• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJUALAN OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN SECARA DI BAWAH TANGAN PADA PT. BANK MEGA (Tbk) REGIONAL MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENJUALAN OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN SECARA DI BAWAH TANGAN PADA PT. BANK MEGA (Tbk) REGIONAL MAKASSAR"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

“PENJUALAN OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN SECARA DI BAWAH TANGAN PADA PT. BANK MEGA (Tbk)

REGIONAL MAKASSAR”

Proposal Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperdalam Penelitian

Disusun Oleh :

FACHRUNISA AULIA RAHMAN

45 12 060 068

FAKULTAS HUKUM/ ILMU-ILMU HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA

2017

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam yang dicintai oleh Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan, bantuan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. M. Saleh Pallu, M.Eng. selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

3. Dr. Yulia A.Hasan, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

4. Hj. Siti Zubaidah, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bosowa Makassar.

5. Hj. Kamsilaniah, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, kritik, saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Andi Tira, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar dan selaku Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk, kritik, saran, dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

7. Zulkifli Makkawaru, S.H., M.H dan Almusawir, S.H., M.H. selaku Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

(5)

8. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Hukum yang tidak pernah lelah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan.

9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang sangat arif dalam melayani dan membantu kelancaran administrasi penulis.

10. Seluruh Staf dan Karyawan PT. BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah sebagai syarat memperoleh gelar sarjana.

11. Kedua Orang Tuaku tercinta Ayahanda Abd. Rahman, S.H dan Ibunda Dr. Miah Said, S.E., M.Si terima kasih atas segala doa dan pengorbanan yang telah diberikan baik moril maupun materil.

12. Suamiku Achmad Fadli Arief, S.H Anakku Azka Zabdan Rabbani. AF Saudara- saudaraku Fathur Rahman, S.E Fauzi Aruji Rahman, S.H Iparku A. Ainun Zamzani Rum, Mertuaku Ibunda Jasita yang selalu menjadi motivasi, yang selalu memberikan semangat untuk terus belajar dan menyelesaikan studi strata satu dengan tepat waktu.

13. Sahabat yang telah menjadi saudara Nurmin, Tiara, Fajrin lanti, Tyska, dll terima kasih untuk diskusi-diskusi yang telah memberikan ilmu banyak, terima kasih untuk segala bantuan, motivasi, dan semangatnya, kalian yang terbaik.

14. Seluruh teman-teman HAKIM 2012 yang selalu memberikan ilmu baru dan semangat dalam belajar.

15. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan diberikan kesuksesan. Aamiin

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini dapat bernilai ibadah dan dapat membawa manfaat bagi para pembaca dan terkhusus bagi penulis.

(6)

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Makassar, Februari 2016 Penulis

Fachrunisa Aulia Rahman

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4 Metode Penelitian ... 8

BAB 2 TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hak Tanggungan ... 11

2.2 Objek Dan Subjek Hak Tanggungan ... 16

2.3 Asas-Asas Hukum Kebendaan Dalam Hak Tanggungan ... 18

2.4 Dasar Hukum Hak Tanggungan ... 21

2.5 Eksekusi Hak Tanggungan ... 23

2.5.1 Pelelangan Umum... 24

2.5.2 Penjualan Dibawah Tangan ... 27

2.6 Teori Efektifitas ... 35

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Efektifitas Pelaksanaan Penjualan Objek Hak Tanggungan Tanggungan Secara Di Bawah Tangan Oleh PT. Bank Mega (Tbk) Regional Makassar ... 40

3.2 Penyelesaian Apabila Eksekusi Dibawah Tangan Atas Objek Hak Tanggungan Tidak Dilaksanakan Oleh Debitur PT. Bank Mega (Tbk) Makassar ... 52

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 50

4.2 Saran ... 51

(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi telah meningkatkan aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis didukung oleh peranan bank sebagai lembaga perantara bagi pengusaha atau pelaku kegiatan ekonomi baik sebagai penyedia dana maupun penghimpun dana.

Untuk mengembangkan suatu bisnis atau usahanya para pelaku bisnis membutuhkan tambahan modal atau dana. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha sifatnya terbatas, sehingga untuk memenuhi keterbatasan modal para pengusaha dapat mengajukan kredit atau pinjaman ke bank.

Kredit bagi orang awam diartikan sebagai utang. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu cedere yang berarti percaya. Dengan demikian, dasar pengertian dari istilah kepercayaan, bermakna hubungan yang terjalin dalam kegiatan perkreditan di antara para pihak harus didasari oleh adanya saling mempercayai, yaitu bahwa kreditur yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktu maupun prestasi dan kontra prestasinya. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa transaksi kredit mengandung suatu risiko yang harus ditanggung oleh bank, karena kredit diberikan sekarang, dibayar kembali kemudian.

Untuk meminimalisir risiko kredit yang diberikan, bank akan meminta kepada debitur untuk memberikan agunan sebagai sumber pelunasan hutangnya apabila debitur wanprestasi atau ingkar janji. Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-

(10)

Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata), segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya. Ini berarti dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur itu.

Jaminan tersebut bersifat umum artinya memberikan jaminan kepada semua kreditur sehingga apabila ternyata debitur ingkar janji terhadap salah satu atau beberapa kreditur maka jaminan yang diberikan debitur tersebut akan dibagi kepada semua krediturnya secara seimbang atau proposional menurut besarnya piutang masing-masing. Untuk lebih menjamin kepastian pengembalian piutangnya, bank dapat meminta kepada debiturnya untuk memberikan jaminan yang bersifat khusus yaitu memberikan hak untuk didahulukan daripada kreditur lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1133 KUHPerdata, hak untuk didahulukan bagi kreditur-kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, salah satunya timbul dari Hipotik yang telah digantikan oleh Hak Tanggungan sepanjang yang menyangkut tanah saja.

Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan kreditur atau pemegang hak tanggungan kepada debitur atau pemberi hak tanggungan.

Apabila debitur cidera janji, maka tanah (hak atas tanah) yang dibebani hak tanggungan itu dapat dijual oleh pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut, yang salah satunya dapat dilaksanakan melalui penjualan di bawah tangan jika akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Apabila suatu kredit sudah berkembang menjadi kredit bermasalah, maka bank harus segera mencari upaya-upaya untuk bisa menyelamatkan kredit tersebut. Hal ini dapat dilakukan jika menurut penilaian bank, kegiatan usaha debitur masih dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Adapun bentuk penyelamatan kredit adalah dengan penjadwalan kembali (rescheduling),

(11)

penataan kembali (restructuring), dan persyaratan kembali (reconditioning).

Namun apabila kredit kredit sudah berkembang menjadi kredit macet, maka pihak bank selaku kreditur dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan guna menarikkredit macet dari debitur, dapat dilaksanakan baik melalui proses hukum (litigasi) maupun di luar hukum (non litigasi). Penarikan kembali kredit melalui proses pengadilan dapat dilakukan dengan cara antara lain bank mengajukan gugatan kepada debitur melalui Pengadilan Negeri dan meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan site eksekusi terhadap harta jaminan debitur yang telah diikat secara sempurna. Adapun penarikan kembali kredit di luar proses hukum antara lain dapat dilakukan dengan cara melakukan penagihan kepada debitur baik secara langsung maupun dengan menggunakan bantuan biro jasa penagihan, selain itu penagihan juga dapat dilakukan dengan cara memasang iklan panggilan pada media massa, terutama Surat Kabar.

Untuk penyelesaian kredit macet dengan jaminan objek hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang petunjuk pelaksanaan lelang maka penagihannya dilakukan oleh Balai Lelang yang merupakan badan hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang. Balai lelang melakukan penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai barang tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. Untuk jaminan objek hak tanggungan, balai lelang melakukannya melalui lelang eksekusi.

Lelang eksekusi di dalam peraturan menteri keuangan nomor 93/PMK.06/2010 tentang petunjuk pelaksanaan lelang adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. lelang eksekusi termasuk tetapi tidak terbatas pada: lelang eksekusi panitia urusan piutang negara (PUPN), lelang eksekusi Pengadilan, lelang

(12)

eksekusi pajak, lelang eksekusi harta pailit, lelang eksekusi Pasal 6 Undang-undang hak tanggungan (UUHT), lelang eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab undang- undang hukum acara pidana (KUHAP), lelang eksekusi barang rampasan, lelang eksekusi jaminan fidusia, lelang eksekusi barang yang dinyatakan tidak dikuasai atau barang yang dikuasai Negara-Bea Cukai, lelang barang temuan, lelang eksekusi gadai, lelang eksekusi benda sitaan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Jika pemberian kredit yang diberikan berjalan baik dan debitur melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka hubungan usaha antara bank dengan debitur menjadi berakhir. Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak telah dipenuhi. Namun mengingat pemberian kredit juga mengandung risiko kegagalan pelunasan, terdapat kemungkinan terjadinya kredit bermasalah. Kredit bermasalah yang dapat terjadi pada bank berpotensi terhadap kerugian bank yang bersangkutan.

Bila kerugian bank yang timbul karena adanya kredit bermasalah yang tidak dapat diselesaikan sehingga digolongkan sebagai kredit hapus buku atau hapus tagih, maka akan dapat mengurangi modal bank. Bank yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan modal minimum akan termasuk sebagai bank bermasalah. Sehubungan dengan hal itu, untuk mengurangi kerugiannya, bank harus segera menangani kredit bermasalah yang dihadapinya melalui pedoman dan prosedur tertulis yang ditetapkan oleh peraturan interennya. Kebijakan penanganan kredit bermasalah sangat berkaitan pula dengan kondisi masing- masing bank.

Setelah kredit macet tersebut tidak bisa diselamatkan dengan prosedur di atas, jalan terakhir yang ditempuh adalah pelaksanaan eksekusi jaminan. Eksekusi perdata adalah pelaksanaan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu berdasarkan atas kesepakatan bersama. Sehingga proses pelaksanaan eksekusi barang jaminan merupakan langkah terakhir sesuai dengan kesepakatan apabila terdapat

(13)

klausul di dalam perjanjian yang tidak dapat dipenuhi oleh debitur sebagai peminjam kredit. Disinyalir, eksekusi hak tanggungan adakalahnya dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui proses lelang dan melalui penjualan bawah tangan. Yang dimaksud penjualan di bawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.

Di dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT mengatur atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan dilakukan karena diperkirakan bahwa dengan penjualan melalui pelelangan umum tidak dapat menghasilkan harga yang tinggi, asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan dan persyaratan yang telah ditentukan telah dipenuhi.

Dalam keadaan tertentu bank mempertimbangkan akan lebih baik jika jaminan itu dijual di bawah tangan dari pada dijual melalui pelelangan umum. Hal itu dikarenakan kreditur/bank berkepentingan agar hasil penjualan jaminan tersebut cukup untuk membayar sejumlah utang debitur. Kesulitan yang dialami oleh kreditur/bank yang akan melakukan penjualan di bawah tangan diantaranya karena debitur tidak ada itikad baik atau tidak bersedia ditemui oleh bank atau tidak diketahui lagi keberadaannya.

Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan yang peneliti akan bahas mengingat penjualan benda jaminan hak tanggungan di bawah tangan dapat terlaksana secara efektif dan dapat pula tidak efektif menyelesaikan kredit di dunia perbankan.

(14)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menemukan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah penjualan secara dibawah tangan efektif atau tidak dalam penyelesaiaan kredit bermasalah pada PT. Bank Mega (Tbk) Regional Makassar?

2. Bagaimanakah penyelesaian apabila penjualan dibawah tangan atas objek jaminan hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan oleh debitur?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui efeltifitas eksekusi dengan cara di bawah tangan dalam penyelesaian kredit bermasalah pada PT. Bank Mega (Tbk) Makassar.

b) Untuk mengetahui penyelesaian apabila penjualan di bawah tangan atas objek jaminan hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan oleh debitur

2. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a) Manfaat Teoritis:

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya mengenai prosedur penyelesaian kredit macet di perbankan.

b) Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pelaku usaha di bidang perbankan untuk lebih teliti dalam pengikatan benda jaminan dengan hak tanggungan. Selain itu peneliti lainnya dapat memperoleh informasi dari hasil penelitian ini terkait substansi penjualan objek jaminan hak tanggungan di bawah tangan.

1.4 Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

(15)

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris adalah penelitian hukum yang mempelajari bagaimana hukum diterapkan dalam masyarakat atau pendekatan yang lebih diarahkan kepada kenyataan di lapangan.

2. Jenis dan Sumber Data a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, diamati dan dicatat gejala hukum yang terjadi yang berasal dari responden dan informan yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil studi dokumentasi dan studi kepustakaan serta berbagai macam dokumen tertulis lainnya yang didapatkan pada lokasi penelitian dan memiliki relevansi dengan objek penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data lapangan atau data sekunder, maka di tetapkan dengan teknik:

a. Wawancara

Dalam pengambilan sampel hasil wawancara, peneliti akan mencari dan menggali informasi dari pihak-pihak terkait penjualan objek jaminan hak tannggungan secara di bawah tangan, diantaranya pihak perbankan. Sebagai kreditur dan pihak debitur.

b. Pengamatan (Observasi)

Dalam terknik pengumpulan data selanjutnya peneliti akan mengkaji informasi dari hasil pengamatan atas penjualan di bawah tangan yang diperoleh setelah mendapatkan data-data yang sesuai dengan substansi skripsi ini.

(16)

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian akan disusun dan dianalisis secara kualitatif untuk selanjutnya data tersebut diuraikan secara deskriptif dengan cara menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hak Tanggungan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Hak tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Hak tanggungan memberikan hak preference kepada kreditur pemegang Sertipikat hak tanggungan. Artinya, Kreditur mempunyai kedudukan yang diutamakan untuk mengeksekusi jaminan terlebih dahulu dari pada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur wanprestasi. hak tanggungan adalah sebagai hak jaminan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah untuk yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan atas Tanah selanjutnya disingkat UUHT. Adanya UUHT diamanatkan dari Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA yang menyediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti Hipotik.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT, bahwa :

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut dengan Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

(18)

Apabila membahas pengertian Hak Tanggungan, maka banyak pendapat yang dikemukakan, diantaranya pengertian Hak Tanggungan menurut Liliawati Muljono, (2003:2) yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah :

Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur yang lain.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur yang lain.

Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak tanggungan dari Kantor Pertanahan. Rangkaian perbuatan hukum Hak tanggungan memerlukan beberapa tahap yang diatur dalam Pasal 10 UUHT bahwa:

1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut.

2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(19)

3. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersama dengan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Hak Tanggungan inilah yang memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu bila debitur ingkar janji atau wanprestatie, sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu dijual oleh pemiliknya (pemberi Hak Tanggungan) kepada pihak ketiga.

Ada beberapa ciri dan sifat Hak Tanggungan yang perlu dipahami betul yang membedakan Hak Tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang lainya, antara lain :

1. Ciri-ciri Hak Tanggungan

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegang jaminan (droit de preferen) yaitu krediturnya. Ciri seperti ini tercantum dalam kalimat terakhir Pasal 1 Angka 1 UUHT, yaitu :

“Yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”. Kemudian, ciri tersebut disebutkan pula dalam Pasal 20 Ayat (1) huruf b UUHT pada kalmia terakhir ditegaskan bahwa:

“Pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya”.

b. Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek hak tanggungan itu berada (droit de suite). Ciri seperti ini tercantum dalam Pasal 7 UUHT, yaitu:

“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”.

(20)

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas. Pemenuhan asas spesialitas tersebut dalam muatan wajib akta pemberian hak tanggungan (selanjutnya disingkat APHT), seperti yang tersebut dalam Pasal 11 UUHT yaitu:

1) Identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan.

2) Domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan.

3) Jumlah utang-utang yang dijamin.

4) Nilai tanggungan.

5) Benda atau yang menjadi obyek hak tanggungan.

Sedangkan asas publisitas dengan cara wajib didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (Pasal 13 UUHT).

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, yaitu dengan cara:

1) Menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT).

2) Penjualan obyek hak tanggungan secara dibaah tangan jika dengan cara tersebut akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 Ayat (2)UUHT).

3) Memberikan kemungkinan parate eksekusi seperti diatur dalam Pasal 244 HIR dan 258 Rbg. (Pasal 26 juncto Pasal 14 UUHT).

e. Obyek hak tanggungan tidak termasuk dalam boedelkepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (Pasal 21 UUHT).

2. Sifat-sifat Hak tanggungan

a. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 21 UUHT)

Bahwa hak tanggungan membebani secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Sifat ini tidak berlaku mutlak karena ada kemungkinan untuk mengecualikan atau menyimpang dari sifat tidak dapat dibagi-bagi ini didasarkan Pasal 2 Ayat (2) UUHT, yang dilakukan dengan roya parsial. Pengecualian ini diperbolehkan jika diperjanjikan dalam APHT. Arti dari

(21)

roya parsial ini adalah bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara mengansur yang besarnya sama dengan nilai masing-masing satuan yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan. Bagian yang telah diangsur pembayarannya akan terbebas dari hak tanggungan dan hak tanggungan hanya akan membebani sisa obyek hak tanggungan sebagai jaminan utang yang belum dilunasi.

b. Bersifat accessoir (merupakan ikutan) pada perjanjian pokok

Yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang.

Keberadaannya berakhirnya dan hapusnya hak tanggungan bergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut. Menurut Sutan Remi Syahdeini, (1996:20) Hak tanggungan merupakan accessoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu.

2.2 Objek dan Subjek Hak Tanggungan

Pada dasarnya objek Hak Tanggungan adalah tanah sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang berlaku dalam asas hukum tanah nasional maka dimungkinkan pemilik hak atas tanah berbeda dengan pemilik bangunan atau benda- benda lainnya yang berada diatas tanah.

Untuk membebani Hak Jaminan atas tanah dengan objek Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Kashadi, 2000:19) :

a. Dapat dinilai dengan uang, maksudnya bahwa objek Hak Tanggungan dapat dijual dan dilelang jika debitur wanprestasi.

b. Menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut pada buku

(22)

tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebani, sehingga orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).

c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, sehingga apabila dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.

d. Perlu ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas dalam Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, meliputi:

a. Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA

b. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku dan wajib didaftar menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

Hak Atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah hak atas tanah yang berstatus:

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Bangunan;

c. Hak Guna Usaha;

d. Hak Pakai atas Tanah Negara;

e. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

(Purnamasari, 2011: 41).

Objek hak tanggungan dalam UUHT diuraikan bahwa tidak semua hak atas tanah dapat dibebani dengan hak tanggungan. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan hanyalah hak-hak primer (Muljadi dan Widjaja, 2005: 19).

Dalam perjanjian hak tanggungan yang bertindak sebagai subjek adalah : a. Pemberi Hak Tanggungan

Menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT, adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap

(23)

objek Hak Tanggungan yang bersangkutan, pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkan Hak Tanggungan, kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan.

b. Penerima Hak Tanggungan

Menurut Pasal 9 UUHT, pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, tanah tetap dalam penguasaan Pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan dapat dilakukan oleh WNI, WNA, Badan Hukum Indonesia atau Badan Hukum Asing.

2.3 Asas-Asas Hukum Kebendaan Dalam Hak Tanggungan

Berikut di bawah ini akan dijelaskan satu per satu asas-asas hukum kebendaan yang melekat atau pada Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang diberikan sebagai jaminan pelunasan utang debitur kepada kreditur, yaitu:

a. Hak tanggungan bersifat memaksa

Undang-Undang Hak Tanggungan tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai suatu ketentuan yang bersifat memaksa, namun demikian dari ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dapat diketahui bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan ini bersifat memaksa. Beberapa ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 6, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14. Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak dimungkinkan untuk dilakukan penyimpangan terhadap Undang- Undang Hak Tanggungan. Penyimpangan terhadap ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, kecuali yang diperkenankan, mengakibatkan

(24)

tidak berlakunya Hak Tanggungan tersebut, atau dalam hal yang ditentukan oleh Undang-Undang, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan.

b. Hak tanggungan dapat beralih atau dipindahkan

Menurut pasal 16 UUHT menunjukkan secara jelas dan tegas bahwa Hak Tanggungan dapat beralih atau berpindah tangan, dengan terjadinya peralihan atau perpindahan Hak Milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut. Peralihan atau perpindahan Hak Milik atas piutang tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUHT tersebut, dapat terjadi karena berbagai sebab dan alasan.

c. Hak tanggungan bersifat individualiteit

Individualiteit adalah bahwa yang dapat dimiliki sebagai kebendaan adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah (individueelbepaald).

d. Hak tanggungan bersifat menyeluruh (Totalitet)

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan penjelasan Pasal 4 UUHT tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya suatu Hak Tanggungan diberikan secara keseluruhan. Dalam hal Hak Tanggungan diberikan dengan segala ikatannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan atau diagunkan dengan Hak Tanggungan, maka eksekusi Hak Tanggungan atas bidang tanah tersebut juga meliputi segala ikutannya, yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan atau diagunkan dengan Hak Tanggungan tersebut.

e. Hak tanggungan bersifat tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid) Makna tidak dapat dipisah-pisahkan menunjuk pada suatu keadaan misalnya,

seorang pemilik kebendaan tertentu tidak mungkin melepaskan hanya sebagian hak miliknya atas suatu kebendaan yang utuh.

f. Hak tanggungan berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya)

Eksistensi perjenjangan Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan dapat secara jelas dan tegas dibaca dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUHT yang

(25)

menyatakan bahwa suatu objek Hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.

g. Hak tanggungan harus diumumkan (asas publisitas)

Dari ketentuan Pasal 13 UUHT menyebutkan Pemberi Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Pendaftaran yang dilakukan merupakan pemenuhan syarat publisitas, sebagaimana yang disyaratkan dalam hukum kebendaan. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka Hak Tanggungan tidak pernah ada. Hak Tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian Hak Tanggungan.

h. Hak tanggungan mengikuti bendanya (Droit De Suite)

Droit De Suite adalah ciri utama atau yang paling pokok dari hak kebendaan.

Dengan Droit De Suite ini, seorang pemegang hak kebendaan dilindungi.

Ke tangan siapa pun kebendaan yang dimiliki dengan hak kebendaan tersebut beralih, pemilik dengan hak kebendaan tersebut berhak menuntutnya kembali, dengan atau tanpa disertai ganti rugi.

i. Hak tanggungan bersifat mendahulu (Droit De Preference)

Droit de preference adalah sifat khusus yang dimiliki oleh hak kebendaan dalam bentuk jaminan kebendaan. Pada dasarnya Hak Tanggungan diberikan sebagai jaminan pelunasan utang, yang bersifat mendahulu, dengan cara menjual sendiri bidang tanah yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut, dan selanjutnya memperoleh pelunasannya dari hasil penjualan tersebut hingga sejumlah nilai Hak Tanggungan atau nilai piutang kreditor mana yang lebih rendah. Disinilah prinsip Droit De Preference berlaku bagi Hak Tanggungan.

j. Hak tanggungan sebagai Jura In Re Aliena (Yang Terbatas)

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari prinsip Droit De Preference, dimana Hak Tanggungan hanya semata-mata ditujukan bagi pelunasan utang, dengan cara menjual (sendiri) bidang tanah yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut dan selanjutnya memperoleh pelunasannya dari

(26)

hasil penjualan tersebut hingga sejumlah nilai Hak Tanggungan atau nilai piutang kreditur, mana yang lebih rendah. Jadi bersifat sangat terbatas, yang dapat lahir hanya sebagai suatu perjanjian assesoir belaka.

2.4 Dasar Hukum Hak Tanggungan

Dasar hukum Hak Tanggungan adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian UUHT merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA.

Sebagai tindak lanjutnya UUHT, berturut-turut lahirnya ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan tersebut, diantaranya (Rachmadi Usman, 2016: 316)

1. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan;

2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu;

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan;

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik;

5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 110-1039 tertanggal 18 April 1996 perihal Penyampaian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (Undang-Undang Hak

(27)

Tanggungan) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996;

6. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 630.1-1826 tertanggal 26 Mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan;

7. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 110-1544 tertanggal 30 Mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan;

8. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 630.1-3433 tertanggal 17 September 1998 kepada Menteri Pertanian perihal Agunan Sertifikat di atas Tanah Hak Pengelolaan;

9. Surat Sekretaris Menteri Negara Agraria Nomor 130- 016/Sesmen/1996 tertanggal 29 Mei 1996 kepada Direksi Bank Exim perihal Penjelasan Mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 dan Nomor 4 Tahun 1996;

10. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/KEP/DIR tertanggal 8 Agustus 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil untuk Mendukung Program Kemitraan Terpadu dan Pengembangan Koperasi;

11. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/4/KEP/DIR tertanggal 4 April 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.

2.5 Eksekusi Hak Tanggungan Dan Dasar Hukumnya

Membahas masalah eksekusi tentunya tidak terlepas dari pengertian eksekusi itu sendiri, oleh karena itu, berikut ini diuraikan pendapat para ahli hukum dari beberapa literature seperti terurai di bawah ini :

(28)

a. Sesuai pendapat dari Ridwan Syahrani, (1988: 106) bahwa eksekusi/pelaksanaan putusan Pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan Pengadilan.

b. Pendapat Sudikno Mertokusumo, (1988: 201) bahwa pelaksanaan putusan Hakim atau eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.

c. Pendapat Yahya Harahap, (1988: 1) bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, oleh karena itu eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum antara perdata. Jadi eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau RBg.

Berdasarkan definisi di atas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam perkara di Pengadilan dengan melalui kekuasaan Pengadilan. Sedangkan Hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan Hakim.

Jika berbicara tentang eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi riil, karena eksekusi riil hanya dilakukan setelah adanya pelelangan. Eksekusi dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang objek Hak Tanggungan yang

(29)

kemudian hasil perolehannya dibayarkan kepada Kreditur pemegang Hak Tanggungan, apabila ada sisanya dikembalikan kepada Debitur.

Masalah eksekusi seringkali merupakan akhir suatu perkara maka masalah eksekusi diatur dalam dalam Hukum Acara Perdata Buku Kedua Rechtvordering diberi judul mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan dan surat perintah serta akta yang dipersamakan dengan suatu putusan Pengadilan, sedang yang dimaksud dengan akta yang mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan Pengadilan adalah Grosse Akta, termasuk Grosse Akta Hipotik.

Sesuai uraian di atas Sertifikat Hak Tanggungan yang kini merupakan surat jaminan yang mempunyai titel eksekutorial yang juga dikenal dalam sistim Hukum Acara Perdata disamping Grosse dari putusan Hakim dan Grosse Akta Pengakuan Hutang, mempunyai kekuatan eksekutorial.

Eksekusi Hak Tanggungan yaitu terjadi apabila debitur cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain.

Dalam praktik perbankan eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : melalui pelelangan umum dan penjualan secara di bawah tangan.

2.5.1 Pelelangan Umum

Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji. Pasal 6 UUHT itu memberikan hak bagi pemegang Hak tanggungan untuk melakukan Parate Eksekusi, artinya pemegang hak tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Pemegang Hak

(30)

Tanggungan pertama mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (selanjutnya disingkat KPKNL) dimana letak obyek hak tanggungan itu berada untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi hak tanggungan tersebut.

Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan.

Parate eksekusi dalam hak tanggungan adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT. Berbeda dalam hipotik, Parate eksekusi diberikan kepada pemegang hipotik apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalam akta pemberian hipotiknya. Demi hukum Parate eksekusi dipunyai oleh pemegang hak tanggungan, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan.

Dasar hukum eksekusi menurut UUHT diatur di dalam Pasal 6 yang menegaskan apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual Objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan. Pasal 6 UUHT tidak menjelaskan lebih rinci yang dimaksud cidera janji, maka dengan demikian untuk menentukan adanya cidera janji merujuk pada ketentuan pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau bisa merujuk pada ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, dimana yang dikategorikan cidera janji adalah apabila debitur tidak melunasi utang pokok, atau tidak membayar bunga yang terutang sebagaimana mestinya.

Sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses litigasi) apabila debitur cedera janji. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan pada pasal 14 ayat 1, 2, dan 3 UUHT.

(31)

Pada prinsipnya penjualan objek hak tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum, hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penjualan dapat dilakukan secara jujur (fair), cara ini diharapkan dapat diperoleh harga paling tinggi untuk objek hak tanggungan yang sesuai dengan yang dimaksudkan pasal 20 ayat (1) UUHT. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditur pemegang hak tanggungan dalam hal eksekusinya.

Bedasarkan ketentuan ini maka apabila debitur cedera janji, kreditur berhak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum menurut tata cara yang telah ditentukan guna pelunasan utangnya yang bersumber dari pelelangan tersebut. Diharapkan dengan pelelangan umum dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan.

2.5.2 Penjualan di Bawah Tangan

Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan di bawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.

Oleh karena penjualan di bawah tangan dari obyek hak tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek hak tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek hak tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual di bawah tangan daripada dijual melalui pelelangan

(32)

umum, apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

Dalam suatu perjanjian kredit bank yang dijamin dengan Hak Tanggungan, apabila dalam perjalanannya debitur melakukan wanprestasi/cidera janji yakni tidak dapat mengembalikan utangnya kepada bank tepat waktu seperti yang diperjanjikan sehingga akhirnya menjadi kredit macet, maka upaya yang paling cepat bagi pihak bank untuk menyelesaikan kredit macet tersebut adalah melakukan penagihan kredit kepada debitur dengan cara melakukan penjualan objek Hak Tanggungan (jaminan kredit) melalui Eksekusi Hak Tanggungan.

Dalam Pasal 20 UUHT telah ditentukan cara bagi kreditur untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan melalui eksekusi hak tanggungan.

Dalam Pasal 20 UUHT telah diatur bahwa jika debitur wanprestasi, maka : eksekusinya menggunakan hukum acara perdata (HIR) dan peraturan lainnya yang terkait.

1) Bedasarkan hak yang ada pada pemegang hak tanggungan pertama yaitu untuk menjual hak objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sendiri atau atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dapat dijual dibawah tangan (Pasal 20 ayat (2), penjelasan pasal 20, Pasal 6, dan Pasal 11 ayat (2) huruf (e)).

(33)

2) Berdasarkan irah-irah yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan ekskutorial yang sama dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 14 ayat (2)).

Eksekusi hak tanggungan dengan cara yang pertama memberikan kebebasan kepada para pihak (kreditur dan debitur) untuk menentukan cara yang paling mudah serta menguntungkan. Eksekusi hak tanggungan dengan cara kedua landasan hukumnya yaitu pasal 224 HIR/Pasal 258 Rbg. Disebut “Parate Eksekusi”, sedangkan tata cara (prosedur) eksekusinya menggunakan hukum acara perdata (HIR) dan peraturan lainnya yang terkait.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat terjadi karena, misal:

nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif; nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.

Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar. Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi.

Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual

(34)

suatu obyek tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual (pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut: Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah : a. persetujuan;

b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c. atas nama pemberi kuasa.

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan;

c. suatu hal tertentu; dan d. suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa?

Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi

(35)

kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya:

1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan dengan utang debitur;

2. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:

Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlakakan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa:

Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

(36)

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi). Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli setuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian pendahuluan (perjanjian pengikatan jual-beli).

Dalam perjanjian tersebut penjual member kuasa kepada pembeli apabila syarat- syarat tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.

Sesuai contoh-contoh tersebut di atas dapat diketahui bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili. (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili (vertegenwwoordigingsrecht). Kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut (integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982

(37)
(38)

peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan perundang- undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif.tidak efektifnya undang-undang tersebut. Apabila undang-undang itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-undang itu, dikatakan efektif. Dikatakan efektif karena karena bunyi undang-undangnya jelas dan tidak perlu adanya penafsiran, aparatnya menegakkan hukum secara konsisten dan masyarakat yang terkena aturan tersebut sangat mendukungnya. Teori yang mengkaji dan menganalisi tentang hal itu, yaitu teori efektivitas hukum.

Istilah teori efektifitas hukum berasal dari bahasa inggris, yaitu effectiveness of legal theory,bahasa belanda disebut dengan effectiviteit van de juridische theorie, bahasa jermannya yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie.

Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu teori, efektivitas, dan hukum. Di Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua istilah yang berkaitan dengan efektivitas , yaitu efektif dan keefektifan. Efektif artinya (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) manjur atau mujarab, (3) dapat membawa hasil, berhasil guna (tentang usaha, tindakan), (4) mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan). Keefektifan artinya (1) keadaan berpengaruh, hal berkesan, (2) kemanjuran (3) keberhasilan (usaha, tindakan), dan (4) hal mulai berlakunya (undang-undang, peraturan).

Hans Kelsen menyajikan defenisi tentang efektivitas hukum. Efektivitas hukum adalah:

“Apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sansksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpernuhi.”

(39)

Konsep efektivitas dalam definisi Hans Kelsen difokuskan pada subjek dan sanksi. Subjek yang melaksanakannya, yaitu orang-orang atau badan hukum. Orang- orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan bunyinya norma hukum.

Bagi orang-orang yang dikenai sanksi hukum, maka sanksi hukum benar-benar terlaksanakan atau tidak. Hukum diartikan norma hukum, baik yang tertulis maupun norma hukum yang tidak tertulis. Norma hukum tertulis merupakan norma hukum yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Lembaga yang berwenang untuk itu, yaitu DPR RI dwngan persetujuan bersama Presiden, sedangkan norma hukum tidak tertulis merupakan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat. Anthony Allot (Salim Hs, dkk. 2006:302) mengemukakan tentang efektivitas hukum. Ia mengemukakan bahwa:

“Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan.

Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelesaikannya.”

Konsep Anthony Allot tentang efektivitas hukum difokuskan pada perwujudannya. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan dalam kehidupan social masyarakat. Kedua pandangan diatas, hanya menyajikan tentang konsep efektivitas hukum, namun tidak mengkaji tentang konsep teori efektivitas hukum. Dengan melakukan sistesis terhadap kedua pandangan di atas, maka dapat dikemukakan konsep tentang teori efektivitas hukum.

Teori efektivitas hukum adalah:

“Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang memengaruhi dan pelaksanaan dan penerapan hukum.”

(40)

Ada tiga focus kajian teori efektivitas hukum, yang meliputi:

1. Keberhasilan dalam pelaksanaan huku,;

2. Kegagalan di dalam pelaksanaannya; dan 3. aFaktor-faktor yang memengaruhinya.

Keberhasilan didalam pelaksanaan hukum adalah bahwa yang dibuat itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Hal ini, dapat dilihat di dalam masyarakat yang telah secara sadar menyetorkan kewajiban pajaknya kepada Negara (100%).

Kegagalan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam implementasinya. Hal ini, dapat dicontohkan bahwa setiap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota tidak dapat dilaksanakan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan baik, karena selalu mendapat perlawanan dari masyarakat setempat.

Faktor-faktor yang memengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh didalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut.

Faktor-faktor yang memengaruhi dapat dikaji dari:

1. Aspek keberhasilannya; dan 2. Aspek kegagalannya.

Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan itu, meliputi substansi hukum, struktur, kultur, dan fasilitasnya. Norma hukum dikatakan berhasil atau efektif apabila norma itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun aparatur penegak hukum itu sendiri. Hal ini, dapat dicontohkan pelaksanaan hukum yang berhasil, yaitu masyarakat telah melaksanakan kewajiban pembayaran kredit usaha rakyat (KUR) tepat pada waktunya dan tidak ada seorang anggota kelompok pun yang menunggak pembayaran KUR tersebut.

(41)

Faktor-faktor yang memengaruhi kegagalan di dalam pelaksanaan hukum adalah karena norma hukum yang kabur atau tidak jelas, aparatur hukum yang korup, atau masyarakat yang tidak sadar atau taat pada hukum atau fasilitas yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah pemekaran baru, khususnya pemekaran kabupaten/kota, dimana 70% dari daerah yang dimekarkan tersebut, mengalami kegagalan di dalam pelaksanaannya.

Hal ini, mungkin disebabkam kurangnya sumber daya manusia, biaya untuk membiayai pembangunan daerah yang sangat minim atau dana-dana yang ada dikorup oleh aparatur itu sendiri. Kesemuanya, asumsi-asumsi itu, perlu dilakukan penelitian secara mendalam sehingga dapat diketahui faktor penyebab terjadinya kegagalan di dalam pembangunan daerah pada daerah-daerah pemekaran baru tersebut.

(42)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Efektifitas Pelaksanaan Penjualan Objek Hak Tanggungan Secara Di Bawah Tangan pada PT. BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar

Pada umumnya dalam hubungan hutang piutang, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi dimana kondisi debitur tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya dalam melunasi hutangnya, maka pada umumnya eksekusi dilakukan melalui gugatan perdata. Dalam kenyataannya, proses eksekusi melalui gugatan perdata memakan waktu yang sangat panjang hingga proses eksekusi mendapatkan kekuatan hukum melalui putusan pengadilan. Apabila satu pihak dikalahkan di dalam Pengadilan Negeri, pihak yang kalah masih diberikan kesempatan untuk melakukan proses banding, kasasi dan peninjauan kembali. Proses gugatan perdata ini, selain memakan waktu yang sangat panjang juga menggunakan biaya yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, upaya melalui gugatan perdata bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan sering dipandang kurang efektif, kecuali apabila jumlah hutang masih menjadi sengketa bagi para pihak. Setiap bank pasti pernah berhadapan dengan masalah debitur yang cidera janji dalam kredit. Jika dihubungkan dengan kredit macet.

Pada saat debitur cedera janji yang menyebabkan kreditnya menjadi bermasalah atau macet, maka setelah kredit macet tersebut tidak bisa diselamatkan sesuai dengan prosedur, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah pelaksanaan eksekusi jaminan.

Menurut Yusuf (wawancara tgl 1 februari2017, marketing pada PT. BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar). Alternatif bagi kreditur pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan. Dapat dilakukan dengan cara:

(43)

1. Melakukan penjualan objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri.

Apabila debitur cidera janji maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri bukanlah timbul demi hukum, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu. Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pencantuman irahirah tersebut di atas menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.

2. Melakukan penjualan di bawah tangan.

Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk Objek Hak Tanggungan tersebut. Namun apabila diperkirakan penjualan melalui pelelangan umum tidak dapat menghasilkan harga tertinggi, maka UUHT memberikan jalan keluar mel alui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan.

Menurut Yadin (wawancara tanggal 3 februari 2017 bagian Admin Kredit PT.

BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar), mengatakan bahwa dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan pada BANK MEGA dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitu melalui pelelangan umum atau jual beli di bawah tangan. Eksekusi jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan pertama kali adalah dengan melalui pelelangan umum. sementara pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui jual beli di bawah tangan dilakukan jika di dalam pelelangan tidak diperoleh harga yang tinggi.

Berdasarkan Olga Sari hasil wawancara (Account Officer PT. BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar, tanggal 1 februari 2017) data kredit macet pada PT. BANK MEGA (Tbk) Regional Makassar 2012 terdapat 7,5 % Coll 2 dan NPL sebesar 3,1%,

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Pengertian hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UUHT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Menurut Pasal 1 ayat 1 UUHT, Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya disebut

Pasal 1 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda- benda

Pengertian hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UUHT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan dengan

Perlindungan hukum bagi pemilik jaminan dalam lelang eksekusi hak tanggungan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun