• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN TOTAL FAKTOR PRODUCTIVITY 1) Oleh: Syahrituah Siregar, SE, MA 2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN TOTAL FAKTOR PRODUCTIVITY 1) Oleh: Syahrituah Siregar, SE, MA 2)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN TOTAL FAKTOR PRODUCTIVITY1)

Oleh: Syahrituah Siregar, SE, MA2)

Pendahuluan

Secara umum aktivitas pembangunan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan melalui penciptaan kemajuan diberbagai bidang. Meski bersifat multidimensional aspek ekonomi nampak menjadi unsur pokok. Tingkat pertumbuhan ekonomi (growth rate) yang tinggi, diwakili angka pertumbuhan Produk Domestik (Regional) Bruto / PDRB, sering menjadi indikator kemajuan pembangunan. Padahal, untuk menjamin terujudnya hal tersebut secara mapan dan berkesinambungan diperlukan perkembangan (development) seluruh komponen secara kualitatif dan kuantitatif, berupa software (sistem dan aturan main), hardware (institusi atau kelembagaan), dan yang lebih penting brainware ( pola pikir dan kapasitas/kapabilitas SDM).

Dalam konteks daerah, seperti dikemukakan Solihin (accessed on July 2008), pembangunan bertujuan untuk:

o Mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sub daerah serta antar warga masyarakat (pemerataan dan keadilan).

o Memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.

o Menciptakan atau menambah lapangan kerja.

o Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

o Mempertahankan atau menjaga kelestarian sumber daya alam agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi masa datang (berkelanjutan).

Untuk mencapai tujuan pembangunan diperlukan strategi yang tepat. Strategi menjadi koridor bagi berbagai langkah sistematis yang konsisten untuk mencapai tujuan ataupun visi dan misi pembangunan. Didalamnya tersusun prioritas-prioritas yang harus dilaksanakan sebagai kunci keberhasilan dengan mempertimbangkan segala sumberdaya internal dan eksternal yang ada.

Strategi pembangunan nasional sejak era orde baru dikenal dengan Trilogy Pembangunan, yang terdiri dari Pertumbuhan, Pemerataan, dan Stabilitas. Penekanan ditetapkan secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi aktual yang dihadapi. Perujudan jaminan keadilan ekonomi ditempuh melalui 8 (delapan) jalur pemerataan.

Kabinet Indonesia Bersatu saat ini menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal

sebagai berikut:

Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.

Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.

Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Formulasi strategi pembangunan daerah adalah bagian dari proses perencanaan. Berbagai metode, seperti analisis SWOT, Ballanced Scorecard, AHP, dan lain-lain dapat diterapkan untuk menyusun strategi pembangunan.

(2)

Pada intinya, syarat kualitas strategi yang baik dimulai dari pemahaman akan masalah yang ada.

Untuk itu diperlukan analisis tentang kondisi internal dan eksternal bagi daerah secara menyeluruh dan tepat. Solihin (accessed on July 2008) menjelaskan :

o Analisis Daerah adalah suatu proses Pemahaman Daerah yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi secara sistematis tentang kondisi utama lingkungan, fisik, sosial, ekonomi, budaya, politik, administratif dan kelembagaan dari suatu daerah yang sedang dikaji dan direncanakan pembangunannya.

o Tujuan yang menyeluruh dari analisis daerah adalah untuk meningkatkan pemahaman para perencana daerah dan masyarakat tentang situasi kini yang mendasar dan relevan untuk perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan bagi pembangunan daerah.

o Analisis Daerah dimulai dengan analisis kondisi kualitatif pembangunan daerah pada saat ini, analisis kuantitatif, hingga pengidentifikasian persoalan (problems) daerah beserta sebab dan akibatnya, serta penggalian potensi daerah yang ada. Hal ini diperlukan untuk merumuskan dan mendefinisikan tujuan, untuk mengevaluasi strategi atau pilihan dan dampaknya, serta untuk pengambilan keputusan strategi pembangunan yang akan diterapkan.

Masalah Produktivitas dalam Pembangunan Ekonomi

Salah satu masalah atau issue aktual dalam pembangunan daerah adalah rendahnya tingkat produktivitas. Tingkat produktivitas yang rendah akan melemahkan daya saing ekonomi daerah ditingkat nasional apalagi global. Pada gilirannya, perekonomian daerah yang bersangkutan tidak mampu menciptakan nilai tambah yang besar dalam produksi atau cenderung mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi secara boros sehingga mengancam kesinambungan pembangunan.

Taraf kesejahteraan tidak dapat ditingkatkan dengan optimal dan cenderung terpuruk dalam keterbelakangan.

Berdasarkan pengalaman, lemahnya daya saing ekonomi daerah dan bisnis individual di daerah disebabkan oleh ketergantungan atas modal/kapital (input driven) secara kuantitatif. Sumberdaya itu digunakan secara tidak efisien dan otomatis tidak produktif. Sementara itu, kualitas keahlian dan keterampilan tenaga kerja sebagai the man behind th gun tidak dikembangkan secara optimal. Tenaga kerja dengan kapasitas dan kapabilitas yang signifikan tidak pernah menjadi tulang punggung kekuatan riil. Yang terjadi justru setiap peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi diciptakan melalui dominasi kapital, i.e. ongkos yang besar.

Peringkat Index Daya Saing Global (IDG) Indonesia dan Beberapa Negara Lain

Negara 2008-2009 2007 - 2008 2004

Score Rank Rank Rank

USA 5.74 1 1 2

Jepang 5.38 9 8 9

Malaysia 5.04 21 21 31

China 4.70 30 34 46

Thailand 4.60 34 28 34

India 4.33 50 48 55

Indonesia 4.25 55 54 69

Philippines 4.09 71 66 77

Chad 2.85 134 131 104

Sumber : The Global Competitivness Report, World Economic Forum, 2004 dan 2008

Terdapat 12 (dua belas) Pilar yang menentukan tingkat kompetisi global, seperti chart dibawah ini. Dapat dikatakan, produktivitas terkait dengan pilar efisiensi dan inovasi.

(3)

Sumber : The Global Competitivness Report, World Economic Forum, 2004 dan 2008

Peranan sektoral dari berbagai lapangan usaha dalam membentuk PDRB merupakan gambaran struktur ekonomi. Seperti terlihat pada tabel dibawah ini, selama 2003-2007 produksi masih didominasi sektor Pertanian. Selanjutnya, sumbangan bagi PDRB diciptakan dari Pertambangan, Perdagangan, industri pengolahan, dan lain-lain.

Struktur Ekonomi Kalimantan Selatan

No Lapangan Usaha Share (%)

2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian 23.64 23.72 22.89 22.77 22.46 2 Pertambangan&Pnggalian 20.54 20.59 20.41 21.28 21.70 3 Industri Pengolahan 14.9 14.24 13.28 12.07 11.07 4 Listrik-Gas-Air Bersih 0.55 0.55 0.52 0.51 0.56

5 Konstruksi 5.23 5.18 6.23 6.44 6.48

6 Perdagangan-Hotel-Resto 15.29 15.27 14.76 14.68 15.04 7 Transportasi-Komunikasi 8.09 8.22 8.38 8.57 8.99 8 Keuangan, Sewa dan JP 3.44 3.63 4.14 4.15 4.46

9 Jasa-jasa Lain 8.32 8.6 9.4 9.53 9.26

PDB 100 100 100 100 100

Sumber : BPS Kalsel

(4)

Keadaan ini sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan komposisi penduduk menurut lapangan kerja yang ditekuni. Seperti terlihat pada tabel dibawah, pertanian menampung pekerja dengan begitu besarnya jauh melebihi share dalam PDRB. Sektor Industri yang potensial, meski relatif lebih seimbang, namun trendnya terus menurun. Akhirnya, seperti sudah diduga, sebagai kebalikan dari pertanian maka pertambangan menjadi tumpuan penciptaan produksi padahal sifatnya rendah nilai tambah.

Jumlah Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Di Kalimantan Selatan Tahun 2003 - 2007

Lapangan Pekerjaan 2003 2005 2007

Pertanian 54.4 49.1 A 45.3

Pertambangan & Pnggalian 2.7 3.6

M 15.4

Industri Pengolahan 10.2 8.7

Listrik, gas & air minum 0.3 0.3 Bangunan & Konstruksi 3.3 3.9

Perdagangan 11.9 20.1

S 39.3 Angkutan & Komunikasi 5.3 4.1

Keuangan 0.7 0.6

Jasa 11.2 9.6

Lainnya 0.0 0.1

100 100 100

Sumber : Susenas beberapa edisi, dan Sakernas 2007, BPS Kalsel

*) Agriculture (A) = Pertanian

Manufacture (M) = Pertambangan, Industri, Listrik, Gas, Air Dan Bangunan/Konstruksi

Services (S) = Perdagangan, Angkutan, Keuangan, Jasa Perusahaan Dan Jasa Perorangan

Konsep TFP sebagai indikator Produktivitas

Secara umum produktivitas diartikan sebagai perbandingan antara nilai output/hasil yang dicapai dengan input/sumber daya yang digunakan, atau dapat diformulasikan sebagai berikut :

Jumlah Keluaran Produktivitas =

Jumlah Masukan

Jika berkait dengan tenaga kerja, inputnya bisa dihitung dengan jumlah pekerja atau ongkos yang dikeluarkan bagi penggunaan pekerja dalam produksi (biasanya upah dan gaji).

Menurut NN (manual), secara umum pertumbuhan ekonomi dan penguatan daya saing dapat bersumber dari penambahan modal dan tenaga kerja. Akan tetapi yang lebih penting dari hal di atas adalah berasal dari pertumbuhan nilai lebih yang biasa disebut Produktivitas Faktor Total (TFP). Pertumbuhan TFP merupakan hasil dari kemampuan melakukan inovasi (innovation) dan penciptaan nilai yang bermanfaat (value creation).

Selama ini kebijakan yang dilakukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, sementara peningkatan produktivitas dan penguatan daya saing belum mendapat perhatian yang serius dalam proses pembangunan baik secara makro (nasional dan daerah) maupun di tingkat mikro (perusahaan/lembaga bisnis) sehingga sumbangan pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan pendapatan nasional/daerah dan perusahaan belum banyak berarti.

(5)

Formulasi Total Factor Productivity

Sebagaimana diuraikan Sugiyanto (2006, accessed on Juli 2009), dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dikembangkan oleh Solow, faktor input tenaga kerja dan modal adalah determinan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain tenaga kerja dan modal terdapat faktor sisa (Solow residual) yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan total factor productivity (TFP).

Secara matematis diformulasikan :

Berasal dari persamaan model makro : ,

Y = total output

A = total-factor productivity K = capital input

L = labor input

α = is the capital input share of contribution 1- α = is the labor input share of contribution

Total Factor Productivity (TFP) atau A adalah Y/F(K,L)

Pertumbuhan dalam total-factor productivty (TFPG) menunjukkan pertumbuhan output yang berada diluar pengaruh factor input (secara fisik).

Lebih lanjut, Sugianto menjelaskan konsep TFP mengungkap pengaruh technological progress (perkembangan teknologi) seperti penguasaan teknologi produksi, tingkat pendidikan dan keahlian tenaga kerja, kemampuan penguasaan teknologi dan lain sebagainya terhadap pertumbuhan ekonomi. “Secara empiris jelas tidak mudah untuk mengetahui pengaruh dan peran teknologi ini karena sifatnya yang embodied kedalam peran modal dan tenaga kerja itu sendiri”.

Dekomposisi peran teknologi dalam proses ini untuk menunjukkan peran managerial yang akhirnya terkait perumusan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas.

Pendekatan model empiris perhitungan TFP

Untuk mengaplikasikannya kedalam tataran praktis, umumnya parameter faktor didekati dengan indikator sesuai data yang tersedia, yakni Y diukur dengan Produk Domestik (Regional) Bruto/PDRB, stok kapital dicerminkan oleh data pembentukan modal tetap bruto (PMTB), Labor diwakili rata-rata labor cost yang diukur dengan rata-rata upah dan gaji.

Lebih lanjut, formulasi pertumbuhan output diketahui sebagai hasil kontribusi pertumbuhan kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan TFP, sebagaimana formula berikut:

Yt = TFPGt* + St Kt* + St Lt*

dimana Yt = Pertumbuhan Output (Added Value)

TFP* = Kontribusi Pertumbuhan Total Factor Productivity (TFPG) St Kt* = Kontribusi Pertumbuhan Kapital (Fixed Asset)

St Lt* = Kontribusi Pertumbuhan Tenaga Kerja (Employees)

(6)

Contoh Simulasi:

Sumber : Nugroho, Bashkoro Agung, (Accessed on July 2009)

TFP yang bernilai negatif mengindikasikan bahwa penambahan jumlah tenaga kerja menjadi beban ekonomi regional. Output yang dihasilkan hanya cukup untuk meningkatkan pendapatan per kapita yang habis dipakai untuk konsumsi. Tidak ada sisa lebih output yang dapat digunakan sebagai investasi tahun-tahun berikutnya.

Sebagai gambaran, TFP Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Bahkan, sejak tahun 1960-an tidak mencapai 2%. Bank Indonesia pada tahun 2007 mengestimasi TFP Indonesia pada periode 1985 hingga 2006 hanya mencapai 1,38%. Bahkan beberapa studi lain menunjukkan TFP Indonesia masih dibawah 1%. Malaysia dan Thailand telah mencapai diatas 2% sedangkan Korea telah mencapai TFP 3,1%.

Menuju Perumusan Strategi Pembangunan Daerah Berbasis TFP

Dari bentuk hubungan dalam simulasi dan formula diatas, sedikitnya ada dua skenario untuk meningkatkan TFP. Pertama, meningkatkan pertumbuhan nilai tambah output, dan kedua menurunkan beban biaya atas input, yakni pekerja dan modal. Dengan situasi speperti ini maka indikasi TFP jika dipandang secara parsial dapat mengecoh dan mengarahkan pada orientasi strategi yang keliru.

Baier (2005) dalam risetnya berjudul “How Important Are Capital and Total Factor Productivity for Economic Growth” menemukan dari 145 negara yang diteliti, dimana sebagiannya menggunakan rentang data lebih dari 100 tahun, hanya 14%-nya yang menunjukkan konsistensi hubungan positif antara rata-rata pertumbuhan output perpekerja dengan pertumbuhan TFP. Ini merupakan petunjuk agar kebijakan dapat dibuat dengan cara yang paling tepat karena kenaikan TFP tidak selamanya berarti positif bagi kesejahteraan pekerja.

Hasil penelitian Suparyati (Accessed Juli, 2009) menyatakan kebijakan promosi ekspor memiliki tingkat signifikan yang tinggi terhadap pertumbuhan TFP industri, sedangkan kebijakan subtitusi impor menunjukkan tingkat signifikan yang rendah. Ekspor dan keluasan pasar sebagai wujud daya saing adalah wahana meningkatkan nilai tambah output suatu perrekonomian. Jika ini direspon secara linear maka berarti “baik” bagi Kalsel untuk terus menjual bahan mentahnya ke pasar ekspor.

Sebuah riset internasional menunjukkan labor-cost unit pekerja di Indonesia relatif tinggi dibanding negara lain. Hal ini terjadi karena nilai tambah output industri yang umumnya bersifat padat karya juga relatif rendah. Jika ini direspon secara linear maka berarti “baik” bagi Indonesia untuk terus menekan tingkat upah supaya rendah.

Oleh karena itu, pemanfaatan indikator TFP dalam konteks visioner/jangka panjang, kiranya lebih tepat. Secara mendasar produktivitas adalah bagian supply-side macro economy yang bersifat jangka panjang. Langkah kebijakan yang ditempuh akan terkait pada upaya peningkatan gradual atas kapasitas dan kapabilitas SDM, skala akumulasi modal, dan kemajuan teknologi.

(7)

Dengan menerapkan Total Faktor Produktivitas sebagai strategi pembangunan dan penguatan daya saing maka sedikitnya terdapat 6 level strategi, yaitu:

1. Sumber Daya Manusia

- Mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (education and training) secara terarah. Hasil survey tahun 1990-an di Indonesia kegiatan pelatihan hanya dilakukan oleh 18,9% perusahaan sedangkan di Malaysia sudah mencapai 84%. Ini memerlukan sinergi antara pemerintah dan swasta.

- Menjaga kelayakan upah sebagai insentif bagi peningkatan produktivitas

- Dalam skala mikro, mengembangkan reward and punishment dengan berbasis kinerja 2. Struktur Modal

- Mengembangkan program penguatan permodalan bagi KUKM

- Pemberian prioritas bagi keikutsertaan pengusaha daerah dalam berbagai kegiatan pembangunan

- Pemberian prioritas bagi pengusaha daerah dalam berbagai kepemilikan asset diberbagai bidang usaha

3. Struktur Ekonomi

- Penganekaragaman produk industri/manufaktur berbasis SD lokal untuk memperkuat basis industri

- Pengembangan produksi berorientasi pemenuhan kebutuhan secara mandiri (pemenuhan pasar lokal)

4. Teknologi

- Mendorong berlangsungnya inovasi dan pengembangan teknologi tepat guna.

- Mengembangkan riset dan penerapan iptek - Mengembangkan kearifan lokal

- Menjamin berlangsungnya transfer teknologi dalam setiap proyek investasi asing (belajar dari fenomena Nike, dan lain-lain)

5. Pasar

- Mengembangkan potensi pasar seluas-luasnya, termasuk melalui sarana e-commerce - Menghilangkan distorsi pasar pada semua tingkatan

6. Infrastruktur

- Menjamin kepastian, keadilan, dan transparansi dalam regulasi sembri memberantas praktik Undeground Economy

- Pengembangan infrastruktur dasar

- Pengembangan sistem informasi dengan cara yang paling efisien - Mengembangkan kerja sama regional

Kesimpulan

Strategi pembangunan daerah menjadi koridor bagi berbagai langkah sistematis yang konsisten untuk mencapai tujuan ataupun visi dan misi pembangunan di daerah. Melalui pendekatan Total Faktor Productivity (TFP) orientasi pembangunan harus diarahkan untuk menjamin tercapainya peningkatan produktivitas. Perlu adanya kecermatan dalam merumuskan strategi agar tidak terjebak pada kepentingan jangka pendek. Pemanfaatan indikator TFP dalam konteks visioner/jangka panjang, kiranya lebih tepat bagi pembangunan karena secara mendasar persoalan produktivitas adalah bagian supply-side macro economy yang bersifat jangka panjang.

Untuk itu, strategi peningkatan produktivitas menyangkut 6 (enam) level pembenahan: SDM, Struktur Modal, Struktur Ekonomi, Teknologi, Pasar, dan Infrastruktur.

(8)

Daftar Pustaka

Baier, Scott L, 2005. How Important Are Capital And Total Factor Productivity For Economic Growth?, Federal Reserve Bank Of Atlanta, Accessed On July 2009

BPS Kalsel, 2000-2007, Susenas dan Sakernas beberapa edisi, 2007,

Nugroho, Bashkoro Agung, . Simulasi Perhitungan TFP Growth, Accessed on July 2009

Porter, Michael E, & Schwab, Klaus, 2008. The Global Competitivness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, 2008, Accessed On July 2009

Solihin, Dadang, 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan, dan Proses, Transkrip Presentasi pada Diklat Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah Depdagri, Jakarta, Accessed On July 2009

Sugiyanto, FX dan Farah, Alfa, .Total Factor Productivity (Tfp) Dan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah (2001-2005). Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi FE UNDIP, Semarang

Suparyati, Agustina, .Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi Terhadap Total Factor Productivity Industri Indonesia, Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Accessed On July 2009

Referensi

Dokumen terkait

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. PAGE

Arti lain dari Human Resources Development (Sumber Daya Manusia/SDM) adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan,

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif komparatif yaitu dengan membandingkan kinerja keuangan dua perusahaan.dimana analisis data yang digunakan adalah time

1) Bagaimanakah pengaruh nilai produksi terhadap pendapatan produsen roti di kota Balikpapan. 2) Bagaimanakah pengaruh jam kerja karyawan terhadap pendapatan produsen roti di

Rektor mengatakan, pejabat-pejabat IPB yang dipilih dan ditetapkan adalah yang memenuhi persyaratan untuk setiap jabatan, antara lain kompetensi, dedikasi, loyalitas, kemampuan,

Mual muntah terus menyebabkan #anita lemah, tidak mau makan, berat badan turun dan rasa nyeri di epigastrium, nadi sekitar (00 kali/ menit, tekanan darah turu, turgor kulit

oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya//Pendidikan tidak dapat

Laporan keuangan entitas meliputi : Neraca; Laporan Realisasi Anggaran; Laporan Arus Kas; Catatan Atas Laporan Keuangan yang berisi ringkasan kebijakan akuntansi