i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Ranti Wulandari NIM 12110241024
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
iv
MOTTO
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, „berilah kelapangan di dalam majelis-majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, „berdirilah kamu‟, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan
Allah Maha Teliti dari apa yang kamu kerjakan”
(Q.S. Al Mujadalah: 11)
“orang yang hidup untuk dirinya sendiri, akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup untuk oranglain akan
hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Allah dengan segala nikmat-Nya.
2. Kedua orangtua (Ermawati dan Upi Supriyatna) atas sabar dan doa yang tak terbatas.
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM
INTERNATIONAL
Oleh Ranti Wulandari NIM 12110241024
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kebijakan gerakan literasi sekolah di SDIT LHI, implementasi berdasarkan 4 isu pokok Edward III yaitu komunikasi, sumber daya, komitmen, dan struktur birokrasi serta akan mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan gerakan literasi sekolah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan di SDIT LHI selama bulan Desember 2016-Januari 2017. Subjek penelitian ialah Kepala Sekolah, Kepala Perpustakaan, Kadiv Akademik dan Kurikulum yang menjabat sebagai guru serta siswa kelas I. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Serta dilakukannya triangulasi sumber dan teknik untuk memastikan keabsahan data.
Hasil penelitian ialah sebagai berikut: (1). Bahwa program yang menunjang kebijakan gerakan literasi di SDIT LHI adalah: Reading Group, Morning Motivation, Mini library, Pengadaan perpustakaan, Best Reader of The Month, Books Lover, Oktober bulan bahasa, World book day, Waqaf buku, Story Telling, Mading, Library class; (2). implementasi kebijakan ini kemudian didukung oleh a). Komunikasi agen-agen pelaksana melalui rapat elemen sekolah seperti manajemen, orangtua, dan guru; b). Sumber daya yang mendukung kegiatan ini seperti adanya potensi guru, dana dari orangtua, sekolah, dan pemerintah serta sponsor; c). Komitmen dari para agen pelaksana; d). Struktur birokrasi baik dari pihak sekolah; (3). Faktor pendukung berupa tersedianya sarana untuk mensosialisasikan kebijakan, hibah buku dari orangtua, waktu dan dana, guru-guru mempunyai semangat belajar, mahasiswa PPL juga membantu dalam pelaksanaan program-program perpustakaan, serta semua warga sekolah terlibat aktif dalam program yang dibuat sekolah. Sedangkan faktor penghambat nya guru masih harus diingatkan terkait SOP kebijakan dan program yang harus dilakukan, buku yang kaya akan nilai serta gambar-gambar menarik sulit didapatkan di Indonesia, terkadang surat edaran untuk orangtua tidak sampai, perlu adanya pengembangan program agar tidak monoton, belum adanya evaluasi dari berbagai program.
viii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi dengan judul
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI
SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM
INTERNASIONAL” dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan untuk penelitian ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menyetujui skripsi ini.
3. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi selama proses menyelesaikan masa studi.
4. Ibu Ariefa Efianingrum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingannya hingga tersusunnya skripsi ini.
5. Ibu Fourzia Yunisa Dewi, S. Pd., selaku Kepala Sekola SDIT LHI yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
6. Seluruh Dosen dan Karyawan Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.
7. Kedua orangtua yang selalu memberikan doa dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung.
8. Teman-teman yang selalu memberikan motivasi.
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Batasan Masalah ... 9
D. Rumusan Masalah ... 9
E. Tujuan Masalah ... 9
F. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11
1. Pengertian Kebijakan ... 11
xi
3. Syarat Implementasi Kebijakan ... 18
4. Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 19
B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah 1. Pengertian Literasi ... 23
2. Komponen Literasi ... 27
3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) a. Landasan Filosofis ... 31
b. Landasan Hukum ... 32
c. Tujuan ... 33
d. Ruang Lingkup ... 33
e. Sasaran ... 34
f. Target Pencapaian ... 34
4. Prinsip-prinsip Literasi ... 34
5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah ... 36
6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah ... 40
C. Penelitian yang Relevan ... 44
D. Kerangka Berpikir ... 45
E. Pertanyaan Penelitian ... 47
BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48
B. Setting Penelitian ... 49
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 49
D. Teknik Pengumpulan Data ... 50
1. Wawancara ... 50
2. Observasi ... 50
xii
E. Instrumen Penelitian ... 51
F. Teknik Analisis Data ... 52
G. Keabsahan Data ... 53
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55
1. Profil Sekolah ... 55
2. Visi Misi dan Tujuan Sekolah ... 56
3. Kurikulum Sekolah ... 57
4. Jumlah Siswa dan Ruangan di SDIT LHI ... 60
5. Potensi Guru dan Karyawan ... 61
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 62
1. Kepala Sekolah ... 62
2. Kepala Perpustakaan ... 62
3. Guru Kelas ... 62
4. Perwakilan Siswa Kelas I ... 63
C. Hasil Penelitian ... 63
1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 63
2. Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 86
a. Komunikasi ... 86
b. Sumber Daya ... 88
c. Disposisi ... 92
xiii
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Lukman Al Hakim Internasional ... 95
a. Faktor Pendukung ... 95
b. Faktor Penghambat ... 96
D. Pembahasan ... 97
1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 97
2. Implemetasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 101
a. Komunikasi ... 101
b. Sumber Daya ... 103
c. Disposisi ... 106
d. Struktur Birokrasi ... 107
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 108
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 111
B. Saran ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 115
xiv
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Pihak Pelaksana Komponen Literasi ... 27
Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat ... 37
Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan ... 40
Tabel 4. Tahap 1 GLS Tahap Pengembangan ... 41
Tabel 5. Tahap 1 GLS Tahap Pembelajaran ... 42
Tabel 6. Tabel Kisi-Kisi Instrumen ... 50
xv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Kerangka Pikir ... 46
Gambar 2. Komponen Analisis Data Miles dan Huberman ... 53
Gambar 3. Aktivitas Morning Motivation ... 65
Gambar 4. Pojok Baca di Setiap Kelas ... 67
Gambar 5. Best Reader of The Month ... 71
Gambar 6. Oktober Bulan Bahasa ... 73
Gambar 7. World Book Day ... 74
Gambar 8. Story Telling from Parent to Child ... 77
Gambar 9. Mading Sekolah ... 78
Gambar 10. Membumi (Membaca Buku Sepuluh Menit) ... 81
Gambar 11. Koleksi Buku di Perpustakaan ADIBA ... 85
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen ... 117
Lampiran 2. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 118
Lampiran 3. Pedoman Wawancara Kepala Perpustakaan ... 119
Lampiran 4. Pedoman Wawancara Guru ... 120
Lampiran 5. Pedoman Studi Dokumentasi ... 121
Lampiran 6. Catatan Lapangan ... 122
Lampiran 7. Hasil Studi Dokumentasi ... 127
Lampiran 8. Transkrip Wawancara Setelah Reduksi ... 128
Lampiran 9. Triangulasi ... 142
Lampiran 10. Peraturan Menteri Tentang Penumbuhan Budi Pekerti ... 157
Lampiran 11. Jenis Biaya Pendidikan ... 165
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk dapat
memanusiakan manusia. Artinya diharapkan dengan proses transformasi
pendidikan, manusia dapat meningkatkan seluruh potensi kognitif, afektif
dan psikomotornya. Selama proses pendidikan, peserta didik memperoleh
bekal pengusaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan
fungsional. Hal itu dikemas melalui kurikulum sekolah sebagai acuan
kepada semua peserta didik secara tuntas. Menurut UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Disebutkan juga dalam UUD 1945 pasal
31 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa”. Artinya pendidikan
mempunyai peran penting bagi warga negara Indonesia agar tercerdaskan
secara intelektual. Salah satu indikator keberhasilan dari suksesnya
pendidikan yang terselenggara di Indonesia adalah dengan meningkatnya
2
Dilansir dari kompasiana.com, Indonesia tercatat sebagai salah satu
negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data UNDP tahun
2014 mencatat bahwa tingkat melek huruf masyarakat Indonesia mencapai
92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Angka
ini menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi
dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun demikian, tantangan yang
saat ini dihadapi adalah rendahnya minat baca. Selain ketersediaan buku di
seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga menghadapi
rendahnya motivasi membaca di kalangan peserta didik. Hal ini
memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut
untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks
secara analitis, kritis dan reflektif. Sesungguhnya permasalahan umum
dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya ikatan emosional
terhadap sumber informasi salah satunya buku bacaan dan kegiatan
pemanfaatan sumber informasi tersebut atau kegiatan membaca. Terkait
dengan buku sebagai salah satu sumber informasi, rendahnya minat dan
gairah membaca sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam
kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia.
Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan
informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa
bacaan cetak. Akibatnya, pengguna teknologi sering mengalami „gagap
membaca media informasi‟ yang ditandai dengan kurangnya sikap kritis
3
pemahaman terhadap informasi, atau menyalahgunakan informasi secara
tidak tepat (misalnya dalam kasus plagiasi). Transisi dari tradisi lisan ke
budaya literasi ini mengalami tantangan gempuran teknologi dalam bentuk
popularitas media dan alat komunikasi (gadget) yang menyajikan teks
dengan cara pembacaan yang unik dan berbeda sehingga membutuhkan
pendekatan yang utuh dalam menguatkan literasi dasar di sekolah dasar.
Dikutip dari republika.com, budaya literasi masyarakat Indonesia
masih sangat rendah. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi
Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga
internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan
negara lain di dunia. Hasil penelitian PIRLS (Progress in International
Reading Literacy Study) menyatakan bahwa rata-rata skor prestasi literasi
membaca siswa kelas IV Indonesia (405) berada signifikan di bawah
rata-rata internasional (500). Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara
(negara bagian) peserta. Ia pun melansir data statistik UNESCO 2012 yang
menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.
Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki
minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf
orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia
sudah 86,4 persen. Rendahnya budaya literasi di Indonesia membuat
pendidikan di Indonesia tertinggal dari negera-negara tetangga. Menurut
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan
4
menangkap makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu
menghasilkan 8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu
menghasilkan 15.000 buku per tahun.
Masyarakat global dituntut untuk dapat beradaptasi dengan
kemajuan teknologi dan keterbaruan atau kekinian. Deklarasi Praha
(UNESCO, 2003) mencanangkan information literacy, yaitu kemampuan
untuk pentingnya literasi informasi (mencari, memahami, mengevaluasi
secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang
bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya). Dalam
era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria
pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org)
menjelaskan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk
melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus
menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari
kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengevaluasi
informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan
informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta
mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.
Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk
menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 31 Ayat. Ayat ini menegaskan bahwa program
literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang
5
dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan
informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki
Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen
masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam
membina, menginspirasi atau memberi contoh, memberi semangat, dan
mendorong perkembangan anak (www.academia.edu).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus
menggenjot minat baca masyarakat khususnya peserta didik. Salah satu
terobosan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23
Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini
diwujudkan dengan wajib membaca khususnya bagi siswa SD, SMP atau
SMA. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengembangkan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk mengatasi minat
baca yang rendah pada siswa di Indonesia. GLS merupakan sebuah upaya
yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai
organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui
pelibatan publik. GLS dikembangkan berdasarkan 9 agenda prioritas
(Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya
Nawacita nomor 5, 6, 8 dan 9. Empat butir Nawacita tersebut terkait erat
dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing, berkarakter, serta
6
menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai.
Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik
serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat
dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti,
berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap
perkembangan peserta didik. Terobosan penting ini hendaknya melibatkan
semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat
pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan yaitu sekolah.
Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen
penting dalam keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Sekolah mempunyai peran penting sebagai wadah
pengorganisasian pembelajaran. Banyak anggapan mengenai Gerakan
Literasi Sekolah (GLS) ini tidak bisa sepenuhnya membantu
meningkatkan budaya literasi siswa. Hal ini juga disebabkan karena
ketersediaan sarana dan prasarana yang berbeda di setiap sekolah. Namun
hal tersebut tidak dijumpai di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al
Hakim Internasional (SDIT LHI). Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman
Al Hakim Internasional merupakan sekolah dasar yang memiliki misi
mewujudkan generasi Islam yang memiliki fisik dan karakter kuat,
menguasai dasar-dasar keilmuan dan berwawasan global. Hal ini dapat
diwujudkan apabila kegiatan pembelajaran di sekolah sudah mendukung
untuk terbentuknya siswa yang memiliki wawasan yang luas dan
7
membudayakan kegiatan literasi di sekolah. Di Sekolah Dasar Islam
Terpadu Lukman Al Hakim Internasional sudah membiasakan budaya
literasi di sekolah dengan adanya pojok baca di setiap kelas agar siswa
dapat dengan mudah mengakses sumber literasi yang menunjang
kebutuhan setiap siswa untuk berwawasan luas. Terdapat aktivitas
“Reading Group” yang mendukung para siswa untuk meningkatkan
budaya literasi. Reading Group masuk ke dalam kurikulum sekolah
sehingga aktivitas membaca didukung oleh kurikulum yang menunjang hal
tersebut. Teknis pelaksanaan Reading Group adalah dengan meminta
siswa untuk membaca buku yang dipilih oleh siswa kemudian siswa
tersebut menceritakan hasil dari bacaannya. Selain itu perpustakaan
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan informasi juga banyak mengadakan
kegiatan-kegiatan yang menunjang kebijakan Gerakan Literasi Sekolah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa SDIT LHI telah mengimplementasikan
Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan budaya
literasi pada siswa.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai “Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di
Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional” untuk
mendeskripsikan implementasi kebijakan tersebut dan mengetahui faktor
yang mendukung serta menghambat terlaksananya program. Penelitian ini
juga dapat menjadi rekomendasi khususnya pada kebijakan Gerakan
8 B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang dan hasil observasi yang telah dilakukan, maka
ditemukan masalah sebagai berikut:
1. Minat baca yang rendah di kalangan siswa Indonesia.
2. Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan
informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa
tekstual dan bacaan cetak.
3. Adanya kendala sarana berupa penyediaan sumber literasi yang
membuat faktor penghambat Gerakan Literasi Sekolah tidak dapat
diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesi.
4. Kurangnya pemahaman sekolah mengenai kebijakan Gerakan Literasi
Sekolah.
5. SDIT LHI telah mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah
sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi pada siswa.
6. SDIT LHI dapat menjadi referensi bagi sekolah lainnya untuk
mengembangkan budaya literasi di sekolah.
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah dan keterbatasan peneliti,
maka dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada tataran
implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Dasar
9 D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang serta identifikasi masalah yang telah dilakukan
diatas maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di
Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional?
b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan
Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al
Hakim Internasional?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mendeskripsikan implementasi kebijakan Gerakan Literasi
Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim
Internasional.
2. Dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Lukman Al Hakim Internasional.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah dapat menjadi masukan atau rekomendasi bagi warga
sekolah dalam meningkatkan minat baca dan budaya literasi pada
10
b. Bagi Pemerintah dapat menjadi sebuah gambaran terkait
implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah
dirancang.
c. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi cara
mendidik anak agar tumbuh minat membaca.
2. Manfaat Teoritis
a. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi penelitian terkait
implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar
Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.
b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan teori dalam
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan
1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari
bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan
atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi
oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga
diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan
atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang
disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan,
kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun
dapat terkait dalam suatu kebijakan.
James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan adalah kebijakan
yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1). bahwa kebijakan selalu
mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi
pada tujuan, (2). bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau
pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3). bahwa kebijakan
merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4).
bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa
12
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu, (5). bahwa kebijakan, dalam arti
positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat
memaksa (otoritatif). Dalam pengertian ini, James E. Anderson
menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Tahap-tahap yang dilakukan
dalam kebijakan yaitu:
a. Penyusunan agenda
Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat
kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan
memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas
untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan
akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap
ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih.
Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan,
masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin
tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang
dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki
argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap
penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah
mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah
kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah
13 b. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi
kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan
masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak
dijadikan fokus pembahasan.
c. Adopsi kebijakan
Sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya
akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk
digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini
sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy
legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi.
Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan
memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya
akan diimplementasikan.
d. Implementasi kebijakan
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah
disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu
kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala.
Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda
di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah
14
dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan
dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat
menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.
e. Evaluasi kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan
dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah
mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini,
ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai
apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan.
Penelitian ini akan memotret tahapan kebijakan pada tataran
implementasi. Sehingga penelitian ini akan menggambarkan
pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
2. Implementasi Kebijakan
Terdapat banyak teori terkait implementasi kebijakan. Teori
pertama adalah teori klasik, yakni teori yang perkenalkan oleh Donald
Van Meter dan Carl Van Horn ( 1975 ). Teori ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan public,
implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukan sebagai variabel yang memepengaruhi kebijakan publik
adalah variabel: aktivitas implementasi dan komunikasi antar
organisasi; karakteristik dari agen pelaksana atau implementor, kondisi
ekonomi, social dan politik, kecenderungan (Disposition) dari
15
Teori kedua adalah teori yang di kembangkan oleh Daniel
Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) mengemukakan bahwa
implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Teori
Mazmaian dan Sabatier disebut kerangka analisis implementasi (A
Framework for implementation Analysis). Dalam teori ini dinyatakan
bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan
implementasi yaitu karakteristik dari masalah (tractability of the
problems), karakteristik kebijakan atau undang-undang (ability of
statute to structure implementation), dan variabel lingkungan (non
statutory variables affecting implementation).
Teori ketiga adalah teori Brian W. Hoodwood dan Lewis A. Gun
(1978). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi
kebijakan diperlukan beberapa syarat. Syarat pertama berkenaan
dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang di hadapi oleh lembaga
atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakanya tersedia sumber
daya yang memadai, termasuk sumber daya waktu. Syarat ketiga
apakah perpaduan sumber-sumber yang di perlukan benar-benar ada.
Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan di
implementasikan di dasari hubungan kausal yang andal. Syarat kelima
adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Syarat
keenam adalah apakah hubungan yang saling ketergantungannya kecil.
16
terhadap tujuan. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah
dirinci dan ditetapkan dalam urutan yang benar. Sebenarnya teori
Hood Wood dan Gun mendasarkan pada konsep manajemen strategis
yang mengarah pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak
meninggalkan kaidah-kaidah pokok.
Teori keempat adalah teori Mericlee S. Grindle (1980: 9). Teori
Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.
Ide dasar nya adalah bahwa setelah kebijakan di tranformasikan, maka
implementasi kebijakan dilakukan. Menurutnya keberhasilan
implementasi kebijakan ditentukan oleh content of implementation dan
context of implementation. Content of implementation mencakup
kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang
dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat
kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang
dikerahkan. Context of implementation mencakup kekuasaan,
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan
penguasa, dan kepatuhan serta daya tanggap.
Teori kelima adalah teori yang di kembangkan secara terpisah oleh
Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjren dan
David O‟ Porter (1981). Teori ini di mulai dari mengidentifikasi
jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan
kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas dan kontak-kontak yang
17
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri
implementasi kebijakanya atau masih melibatkan kebijakan
pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan
yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang
menjadi target atau klien nya dan sesuai pula dengan pejabat eselon
rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan teori ini biasanya di
prakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung atau pun
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM) .
George Edward III (1980:1) ia menegaskan untuk memperhatikan
empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu
communication, resource, disposition or attitudes, dan bureaucratic
structures. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan
dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan
sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari
para pihak yang terlibat, dan bagaimana stuktur organisasi pelaksana
kebijakan. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya
pendukung, khususnya sumber daya manusia, hal yang berkenaan
dengan kecakapan dari pelaksana kebijakan publik untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif. Disposition berkenaan dengan
kesediaan dari para implementor untuk melaksanakan kebijakan publik
tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan komitmen
untuk melaksanakan kebijakan. Stuktur birokrasi berkenaan dengan
18
implementasi kebijakan public. Tantangannya adalah bagaimana agar
tidak terjadi missed comunication, hal ini menjadikan proses
implementasi jauh dari efektif. Di Indonesia, sering disebutkan bahwa
inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan
kerjasama diantara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.
Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan oleh
Edward III.
Teori implementasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan teori Edward III. Dengan empat isu pokok yaitu:
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. 4 hal
pokok ini dapat menjadi acuan dalam penggambaran implementasi
kebijakan berhasil dilaksanakan atau tidak. Peneliti merasa teori yang
dikemukan oleh Edward sudah komprehensif mencakup 4 pokok yang
menggambarkan implementasi sebuah kebijakan. Berbeda dengan
teori-teori sebelumnya yang hanya melihat keberhasilan sebuah
implementasi kebijakan dari beberapa sudut pandang.
3. Syarat Implementasi Kebijakan
Putusan kebijakan dapat dilaksanakan dengan optimal jika
memenuhi berbagai persyaratan implementasi. Sabatier dan
Mazmanian mengemukakan beberapa persyaratan dalam
implementasi kebijakan adalah:
a. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan
19
keseluruhan program yang dilaksanakan oleh para pelaksana
atau agen pelaksana. Derajat ketepatan dan kejelasan tersebut
harus dapat dipahami tidak hanya pihak internal tetapi termasuk
pihak eksternal pengguna kebijakan. Dengan demikian seluruh
pihak dapat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut.
b. Sumber dana untuk melaksanakan kebijakan tersebut
mencukupi. Sumber dana harus mencukupi baik keperluan gaji,
staff, analisis teknis dalam pengembangan peraturan,
administrasi perizinan, dan monitoring kebijakan.
c. Sumber daya manusia atau agen pelaksana adalah orang-orang
yang memberikan dukungan terhadap kebijakan serta memiliki
komitmen yang tinggi dalam melaksanakan kebijakan, dengan
demikian tujuan dari putusan kebijakan dapat tercapai secara
optimal. Implementasi dilakukan dengan menunjuk orang-orang
atau lembaga yang memiliki orientasi kebijakan yang sejalan
dengan kebijakan tersebut.
d. Perlu adanya koordinasi yang kuat antar berbagai agen atau
lembaga implementor. Masyarakat harus menaruh kepercayaan
kepada pemerintah pusat dan lembaga lokal dalam
menyelesaikan rincian program. Sosialisasi dan sanksi perlu
dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan kepada seluruh
20
e. Perlu dukungan dari seluruh pihak baik internal maupun
eksternal. Seluruh sub unit harus dilibatkan dalam pelaksanaan
kebijakan (Sudiyono, 2007: 93-97).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa syarat yang
harus dipenuhi dalam implementasi kebijakan terdiri dari aspek
kebijakan, aspek sumber dana dan sumber daya, aspek koordinasi, dan
aspek dukungan.
4. Faktor Keberhasilan yang Mempengaruhi Keberhasilan
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Suatu implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan
yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi
sasaran kebijakan tersebut. Arif Rohman (2009: 147) menyatakan,
bahwa ada 3 faktor yang dapat menentukan keberhasilan dan
kegagalan dalam implementasi kebijakan, yaitu:
a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan yang telah dibuat
oleh para pengambil keputusan, menyangkut kalimatnya jelas atau
tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak,
mudah diinterprestasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan
atau tidak.
b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang
menyangkut tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen,
kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta
21
Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya,
bahasa, serta ideologi kepartaian masing-masing. Semua itu akan
sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara kolektif dalam
menjalankan misi implementasi kebijakan.
c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana, yakni
menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing
peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari
pemimpin organisasinya, aturan main organisasi, target
masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang biasa
dipakai, serta evaluasi yang dipilih.
Sedangkan menurut sabatier dan Mazmanian (Sudiyono, 2007:
90-100) mengemukakan adanya berbagai kondisi yang mendukung agar
implementasi dapat dilaksanakan secara optimal, yaitu:
a. Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang
terkait dengan perubahan pelaku kelompok sasaran guna mencapai
hasil yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau
perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini
terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1) adanya keterkaitan antara
pencapaian dengan tolak ukur atau hasil yang diharapkan, 2)
khusus mengenai cara pelaksanaan kebijakan yang dapat
dilakukan oleh kelompok sasaran.
b. Undang-undang atau peraturan tidak boleh ambigu atau bermakna
22
produk-produk hukum. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat
ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal
maupun dalam keseluruhan program yang dilaksanakan oleh pihak
pelaksana.
c. Para pelaku kebijakan harus memiliki kemampuan manajerial,
politis dan komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para
pemimpin dan perumus kebijakan dapat mengambil langkah baik
pada ranah merencanakan sebuah peraturan maupun dalam
pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna
meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap
pencapaian tujuan undang-undang.
d. Program harus didukung oleh para pemangku kepentingan
(pemilih, perumus undang-undang, pengadilan yang mendukung).
e. Prioritas umum dari sasaran perundang-undangan tidak signifikan
direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan yang sangat darurat
pada publik, atau perubahan keadaan sosial ekonomi yang sesuai
dan didasarkan pada teori perundang-undangan secara teknis
ataupun memperoleh dukungan publik.
Oleh karenanya, disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan.
Melalui 2 pandangan ini, maka keberhasilan suatu implementasi
kebijakan bergantung pada faktor yang ada pada rumusan kebijakan
23
konstitusi yang kuat, faktor pada tataran pelaksana kebijakan, dan
faktor pada sistem pengorganisasian pelaksanaan kebijakan. Jika
dikaitkan dengan teori Edward, maka dalam penelitian ini akan
melihat faktor keberhasilan sebuah kebijakan berdasar pada 4 isu
pokok yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Kebijakan akan efektif dilaksanakan apabila komunikasi yang
dilakukan merata sampai pada tataran masyarakat paling bawah.
Sehingga sosialisasi yang dilakukan agen pelaksana kebijakan
harus tertuju kepada seluruh element yang terlibat dalam sebuah
kebijakan.
b. Sumber daya untuk melaksanakan kebijakan tersebut terpenuhi.
Baik sumber daya manusia sebagai agen pelaksana, sampai
sumber dana serta alokasi waktu khusus untuk melaksanakan
kebijakan.
c. Setiap agen pelaksana kebijakan mempunyai komitmen serta
cakap untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
d. Yang terakhir ialah berkenaan dengan struktur birokrasi dengan
kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan.
B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
1. Pengertian Literasi
Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata ini berasal
24
penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang
menyertainya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan
istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:
“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.” (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunga-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan
kemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre
adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan
dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi
dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang membentuk definisi tersebut,
yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi,
25
bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi.
Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu:
a. Literasi melibatkan interpretasi
Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam
tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan
dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain),
dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan. interpretasi
penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang
dunia.
b. Literasi melibatkan kolaborasi
Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan
membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya
mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara
memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak
perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap
pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar
mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar
dapat membuat teks penulis bermakna.
c. Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara
itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal)
26
tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan aturan
bahasa baik lisan maupun tertulis.
d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.
Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi
dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan
nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu
sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang
yang berada dalam system budaya tersebut.
e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.
Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi
yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan
hubungan-hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit
makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya membayangkan/
memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk
pemecahan masalah.
f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa
dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri.
Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka
memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana
mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
27
Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis)
melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa
itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk
menciptakan sebuah wacana/ diskursus. Dari poin diatas maka
prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi,
kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah,
refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.
2. Komponen Literasi
Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar membaca dan
menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan
sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan
auditori. Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi
informasi. Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us)
menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi
dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi
teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini
diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya.
Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Literasi Dini (Early Literacy)
Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan
berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh
28
Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu
menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.
b. Literasi Dasar (Basic Literacy)
Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan
analisis untuk menghitung (calculating), mempersepsikan
informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan
informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan
kesimpulan pribadi.
c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)
Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan
nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal,
memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan
yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami
penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki
pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang
menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau
mengatasi masalah.
d. Literasi Media (Media Literacy)
Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang
berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio, televisi),
media digital (media internet), dan memahami tujuan
29
e. Literasi Teknologi (Technology Literacy)
Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.
Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam
praktiknya, pemahaman menggunakan komputer (computer
literacy) yang didalamnya mencakup menghidupakan dan
mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta
mengoprasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan
membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini,
diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang
dibutuhkan masyarakat.
f. Literasi Visual (Visual Literacy)
Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan leterasi
teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual
secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang
tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun
digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak
manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring
30
Pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan komponen literasi
dipaparkan pada tabel berikut:
Tabel. 1. Pihak Pelaksanaan Komponen Literasi
No Komponen Literasi Pihak yang Berperan Aktif 1 Literasi Usia Dini Orangtua dan keluarga, guru/ PAUD,
pamong atau pengasuh 2 Literasi Dasar Pendidikan Formal 3 Literasi Perpustakaan Pendidikan Formal
4 Literasi Teknologi Pendidikan Formal dan Keluarga 5 Literasi Media Pendidikan Formal, keluarga, dan
lingkungan sosial
6 Literasi Visual Pendidikan Formal, keluarga, dan lingkungan sosial
(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komponen dari literasi terdiri 6
kemampuan yang berbeda dari setiap komponen literasi. Seperti
literasi media yang menuntut agar siswa dapat memiliki kemampuan
untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda. Berbeda
dengan literasi visual yang menghendaki pemahaman tingkat lanjut
antara literasi media dan literasi teknologi. Hal ini membuktikan
bahwa literasi tidak hanya didefinisikan sebagai aktivitas membaca
dan menulis saja.
3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh
untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang
31
Berdasarkan buku panduan yang dibuat oleh Kemendikbud terkait
kebijakan ini, GLS memiliki:
a. Landasan Filosofis
Sumpah pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung
tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna
pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang
memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai
dengan keperluannya.”
1) Butir ini menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa
dalam pendidikan nasional.
2) Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang
pentingnya penggunaan bahasa ibu. Indonesia yang
memiliki beragam suku bangsa, khususnya
mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa ibu
saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah
(kelas I, II, III).
3) Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan
literasi dasar dan kecakapan perpustakaan yang efektif
merupakan kunci bagi masyarakat yang literat dalam
menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima
komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah
basic literacy, library literacy, media literacy, technology
32 b. Landasan Hukum
Landasan hukun dari Gerakan Literasi Sekolah yang tertuang
dalam desain induk GLS ialah:
1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 2:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
Undang-Undang.”
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan.
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang
Pelaksaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang
33 c. Tujuan
GLS mempunyai tujuan umum dan khusus, berikut ini adalah
tujuan dari Gerakan Literasi Sekolah:
1) Tujuan Umum
Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui
pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan
dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat.
2) Tujuan Khusus
a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di Sekolah.
b) Meningkatkan kapasistas warga dan lingkungan
sekolah agar literat.
c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang
menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah
mampu mengelola pengetahuan.
d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan
menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi
berbagai strategi membaca.
d. Ruang Lingkup
Ruang lingkup GLS berupa:
1) Lingkungan fisik sekolah (fasilitas dan sarana prasarana
34
2) Lingkungan sosial dan afektif (dukungan dan partisipasi
aktif seluruh warga sekolah).
3) Lingkungan akademik (program literasi yang
menumbuhkan minat baca dan menunjang kegiatan
pembelajaran di SD).
e. Sasaran
Sasaran dari GLS ini adalah pendidik, kepala sekolah, dan tenaga
kependidikan di SD
f. Target Pencapaian
GLS di SD menciptakan ekosistem pendidikan di SD yang literat.
Ekosistem pendidikan yang literat adalah lingkungan yang:
1) Menyenangkan dan ramah peserta didik, sehingga
menumbuhkan semangat warganya dalam belajar.
2) Semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan
menghargai sesama.
3) Menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan
4) Memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat
berkontribusi kepada lingkungan sosialnya.
5) Mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan
lingkungan eksternal SD
4. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah
Menurut Beers (2009), praktik yang baik dalam gerakan literasi
35
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang
dapat diprediksi
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis
saling berirusan antartahap perkembangan. Memahami tahap
perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk
memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat
sesuai kebutuhan perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari
bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh
karena itu, strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu
divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program
literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan
bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan
remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi disekolah adalah tanggung
jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran
mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca
dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru
dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata
pelajaran.
36
d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun
Misalnya dengan menulis surat kepada presiden atau membaca
untuk ibu merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang
bermakna.
e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan
Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan
berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama
pembelajaran dikelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka
kemungkinan untuk perbedaan pendapat untuk menyampaikan
perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati
perbedaan pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap
keberagaman
Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan
literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu
merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat
terpajan pada pengalaman multikultural.
5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan
budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to
Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk
37
a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi
Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan
warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat
ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung
pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta
didik dipajang diseluruh area sekolah termasuk koridor, kantor
kepala sekolah dan guru. Selai itu, karya –karya peserta didik
diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan
bahan bacaan lain di sudut baca disemua kelas, kantor, dan area
lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta
didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah
terhadap pengembangan budaya literasi.
b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model
komunikasi dan interaksi yang literat
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi
dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat
dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik
sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat
upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan
peserta didik disemua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya
akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan
38
memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan
dapat mewarnai semua perayaan penting disepanjang tahun
pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk fesival buku, lomba
poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.
Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan
literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif
antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang
dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orangtua
sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat
komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.
c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat
Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan
lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan
pelaksaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya
memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran
literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca
dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15
menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang
kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan
untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk
peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksaan dan
39
Tabel 2 di bawah ini mencantumkan beberapa parameter yang
dapat digunakan sekolah untuk membangun budaya literasi sekolah
yang baik.
Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat A. Lingkungan Fisik
1 Karya peserta didik dipajang disepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
2 Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberikan kesempatan yang seimbang kepada semua peserta didik.
3 Buku dan materi bacaan lain tersedia dipojok-pojok baca disemua ruang kelas.
4 Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orangtua/ pengunjung dikantor dan ruangan selain ruang kelas.
5 Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
6 Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah B. Lingkungan Sosial dan Afektif
1 Penghargaan terhadap peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/ bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.
2 Kepala Sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi. 3 Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi,
misalnya merayakan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.
4 Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing
5 Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi dalam menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
6 Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi.
C. Lingkungan Akademik
40 eksternal.
2 Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and tell presentation).
3 Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.
4 Disepakati waktu berkala untuk TLS membahas pelaksaan gerakan literasi sekolah.
5 Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.
6 Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah. 7 Ada kesempatan pengembangan profesional tentang lietasi yang
diberikan untuk staf, melalui kerjasama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
8 Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi sekolah yang suka belajar. (Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)
Aspek-aspek tersebut adalah karakteristik penting dalam
pengembangan budaya literasi di sekolah. Dalam pelaksanaanya,
sekolah dapat mengadaptasinya sesuai dengan situasi dan kondisi
sekolah. Guru dan pimpinan sekolah perlu bekerja sama untuk
mengimplementasikan strategi tersebut.
6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah
Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah:
a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang
41
untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap
kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan
minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan
kemampuan literasi peserta didik.
Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan
(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)
b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan
kemampuan literasi kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan
mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan
mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan
mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui
kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson &