• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Kegiatan Usaha Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Kegiatan Usaha Notaris"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Kegiatan Usaha Notaris

Duhita Karima Odang dan Milla S. Setyowati

Program Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

duhitaodang@yahoo.com    

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto, khususnya bagi Notaris yang menyelenggarakan pembukuan dengan meninjau implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut dengan asas-asas perpajakan, yaitu asas keadilan dan asas kesederhanaan dan besarnya pajak yang terhutang bagi Notaris apabila menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan apabila menyelenggarakan pembukuan.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif. Hasil temuan dari penelitian ini adalah asas keadilan dan asas kesederhanaan tidak dapat berjalan seiringan dan terpenuhi atau tidaknya asas keadilan tergantung sudut pandang pihak-pihak yang melaksanakan kewajiban perpajakannya serta dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka asas kesederhanaan sudah terpenuhi. Temuan penelitian juga menyarankan agar terus dilakukannya penyesuaian atas ketentuan peraturan mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga dapat mendekati dengan keadaan sebenarnya.

Kata kunci: Administrasi Pajak, Asas Keadilan, Asas Kesederhanaan, Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Pencatatan, Pembukuan, Notaris.

Implementation of Deemed Profit for Individual Tax Payer in Business Activity of A Notary

Abstract

This thesis discusses the implementation of the deemed profit, especially for Notaries who keep books with reviewing the implementation of the deemed profit with principles of taxation, namely the principles of equality and the principles of ease of administration and the amount of tax due for the notary when using deemed profit and if the bookkeeping. This research is quantitative descriptive design. The findings of this study are the principles of justice and the principle of ease of administration cannot go hand in hand and the requirements of principle of justice are depends on the point of view that the parties implement their tax obligations as well as the deemed profit, and by implementing the deemed profit then the requirements of principle of ease of administration has been fulfilled. The studiy’s findings also suggest to continue to do an adjustment to the rules and regulations regarding the deemed profit is set out, so as to approach the actual situation.

Keywords: Tax Administration, Principle of Equality, Principle of Ease of Administration, Deemed Profit, Book Keeping, Notary.

(2)

Pendahuluan/Latar Belakang

Sistem self assessment dianggap lebih adil karena dalam sistem pemungutan pajak ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan berinisiatif untuk mendaftarkan dirinya sendiri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sampai menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri besaran pajak yang terutang.

Kesulitan dirasakan oleh Wajib Pajak dalam menjalankan sistem self assessment, dikarenakan dengan sistem self assessment Wajib Pajak diwajibkan juga untuk melakukan pembukuan. Sayangnya, ada banyak usaha kecil di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, yang tidak mampu untuk menyelenggarakan pembukuan tersebut, atau merasa terlalu memberatkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan lengkap secara terus menerus (Mansury, 1992, 195). Sulitnya menjalankan sistem self assessment dengan pembukuan yang dialami oleh Wajib Pajak, membuat Direktorat Jenderal Pajak sadar bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan, terutama Wajib Pajak Orang Pribadi. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh wajib Pajak tersebut, Direktorat jenderal Pajak menerbitkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang- undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dengan memperbolehkan Wajib Pajak yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan untuk cukup dengan hanya menyelenggarakan pencatatan saja dalam melakukan penghitungan penghasilan netonya.

Wajib Pajak yang boleh melakukan penghitungan penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana telah diatur pada pasal 14 Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas atau kegiatan usaha yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp.

4.800.000.000,00. Salah satu jenis usaha yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah individu yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa atau kegiatan yang dilakukannya yang secara umum dikenal dengan sebutan profesi.

Termasuk dalam arti tenaga ahli professional adalah dokter, pengacara, penilai, arsitek, Notaris,

akuntan, konsultan dan aktuaris yang terlibat dalam profesi yang independen dan yang bertindak

untuk dan atas nama diri sendiri dan bukan untuk atau atas nama organisasi mereka (Gunadi,

2001, 30). Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

(3)

kewenangan lainnya sebagaimana telah diatur pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pejabat umum sangat diperlukan karena dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dengan melakukan pembuatan akta otentik. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris menimbulkan alat pembuktian tertulis dan mempunyai kekuatan hukum sehingga alat pembutktian tersebut dapat membuktikan dengan sah dan kuat mengenai suatu peristiwa hukum, sehingga dengan begitu pula dapat memberikan kepastian hukum yang lebih.

Untuk dapat mengoptimalkan tujuan dari sistem pemungutan perpajakan, maka sistem pemungutan perpajakan itu sendiri harus dijalankan berdasarkan asas keadilan, kepastian, kenyamanan dan asas ekonomi. Kendala yang dihadapi saat ini adalah masih rendahnya pelaporan SPT oleh Wajib Pajak, baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (Jefriando, Pelaporan SPT Pajak Oleh Masyarakat Masih Rendah, 2013). Diharapkan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dapat menjadi salah satu cara untuk membantu menaikkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan mempermudah Wajib Pajak Orang Pribadi untuk menghitung dan melaporkan besarnya pajak yang terhutang.

Pokok Permasalahan

Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan di atas, pokok permasalahan dapat diuraikan ke dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto berdasarkan asas sistem pemungutan perpajakan equility dan ease of administration terutama atas kegiatan usaha Notaris?

2. Bagaimana perbandingan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Notaris yang menyelenggarakan pembukuan dan yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:

1. Menjelaskan implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto terutama atas

penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha Notaris ditinjau dari pemenuhan asas

sistem pemungutan perpajakan equility dan ease of administration.

(4)

2. Menganalisis perbandingan besarnya pajak yang terutang bagi Notaris yang menyelenggarakan pembukuan dan yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Tinjauan Teoritis

Asas Pemungutan Perpajakan

Agar suatu sistem pemungutan pajak atas penghasilan dapat mencapai hasil yang optimal, maka perlu ditentukan asas-asas yang harus dipegang teguh dalam memilih alternatif-alternatif yang berkenaan dengan pemungutan perpajakan tersebut. Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations, pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu (Mansury, 2002, 10):

1. Equility

Pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak dianggap adil, apabila setiap Wajib Pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan dengan manfaat yang diterimanya dari pemerintah.

2. Certainty

Certainty yang dimaksud dengan Adam Smith di sini adalah bahwa pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, sebaliknya pajak itu harus dari awal jelas bagi semua Wajib Pajak dan seluruh masyarakat, berapa jumlah yang harus dibayar, kapan harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya.

3. Convenience

Saat Wajib Pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang tidak akan menyulitkan Wajib Pajak. Berdasarkan asas ini timbul dukungan yang kuat untuk menerapkan sistem pemungutan yang disebut Pas As You Earn (P.A.Y.E).

4. Economy

Biaya pemungutan bagi kantor pajak dan biaya memenuhi kewajiban perpajakan (compliance

costs) bagi Wajib Pajak hendaknya sekecil mungkin. Demikian pula halnya dengan beban

yang dipikul oleh Wajib Pajak, hendaknya juga sekecil mungkin. Pajak hendaknya tidak

menghalangi Wajib Pajak untuk terus melakukan kegiatan-kegiatan ekonomisnya. Pajak

(5)

harus memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat dari pada beban yang dipikul oleh masyarakat.

Berkaitan dengan asas ekonomi, compliance cost dibagi menjadi tiga jenis biaya, yaitu direct money cost, time cost dan psychology cost. Direct money cost adalah biaya-biaya cash money (uang tunai) yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya, seperti pembayaran kepada konsultan pajak dan ongkos untuk penyetoran pajak.

Time cost adalah waktu yang terpakai dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak, seperti waktu yang digunakan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak dan waktu untuk mengisi Surat Pemberitahuan atau SPT. Psychology cost adalah beban yang dirasakan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, seperti rasa stres karena merasa terbebani dengan adanya kewajiban membayar pajak dan apabila Wajib Pajak yang bersangkutan melakukan penghindaran pajak secara illegal atau tax evasion (Sandford, Godwin dan Hardwick, 1989, 16).

Asas Keadilan

Keadilan horizontal dan keadilan vertikal dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Pemungutan pajak adalah adil apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedangkan orang-orang yang keadaan ekonomisnya tidak sama harus diperlakukan tidak sama setara dengan ketidaksamaannya itu”. Apabila rumusan tersebut diterapkan untuk Pajak Penghasilan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: “Pajak Penghasilan itu sesuai dengan asas keadilan, apabila semua orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang sama tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan tanpa membedakan jenis- jenis penghasilannya dikenakan pajak yang sama, sedangkan orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis berbeda dikenakan Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya. Wajib Pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis lebih besar harus dikenakan Pajak Penghasilan dengan persentase tarif yang lebih besar” (Mansury, 1996, 10).

Apabila asas keadilan ingin diterapkan dalam sistem Pajak Penghasilan, maka harus

dipenuhi syarat-syarat keadilan horizontal maupun syarat keadilan vertikal. Syarat-syaratnya

adalah sebagai berikut (Mansury, 1996, 10-12):

(6)

A. Syarat Keadilan Horizontal:

1. Definisi Penghasilan: semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.

2. Globality: semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar atau “the global ability-to-pay”, oleh karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

3. Nett Income: yang menjadi ability-to-pay adalah jumlah neto setelah dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu, sebab penerimaan atau perolehan yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tidak dapat digunakan lagi untuk kebutuhan Wajib Pajak., jadi yang digunakan untuk biaya tersebut tidak merupakan tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.

4. Personal Exempetion: untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, suatu pengurangan untuk memelihara diri Wajib Pajak harus diperkenankan atau yang disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

5. Equal Treatment for The Equals: jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan

B. Syarat Keadilan Vertikal:

6. Unequal Treatment for The Unequals: yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.

7. Progression: apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang persentasenya lebih besar.

Asas Kesederhanaan (Ease of Administration)

Menurut Neumark, suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam

administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Prinsip-prinsip perpajakan dari ease of

administration dan kepatuhannya menurut Neumark adalah sebagai berikut (Nurmantu, 2005,

94):

(7)

1. The Requirement of Clarity

Dalam sistem perpajakan, baik dalam undang-undang perpajakan maupun pada peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam proses pemungutan maka ketentuan-ketentuan pajak haruslah dapat dipahami, tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan baik untuk Wajib Pajak maupun untuk fiskus sendiri.

2. The Requirement of Continuity

Undang-undang perpajakan tidak boleh sering berubah, dan apabila terjadi perubahan, perubahan tersebut haruslah dalam konteks pembaharuan undang-undang perpajakan (tax reform) secara umum dan sistematis.

3. The Requirement of Economy

Biaya-biaya perhitungan, penagihan dan pengawasan pajak harus pada tingkat serendah- rendahnya dan konsisten dengan tujuan-tujuan pajak yang lain. Biaya-biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban dan kepatuhan perpajakannya (compliance cost).

4. The Requirement of Convenience

Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak. Persyaratan convenience tercermin pada pelayanan fiskus terhadap Wajib Pajak seperti pelayanan pendaftaran diri menjadi Wajib Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penyuluhan dan pemberian kesempatan untuk melaksanakan hak-hak Wajib Pajak.

Presumptive Taxation

Menurut Thuronyi, konsep Umum dari presumptive taxation adalah adanya penggunaan metode penentuan pajak yang terhutang, di mana metode tersebut berbeda dari yang biasanya dijadikan dasar perhitungan pajak yang terhutang dari seorang Wajib Pajak.

Thuronyi juga memberikan beberapa alasan digunakannya teknik presumptive taxation ini, yaitu:

1. Simplifikasi, terutama terkait dengan beban kepatuhan Wajib Pajak dengan omzet yang sangat rendah.

2. Untuk memerangi penghindaran pajak atau penggelapan pajak.

(8)

3. Memberikan indikator objektif untuk ketetapan pajak, metode presumptive taxation dapat menyebabkan distribusi yang lebih adil dari beban pajak, di mana metode akun berbasis normal tidak dapat diandalkan karena masalah kepatuhan Wajib Pajak atau korupsi administrasi.

4. Metode presumptive taxation dapat mendorong Wajib Pajak untuk menjaga pembukuan yang tepat, karena dengan tidak dilakukannya pembukuan dengan tepat, Wajib Pajak menjadi subjek pajak dengan beban pajak yang lebih tinggi.

5. Metode presumptive taxtion atas tipe eksklusif dapat dianggap lebih diinginkan karena efek insentif yang mereka dapatkan.

6. Metode presumptive taxation berfungsi sebagai pajak minimum dibenarkan oleh beberapa kombinasi alasan-alasan, seperti kebutuhan pendapatan, kekhawatiran keadilan dan kesulitan politik atau teknis dalam menangani masalah tertentu.

Pembukuan dan Pencatatan

Menurut perpajakan, pengertian pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi aset, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut, sedangkan menurut akuntansi pengertian dari pembukuan adalah kegiatan mengumpulkan, mencatat, dan menganalisis data transaksi ke dalam nilai moneter berdasarkan standar akuntansi, dan penyajian hasil transaksi keuangan menjadi informasi keuangan yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan (Waluyo, 2012, 23). Sedangkan akuntansi memiliki definisi tersendiri yang berbeda dengan pembukuan yang dapat dijelaskan dengan tiga karakteristik penting dari akuntansi, yaitu pertama pengidentifikasian, pengukuran dan pengkomunikasian informasi keuangan, kedua informasi keuangan yang dimaksud dalam akuntansi di sini adalah informasi keuangan tentang entitas ekonomi dan ketiga yang menerima informasi keuangan tersebut adalah pemakai yang berkepentingan.

Pengertian pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto

dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang

(Gunadi, 2009, 3-4). Mereka yang tidak wajib mengadakan pembukuan, masih juga mempunyai

kewajiban untuk mengadakan catatan-catatan atas segala transaksi yang dilakukan, walaupun

tidak seperti dalam pembukuan yang memungkinkan Kantor Pelayanan Pajak mengetahui berapa

(9)

besarnya peredaran selama satu tahun. Ini penting untuk keperluan penerapan Norma Penghitungan (Gunadi, 1999, 19).

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Norma Penghitungan adalah suatu cara lain, daripada pembukuan, untuk menentukan pendapatan atau laba yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Walaupun tidak perlu melakukan pembukuan, namun harus melakukan catatan tentang peredaran tahunan perusahaan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, yang dapat memilih antara:

1. melakukan pembukuan,

2. menerapkan Norma Penghitungan

adalah Wajib Pajak perorangan yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 4.800.000.000. Apabila pada suatu waktu peredarannya naik menjadi lebih dari Rp.

4.800.000.000, maka wewenang untuk menerapkan Norma Penghitungan lenyap secara otomatis, sehingga Wajib Pajak wajib mengadakan pembukuan.

Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma penghitungan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak. Penggunaan norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:

1. Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik yaitu dengan pembukuan yang lengkap; atau

2. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Metode Penelitian

Pendeketan Penelitian dan Jenis Penelitian

Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah pendekatan

penelitian kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif

dengan mengukur suatu fenomena berdasarkan teori yang digunakan. Dilihat dari tujuan

penelitian maka jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskripsi. Jenis penelitian

yang digunakan berdasarkan manfaat penelitian adalah jenis penelitian murni, yaitu penelitian

(10)

yang memiliki orientasi akademis dan ilmu pengetahuan. Jenis penelitian yang digunakan berdasarkan dimensi waktu adalah jenis penelitian cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik field research.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode field research. Metode field research dilakukan dengan melakukan wawancara dan analisis atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dengan menganalisis pembukuan dan pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Notaris. Selain wawancara, metode pengumpulan data dilakukan juga dengan studi kepustakaan. Dalam studi kepustakaan data yang diperoleh adalah teori-teori yang didapat dari berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan yang dapat mendukung temuan analisis dalam penelitian.

Teknik Analisis Data

Pertama untuk melakukan analisis data dilakukan perumusan pokok permasalahan

berkaitan dengan masalah penelitian, lalu membuat sistematika penulisan agar proses dan

tahapan penelitian ini lebih terarah dan terstruktur. Pengumpulan data di lapangan atau field

research dilakuakan dengan mengumpulkan data dan informasi yang relevan dengan penelitian

ini melalui wawancara kepada informan-informan yang terkait dan analisis data yang didapat dari

dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dari data

dan informasi yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan teori-teori yang berkaitan dengan

penelitian yang didapat dari studi kepustakaan dan diaplikasikan dengan hasil data dan informasi

yang diperoleh.

(11)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto Berdasarkan Asas Sistem Pemungutan Perpajakan Equility dan Ease of A dministration

Pemenuhan Asas Keadilan Horizontal

Teori ini menjelaskan bahwa, dalam melakukan penghitungan pajak yang terhutang, seharusnya tidak didasari dari jenis penghasilan maupun sumber penghasilan, tetapi didasari dari jumlah besarnya penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, Wajib Pajak dengan jumlah penghasilan yang sama akan dikenakan pajak dengan penghitungan tarif yang sama juga. Dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, asas keadilan horizontal ini belum terpenuhi, karena tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang digunakan dalam menentukan besarnya penghitungan Penghasilan Kena Pajak, didasari dari jenis dan sumber penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan peraturan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang diatur dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000, tarif-tarif yang diterapkan dalam Norma Penghitungan Penghasilan Neto dibedakan berdasarkan jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Selain itu tarif-tarif dalam Norma Penghitungan Penghasilan Neto digolongkan kembali berdasarkan tempat atau daerah Wajib Pajak Orang Pribadi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya.

Di sisi lain, terpenuhi atau tidaknya asas keadilan horizontal ini dapat dilihat dari subjek pajaknya. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan penghasilan bruto kurang dari Rp. 4.800.000.000 dalam setahun diberikan keistimewaan untuk memilih menyelenggarakan pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Apabila Wajib Pajak memilih untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka dengan menerapkannya sudah mencerminkan keadilan untuk Wajib Pajak tersebut. Selama dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, pelaksanaan kewajiban perpajakan dan besarnya pajak yang terhutang masih sesuai, maka masih dianggap memenuhi asas keadilan oleh Wajib Pajak Prang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Pemenuhan Asas Keadilan Vertikal

Untuk menghitung besarnya pajak yang terhutang, maka besarnya tarif yang dikenakan

atas penghasilan harusnya didasari oleh besarnya jumlah penghasilan dan bukan dari sumber

(12)

penghasilan atau jenis penghasilan tersebut diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Jadi, tinggi atau rendahnya penghasilan seseorang mempengaruhi besarnya tarif yang akan dikenakan atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut. Semakin tinggi penghasilan seseorang makan tarif perpajakannya juga akan semakin tinggi, dan begitu juga sebaliknya.

Apabila penghasilan seseorang lebih rendah, maka atas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut akan dikenakan tarif yang lebih rendah pula. Dalam penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka asas keadilan vertikal ini masih belum terpenuhi. Dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dasar penghitungan penghasilan bruto yang nantinya akan menjadi dasar penghitungan pajak yang terhutang, dihitung dengan mengalikan tarif yang berlaku dalam Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tarif dalam Norma Penghitungan Penghasilan Neto digolongkan berdasarkan jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan daerah di mana Wajib Pajak melakukan kegiatannya tersebut. Contohnya seperti Notaris, berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000, besarnya tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk profesi Notaris di provinsi ibukota adalah sebesar 55%.

Dengan begitu setiap Notaris yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaannya tersebut di Jakarta, akan dikenakan tarif yang sama, yaitu sebesar 55%, tanpa memperdulikan baik penghasilannya lebih kecil maupun lebih besar. Hal ini tentu membuat menjadi tidak adil bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan penghasilan yang lebih kecil. Dalam melakukan penghitungan besarnya pajak yang terhutang, agar adil, harusnya pajak penghasilan dikenakan terhadap semua penghasilan dari manapun berasal, atau yang disebut juga dengan istilah sistem global taxation, dan yang ideal adalah dengan mengenakan tarif Pasal 17 Undang- undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, yaitu tarif tunggal dan progresif. Sedangkan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, sistem perpajakan yang diterapkan dalam perlakuan Pajak Penghasilannya adalah schedular taxation, di mana tarif yang digunakan dalam menghitung besarnya pajak yang terhutang adalah tarif khusus.

Di satu sisi, terdapat pernyataan yang menentang mengenai belum terpenuhinya asas

keadilan vertikal. Hal ini dapat terjadi karena terpenuhi atau tidaknya asas keadilan vertikal

tersebut tergantung dari mana seseorang melihat dan menafsirkannya. Tidak terpenuhinya asas

keadilan vertikal yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi karena asas keadilan vertikal tersebut

dilihat dari bagaimana dasar penghitungan penghasilan neto itu ditetapkan, yaitu dengan

(13)

mengalikan penghasilan bruto dengan tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Sedangkan terpenuhinya asas keadilan vertikal dilihat dari bagaimana dasar penghitungan besarnya pajak penghasilan yang terhutang, yaitu dengan mengalikan penghasilan neto dengan tarif yang paling ideal, yaitu tarif progresif, sesuai dengan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008. Dengan menerapkan tarif progresif Pasal 17, maka akan menjadi adil dan asas keadilan vertikal terpenuhi, karena tarif tersebut merupakan tarif pajak yang apabila semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin tinggi pula persentase tarif pajaknya, dan tarif progresif ini memang sudah diterapkan dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang.

Dengan begitu syarat asas keadilan vertikal sudah terpenuhi. Agar dapat lebih mendekati keadilan, sebaiknya dilakukan penyesuaian atas Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Tata Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, semenjak diterbitkannya keputusan tersebut pada tahun 2000, belum ada perubahan atau penyesuaian kembali atas peraturan tersebut. Mengingat periodenya yang sudah cukup lama memungkinkan terjadinya banyak perubahan dalam prakteknya.

The Requirement of Clarity

Clarity di sini serupa dengan asas certainty di mana asas tersebut mencakup kepastian

mengenai siapa yang harus dikenakan pajak, apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta

besarnya jumlah pajak yang harus dibayar. Neumark juga menjelaskan, dalam sistem perpajakan,

baik dalam undang-undang perpajakan maupun pada peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam

proses pemungutan maka ketentuan-ketentuan pajak haruslah dapat dipahami, tidak boleh

menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan

baik untuk Wajib Pajak maupun untuk fiskus sendiri. Analisis yang dilakukan oleh peneliti dalam

pemenuhan asas kepastian terkait dengan ketentuan peraturan yang mengatur mengenai Norma

Penghitungan Penghasilan Neto. Seperti yang telah disebut-sebut sebelumnya, ketentuan

mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto diatur dalam Keputusan Direktorat Jenderal

Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 yang isinya menjelaskan tentang Norma Penghitungan

Penghasilan Neto dan Tata Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung

Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Berdasarkan

hasil wawancara, peraturan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000,

(14)

sudah cukup jelas untuk dimengerti dan diaplikasikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Maka asas ease of administration berdasarkan clarity sudah terpenuhi. Dalam keputusan tersebut pun sudah dijelaskan golongan- golongan jenis kegiatan usaha dan pekerjaan bebas, tarif norma untuk setiap jenis kegiatan usaha dan pekerjaan bebas serta dijelaskan juga mengenai prosedur penghitungannya. Namun setelah diteliti lebih lanjut, perlu dilakukannya peninjauan kembali dan penyesuaian atas Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tersebut. Umur peraturannya yang sudah lebih dari 10 tahun semenjak diterbitkan, ditakutkan telah menyimpang dan sudah tidak relevan lagi dengan keadaan yang sesungguhnya. Dengan perkembangan bisnis yang terus meningkat dan beragam, sebaiknya dilakukan penyesuaian.

The Requirement of Economy

Teori the requirement of economy menyatakan bahwa biaya-biaya perhitungan, penagihan dan pengawasan pajak harus pada tingkat serendah-rendahnya dan konsisten dengan tujuan- tujuan pajak yang lain. Biaya-biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban dan kepatuhan perpajakannya (compliance cost).

Asas ekonomi ini menyatakan bahwa agar dapat mempertahankan dan meningkatkan penerimaan negara, maka pemerintah harus dapat meringankan beban atau biaya yang datang bersamaan dengan proses pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut. Dengan begitu diharapkan Wajib Pajak Orang Pribadi dapat lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Untuk dapat menyelenggarakan pembukuan, Wajib Pajak perlu mengeluarkan biaya

tambahan, dan biaya tersebut tidaklah murah. Salah satunya seperti biaya untuk menyewa tenaga

ahli atau konsultan. Dengan adanya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Wajib Pajak Orang

Pribadi yang telah memenuhi kriteria Norma Penghitungan Penghasilan Neto, diperbolehkan

untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, sehingga Wajib Pajak Orang Pribadi dapat terhindar

dari pengeluaran biaya sewa tenaga ahli tersebut. Dengan menerapkan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat memilih untuk melakukan pencatatan dalam

memperhitungkan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Sesuai dengan teorinya, pencatatan

marupakan kegiatan mengadakan catatan-catatan atas segala transaksi yang dilakukan secara

lebih sederhana dibandingkan dengan menyelenggarakan pembukuan.

(15)

The Requirement of Convenience

Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak. Persyaratan convenience tercermin pada pelayanan fiskus terhadap Wajib Pajak seperti pelayanan pendaftaran diri menjadi Wajib Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penyuluhan dan pemberian kesempatan untuk melaksanakan hak-hak Wajib Pajak. Dalam penelitian terpenuhi atau tidaknya convenience ini dilihat dari prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini telah memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakannya. Untuk dapat menyelenggarakan pembukuan dibutuhkan keahlian pengetahuan akuntansi yang khusus.

Berbeda dengan Wajib Pajak Badan, pengetahuan Wajib Pajak Orang Pribadi mengenai penyelenggaraan pembukuan dimungkinkan masih kurang, sehingga sulit untuk dapat menyelenggarakan pembukuan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan apabila Wajib Pajak Orang Pribadi menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka Wajib Pajak diperbolehkan untuk melakukan pencatatan saja.

Perbandingan Besarnya Pajak yang Harus Dibayar Oleh Notaris yang Menyelenggarakan Pembukuan dan yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Berikut penghitungan besarnya pajak yang terhutang berdasarkan hasil wawancara

dengan seorang Notaris dengan menggunakan pembukuan dan dipersandingkan dengan ilustrasi

penghitungan besarnya pajak yang terhutang apabila dengan menggunakan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto.

(16)

Tabel 1

Perbandingan Penghitungan Pajak Terhutang dengan Pembukuan dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

PEMBUKUAN NORMA PENGHITUNGAN

PENGHASILAN NETO LAPORAN LABA RUGI 2011

Penghasilan Dari Usaha Rp. 516.851.540

Biaya Pengurang:

-­‐ Gaji Karyawan Rp. 90.500.000 -­‐ Listrik Rp. 31.235.600 -­‐ Telepon Rp. 19.035.209 -­‐ Biaya Kebersihan Rp. 15.941.300 -­‐ Alat Tulis Kanto Rp. 13.529.938 -­‐ Biaya Perjalanan

Dinas Rp. 26.195.000 -­‐ Biaya Perawatan

Kantor Rp. 45.457.900 -­‐ Biaya Materai Rp. 15.950.000 +

Jumlah Biaya Rp. 257.844.947 - Penghasilan Bruto Rp. 259.006.593

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 15.840.000 - Jumlah Penghasilan Bersih Rp. 243.166.593

Penghitungan Pajak Penghasilan terhutang:

-­‐ 5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000 -­‐ 15% x Rp. 193.166.593 Rp. 28.974.989 + PPh Pasal 17 Rp. 31.474.489 PPh yang dipotong pihak lain Rp. 18.789.500 - PPh Kurang Bayar Rp. 12.685.489 PPh Pasal 25 (2011) Rp. 7.138.680 - PPh Pasal 29 Rp. 5.546.809 PPh Pasal 25 (bulanan) Rp. 462.234

LAPORAN LABA RUGI 2011 Laba Kotor Rp. 516.851.540

Tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Notaris yang melakukan kegiatan usahanya di Kota Depok sebesar 50%

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto x Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Penghasilan Neto = Rp. 516.851.540 x 50%

Penghasilan Neto = Rp. 258.425.770

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 15.840.000 - Penghasilan Kena Pajak Rp. 242.585.770

Penghitungan Pajak Penghasilan Terhutang -­‐ 5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000 -­‐ 15% x Rp. 192.585.770 Rp. 28.887.866 + PPh Pasal 17 Rp. 31.387.866 PPh yang dipotong pihak lain Rp. 18.789.500 - PPh Kurang Bayar Rp. 12.598.366 PPh Pasal 25 (2011) Rp. 7.138.680 - PPh Pasal 29 Rp. 5.459.686 PPh Pasal 25 (bulanan) Rp. 462.234

Sumber: Hasil wawancara dengan Notaris

Notaris yang menjadi sumber dari ilustrasi di atas, menjalankan kegiatan usahanya di

Depok. Notaris yang bersangkutan belum menikah dan dalam melakukan penghitungan besarnya

penghasilan, Notaris menyelenggarakan pembukuan. Berdasarkan ilustrasi penghitungan di atas,

besarnya pajak yang terhutang dan yang masih harus dibayarkan oleh Notaris apabila

menyelenggarakan pembukuan adalah sebesar Rp. 5.546.809. Sedangkan apabila Notaris

menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung besarnya pajak yang

terhutang, maka berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP KEP-

536/PJ./2000, besarnya tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang digunakan untuk

(17)

tenaga ahli Notaris yang melakukan kegiatan usahanya di Kota Depok adalah sebesar 50%.

Berdasarkan ilustrasi penghitungan di atas, apabila Notaris menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagai penghitungan dasar pengenaan pajaknya, maka besarnya pajak yang terhutang dan yang masih harus dibayarkan oleh Notaris adalah sebesar Rp. 5.459.000. Hal ini menunjukkan bahwa diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto semata-mata hanya untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Sesuai dengan teori asas simplicity, bahwa Norma Penghitungan Penghasilan Neto sudah cukup sederhana sehingga dapat lebih jelas dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Dengan terpenuhinya asas simplicity, maka akan secara otomatis terpenuhinya juga asas convenience, di mana berdasarkan teori asas ini terpenuhi apabila Wajib Pajak merasa nyaman dan mudah dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Dengan menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Wajib Pajak dapat dengan nyaman memenuhi kewajiban perpajakannya karena penghitungan atas pajak yang terhutang lebih mudah dan sederhana.

Selain terpenuhinya asas ease of administration dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, berdasarkan hasil ilustrasi, dengan selisih besarnya pajak terhutang yang kecil antara melakukan penghitungan pajak terhutang dengan pembukuan dan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, membuktikan, bahwa dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka asas equality juga dapat terpenuhi. Dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto berdasarkan hasil ilustrasi, hal itu menunjukkan tidak adanya perbedaan besarnya pajak yang terhutang secara signifikan, sehingga memang penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Neto bukan ditujukan untuk membeda- bedakan, namun hanya untuk memberikan kemudahan.

Hal penting yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menentukan

pilihannya untuk menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau untuk

menyelenggarakan pembukuan sebagai dasar penghitungan pajak penghasilannya adalah

mengetahui saat yang tepat untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan saat

yang tepat untuk menyelenggarakan pembukuan dengan mengetahui posisi-posisi biaya dari

kegiatan usaha yang dilakukan dan perkiraan besarnya biaya yang akan dikeluarkan dalam

melakukan kegiatan usaha. Seperti hasil ilustrasi di atas, dengan menerapkan Norma

Penghitungan Penghasilan Neto oleh Notaris maka tentu akan menjadi lebih ekonomis dan

(18)

efisien. Berdasarkan teorinya, terpenuhinya asas efficiency ini adalah apabila biaya yang dkeluarkan oleh Notaris umtuk memenuhi kewajiban perpajakannya dapat seminimal mungkin.

Dengan menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto maka biaya yang dikeluarkan lebih efisien karena untuk pemungutan pajaknya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi, seperti biaya konsultasi dengan konsultan untuk dapat menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis dari ilustrasi penghitungan besarnya pajak yang terhutang dengan pembukuan dan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka dapat dilihat hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan dalam menyelenggarakan pembukuan dan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung besarnya pajak yang terhutang. Hal-hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2

Kelebihan dan Kekurangan Pembukuan dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Kelebihan Kekurangan

Pembukuan

1. Dengan pembukuan maka besarnya pajak yang terhutang akan lebih mendekati angka yang sesungguhnya 2. Dengan pembukuan, maka

besarnya pajak yang terhutang lebih dapat

dipertanggungjawabkan

1. Biaya atau compliance cost yang mahal

2. Proses pembukuan untuk mendapatkan besarnya pajak yang terhutang lebih sulit

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1. Dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto lebih efisien karena biaya yang lebih kecil 2. Dengan Norma Penghitunan

Penghasilan Neto lebih memberi kemudahan karena penghitungan besarnya pajak yang terhutang lebih sederhana

1. Dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka besarnya pajak yang terhutang atau dasar penghitungan pajak yang terhutang tidak

mendekati angka yang sesungguhnya Sumber: Hasil wawancara peneliti

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis yang telah peneliti lakukan mengenai implementasi Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi terutama Wajib Pajak Orang Pribadi dengan profesi sebagai Notaris, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa terpenuhi atau tidaknya asas keadilan,

tergantung dari kemampuan seseorang dalam memahami konsep Norma Penghitungan

(19)

Penghasilan Neto dan pihak-pihak yang menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung besarnya pajak yang terhutang, serta selama Norma Penghitungan Penghasilan Neto masih diatur dalam undang-undang maka dianggap masih adil. Dengan diterapkannya Norma Penghitungan Penghasilan Neto maka asas certainty, asas economy dan asas convenience sudah terpenuhi, karena Norma Penghitungan Penghasilan Neto sudah merupakan cara yang paling sederhana untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang.

2. Dari hasil ilustrasi penghitungan besarnya pajak yang terhutang dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ditujukan hanya untuk memberikan kesederhanaan dan kemudakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menghitung besarnya pajak yang terhutang.

Saran

Berdasarkan simpulan yang telah dibuat, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukannya pembaharuan dan penyesuaian secara rutin atas Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000, agar lebih sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, seperti penyederhanaan penggolongan atau klasifikasi jenis kegiatan usaha agar mempermudah Wajib Pajak Orang Pribadi mengetahui jenis usaha yang dilakukannya serta untuk mencegah kekeliruan dalam pengenaan tarif normanya. Selain itu perlu dilakukannya riset mendalam oleh pemerintah terhadap Notaris untuk mengetahui margin laba dan gambaran dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh seorang Notaris agar agar dalam menetapkan tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto dapat lebih sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

2. Perlu dilakukannya pelatihan atau pendidikan oleh pemerintah mengenai tata cara penyelenggaraan pembukuan kepada Notaris untuk mendorong Notaris agar menyelenggarakan pembukuan.

3. Perlu diketahuinya perkiraan dari besarnya biaya-biaya yang akan dikeluarkan oleh Notaris

dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga Notaris dapat dengan benar menentukan

metode yang akan digunakan, dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau dengan

pembukuan, dalam menghitung besarnya pajak yang terhutang.

(20)

Daftar Referensi

Buku/Literatur

Gunadi. (1999). Akuntansi dan Pemeriksaan Pajak. Jakarta: PT. Dinastindo Adiperkasa Internasional.

______. (2001). Taxation on Personal Service Income Based on Income Tax Law and Tax Treaty. Jakarta: PT Multi Utama Consultindo.

______. (2009). Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang-undang Baru. Jakarta: PT Grasindo.

Mansury. (1992). The Indonesian Income Tax, A Case Study in Tax Reform of A Developing Country. Singapore: Asian-Pacific Tax and Investment Research Centre

_______. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.

_______. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.

Sandford, Cedric, Michael Godwin, dan Peter Hardwick. (1989). Administrative and Compliance Cost of Taxation. Yeoman Way, Trowbridge, Wiltshire: Redwood Burn Ltd.

Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Legal Drafting. Washington D.C.: IMF.

Waluyo. (2012). Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Artikel/Jurnal

Jefriando, Maikel. “Pelaporan SPT Pajak Oleh Masyarakat Masih Rendah.” Detikfinance 15 April 2013. <http://finance.detik.com/read/2013/04/15/094630/2220134/4/pelaporan-spt- pajak-oleh-masyarakat-masih-rendah>

Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP – 536/PJ./2000 Tentang Norma Penghitungan

Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan

Menggunakan Norma Penghitungan

Referensi

Dokumen terkait

Pelayanan pasien lanjut usia adalah rangkaian pelayanan pada pasien yang berusia 60 tahun keatas dengan satu atau lebih masalah kesehatan (multipatologi)

Dengan tidak mengurangi kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, Menteri Pertanian, demikian pula Gubernur kepala Daerah Tingkat I, dalam

Dan mengetahui serta memahami bahwa saya dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaan penelitian ini dan tetap menerima pembiusan spinal selama waktu pembedahan,

sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor l93lPl20l2 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pendidikan dan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi

Gambar 6 Halaman Menu Musik Keterangan Gambar 6 Halaman menu musik, merupakan halaman untuk menampilkan daftar demo lagu dari band indie di kota Solo dan sekitarnya.. Demo lagu

b) Peraturan .... 2) Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang

Proses ekstraksi ciri dilakukan dengan cara mengurangi dimensi citra paru- paru yang akan menjadi masukan pada proses pengenalan menggunakan LDA.. Pada penelitian ini citra latih