngayah

Masyarakat Bali memiliki tradisi menyumbang yang disebut ngayah.

Menyumbang di sini bukan hanya memberi uang ataupun materi, tapi juga jasa atau tenaga. Ngayah berarti bekerja sukarela untuk kebaikan bersama. Dalam tradisi ngayah, masyarakat Bali tidak hanya sekadar tolong-menolong untuk kegiatan sosial saja. Namun, melakukan tradisi ngayah sebagai bagian dari perintah agama. Tidak seperti tradisi lain yang harus dilakukan setiap tanggal tertentu, ngayah bisa dilakukan setiap hari. Misalnya menyapa tetangga, bersama-sama melakukan persiapan sebuah acara, latihan menari, atau membantu tetangga yang kesulitan. Kegiatan-kegiatan seperti ini termasuk dalam tradisi ngayah.

c. Nguopin24

Dalam masyarakat Bali sikap gotong royong tercermin dalam tradisi Nguopin.

Tradisi nguopin berarti saling membantu keluarga yang sedang mengadakan kegiatan atau upacara keagamaan. Tradisi saling membantu ini dilakukan oleh kaum wanita dalam suatu lingkungan Banjar. Bantuan yang diberikan berupa tenaga untuk membuat upakara atau banten yang akan digunakan pada saat upacara berlangsung. Seperti upacara perkawinan, upacara potong gigi, odalan di Sanggah/Merajan, dan lain-lain.

Tradisi Nguopin hampir sama dengan Ngayah. Bedanya nguopin berada dalam skala yang lebih kecil, di lingkungan rumah atau keluarga.

Sedangkan ngayah berada dalam skala lebih besar seperti di Pura.

Istilah lainnya yang juga hampir sama yaitu tradisi Mebat. Tradisi ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Bentuk kegiatannya adalah membuat makanan tradisional, seperti sate lilit, lawar, babi guling, ayam panggang, dan lain-lain.

Tradisi nguopin yang masih eksis hingga sekarang memang beralasan. Umat Hindu di Bali menggunakan upakara dalam jumlah yang tidak sedikit pada setiap upacara. Keluarga yang akan melakukan upacara tersebut pasti akan kewalahan. Tradisi nguopin ini sangat membantu ketika ada keluarga yang akan mengadakan upacara tertentu. Sama halnya dengan makna yang tersirat dalam peribahasa “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”.

Pekerjaan yang berat tentu akan terasa lebih ringan bila dikerjakan

bersama-24 Diah Dharmapatni, Prinsip Resiprositas dalam Tradisi Nguopin diakses dari http://antropologiudayana.blogspot.com/2012/10/prinsip-resiprositas-dalam-tradisi.html

45

sama. Selain itu, tradisi ini terus dilakukan karena ada upaya balas budi. Bila sebelumnya pernah dibantu, maka giliran yang bersangkutan membantu keluarga yang mengadakan upacara tertentu.

d. Menyamabraya

Masyarakat Bali, meskipun berasal dari latar-belakang yang berbeda-beda, selalu merasa bersaudara. Bagi orang Bali semua orang adalah ‘nyama’

(=saudara dekat). Sejauh-jauhnya mereka menganggap orang lain itu sebagai ‘braya’ (=saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan, bingkainya selalu persaudaraan.

e. Matilesang raga

Masyarakat Bali menjujung tinggi sebuah nilai yang disebut ‘metilesang raga’ yang artinya, kurang lebih: bisa menempatkan diri, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan. Misalnya: ketika orang Hindu memiliki hajatan dan dikunjungi oleh warga Islam, mereka tahu harus menghidangkan makanan yang boleh dimakan oleh warga Islam.

18. NUSA TENGGARA BARAT

Dokumen terkait