• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM INTERNATIONAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM INTERNATIONAL."

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Ranti Wulandari NIM 12110241024

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, „berilah kelapangan di dalam majelis-majelis‟, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan

memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, „berdirilah kamu‟, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan

Allah Maha Teliti dari apa yang kamu kerjakan”

(Q.S. Al Mujadalah: 11)

orang yang hidup untuk dirinya sendiri, akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup untuk oranglain akan

hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Allah dengan segala nikmat-Nya.

2. Kedua orangtua (Ermawati dan Upi Supriyatna) atas sabar dan doa yang tak terbatas.

(7)

vii

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM

INTERNATIONAL

Oleh Ranti Wulandari NIM 12110241024

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kebijakan gerakan literasi sekolah di SDIT LHI, implementasi berdasarkan 4 isu pokok Edward III yaitu komunikasi, sumber daya, komitmen, dan struktur birokrasi serta akan mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan gerakan literasi sekolah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan di SDIT LHI selama bulan Desember 2016-Januari 2017. Subjek penelitian ialah Kepala Sekolah, Kepala Perpustakaan, Kadiv Akademik dan Kurikulum yang menjabat sebagai guru serta siswa kelas I. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Serta dilakukannya triangulasi sumber dan teknik untuk memastikan keabsahan data.

Hasil penelitian ialah sebagai berikut: (1). Bahwa program yang menunjang kebijakan gerakan literasi di SDIT LHI adalah: Reading Group, Morning Motivation, Mini library, Pengadaan perpustakaan, Best Reader of The Month, Books Lover, Oktober bulan bahasa, World book day, Waqaf buku, Story Telling, Mading, Library class; (2). implementasi kebijakan ini kemudian didukung oleh a). Komunikasi agen-agen pelaksana melalui rapat elemen sekolah seperti manajemen, orangtua, dan guru; b). Sumber daya yang mendukung kegiatan ini seperti adanya potensi guru, dana dari orangtua, sekolah, dan pemerintah serta sponsor; c). Komitmen dari para agen pelaksana; d). Struktur birokrasi baik dari pihak sekolah; (3). Faktor pendukung berupa tersedianya sarana untuk mensosialisasikan kebijakan, hibah buku dari orangtua, waktu dan dana, guru-guru mempunyai semangat belajar, mahasiswa PPL juga membantu dalam pelaksanaan program-program perpustakaan, serta semua warga sekolah terlibat aktif dalam program yang dibuat sekolah. Sedangkan faktor penghambat nya guru masih harus diingatkan terkait SOP kebijakan dan program yang harus dilakukan, buku yang kaya akan nilai serta gambar-gambar menarik sulit didapatkan di Indonesia, terkadang surat edaran untuk orangtua tidak sampai, perlu adanya pengembangan program agar tidak monoton, belum adanya evaluasi dari berbagai program.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi dengan judul

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI

SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU LUKMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL” dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan untuk penelitian ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menyetujui skripsi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi selama proses menyelesaikan masa studi.

4. Ibu Ariefa Efianingrum, M. Si., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingannya hingga tersusunnya skripsi ini.

5. Ibu Fourzia Yunisa Dewi, S. Pd., selaku Kepala Sekola SDIT LHI yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

6. Seluruh Dosen dan Karyawan Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orangtua yang selalu memberikan doa dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung.

8. Teman-teman yang selalu memberikan motivasi.

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Masalah ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 11

1. Pengertian Kebijakan ... 11

(11)

xi

3. Syarat Implementasi Kebijakan ... 18

4. Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 19

B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah 1. Pengertian Literasi ... 23

2. Komponen Literasi ... 27

3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) a. Landasan Filosofis ... 31

b. Landasan Hukum ... 32

c. Tujuan ... 33

d. Ruang Lingkup ... 33

e. Sasaran ... 34

f. Target Pencapaian ... 34

4. Prinsip-prinsip Literasi ... 34

5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah ... 36

6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah ... 40

C. Penelitian yang Relevan ... 44

D. Kerangka Berpikir ... 45

E. Pertanyaan Penelitian ... 47

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 48

B. Setting Penelitian ... 49

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

1. Wawancara ... 50

2. Observasi ... 50

(12)

xii

E. Instrumen Penelitian ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 52

G. Keabsahan Data ... 53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

1. Profil Sekolah ... 55

2. Visi Misi dan Tujuan Sekolah ... 56

3. Kurikulum Sekolah ... 57

4. Jumlah Siswa dan Ruangan di SDIT LHI ... 60

5. Potensi Guru dan Karyawan ... 61

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 62

1. Kepala Sekolah ... 62

2. Kepala Perpustakaan ... 62

3. Guru Kelas ... 62

4. Perwakilan Siswa Kelas I ... 63

C. Hasil Penelitian ... 63

1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 63

2. Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 86

a. Komunikasi ... 86

b. Sumber Daya ... 88

c. Disposisi ... 92

(13)

xiii

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu

Lukman Al Hakim Internasional ... 95

a. Faktor Pendukung ... 95

b. Faktor Penghambat ... 96

D. Pembahasan ... 97

1. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 97

2. Implemetasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 101

a. Komunikasi ... 101

b. Sumber Daya ... 103

c. Disposisi ... 106

d. Struktur Birokrasi ... 107

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional ... 108

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Pihak Pelaksana Komponen Literasi ... 27

Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat ... 37

Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan ... 40

Tabel 4. Tahap 1 GLS Tahap Pengembangan ... 41

Tabel 5. Tahap 1 GLS Tahap Pembelajaran ... 42

Tabel 6. Tabel Kisi-Kisi Instrumen ... 50

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kerangka Pikir ... 46

Gambar 2. Komponen Analisis Data Miles dan Huberman ... 53

Gambar 3. Aktivitas Morning Motivation ... 65

Gambar 4. Pojok Baca di Setiap Kelas ... 67

Gambar 5. Best Reader of The Month ... 71

Gambar 6. Oktober Bulan Bahasa ... 73

Gambar 7. World Book Day ... 74

Gambar 8. Story Telling from Parent to Child ... 77

Gambar 9. Mading Sekolah ... 78

Gambar 10. Membumi (Membaca Buku Sepuluh Menit) ... 81

Gambar 11. Koleksi Buku di Perpustakaan ADIBA ... 85

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Kisi-Kisi Instrumen ... 117

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 118

Lampiran 3. Pedoman Wawancara Kepala Perpustakaan ... 119

Lampiran 4. Pedoman Wawancara Guru ... 120

Lampiran 5. Pedoman Studi Dokumentasi ... 121

Lampiran 6. Catatan Lapangan ... 122

Lampiran 7. Hasil Studi Dokumentasi ... 127

Lampiran 8. Transkrip Wawancara Setelah Reduksi ... 128

Lampiran 9. Triangulasi ... 142

Lampiran 10. Peraturan Menteri Tentang Penumbuhan Budi Pekerti ... 157

Lampiran 11. Jenis Biaya Pendidikan ... 165

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk dapat

memanusiakan manusia. Artinya diharapkan dengan proses transformasi

pendidikan, manusia dapat meningkatkan seluruh potensi kognitif, afektif

dan psikomotornya. Selama proses pendidikan, peserta didik memperoleh

bekal pengusaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan

fungsional. Hal itu dikemas melalui kurikulum sekolah sebagai acuan

kepada semua peserta didik secara tuntas. Menurut UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara. Disebutkan juga dalam UUD 1945 pasal

31 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta

akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa”. Artinya pendidikan

mempunyai peran penting bagi warga negara Indonesia agar tercerdaskan

secara intelektual. Salah satu indikator keberhasilan dari suksesnya

pendidikan yang terselenggara di Indonesia adalah dengan meningkatnya

(18)

2

Dilansir dari kompasiana.com, Indonesia tercatat sebagai salah satu

negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data UNDP tahun

2014 mencatat bahwa tingkat melek huruf masyarakat Indonesia mencapai

92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Angka

ini menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi

dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun demikian, tantangan yang

saat ini dihadapi adalah rendahnya minat baca. Selain ketersediaan buku di

seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga menghadapi

rendahnya motivasi membaca di kalangan peserta didik. Hal ini

memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut

untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks

secara analitis, kritis dan reflektif. Sesungguhnya permasalahan umum

dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya ikatan emosional

terhadap sumber informasi salah satunya buku bacaan dan kegiatan

pemanfaatan sumber informasi tersebut atau kegiatan membaca. Terkait

dengan buku sebagai salah satu sumber informasi, rendahnya minat dan

gairah membaca sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam

kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia.

Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan

informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa

bacaan cetak. Akibatnya, pengguna teknologi sering mengalami „gagap

membaca media informasi‟ yang ditandai dengan kurangnya sikap kritis

(19)

3

pemahaman terhadap informasi, atau menyalahgunakan informasi secara

tidak tepat (misalnya dalam kasus plagiasi). Transisi dari tradisi lisan ke

budaya literasi ini mengalami tantangan gempuran teknologi dalam bentuk

popularitas media dan alat komunikasi (gadget) yang menyajikan teks

dengan cara pembacaan yang unik dan berbeda sehingga membutuhkan

pendekatan yang utuh dalam menguatkan literasi dasar di sekolah dasar.

Dikutip dari republika.com, budaya literasi masyarakat Indonesia

masih sangat rendah. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi

Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga

internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan

negara lain di dunia. Hasil penelitian PIRLS (Progress in International

Reading Literacy Study) menyatakan bahwa rata-rata skor prestasi literasi

membaca siswa kelas IV Indonesia (405) berada signifikan di bawah

rata-rata internasional (500). Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara

(negara bagian) peserta. Ia pun melansir data statistik UNESCO 2012 yang

menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.

Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki

minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf

orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia

sudah 86,4 persen. Rendahnya budaya literasi di Indonesia membuat

pendidikan di Indonesia tertinggal dari negera-negara tetangga. Menurut

Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan

(20)

4

menangkap makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu

menghasilkan 8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu

menghasilkan 15.000 buku per tahun.

Masyarakat global dituntut untuk dapat beradaptasi dengan

kemajuan teknologi dan keterbaruan atau kekinian. Deklarasi Praha

(UNESCO, 2003) mencanangkan information literacy, yaitu kemampuan

untuk pentingnya literasi informasi (mencari, memahami, mengevaluasi

secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang

bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya). Dalam

era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria

pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org)

menjelaskan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk

melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus

menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari

kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengevaluasi

informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan

informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta

mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.

Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk

menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai

dengan UUD 1945 Pasal 31 Ayat. Ayat ini menegaskan bahwa program

literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang

(21)

5

dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan

informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki

Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen

masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam

membina, menginspirasi atau memberi contoh, memberi semangat, dan

mendorong perkembangan anak (www.academia.edu).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus

menggenjot minat baca masyarakat khususnya peserta didik. Salah satu

terobosan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23

Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini

diwujudkan dengan wajib membaca khususnya bagi siswa SD, SMP atau

SMA. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengembangkan

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk mengatasi minat

baca yang rendah pada siswa di Indonesia. GLS merupakan sebuah upaya

yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai

organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui

pelibatan publik. GLS dikembangkan berdasarkan 9 agenda prioritas

(Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya

Nawacita nomor 5, 6, 8 dan 9. Empat butir Nawacita tersebut terkait erat

dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya

manusia yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing, berkarakter, serta

(22)

6

menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai.

Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik

serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat

dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti,

berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap

perkembangan peserta didik. Terobosan penting ini hendaknya melibatkan

semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat

pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan yaitu sekolah.

Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen

penting dalam keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Sekolah mempunyai peran penting sebagai wadah

pengorganisasian pembelajaran. Banyak anggapan mengenai Gerakan

Literasi Sekolah (GLS) ini tidak bisa sepenuhnya membantu

meningkatkan budaya literasi siswa. Hal ini juga disebabkan karena

ketersediaan sarana dan prasarana yang berbeda di setiap sekolah. Namun

hal tersebut tidak dijumpai di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al

Hakim Internasional (SDIT LHI). Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman

Al Hakim Internasional merupakan sekolah dasar yang memiliki misi

mewujudkan generasi Islam yang memiliki fisik dan karakter kuat,

menguasai dasar-dasar keilmuan dan berwawasan global. Hal ini dapat

diwujudkan apabila kegiatan pembelajaran di sekolah sudah mendukung

untuk terbentuknya siswa yang memiliki wawasan yang luas dan

(23)

7

membudayakan kegiatan literasi di sekolah. Di Sekolah Dasar Islam

Terpadu Lukman Al Hakim Internasional sudah membiasakan budaya

literasi di sekolah dengan adanya pojok baca di setiap kelas agar siswa

dapat dengan mudah mengakses sumber literasi yang menunjang

kebutuhan setiap siswa untuk berwawasan luas. Terdapat aktivitas

Reading Group” yang mendukung para siswa untuk meningkatkan

budaya literasi. Reading Group masuk ke dalam kurikulum sekolah

sehingga aktivitas membaca didukung oleh kurikulum yang menunjang hal

tersebut. Teknis pelaksanaan Reading Group adalah dengan meminta

siswa untuk membaca buku yang dipilih oleh siswa kemudian siswa

tersebut menceritakan hasil dari bacaannya. Selain itu perpustakaan

sebagai sumber pemenuhan kebutuhan informasi juga banyak mengadakan

kegiatan-kegiatan yang menunjang kebijakan Gerakan Literasi Sekolah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa SDIT LHI telah mengimplementasikan

Gerakan Literasi Sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan budaya

literasi pada siswa.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam

mengenai “Implementasi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional” untuk

mendeskripsikan implementasi kebijakan tersebut dan mengetahui faktor

yang mendukung serta menghambat terlaksananya program. Penelitian ini

juga dapat menjadi rekomendasi khususnya pada kebijakan Gerakan

(24)

8 B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang dan hasil observasi yang telah dilakukan, maka

ditemukan masalah sebagai berikut:

1. Minat baca yang rendah di kalangan siswa Indonesia.

2. Teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan

informasi telah menjadi jalan pintas untuk menghindari bacaan berupa

tekstual dan bacaan cetak.

3. Adanya kendala sarana berupa penyediaan sumber literasi yang

membuat faktor penghambat Gerakan Literasi Sekolah tidak dapat

diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesi.

4. Kurangnya pemahaman sekolah mengenai kebijakan Gerakan Literasi

Sekolah.

5. SDIT LHI telah mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah

sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi pada siswa.

6. SDIT LHI dapat menjadi referensi bagi sekolah lainnya untuk

mengembangkan budaya literasi di sekolah.

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah dan keterbatasan peneliti,

maka dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada tataran

implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Dasar

(25)

9 D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang serta identifikasi masalah yang telah dilakukan

diatas maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional?

b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan

Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al

Hakim Internasional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat mendeskripsikan implementasi kebijakan Gerakan Literasi

Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukman Al Hakim

Internasional.

2. Dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi

kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu

Lukman Al Hakim Internasional.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Bagi sekolah dapat menjadi masukan atau rekomendasi bagi warga

sekolah dalam meningkatkan minat baca dan budaya literasi pada

(26)

10

b. Bagi Pemerintah dapat menjadi sebuah gambaran terkait

implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah

dirancang.

c. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi cara

mendidik anak agar tumbuh minat membaca.

2. Manfaat Teoritis

a. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi penelitian terkait

implementasi kebijakan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar

Islam Terpadu Lukman Al Hakim Internasional.

b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan teori dalam

(27)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari

bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan

atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi

oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga

diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan

atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang

disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan,

kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh

pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun

dapat terkait dalam suatu kebijakan.

James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan adalah kebijakan

yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1). bahwa kebijakan selalu

mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi

pada tujuan, (2). bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau

pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3). bahwa kebijakan

merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4).

bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa

(28)

12

bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah

untuk tidak melakukan sesuatu, (5). bahwa kebijakan, dalam arti

positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat

memaksa (otoritatif). Dalam pengertian ini, James E. Anderson

menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Tahap-tahap yang dilakukan

dalam kebijakan yaitu:

a. Penyusunan agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat

kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan

memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas

untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan

akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap

ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih.

Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan,

masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin

tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang

dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki

argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap

penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah

mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah

kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah

(29)

13 b. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan

kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi

kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan

masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak

dijadikan fokus pembahasan.

c. Adopsi kebijakan

Sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya

akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk

digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini

sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy

legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi.

Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan

memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya

akan diimplementasikan.

d. Implementasi kebijakan

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah

disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu

kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala.

Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda

di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering

mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah

(30)

14

dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan

dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat

menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

e. Evaluasi kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan

dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah

mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini,

ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai

apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan.

Penelitian ini akan memotret tahapan kebijakan pada tataran

implementasi. Sehingga penelitian ini akan menggambarkan

pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.

2. Implementasi Kebijakan

Terdapat banyak teori terkait implementasi kebijakan. Teori

pertama adalah teori klasik, yakni teori yang perkenalkan oleh Donald

Van Meter dan Carl Van Horn ( 1975 ). Teori ini mengandaikan bahwa

implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan public,

implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang

dimasukan sebagai variabel yang memepengaruhi kebijakan publik

adalah variabel: aktivitas implementasi dan komunikasi antar

organisasi; karakteristik dari agen pelaksana atau implementor, kondisi

ekonomi, social dan politik, kecenderungan (Disposition) dari

(31)

15

Teori kedua adalah teori yang di kembangkan oleh Daniel

Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) mengemukakan bahwa

implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Teori

Mazmaian dan Sabatier disebut kerangka analisis implementasi (A

Framework for implementation Analysis). Dalam teori ini dinyatakan

bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan

implementasi yaitu karakteristik dari masalah (tractability of the

problems), karakteristik kebijakan atau undang-undang (ability of

statute to structure implementation), dan variabel lingkungan (non

statutory variables affecting implementation).

Teori ketiga adalah teori Brian W. Hoodwood dan Lewis A. Gun

(1978). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi

kebijakan diperlukan beberapa syarat. Syarat pertama berkenaan

dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang di hadapi oleh lembaga

atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.

Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakanya tersedia sumber

daya yang memadai, termasuk sumber daya waktu. Syarat ketiga

apakah perpaduan sumber-sumber yang di perlukan benar-benar ada.

Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan di

implementasikan di dasari hubungan kausal yang andal. Syarat kelima

adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Syarat

keenam adalah apakah hubungan yang saling ketergantungannya kecil.

(32)

16

terhadap tujuan. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah

dirinci dan ditetapkan dalam urutan yang benar. Sebenarnya teori

Hood Wood dan Gun mendasarkan pada konsep manajemen strategis

yang mengarah pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak

meninggalkan kaidah-kaidah pokok.

Teori keempat adalah teori Mericlee S. Grindle (1980: 9). Teori

Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.

Ide dasar nya adalah bahwa setelah kebijakan di tranformasikan, maka

implementasi kebijakan dilakukan. Menurutnya keberhasilan

implementasi kebijakan ditentukan oleh content of implementation dan

context of implementation. Content of implementation mencakup

kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang

dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat

kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang

dikerahkan. Context of implementation mencakup kekuasaan,

kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan

penguasa, dan kepatuhan serta daya tanggap.

Teori kelima adalah teori yang di kembangkan secara terpisah oleh

Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjren dan

David O‟ Porter (1981). Teori ini di mulai dari mengidentifikasi

jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan

kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas dan kontak-kontak yang

(33)

17

publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri

implementasi kebijakanya atau masih melibatkan kebijakan

pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan

yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang

menjadi target atau klien nya dan sesuai pula dengan pejabat eselon

rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan teori ini biasanya di

prakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung atau pun

lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM) .

George Edward III (1980:1) ia menegaskan untuk memperhatikan

empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu

communication, resource, disposition or attitudes, dan bureaucratic

structures. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan

dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan

sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari

para pihak yang terlibat, dan bagaimana stuktur organisasi pelaksana

kebijakan. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya

pendukung, khususnya sumber daya manusia, hal yang berkenaan

dengan kecakapan dari pelaksana kebijakan publik untuk

melaksanakan kebijakan secara efektif. Disposition berkenaan dengan

kesediaan dari para implementor untuk melaksanakan kebijakan publik

tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan komitmen

untuk melaksanakan kebijakan. Stuktur birokrasi berkenaan dengan

(34)

18

implementasi kebijakan public. Tantangannya adalah bagaimana agar

tidak terjadi missed comunication, hal ini menjadikan proses

implementasi jauh dari efektif. Di Indonesia, sering disebutkan bahwa

inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan

kerjasama diantara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan oleh

Edward III.

Teori implementasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

menggunakan teori Edward III. Dengan empat isu pokok yaitu:

komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. 4 hal

pokok ini dapat menjadi acuan dalam penggambaran implementasi

kebijakan berhasil dilaksanakan atau tidak. Peneliti merasa teori yang

dikemukan oleh Edward sudah komprehensif mencakup 4 pokok yang

menggambarkan implementasi sebuah kebijakan. Berbeda dengan

teori-teori sebelumnya yang hanya melihat keberhasilan sebuah

implementasi kebijakan dari beberapa sudut pandang.

3. Syarat Implementasi Kebijakan

Putusan kebijakan dapat dilaksanakan dengan optimal jika

memenuhi berbagai persyaratan implementasi. Sabatier dan

Mazmanian mengemukakan beberapa persyaratan dalam

implementasi kebijakan adalah:

a. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan

(35)

19

keseluruhan program yang dilaksanakan oleh para pelaksana

atau agen pelaksana. Derajat ketepatan dan kejelasan tersebut

harus dapat dipahami tidak hanya pihak internal tetapi termasuk

pihak eksternal pengguna kebijakan. Dengan demikian seluruh

pihak dapat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan

kebijakan tersebut.

b. Sumber dana untuk melaksanakan kebijakan tersebut

mencukupi. Sumber dana harus mencukupi baik keperluan gaji,

staff, analisis teknis dalam pengembangan peraturan,

administrasi perizinan, dan monitoring kebijakan.

c. Sumber daya manusia atau agen pelaksana adalah orang-orang

yang memberikan dukungan terhadap kebijakan serta memiliki

komitmen yang tinggi dalam melaksanakan kebijakan, dengan

demikian tujuan dari putusan kebijakan dapat tercapai secara

optimal. Implementasi dilakukan dengan menunjuk orang-orang

atau lembaga yang memiliki orientasi kebijakan yang sejalan

dengan kebijakan tersebut.

d. Perlu adanya koordinasi yang kuat antar berbagai agen atau

lembaga implementor. Masyarakat harus menaruh kepercayaan

kepada pemerintah pusat dan lembaga lokal dalam

menyelesaikan rincian program. Sosialisasi dan sanksi perlu

dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan kepada seluruh

(36)

20

e. Perlu dukungan dari seluruh pihak baik internal maupun

eksternal. Seluruh sub unit harus dilibatkan dalam pelaksanaan

kebijakan (Sudiyono, 2007: 93-97).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa syarat yang

harus dipenuhi dalam implementasi kebijakan terdiri dari aspek

kebijakan, aspek sumber dana dan sumber daya, aspek koordinasi, dan

aspek dukungan.

4. Faktor Keberhasilan yang Mempengaruhi Keberhasilan

Implementasi Kebijakan Pendidikan

Suatu implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan

yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi

sasaran kebijakan tersebut. Arif Rohman (2009: 147) menyatakan,

bahwa ada 3 faktor yang dapat menentukan keberhasilan dan

kegagalan dalam implementasi kebijakan, yaitu:

a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan yang telah dibuat

oleh para pengambil keputusan, menyangkut kalimatnya jelas atau

tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak,

mudah diinterprestasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan

atau tidak.

b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang

menyangkut tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen,

kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta

(37)

21

Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya,

bahasa, serta ideologi kepartaian masing-masing. Semua itu akan

sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara kolektif dalam

menjalankan misi implementasi kebijakan.

c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana, yakni

menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing

peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari

pemimpin organisasinya, aturan main organisasi, target

masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang biasa

dipakai, serta evaluasi yang dipilih.

Sedangkan menurut sabatier dan Mazmanian (Sudiyono, 2007:

90-100) mengemukakan adanya berbagai kondisi yang mendukung agar

implementasi dapat dilaksanakan secara optimal, yaitu:

a. Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang

terkait dengan perubahan pelaku kelompok sasaran guna mencapai

hasil yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau

perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini

terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1) adanya keterkaitan antara

pencapaian dengan tolak ukur atau hasil yang diharapkan, 2)

khusus mengenai cara pelaksanaan kebijakan yang dapat

dilakukan oleh kelompok sasaran.

b. Undang-undang atau peraturan tidak boleh ambigu atau bermakna

(38)

22

produk-produk hukum. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat

ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal

maupun dalam keseluruhan program yang dilaksanakan oleh pihak

pelaksana.

c. Para pelaku kebijakan harus memiliki kemampuan manajerial,

politis dan komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para

pemimpin dan perumus kebijakan dapat mengambil langkah baik

pada ranah merencanakan sebuah peraturan maupun dalam

pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna

meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap

pencapaian tujuan undang-undang.

d. Program harus didukung oleh para pemangku kepentingan

(pemilih, perumus undang-undang, pengadilan yang mendukung).

e. Prioritas umum dari sasaran perundang-undangan tidak signifikan

direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan yang sangat darurat

pada publik, atau perubahan keadaan sosial ekonomi yang sesuai

dan didasarkan pada teori perundang-undangan secara teknis

ataupun memperoleh dukungan publik.

Oleh karenanya, disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat

mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan.

Melalui 2 pandangan ini, maka keberhasilan suatu implementasi

kebijakan bergantung pada faktor yang ada pada rumusan kebijakan

(39)

23

konstitusi yang kuat, faktor pada tataran pelaksana kebijakan, dan

faktor pada sistem pengorganisasian pelaksanaan kebijakan. Jika

dikaitkan dengan teori Edward, maka dalam penelitian ini akan

melihat faktor keberhasilan sebuah kebijakan berdasar pada 4 isu

pokok yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Kebijakan akan efektif dilaksanakan apabila komunikasi yang

dilakukan merata sampai pada tataran masyarakat paling bawah.

Sehingga sosialisasi yang dilakukan agen pelaksana kebijakan

harus tertuju kepada seluruh element yang terlibat dalam sebuah

kebijakan.

b. Sumber daya untuk melaksanakan kebijakan tersebut terpenuhi.

Baik sumber daya manusia sebagai agen pelaksana, sampai

sumber dana serta alokasi waktu khusus untuk melaksanakan

kebijakan.

c. Setiap agen pelaksana kebijakan mempunyai komitmen serta

cakap untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

d. Yang terakhir ialah berkenaan dengan struktur birokrasi dengan

kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara

implementasi kebijakan.

B. Deskripsi Teori Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

1. Pengertian Literasi

Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata ini berasal

(40)

24

penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang

menyertainya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan

istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.” (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunga-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan

kemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre

adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan

dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi

dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang membentuk definisi tersebut,

yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi,

(41)

25

bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi.

Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu:

a. Literasi melibatkan interpretasi

Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam

tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan

dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain),

dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan. interpretasi

penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang

dunia.

b. Literasi melibatkan kolaborasi

Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan

membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya

mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara

memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak

perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap

pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar

mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar

dapat membuat teks penulis bermakna.

c. Literasi melibatkan konvensi

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara

itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal)

(42)

26

tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan aturan

bahasa baik lisan maupun tertulis.

d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi

dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan

nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu

sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang

yang berada dalam system budaya tersebut.

e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi

yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca,

dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan

hubungan-hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit

makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya membayangkan/

memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk

pemecahan masalah.

f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.

Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa

dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri.

Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka

memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana

mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.

(43)

27

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis)

melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa

itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk

menciptakan sebuah wacana/ diskursus. Dari poin diatas maka

prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi,

kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah,

refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.

2. Komponen Literasi

Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar membaca dan

menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan

sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan

auditori. Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi

informasi. Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us)

menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi

dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi

teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini

diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya.

Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Literasi Dini (Early Literacy)

Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan

berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh

(44)

28

Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu

menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

b. Literasi Dasar (Basic Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca,

menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan

analisis untuk menghitung (calculating), mempersepsikan

informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan

informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan

kesimpulan pribadi.

c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)

Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan

nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal,

memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan

yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami

penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki

pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang

menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau

mengatasi masalah.

d. Literasi Media (Media Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang

berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio, televisi),

media digital (media internet), dan memahami tujuan

(45)

29

e. Literasi Teknologi (Technology Literacy)

Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti

teknologi seperti perangkat keras (hardware), perangkat lunak

(software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.

Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk

mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam

praktiknya, pemahaman menggunakan komputer (computer

literacy) yang didalamnya mencakup menghidupakan dan

mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta

mengoprasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan

membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini,

diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang

dibutuhkan masyarakat.

f. Literasi Visual (Visual Literacy)

Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan leterasi

teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan

belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual

secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang

tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun

digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu

dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak

manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring

(46)

30

Pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan komponen literasi

dipaparkan pada tabel berikut:

Tabel. 1. Pihak Pelaksanaan Komponen Literasi

No Komponen Literasi Pihak yang Berperan Aktif 1 Literasi Usia Dini Orangtua dan keluarga, guru/ PAUD,

pamong atau pengasuh 2 Literasi Dasar Pendidikan Formal 3 Literasi Perpustakaan Pendidikan Formal

4 Literasi Teknologi Pendidikan Formal dan Keluarga 5 Literasi Media Pendidikan Formal, keluarga, dan

lingkungan sosial

6 Literasi Visual Pendidikan Formal, keluarga, dan lingkungan sosial

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa komponen dari literasi terdiri 6

kemampuan yang berbeda dari setiap komponen literasi. Seperti

literasi media yang menuntut agar siswa dapat memiliki kemampuan

untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda. Berbeda

dengan literasi visual yang menghendaki pemahaman tingkat lanjut

antara literasi media dan literasi teknologi. Hal ini membuktikan

bahwa literasi tidak hanya didefinisikan sebagai aktivitas membaca

dan menulis saja.

3. Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh

untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang

(47)

31

Berdasarkan buku panduan yang dibuat oleh Kemendikbud terkait

kebijakan ini, GLS memiliki:

a. Landasan Filosofis

Sumpah pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung

tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna

pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang

memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai

dengan keperluannya.”

1) Butir ini menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa

dalam pendidikan nasional.

2) Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang

pentingnya penggunaan bahasa ibu. Indonesia yang

memiliki beragam suku bangsa, khususnya

mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa ibu

saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah

(kelas I, II, III).

3) Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan

literasi dasar dan kecakapan perpustakaan yang efektif

merupakan kunci bagi masyarakat yang literat dalam

menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima

komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah

basic literacy, library literacy, media literacy, technology

(48)

32 b. Landasan Hukum

Landasan hukun dari Gerakan Literasi Sekolah yang tertuang

dalam desain induk GLS ialah:

1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 2:

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu

sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan

dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan

Undang-Undang.”

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun

2007 tentang Perpustakaan.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009

tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu

Kebangsaan.

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang

Pelaksaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang

(49)

33 c. Tujuan

GLS mempunyai tujuan umum dan khusus, berikut ini adalah

tujuan dari Gerakan Literasi Sekolah:

1) Tujuan Umum

Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui

pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan

dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi

pembelajar sepanjang hayat.

2) Tujuan Khusus

a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di Sekolah.

b) Meningkatkan kapasistas warga dan lingkungan

sekolah agar literat.

c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang

menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah

mampu mengelola pengetahuan.

d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan

menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi

berbagai strategi membaca.

d. Ruang Lingkup

Ruang lingkup GLS berupa:

1) Lingkungan fisik sekolah (fasilitas dan sarana prasarana

(50)

34

2) Lingkungan sosial dan afektif (dukungan dan partisipasi

aktif seluruh warga sekolah).

3) Lingkungan akademik (program literasi yang

menumbuhkan minat baca dan menunjang kegiatan

pembelajaran di SD).

e. Sasaran

Sasaran dari GLS ini adalah pendidik, kepala sekolah, dan tenaga

kependidikan di SD

f. Target Pencapaian

GLS di SD menciptakan ekosistem pendidikan di SD yang literat.

Ekosistem pendidikan yang literat adalah lingkungan yang:

1) Menyenangkan dan ramah peserta didik, sehingga

menumbuhkan semangat warganya dalam belajar.

2) Semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan

menghargai sesama.

3) Menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan

4) Memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat

berkontribusi kepada lingkungan sosialnya.

5) Mengakomodasi partisipasi seluruh warga sekolah dan

lingkungan eksternal SD

4. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah

Menurut Beers (2009), praktik yang baik dalam gerakan literasi

(51)

35

a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang

dapat diprediksi

Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis

saling berirusan antartahap perkembangan. Memahami tahap

perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk

memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat

sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

b. Program literasi yang baik bersifat berimbang

Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari

bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh

karena itu, strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu

divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program

literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan

bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan

remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum

Pembiasaan dan pembelajaran literasi disekolah adalah tanggung

jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran

mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca

dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru

dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata

pelajaran.

(52)

36

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun

Misalnya dengan menulis surat kepada presiden atau membaca

untuk ibu merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang

bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan

Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan

berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama

pembelajaran dikelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka

kemungkinan untuk perbedaan pendapat untuk menyampaikan

perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati

perbedaan pandangan.

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap

keberagaman

Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan

literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu

merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat

terpajan pada pengalaman multikultural.

5. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah

Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan

budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to

Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk

(53)

37

a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi

Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan

warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat

ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung

pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta

didik dipajang diseluruh area sekolah termasuk koridor, kantor

kepala sekolah dan guru. Selai itu, karya –karya peserta didik

diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan

bahan bacaan lain di sudut baca disemua kelas, kantor, dan area

lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta

didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah

terhadap pengembangan budaya literasi.

b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model

komunikasi dan interaksi yang literat

Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi

dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat

dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik

sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat

upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan

peserta didik disemua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya

akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan

(54)

38

memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan

dapat mewarnai semua perayaan penting disepanjang tahun

pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk fesival buku, lomba

poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.

Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan

literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif

antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang

dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orangtua

sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat

komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.

c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat

Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan

lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan

pelaksaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya

memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran

literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca

dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15

menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang

kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan

untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk

peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksaan dan

(55)

39

Tabel 2 di bawah ini mencantumkan beberapa parameter yang

dapat digunakan sekolah untuk membangun budaya literasi sekolah

yang baik.

Tabel 2. Ekosistem Sekolah yang Literat A. Lingkungan Fisik

1 Karya peserta didik dipajang disepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).

2 Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberikan kesempatan yang seimbang kepada semua peserta didik.

3 Buku dan materi bacaan lain tersedia dipojok-pojok baca disemua ruang kelas.

4 Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orangtua/ pengunjung dikantor dan ruangan selain ruang kelas.

5 Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.

6 Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah B. Lingkungan Sosial dan Afektif

1 Penghargaan terhadap peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/ bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.

2 Kepala Sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi. 3 Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi,

misalnya merayakan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.

4 Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing

5 Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi dalam menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.

6 Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi.

C. Lingkungan Akademik

(56)

40 eksternal.

2 Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and tell presentation).

3 Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.

4 Disepakati waktu berkala untuk TLS membahas pelaksaan gerakan literasi sekolah.

5 Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.

6 Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah. 7 Ada kesempatan pengembangan profesional tentang lietasi yang

diberikan untuk staf, melalui kerjasama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).

8 Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi sekolah yang suka belajar. (Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

Aspek-aspek tersebut adalah karakteristik penting dalam

pengembangan budaya literasi di sekolah. Dalam pelaksanaanya,

sekolah dapat mengadaptasinya sesuai dengan situasi dan kondisi

sekolah. Guru dan pimpinan sekolah perlu bekerja sama untuk

mengimplementasikan strategi tersebut.

6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah

Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah:

a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang

(57)

41

untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap

kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan

minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan

kemampuan literasi peserta didik.

Tabel 3. Tahap 1 GLS Tahap Pembiasaan

(Sumber: Buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah)

b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk meningkatkan

kemampuan literasi kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan

mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan

mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan

mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui

kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson &

Gambar

Tabel. 1. Pihak Pelaksanaan Komponen Literasi
Tabel 4. Tahap 1 GLS Tahap Pengembangan
Gambar 1. Kerangka Pikir
Tabel 6. Kisi-kisi Instrumen Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahap invitasi sebelum memulai pembelajaran guru melakukan appersepsi, yaitu dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan “Anak -anak, apakah mendengar bunyi

Bentuk penelitian pada penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, karena peneliti ingin mengidentifikasi kelemahan yang terjadi pada siswa kemudian peneliti

Fermentasi merupakan salah satu metode untuk meningkatkan nilai nutrisi yang sesuai dengan karakteristik jerami padi karena prosesnya relatif mudah serta hasilnya

Dokumen ini juga berfungsi sebagai perintah pengeluaran kas untuk pembayaran utang kepada pemasok dan yang sekaligus berfungsi sebagai surat pemberitahuan kepada kreditur

$erdasarkan pengamatan, diperoleh hasil baha paku dikategorikan men&adi in group, sedangkan baud sebagai out grup- n!a. Paku dilihat hubungan kekerabatann!a

Pada selang waktu 5 menit pipa kapiler tersebut diambil dan konsentrasi asam oksalat yang tersisa dianalisa dengan cara titrasi menggunakan NaOH yang telah distandarisasi untuk

Setoran deviden yang diserahkan ke PEMDA sudah dipotong pajak dan besaran pembagiannya sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan dari laba rugi yang didapatkan oleh

Bapak menyahut: kulo nggeh wangsul kerjo jam setengah 8 mbak bade nyinauni ilham nggeh kesel mbak sing biasane nyinauni ilham niku mbake mbak niku kadang purun