• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Ekologis dalam Interior dan Arsitektur Nusantara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Desain Ekologis dalam Interior dan Arsitektur Nusantara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Desain Ekologis dalam Interior dan Arsitektur Nusantara

oleh Mahdi Nurcahyo

Pemateri : Mahdi Nurcahyo, S.Sn., M.A., HDII.

Moderator : Anugrah A. Pratama

Acara : Workshop & Design Talk Seminar Tanggal : 17 Oktober 2022

Lokasi : Interior Design Department FSR ISI Yogyakarta

Abstraksi

Desain merupakan bidang keilmuan yang memiliki irisan persinggungan antara ilmu keteknikan sains dan ilmu budaya humaniora. Irisan persinggungan itu harus mampu menghasilkan solusi dari permasalahan yang dihadapi manusia. Desain tanpa pendekatan tidak akan didapat konsep yang kuat dan menyeluruh. Praktik desain hanya akan menjadi tindakan pemecahan masalah yang parsial atau sepotong-sepotong. Pendekatan eco-cultural hadir guna mengajak para seniman dan desainer untuk peka dalam melihat kondisi alam dan budaya hari ini, sebelum mengeksekusi sebuah karya seni dan desain. Produk desain merupakan proses yang tidak asal merancang, tetapi hasil pendendapan dari interaksi manusia dengan alam yang dihormatinya, termasuk bagaimana manusia merancang karya melalui serangkaian ritual kebudayaan dimana ini menjadi satu kesatuan dalam pembentukan konsep karya seni, desain dan arsitektur. Tulisan ini disampaikan sebagai sumbangsih pengetahuan tentang pentingnya pendekatan desain eco-cultural dalam praktik merancang sehingga membantu desainer dalam mewujudkan karya yang selaras dengan alam dan budaya Indonesia.

Kata Kunci: Eco-Cultural, Kearifan Lokal, Interior Arsitektur

Mengenal Pendekatan Desain Ekologis yang Berbudaya

Ekologi budaya (Cultural Ecology) merupakan kajian dengan mengamati sisi antropologis dari hal- hal ekologi. Amatan kajian ini tidak mencakup semua masalah ekologi dunia seperti masalah polusi, perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Kajian ekologi budaya lebih menekankan pada eksplorasi bagaimana budaya lokal beroperasi dan beradaptasi dengan lingkungan, dan bagaimana kebudayaan itu berfungsi dengan baik. Ada faktor lingkungan non manusia yang ditentukan oleh pembangunan budaya (cultural development), tetapi juga lingkungan memberikan pilihan untuk budaya untuk tetap eksis (Sutton dan Anderson, 2004:14).

Konsep ekologi budaya lebih didasarkan pada interaksi budaya, manusia dan lingkungan (Ibid:20).

Ekologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan mempelajari seluruh kumpulan organisme hidup dan pengaturan fisik mereka, yang kumpulan tersebut merupakan sistem yang terintegrasi (Ibid: 31). Lebih sederhananya, ekologi adalah kajian tentang struktur dan dinamika alam, dan manusia sebagai bagian dari alam (Ibid: 31). Kedua definisi tentang ekologi berasal dari konsep yang dikembangkan dari sifat biologis dunia. Dualisme yang memisahkan kajian tentang "lingkungan alam" dari studi tentang "lingkungan manusia" telah efektif bekerja di masa lalu untuk mengisolasi ilmu alam dari ilmu-ilmu sosial humaniora. Konsep holistik ekosistem alam dan kultur manusia baru-baru ini mendapat penerimaan luas sehingga memungkinkan untuk dapat mempelajari bagaimana manusia memiliki ketergantungan interaksi dengan bahan organik (biotic), bahan anorganik (abiotic) dan komponen sosial budaya (Ibid: 32-35). Dalam bahasa Ibrahim bahwa produk warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) merupakan hasil interaksi manusia dengan alam yang dihormatinya, termasuk bagaimana manusia merancang karya melalui serangkaian ritual kebudayaan dimana ini menjadi satu kesatuan dalam pembentukan konsep karya seni, desain dan arsitektur (Nurcahyo dan Indra, 2022).

(2)

Mendesain itu Butuh Pendekatan

Desain adalah sebuah bidang keilmuan yang memiliki persinggungan dengan ilmu keteknikan sains dan ilmu budaya humaniora. Medan persinggungan itu harus mampu menghasilkan solusi dari permasalahan yang dihadapi manusia. Ridwan Kamil megaskan bahwa desain tanpa pendekatan tidak akan didapat konsep yang kuat dan menyeluruh. Praktik desain hanya akan menjadi tindakan pemecahan masalah yang parsial atau sepotong-sepotong. Padahal permasalah ruang dalam arsitektur sendiri jika diamati secara seksama begitu kompleks (Nurcahyo, 2013).

Pendekatan desain (Design Approach) dalam interior sangat penting mengingat bidang interior lebih banyak berhadapan dengan permasalahan ‘mikro’ dari sebuah bangunan; mulai dari konektivitas antar organisasi ruang, konektivitas antara ruang dalam dan ruang luar, efektifitas pengguna ruang (user), tema dan identitas gaya ruang yang memiliki signifikansinya pada persepsi pengguna, hingga titik elektrikal dan detil konstruksi elemen ruang (Ibrahim dalam Nurcahyo, 2021:2). Hal senada juga ditegaskan oleh Hendra Hadiprana saat merayakan 60th Anniversary (Hadiprana Design Week, 2018) bahwa setiap tujuan hidup butuh cara hidup dan desain selalu butuh conceptual approach sebagai cara untuk bisa meciptakan komunikasi yang baik kepada klien, kehidupan budaya dan lingkungan.

Alam telah membentuk autentisitas kekhasan budaya lokal dan begitu pula kearifan budaya lokal untuk senantiasa menghormati alam. Prijotomo menegaskan bahwa alam dan budaya merupakan entitas padu dalam membentuk arsitektur. Apabila manusia mengambil salah satu dari keduanya maka kerusakan akan terjadi di depan mata (Nurcahyo dan Indra, 2022). Pendekatan desain yang ekologis dan mengakomodasi nilai-nilai kearifan budaya sangat dibutuhkan dalam sebuah perancangan. Hal ini memperkuat posisi bidang desain interior sendiri yang telah dikenal oleh masyarakat sebagai ilmu seni menata ruang yang sarat dengan nilai fungsi dan estetika ruang (Nurcahyo, 2016).

Desain Eco-Cultural menjadi prinsip dan pendekatan yang mensinergiskan aspek alam dan lokalitas budaya yang ada di suatu wilayah dimana bangunan itu dihadirkan. Menurut Ibrahim melalui pendekatan eco-cultural, seorang desainer memiliki tugas mulia dalam kehidupan. Pertama, harus mampu menstransformasikan aspek fisik dan non-fisik dari sebuah amatan budaya baik yang sifatnya tekstual maupun kontekstual, baik tangible maupun intangible. Kedua, kepandaian menstransformasikan aspek visual dan non-visual dari sebuah amatan terhadap alam baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Upaya mentransformasikan budaya dan alam ke dalam bentuk elemen interior arsitektural (fixed and semi-fixed) memerlukan ketajaman seorang desainer dalam mengkaji kedua aspek tersebut. Ketiga, kepekaan desainer dalam hal pengaturan display atau styling sebuah produk interior yang memiliki konsep narasi yang kuat antar elemen sehingga menjadi daya tarik visual bagi pengguna ruang (user). Ke-empat, responsif terhadap segala kebutuhan pengguna ruang, misalnya kemudahan akses antar ruang sehingga efektifitas dan efiensi dalam desain dapat dirasakan. Kelima, kecerdasan desainer dibutuhkan dalam merancang elemen ruang yang responsif terhadap faktor eksternal dari lingkungan sekitar. Cermat dalam menata sekuens ruang dan memilih material yang sesuai dengan konteks lingkungan setempat. Ke-enam, desain harus mudah dalam proses pengaplikasian di lapangan sehingga tidak harus membutuhkan engineer khusus, artinya masyarakat lokal bisa berpartisipasi dalam proses pengaplikasian desain.

Selain itu pada bagian ini, desain harus memberi kemudahan dalam proses pemeliharaan bangunan sehingga diharapkan desain low maintenance. Ketujuh, desain ruang yang dirancang harus merawat nilai-inilai lokalitas yang ada dan memberi stimulus semangat baru yang mewakili jiwa tempatnya.

Tujuh parameter desain di atas menjadi bahan assessment untuk mengetahui keberhasilan dalam sebuah perancangan desain (Nurcahyo dan Indra, 2022).

(3)

Pendekatan ini mengajak para seniman dan desainer untuk peka dalam melihat kondisi alam dan budaya hari ini, sebelum mengeksekusi sebuah karya seni dan desain. Banyak keunikan dari work system di alam yang sebenarnya dapat manusia jadikan pedoman atau pijakan dalam berkarya.

Belajar dari alam dapat dilakukan melalui aktivitas pengamatan secara perlahan dan mendalam. Dua hal yang dibutuhkan yaitu sadar dan sabar di dalam melakukan pengamatan. Menurut Marianto (2017: 124-125) bahwa kata ‘mengamati’ sama dengan kata ‘to observe’, kata bendanya

‘pengamatan’ dengan padanan ‘observation’ dimana adanya tindakan mengamati seseorang, sesuatu, atau situasi, dengan seksama untuk mempelajari secara cermat sampai ke tiap bagian detailnya.

(4)

Eco-Cultural dalam Konteks Interior Arsitektur Nusantara Mengkini

Pendakatan eco-cultural memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal baik yang di pertahankan maupun yang mampu untuk dikembangkan. Pada konteks perancangan interior arsitektur nusantara dalam balutan gaya modern kontemporer sekalipun tetap saja menekankan penghormatannya pada nilai-nilai kearifan lokal. Local Wisdom atau Kearifan Lokal merupakan ide gagasan yang tumbuh secara organik dari budaya setempat yang penuh kearifan, kebijaksanaan, bernilai baik, yang telah lama tertanam dan mengakar, menjadi tradisi dan diikuti oleh segenap masyarakatnya. Misal keterampilan menganyam yang dihasilkan oleh masyarakat tradisi sebagai wujud kearifan lokal dalam memahami konteks lingkungan dan ketersediaan material yang ada.

Kesadaran tentang lokalitas ini menjadi inspirasi para arsitek dan desainer modern di dalam praktik penyusunan konsep desain (Nurcahyo, 2022: 87).

Kekayaan keragaman budaya di Indonesia menjadi modal sosial untuk membentuk karakter dan identitas budaya dari masing-masing daerah, selain sebagai kekayaan intelektual dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Dalam bahasa Geertz bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang menentukan identitas, harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 1992). Kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat modern adalah sebagai unsur kebaikan dari perpaduan antara nilai-nilai profetik dan nilai luhur yang ada dan menjadi pegangan dalam berkehidupan. Dalam ranah eksistensi manusia dan peradaban, kearifan lokal menjadi bagian penting dalam menghadirkan identitas keunikan dari suatu daerah, budaya, dan bangsa.

(5)

Konsep desain eco-cultural secara praktis sederhana dijabarkan seperti dalam tabel berikut ini.

KONSEP STRATEGI DESAIN

Bentuk dan Ruang

Meminjam bentuk lokal, adaptasi sederhana dari pattern lokal, dan ditransformasikan dalam desain mengkini sesuai selera zaman.

Elemen Pembentuk Ruang

Memberikan sentuhan lokal yang kuat sehingga sense of place dan memorable experience dari desain dapat dirasakan.

Elemen Pengisi Ruang

Mengakomodasi keterampilan lokal sebagai wujud bentuk apresiasi nilai-nilai kebudayaan.

Material

Menggunakan bahan material lokal setempat secara bijak dan tepat.

Warna

Menggunakan skema warna alam setempat dan warna produk budaya lokal.

Penghawaan

Mengoptimalkan penghawaan alami dengan membuat lebih banyak bukaan. Sistem penghawaan buatan ada jika dibutuhkan dalam jumlah yang proporsional.

Pencahayaan

Mengoptimalkan pencahayaan alami dan pencahayaan buatan dalam perbandingan yang proporsional.

Dalam perspektif desain lokal, Schultz (1991) juga menyebutnya dengan istilah Genius Loci yang dapat dimaknai sebagai jiwa atau ruh yang tumbuh bersama lingkungan sebagai pembangkit kehidupan dengan menciptakan value dan menjadi kearifan lokal sebagai karakter tempat yang melekat dalam kehidupan masyarakat lokal. Desain arsitektur itu sendiri adalah upaya untuk visualisasi atau menunjukan Genius Loci yang dimiliki oleh suatu tempat, dan tugas dari seorang arsitek adalah untuk menciptakan tempat-tempat yang memiliki makna. Place terbentuk dari sebuah space yang memiliki ciri khas tersendiri dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya.

Sebuah place akan memiliki spirit of place atau yang disebut oleh Norberg-Schulz sebagai genius loci jika memiliki unsur pembentuk yaitu meaning, identity, dan history (Norberg-Schulz, 1980).

Pendekatan desain eco-cultural juga dapat ditelusuri dari genius loci yang dimiliki oleh suatu tempat sehingga nantinya dapat ditarik benang merah keunikan estetika lokalnya.

(6)

Warna Lokal: Keserasian Unsur Alam dan Budaya

Dalam psikologi warna, setiap warna memiliki pengaruh yang kuat terhadap suasana hati dan emosi manusia, membuat suasana bisa menjadi lebih panas atau lebih dingin, lebih provokatif atau lebih simpati, memberi kesain yang menggairahkan atau justru lebih menenangkan. Warna dapat dikatakan sebuah sensasi yang dihasilkan otak dari cahaya yang masuk melalui indera visual penglihatan yaitu mata. Dalam konteks desain, warna lokal seringkali diterapkan komposisi warna yang ada di alam maupun budaya, seperti ingredients dari warna kayu, batu, flora dan fauna. Ini dapat diamati pada produk budaya sendiri seperti kain tenun, kain batik, pusaka keris, wayang bahkan kuliner sekalipun. Warna-warna alam terkait dengan nilai kearifan lokal seringkali disisipkan makna filosofisnya oleh masyarakat lokal atau komunitas.

Pada konsep warna lokal selalu memberikan efek psikologis bagi pengguna ruang, misal pada golongan warna panas, seperti merah, jingga, dan kuning memberi pengaruh psikologis panas, menggembirakan, menggairahkan dan merangsang. Suasana hangat seringkali diterjemahkan dalam arsitektur lokal dengan menghadirkan elemen bata pada ruangan. Warna kuning dan turunannya memiliki kesan hangat dan menyenangkan karena warna kuning seperti matahari yang baru terbit sehingga memberi kesan semangat dan energik dalam kehidupan. Sedangkan golongan warna dingin, seperti hijau dan biru memberi pengaruh psikologis yang menenangkan, penuh rasa damai, menyegarkan, kemurnian, ramah, menyejukkan dan memiliki energi positif untuk nilai-nilai keberlanjutan. Warna abu sangat cocok dikombinasikan dengan berbagai macam warna karena bersifat netral. Biasanya warna abu yang sering diasosiakan sebagai warna penyeimbang, dimunculkan dari warna material berbahan batu, beton, dan sejenisnya. Untuk warna putih memberi pengaruh bersih atau hygiene, lembut, jujur, terbuka, lapang dan terang, sedangkan warna hitam memberi pengaruh kesan kuat, formal, berat dan tegas.

Desain Ayana – La Mesa

(7)

Sebelum beranjak ke karya desain interior arsitektur, sekilas bagaimana unsur alam menjadi perhatian bagi seniman dan desainer, ini tampak dari desain ilustrasi karya Bambang Nurdiansyah.

Hampir sejumlah karya Bemb-beng sapaan beken di medan seni rupa, yang berusaha melihat ketidakseimbangan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan alam. Kekayaan keragaman hayati dari hari ke hari akan hilang dan manusia seolah merasa dirinya bisa seterusnya hidup tanpa ada beban tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Ada dimensi etikabilitas yang perlu dijawab oleh setiap diri kita. Pemikiran tentang “aku ada, karena alam ada”, sudah seharusnya muncul yang justru ini bisa membuat manusia jauh lebih peka perasaan batinnya untuk memahami kabar alam.

Desain Ilustrasi Karya Bambang Nurdiansyah

(8)

Eco-Cultural dalam Desain Interior Arsitektur

Desain Karya Fransisca Pramudya

Pembimbing oleh Hartoto Indra dan Mahdi Nurcahyo

(9)

Konsep eco-cultural juga tampak dari desain karya Andyrahman Architect. Dalam karya-karyanya seringkali termuat antara arsitektur lokal yang ramah lingkungan, humanis, dan estetika ketukangan nusantara dalam balutan desain yang mengkini. Estetika lokal ditampilkan dalam bentuk desain modern dengan komposisi bidang-bidang elemen pembentuk ruang yang tegas dan lugas.

Desain Karya Andyrahman Architect https://www.instagram.com/p/CeQ70XNPVVt/

(10)

Desain Karya Andyrahman Architect https://www.instagram.com/p/CeQ70XNPVVt/

(11)

Desain Karya Andyrahman Architect https://www.instagram.com/p/CeQ70XNPVVt/

(12)

Desain eco-cultural tampak pula dari desain karya Saturasi. Pada desain Omah-Atok ini tentu terlihat kepandaian sang arsitek dalam mengolah gubahan bentuk dan ruang yang sangat responsif terhadap kondisi iklim serta lingkungan sekitar. Menurut Alain bahwa eco-cultural tidak lekang oleh waktu; artinya segala bentuk budaya manusia yang dapat menunjukkan kemampuan yang kuat untuk melindungi alam. Eco-Cultural mengajak kita untuk mengambil bagian dalam agenda penting yakni sustainable development (Pembangunan Berkelanjutan). Hal ini dapat diwujudkan dengan melestarikan warisan material maupun immaterialnya — khususnya warisan buatannya (dalam hal ini desain arsitektur) yang ramah lingkungan — yang berkontribusi pada upaya konservasi ekosistem alam (Alain HYS, 2017:1).

Desain rumah ini jelas sekali menampilkan estetika lokal dari dimensi materialitasnya. Penggunaan material lokal dengan meng-ekspos secara jujur sifat dan karakter material menjadi salah satu poin dari desain ini. Material lantai misalnya, sengaja diaplikasikan tegel lawas guna menciptakan momen nostalgia bagi klien dan keluarga besarnya. Melaui karya ini, pendekatan eco-cultural tidak sekedar teori di atas kertas, tetapi ini menjadi saluran komunikasi tentang wujud dari identitas, materialitas dan lokalitas sebagai bentuk pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa tercerabut dari akar budaya lokalnya.

Desain Karya Saturasi Architect Dokumen Achmad Nur Ababil Azasmara S.Ars

(13)

Desain Karya Saturasi Architect Dokumen Achmad Nur Ababil Azasmara S.Ars

(14)

Desain Karya Saturasi Architect Dokumen Achmad Nur Ababil Azasmara S.Ars

PUSTAKA

C. Norberg-Schultz, 1980. Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. London: Academy Editions London.

C. Norberg-Schultz. 1991. Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli.

Geertz, C. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta, Kanisius Press.

HAYS, Alain. 2017. “Eco-cultural” Perspectives for Green Building Design and Built Heritage Conservation, Xishuangbanna Tropical Botanical Garden - XTBG, Chinese Academy of Sciences - CAS, 10p.

Marianto, M.D., 2017. Art & life force in a quantum perspective. Scritto Books Publisher.

Nurcahyo, M., 2013. Karakter Formal Arsitektur Dan Desain Interior Karya Ridwan Kamil (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta).

Nurcahyo, M., 2016. Rasionalitas Ketubuhan Tunanetra Dalam Menciptakan Estetika Rumah Tinggalnya. Jurnal Kajian Seni, 2(2), pp.107-115.

Nurcahyo, M., 2020. GROWING THE LOCAL CONSCIOUSNESS OF INTERIOR STUDENTS BY OBSERVING NATURE WISDOM. Indonesian Art Spirit: Cultural Ecosystem and Diversity, p.109.

Nurcahyo, M., 2021. The Aesthetics Principles of Jaya Ibrahim. The EKOLOGIA Design Talk. Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta.

Nurcahyo, Mahdi & Hartoto Indra. 2022. Pendidikan Seni dan Estetika Ekologis. Yogyakarta: Amongkarta.

Nurcahyo, M., 2022. Metode Eksplorasi Anyaman Tradisional untuk Pembelajaran Desain Fabrikasi Interior. Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain, 25(1), pp.85-90.

Sutton, M. Q., E. N. Anderson. 2004. Introduction to Cultural Ecology. Walnut Creek: Alta Mira Press.

Referensi

Dokumen terkait

Mengidentifikasi karakteristik berbagai jenis bahan desain produk furniture ruang pribadi rumah tinggal dan ruang publik komersial. Menentukan bahan desain produk furniture ruang

Gambar VI.7 Konsep Desain Bangunan Sekolah Alam Anak Jalanan terhadap Hujan

Hasil yang diharapkan dari desain ini adalah merancang sebuah interior Wonderland Karaoke Keluarga dengan konsep “fantasy in wonderland” yang dapat memberikan image

Gambar VI.7 Konsep Desain Bangunan Sekolah Alam Anak Jalanan terhadap Hujan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Desain produk yang dihasilkan oleh Bammons Art tidak memiliki inovasi

Gagasan dan proses perancangan Plaza Bacaan di Manado menggandeng tema “Atmospheres: Parameter Desain Peter Zumthor dalam Arsitektur” sebagai pendekatan dalam merancang,

Desain yang teridentifikasi strategi % dari makalah yang disertakan untuk kantor sehat tempat kerja termasuk contoh bukti- desain interior berbasis solusi Hasil Kami

Karya Desain Konsepsual merupakan produk awal dalam sebuah proses desain, dibuat dengan tujuan agar pemesan dapat dengan mudah memahami bentuk desain sesuai dengan konsep yang