• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peristiwa "15 Januari 1974" sebagai perilaku kolektif mahasiswa Indonesia 1973-1974.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peristiwa "15 Januari 1974" sebagai perilaku kolektif mahasiswa Indonesia 1973-1974."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesia 1973-1974. Skripsi. Yogyakarta : Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2016.

Skripsi ini mengambil tema seputar gerakan mahasiswa, yaitu Peristiwa 15 Januari 1974. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab tiga buah pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses terbentuknya jaringan mahasiswa 1973-1974? Kedua, Bagaimana jalannya aksi yang diinisiasi oleh gerakan mahasiswa 1973-1974? Dan ketiga, tindakan apa yang digunakan pemerintah untuk melemahkan pengaruh dari kekuatan politis dari jaringan dan aksi mahasiswa 1973-1974?.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah studi pustaka. Sumber yang diteliti berupa biografi dari para pelaku sejarah Peristiwa 15 Januari 1974. Sumber tersebut didapatkan dari perpustakaan dan juga koleksi pribadi.

Dalam menganalisa Peristiwa 15 Januari 1974, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang mahasiswa. Selain itu teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori Perilaku Kolektif dari Neil J. Smelser.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terbentuknya jaringan mahasiswa 1973-1974 dilatar belakangi oleh kondisi sosial perekonomian di Indonesia pada periode tersebut. Merajalelanya investasi modal asing mendorong para mahasiswa untuk berkonsolidasi, membentuk sebuah jaringan yang bertujuan untuk membahas permasalahan tersebut secara serius. Jaringan mahasiswa 1973-1974 dibentuk melalui beragam aktifitas diskusi, aksi dan safari ke berbagai kampus.

Selain itu, sebagai sebuah bentuk tindakan konkret para mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang mendera rakyat di Indonesia, dirumusukanlah sebuah aksi terencana yang melibatkan massa. Aksi tersebut berupa long march dan apel akbar. Bentuk aksi tersebut dipilih agar pengaruh dan dampak gerakan mahasiswa semakin dirasakan oleh pemerintah sehingga tuntutan mereka lebih besar kemungkinannya untuk terealisasikan. Namun hasil akhir dari aksi mahasiswa Indonesia 1973-1974 ternyata tidak sesuai harapan. Pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu, dengan menggunakan kekuasaannya berusaha untuk menggembosi jaringan dan aksi mahasiswa tersebut melalui berbagai macam cara.

(2)

Yohanes de Britto Wirajati, The “15 Januari 1974” Affair as Collective Behaviour of Indonesian Student 1973-1974. Thesis. Yogyakarta : Departemnet of History, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, 2016.

This thesis discussed a theme about students movement, which was The 15 January 1974Affair. The aim of this thesis is to answer three questions. First question is how the student affiliation in 1973-1974 take a form? Second,How the action initiated by the students movement in 1973-1974 was done? And the third,What is the government's action to weaken the influence of the political power from the students affiliation and movement in 1973-1974?.

The method used in this thesis was literature study. The sources observed were the biographies of the historic participants of The 15 January 1974 Affair. Those sources were taken from the library and private collections.

In analyzing The 15 January 1974 Affair, the point of view used was the students' point of view. Besides, the theory used to write the thesis was Collective Behaviour theory by Neil J. Smelser.

The result of this research pointed out that the formation of students affiliation in 1973-1974 was caused by the social economic condition in Indonesia at that period. The spread of the foreign capital investment triggered the students to consolidate, form an affiliation which goal is to discuss about that issue seriously. The students affiliation in 1973-1974 was formed through varies discussion activity, action, and campuses visit.

(3)

i

PERISTIWA “15 JANUARI 1974” SEBAGAI PERILAKU KOLEKTIF MAHASISWA INDONESIA 1973-1974

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada

Program Studi Sejarah

Oleh:

Yohanes de Britto Wirajati NIM: 114314002

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

(7)

v

MOTTO

“Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang”

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta, Maret 2016

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Yohanes de Britto Wirajati Nomor mahasiswa : 114314002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERISTIWA “15 JANUARI 1974” SEBAGAI PERILAKU KOLEKTIF

MAHASISWA INDONESIA 1973-1974

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan ke dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 1 Juni 2016 Yang menyatakan

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Menulis sebuah skripsi ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Semula saya merencanakan skripsi ini dapat selesai dalam waktu singkat. Namun kenyataan berkata lain. Saya ternyata membutuhkan waktu selama tiga semester untuk menyelesaikannya. Butuh komitmen dan kedisiplinan yang kuat agar skripsi yang sedang dikerjakan dapat selesai tepat waktu dengan hasil yang maksimal.

Hal lain yang mempengaruhi proses penulisan skripsi ini adalah pengendalian diri. Kerap kali saya merasakan kepala saya diisi oleh banyak sekali ide dan ingin rasanya seluruh ide itu saya tuliskan agar skripsi saya menjadi sempurna. Namun pengendalian diri membuat saya menjadi sadar, bahwa pengejaran kesempurnaan yang saya lakukan justru akan membuat skripsi saya menjadi semakin jauh dari kata sempurna.

Selama menulis skripsi, semangat saya tak selalu berkobar. Ada kalanya semangat itu surut, bahkan menghilang. Namun lingkungan di sekeliling saya selalu memberikan motivasi dan inspirasi sehingga saya dapat kembali bersemangat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu perkenankanlah saya untuk mengucapkan terima kasih kepada :

(11)

ix

- Allah Bapa di Surga dan Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus atas seluruh anugerah yang telah diberikan.

- Kakak saya, Agathonica Deriana Kamabana Putri dan kedua Adik saya, Elizabeth Kamaratri dan Gemma Bunga Kamarasti atas doa dan dukungannya sehingga skripsi ini bisa selesai.

- Segenap Dosen Jurusan Sejarah Sanata Dharma ; Dr. H.Purwanta,M.A., Drs Sandiwan Suharso, Drs Hb. Hery Santosa, M.Hum., Dr. Lucia Juningsih, M.Hum., Drs. Silverio Raden Lilik Aji Sampurno,M.Hum., Dr. Yerry Wirawan atas segala bimbingan dan pelajaran yang diberikan.

- Palupi Sulistyomurni atas kesabaran dan dukungannya.

- Teman-teman alumni SMP Tarakanita IV Jakarta ; Ndoy, Amang, Todo, Agay, Jarwo, Gaban, Buntu, Ocep yang selalu memberikan dukungan jarak jauh.

- Teman-teman alumni SMAN 77 Jakarta ; Momon, Ungay, Dion, Rijat, Rezzy, Aji, Bayu, Jon, Kibul, Pade, Uba, Catur yang selalu bersedia menjadi teman bertukar pengalaman.

- Teman-teman Orkes Keroncong Dangdut Tombo Gelo ; Pita, Saka, Adul, Destyan, Boncel, Fauzan, Penyik, Samsul atas kesempatannya untuk menghibur diri ditengah tekanan tuntutan perkuliahan.

(12)

x

- Keluarga Kontrakan ; Papam, Rendy, Remon WO, Ega, Fariz, Iyos atas pengertian dan kebersamaannya dalam memberikan ruang dan bantuan. - Duet Maut ; Hernowo Adi Saputro dan Yogi Hanindito yang selalu

memancing diskusi sehingga membuat saya memeras otak dan keringat.

Yogyakarta, Maret 2016

Penulis,

(13)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Landasan Teori ... 9

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Penulisan ... 16

(14)

xii

A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Indonesia Tahun 1970an ... 17

1. Kontroversi Strategi Pembangunan di Indonesia Awal Orde Baru 18 B. Munculnya Gerakan Mahasiswa di Indonesia 1973-1974 ... 24

1. Golongan Mahasiswa di Tengah Konflik Jenderal ORBA ... 25

2. Forum Diskusi dan Safari Kampus ... 29

3. Organisasi Mahasiswa Intra dan Ekstra Kampus... 31

4. Pembangunan Jaringan Mahasiswa ... 34

BAB III PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA DI INDONESIA 1973-1974 ... 35

A. Faktor Pendukung Terjadinya Peristiwa “15 Januari 1974” ... 35

1. Aksi Protes 15 Januari 1974 Sebagai Akumulasi Aksi-Aksi Sebelumnya ... 35

2. Perkembangan Gerakan Mahasiswa Menuju Aksi ... 42

BAB IV PERISTIWA “15 JANUARI 1974” : AKSI PROTES BERUJUNG MALAPETAKA ... 46

A. Konsolidasi, Eksekusi dan Konsekuensi Aksi 15 Januari 1974 ... 46

1. Dialog Mahasiswa – Presiden di Bina Graha ... 47

2. Demo di Halim Perdanakusuma dan Pertemuan Student Center.... 49

3. Hari Eksekusi Telah Tiba... 52

B. Pelemahan Pengaruh Politik Mahasiswa ... 64

BAB V PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Pemaknaan Ulang Peristiwa “15 Januari 1974” ... 68

(15)

xiii

DAFTAR TABEL

(16)

xiv ABSTRAK

Yohanes de Britto Wirajati, Peristiwa “15 Januari 1974” sebagai Perilaku

Kolektif Mahasiswa Indonesia 1973-1974. Skripsi. Yogyakarta : Program Studi

Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2016.

Skripsi ini mengambil tema seputar gerakan mahasiswa, yaitu Peristiwa 15 Januari 1974. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab tiga buah pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses terbentuknya jaringan mahasiswa 1973-1974? Kedua, Bagaimana jalannya aksi yang diinisiasi oleh gerakan mahasiswa 1973-1974? Dan ketiga, tindakan apa yang digunakan pemerintah untuk melemahkan pengaruh dari kekuatan politis dari jaringan dan aksi mahasiswa 1973-1974?.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah studi pustaka. Sumber yang diteliti berupa biografi dari para pelaku sejarah Peristiwa 15 Januari 1974. Sumber tersebut didapatkan dari perpustakaan dan juga koleksi pribadi.

Dalam menganalisa Peristiwa 15 Januari 1974, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang mahasiswa. Selain itu teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori Perilaku Kolektif dari Neil J. Smelser.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terbentuknya jaringan mahasiswa 1973-1974 dilatar belakangi oleh kondisi sosial perekonomian di Indonesia pada periode tersebut. Merajalelanya investasi modal asing mendorong para mahasiswa untuk berkonsolidasi, membentuk sebuah jaringan yang bertujuan untuk membahas permasalahan tersebut secara serius. Jaringan mahasiswa 1973-1974 dibentuk melalui beragam aktifitas diskusi, aksi dan safari ke berbagai kampus.

Selain itu, sebagai sebuah bentuk tindakan konkret para mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang mendera rakyat di Indonesia, dirumusukanlah sebuah aksi terencana yang melibatkan massa. Aksi tersebut berupa long march dan apel akbar. Bentuk aksi tersebut dipilih agar pengaruh dan dampak gerakan mahasiswa semakin dirasakan oleh pemerintah sehingga tuntutan mereka lebih besar kemungkinannya untuk terealisasikan. Namun hasil akhir dari aksi mahasiswa Indonesia 1973-1974 ternyata tidak sesuai harapan. Pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu, dengan menggunakan kekuasaannya berusaha untuk menggembosi jaringan dan aksi mahasiswa tersebut melalui berbagai macam cara.

(17)

xv ABSTRACT

Yohanes de Britto Wirajati, The “15 Januari 1974” Affair as Collective

Behaviour of Indonesian Student 1973-1974. Thesis. Yogyakarta : Departemnet of

History, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, 2016.

This thesis discussed a theme about students movement, which was The 15 January 1974 Affair. The aim of this thesis is to answer three questions. First question is how the student affiliation in 1973-1974 take a form? Second, How the action initiated by the students movement in 1973-1974 was done? And the third, What is the government's action to weaken the influence of the political power from the students affiliation and movement in 1973-1974?.

The method used in this thesis was literature study. The sources observed were the biographies of the historic participants of The 15 January 1974 Affair. Those sources were taken from the library and private collections.

In analyzing The 15 January 1974 Affair, the point of view used was the students' point of view. Besides, the theory used to write the thesis was Collective Behaviour theory by Neil J. Smelser.

The result of this research pointed out that the formation of students affiliation in 1973-1974 was caused by the social economic condition in Indonesia at that period. The spread of the foreign capital investment triggered the students to consolidate, form an affiliation which goal is to discuss about that issue seriously. The students affiliation in 1973-1974 was formed through varies discussion activity, action, and campuses visit.

Beside that, as a form of concrete action from the students in solving the problem which makes the Indonesians suffer, the planned action which included people was formulated. That action was a long march and jamboree. These kinds of action were chosen so that the influence and effect of the students movement could be delivered to the government therefore the possibility that their demand will be realized was bigger. But the final result of their movement in 1973-1974 was not as they had expected. The New Order government which throned at that period using his authority tried to weaken the students affiliation and action through many ways.

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah Indonesia, terdapat satu golongan yang memegang peranan

penting dalam menggagas perubahan di banyak aspek kehidupan bernegara, yaitu golongan mahasiswa. Kaum intelektual muda tersebut terlibat dalam berbagai peristiwa sejarah, yang membentuk alur perjalanan sejarah Indonesia, khususnya bidang sosial dan politik.

Mahasiswa, yang kerap disebut sebagai agen perubahan pada umumnya bergerak dan bereaksi setelah melakukan refleksi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Segala macam ketidakadilan, keprihatinan dan kekurangan yang melingkupi masyarakat sekitar menjadi isu penting bagi mahasiswa, untuk kemudian diperjuangkan dan dicari bersama solusi terbaiknya.

Secara garis besar, terdapat beberapa gerakan mahasiswa di Indonesia yang memiliki gaung dan pengaruh yang cukup luas terhadap masyarakat ataupun pemerintahan yang sedang berkuasa. Gerakan mahasiswa yang pertama kali muncul di Indonesia pasca kemerdekaan adalah gerakan mahasiswa Angakatan

’66. Gerakan protes yang dilancarkan mahasiswa Indonesia Angkatan ’66 terjadi

pada saat akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Selain itu, aksi turun ke jalan

yang dilakukan oleh Angkatan ’66 tersebut terjadi saat kondisi politik dalam negeri sedang kacau pasca Peristiwa G30S. Tuntutan yang disuarakan oleh para

(19)

2

reshuffle kabinet.1 Dalam kesatuan aksi protes yang digagas Angkatan ’66, secara terang-terangan golongan Militer memberikan dukungan kepada aksi protes mahasiswa ini.2

Setelah kemunculan gerakan mahasiswa Angkatan ’66, muncul gerakan mahasiswa Angkatan ’74. Isu yang menjadi fokus dari gerakan mahasiswa Angkatan ’74 tersebut adalah anti modal asing dan praktek korupsi, kolusi serta nepotisme dikalangan pejabat yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto. Tokoh-tokoh mahasiswa yang muncul antara lain adalah Hariman Siregar, Judilherry Justam, Gumilar Kartasasmita dan Theo L. Sambuaga.

Gerakan mahasiswa Angkatan ’74 ditutup dengan kerusuhan yang terjadi di

kawasan Proyek Senen dan penangkapan para tokoh mahasiswa.

Gerakan mahasiswa yang memiliki dampak cukup luas selain Angkatan ’66 dan Angkatan ’74 adalah gerakan mahasiswa Reformasi ’98. Gerakan mahasiswa

yang muncul di masa krisis moneter tersebut bertujuan untuk menggulingkan rezim Orde Baru yang sudah terlalu lama berkuasa. Mahasiswa berhasil meraih

kesuksesan dalam gerakan mahasiswa Reformasi ’98, ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Namun perubahan nyata atas penyelenggaraan negara ke arah yang lebih baik belum terlalu signifikan. Tokoh-tokoh yang

muncul di era Reformasi ’98 antara lain adalah Budiman Sudjatmiko dan Ardian

Napitupulu.

Berdasarkan penjelasan tentang gerakan mahasiswa tersebut maka dapat dilihat bahwa tiap periode memiliki keunikannya tersendiri. Pemilihan gerakan

1 Tuntutan ini dikenal dengan nama TRITURA.

2 Sundhaussen, Ulf. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwi Fungsi ABRI

(20)

3

mahasiswa 1974 sebagai topik dari skripsi ini didasarkan pada dua hal. Pertama, gerakan mahasiswa 1974 adalah gerakan protes mahasiswa pertama kali di era kepemimpinan rezim Orde Baru. Kondisi tersebut membuat gerakan mahasiswa di era Orde Baru yang muncul setelah periode 1974, orientasi gerakan dan bentuknya tidak jauh berbeda dengan gerakan mahasiswa 1974.

Kedua, berbeda dengan gerakan mahasiswa 1966 atau 1998 yang muncul diakhir kepemimpinan sebuah rezim (akhir Orde Lama dan akhir Orde Baru), gerakan mahasiswa 1974 justru sebaliknya. Gerakan mahasiswa 1974 muncul di awal kepemimpinan Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa 1974 mampu secara cepat membaca situasi penyelenggaraan negara yang dianggap tidak memihak kepada usaha penyejahteraan rakyat.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Melalui latar belakang tersebut, penelitian ini kemudian membatasi analisa pada proses terbentuknya aksi protes mahasiswa Indonesia, khususnya pada

Peristiwa 15 Januari 1974, mulai dari terbentuknya jaringan sampai dengan usaha

pemerintah melakukan stabilisasi keamanan dan ketertiban pasca Peristiwa 15

Januari 1974. Pemahaman tersebut berpengaruh terhadap sudut pandang

sekaligus judul dari karya tulis ini, yaitu “Peristiwa “15 Januari 1974” sebagai

Perilaku Kolektif Mahasiswa Indonesia 1973-1974”.

(21)

4

kesejahteraan rakyat. Namun lebih kepada kepentingan golongan tertentu, termasuk investor asing.

Pernyataan bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak rakyat dapat dibuktikan dengan merajalelanya penanaman modal asing di Indonesia pada awal tahun 1970-an. Pertama-tama adalah merebaknya produk-produk merek dagang Jepang di Indonesia. Tidak hanya di bidang otomotif, restoran-restoran yang menyajikan masakan Jepang pun menyebar di pusat-pusat perbelanjaan3.

Melihat hal ini, golongan mahasiswa yang pada masa itu posisinya cukup kuat dalam peta politik Indonesia4, merasa perlu melakukan sebuah gerakan protes atas kondisi yang ada. Berbagai perundingan dan pertemuan, baik oleh sesama Mahasiswa dalam sebuah Universitas, ataupun antar Dewan Mahasiswa dari beberapa Universitas yang mayoritas berada di pulau Jawa, dilakukan secara bergelombang. Tujuannya adalah menghimpun ide-ide yang akan menjadi konsep pergerakan nantinya. Demonstrasi dengan skala kecil pun dilancarkan berkala, memanfaatkan momentum yang ada seperti kedatangan Ketua dari IGGI

(Inter-governmental Group on Indonesia), J.P. Pronk pada tanggal 11 November 1973

dan Perdana Menteri Jepang Kakue Tanaka pada tanggal 14 januari 1974.

Semua aksi demonstrasi dan diskusi yang digelar kemudian bermuara pada aksi long march yang dilakukan oleh para mahasiswa, dari kampus UI Salemba menuju kampus Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama MALARI 1974. Nama MALARI tersebut

3 Jopie Lasut. Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. 2011. Yayasan

Penghayat Keadilan:Depok. Hlm. 87

4 Pasca gerakan mahasiswa tahun ’66 yang berujung pada duduknya beberapa aktivis

(22)

5

merupakan singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari. Penamaan MALARI diberikan oleh rezim Orde Baru. Hal ini dilakukan unutk memberikan kesan bahwa aksi protes mahasiswa, yang tujuannya adalah membela hak rakyat, justru menjadi sebuah malapetaka (karena terjadinya kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa) bagi rakyat itu sendiri.

Para mahasiswa yang terlibat pada gerakan protes tersebut antara lain Hariman Siregar, Theo L. Sambuaga, Gurmilang Kartasasmita, Judil Hery Justam keempatnya dari Universitas Indonesia, dan juga Jesse A. Monintja (dari Universitas Trisakti ), Hatta Albani (dari Universitas Padjadjaran), Komarudin (dari ITB), John Pangemanan (dari Sekolah Tinggi Olahraga ) dan Policarpus Lopez ( dari Atmajaya Jakarta ). Sedangkan dari pihak aktivis non-mahasiswa terdapat nama-nama seperti Jusuf A.R. dan Jopie Lasut.

(23)

6

melengserkan Soeharto dan melancarkan jalan salah satu perwira tinggi TNI tersebut menuju kursi jabatan presiden.5

Dari penjabaran pada sub bab Latar Belakang, maka dapat dipahami bahwa

Peristiwa 15 Januari 1974 memiliki keunikan tersendiri dibanding

gerakan-gerakan mahasiswa sebelum atau sesudah peristiwa tersebut. Selain itu, Peristiwa

15 Januari 1974 juga menjadi penting untuk diteliti karena pengaruhnya terhadap

perubahan sikap dan perlakuan pemerintah terhadap gerakan-gerakan mahasiswa Indonesia yang hampir sama bentuknya.

Aksi protes dengan ruang lingkup dan jumlah partisipan sebesar Peristiwa 15

Januari 1974 sudah pasti membutuhkan jaringan pergerakan mahasiswa yang

solid dan luas. Jaringan mahasiswa yang di maksud di sini adalah sebuah pola komunikasi yang terbentuk antar mahasiswa (baik organisasi atau individu) dengan tujuan mewujudkan kepentingan bersama, sebagai reaksi atas kondisi sosial yang ada. Proses terbentuknya jaringan ini menarik untuk diteliti karena pada era 1970-an media komunikasi belum secanggih dan sepraktis sekarang ini, sehingga bukan hal yang mudah untuk membentuk sebuah jaringan antar mahasiswa di beberapa wilayah di pulau Jawa, atau bahkan di luar pulau Jawa.

Selain itu, terlibatnya banyak organisasi mahasiswa dengan orientasinya masing-masing dapat menimbulkan sebuah proses konsepsi gerakan yang cukup rumit dan kompleks. Silang pendapat dan perbedaan pola pikir tentu kerap kali mewarnai perencanaan gerakan yang akan dilakukan. Proses pendamaian tujuan bersama ini kemudian juga menjadi hal yang menarik untuk diteliti.

5 A. Yogaswara. Dalang Peristiwa 15 Januari1974 (Malari). 2009. Media Presindo :

(24)

7

Tidak kalah menariknya, reaksi dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Peristiwa 15 Januari 1974 juga menjadi tonggak penting bagi ruang gerak mahasiswa di masa mendatang. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk menstabilkan kondisi negara pasca peristiwa tersebut membatasi aktifitas politik mahasiswa pada era selanjutnya.

C

.

Rumusan Masalah

Dari data yang dikumpulkan, dan kemudian dilakukan pembacaan satu per satu, maka muncul beberapa rumusan masalah, yaitu;

1. Bagaimana proses terbentuknya sebuah jaringan mahasiswa pada “Peristiwa 15 Januari 1974”?

2. Bagaimana proses terjadinya aksi-aksi yang diinisiasi oleh jaringan-jaringan

mahasiswa pada “Peristiwa 15 Januari 1974”?

3. Langkah apa yang ditempuh pemerintahan di Indonesia untuk melemahkan

kekuatan politik mahasiswa pasca “Peristiwa 15 Januari 1974”?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, pada garis besarnya bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana Peristiwa 15 Januari 1974 terbentuk sebagai perilaku kolektif mahasiswa di Indonesia pada awal kepemimpinan rezim Orde Baru. Jika diuraikan lebih detail, maka penelitian ini bertujuan untuk ;

(25)

8

b) Merekonstruksi proses terjadinya aksi-aksi yang diinisiasi oleh jaringan-jaringan mahasiswa di Indonesia.

c) Menganalisa langkah yang ditempuh pemerintahan di Indonesia untuk

melemahkan kekuatan politik pasca “Peristiwa 15 Januari 1974”.

E. Manfaat Penelitian

Melalui skripsi saya ini, saya berharap dapat memperkaya ataupun menambah referensi tentang Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia. Selain itu melalui skripsi ini juga, dapat menambah jumah dari karya tulis sejarah yang menerapkan pendekatan teori-teori ilmu sosial, khususnya teori-teori sosiologi.

F. Tinjauan Pustaka

Buku Massa Misterius Malari yang disusun oleh tim Tempo Publishing menyoroti tentang sabotase yang dilakukan oleh sekumpulan massa di daerah Proyek Senen, Jakarta Pusat. Sabotase tersebut ditujukan untuk menimbulkan suasana yang kacau sehingga jalannya protes mahasiswa pada Peristiwa 15

Januari 1974 menjadi anarkis dan destruktif dengan cara melakukan pembakaran

di daerah Proyek Senen.

Hariman Siregar, salah satu tokoh mahasiswa dalam Peristiwa 15 Januari

1974 juga mencoba untuk merekonstruksi peristiwa tersebut, melalui buku

Hariman & MALARI yang disusun oleh Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan.

(26)

9

bersumber pada kesaksian Hariman Siregar sebagai pelaku sejarah dalam peristiwa tersebut.

Selain kedua buku tersebut, ada juga buku yang berjudul MALARI Melawan

Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA yang ditulis oleh Jopie Lasut. Dalam buku

ini, Jopie Lasut menaruh perhatian besarnya kepada peranan para aktifis non-mahasiswa (wartawan, pelajar, seniman, dan sebagainya) dalam Peristiwa 15

Januari 1974. Buku ini terkesan ingin menunjukan bahwa pelaku sejarah dari

Peristiwa 15 Januari 1974 bukan hanya berasal dari kalangan mahasiswa.

Dari pembacaan yang dilakukan terhadap sumber-sumber diatas, dapat dilihat bahwa banyak penulis dari buku-buku tentang Peristiwa 15 Januari 1974 berusaha untuk merekonstruksi peristiwa tersebut sesuai dengan pengalaman dan sumber-sumber mereka masing-masing. Tujuannya untuk menunjukkan peranan dari individu-individu ataupun kelompok-kelompok tersebut dalam Peristiwa 15

Januari 1974. Selain itu, juga dapat dipahami bahwa beberapa buku hanya

berkutat pada pencarian dalang kerusuhan yang muncul pada Peristiwa 15

Januari 1974 tersebut. Masih sedikit referensi mengenai Peristiwa 15 Januari

1974 yang membahas khusus tentang proses para mahasiswa membangun

sebuah jaringan untuk melakukan aksi protes serta pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah Indonesia.

G. Landasan Teori

(27)

10

memperluas gaung dari isu gerakan dan pergerakannya itu sendiri sehingga dampaknya akan semakin dirasakan bagi obyek protes mereka. Perjuangan semacam ini kemudian dipandang sebagai perilaku kolektif yang muncul karenan rangsangan tertentu dan tidak bersifat rutin.

Munculnya sebuah jaringan yang erat dan solid di antara para peserta gerakan, selain didukung oleh perasaan senasib dan sepenanggungan akibat tekanan dari rezim yang berkuasa, dipengaruhi juga oleh aspek lainnya. Salah satunya adalah adanya dukungan yang bersifat struktural, yang kadang muncul dari luar kehendak individual, misal dengan adanya pembiaran yang dilakukan instansi (golongan) sosial tertentu.

Sebuah pergerakan yang masif dan fundamental pasti melibatkan banyak kelompok dan juga ide atau gagasan. Kelompok-kelompok yang terlibat ini tidak selamanya memiliki ide atau gagasan yang sama, namun dialog dan pertukaran pikiran dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut.

Terlepas dari hal itu, kontrol atau pengawasan terhadap sebuah gerakan yang melibatkan banyak pihak tentunya sangatlah sulit. Pelaksanaan sebuah aksi yang telah lemah fungsi kontrolnya terkadang menjadi sangat mudah sekali disusupi oleh agenda terselubung dari pihak-pihak yang hanya mau mengambil keuntungan bagi dirinya atau kelompoknya semata. Hal ini dapat menciderai cita-cita pergerakan yang telah terkonsepsikan secara matang.

(28)

11

pemahaman atas proses penyatuan ide dan gagasan antar kelompok didalam sebuah pergerakan yang sama. Selain itu melalui analisa terhadap terbentuknya jaringan dan aksi, juga dapat memberikan kemampuan untuk mengidentifikasi agenda-agenda “terselubung” yang sesungguhnya kontradiktif dengan cita-cita pergerakan.

Mengutip dari Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (1992), dalam bukunya

Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, muncul kecenderungan

bahwa ilmu sejarah dan ilmu sosial mengarah kepada gerakan saling mendekati.6 Masih dalam buku yang sama, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis sebagai sudut pandang sebuah penelitian sudah pasti menyoroti aspek-aspek sosial, seperti golongan sosial mana yang berperan dalam sebuah peristiwa sejarah, hubungan golongan tersebut dengan golongan masyarakat lain, konflik kepentingan, ideologi dan aspek-aspek sosial lainnya.7

Berdasarkan kutipan-kutipan dalam paragraf sebelumnya, maka dapat dipahami untuk melakukan analisa terhadap sebuah peristiwa sejarah, dari sudut pandang sosiologis diperlukan alat analisa yang berupa teori-teori sosiologi. Hal tersebut dilakukan agar aspek-aspek sosiologis dalam sebuah peristiwa sejarah dapat diidentifikasi satu per satu sehingga dapat dihasilkan sebuah penulisan sejarah sosial yang komprehensif.

Oleh sebab itu, dalam penelitian skripsi ini, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan, dipakai salah satu teori dari cabang ilmu sosiologi yaitu perilaku kolektif (collective behaviour) yang dikembangkan oleh

6 Sartono Kartodirdjo (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta :

Gramedia. Hlm. x

(29)

12

Neil J. Smelser. Dalam teorinya tersebut, Smelser merumuskan 6 indikator untuk menganalisa sebuah perilaku kolektif. Keenam indikator tersebut adalah

structural conduciveness, structural strain, growth and spread of a generalized

belief, precipitating factors, mobilization of participants for action dan the

operation of social control.

Structural conduciveness, seperti yang sempat disebutkan pada bagian

sebelumnya, adalah sebuah situasi struktural yang muncul karena dorongan kondisi sosial pada tempo tertentu dan terbentuk dengan cara tidak disengaja sebagai akibat dari kebijakan pemerintah atau pihak-pihak pemegang otoritas lainnya. Contoh dari tahapan tersebut dalam konteks gerakan protes mahasiswa adalah kurangnya kesejahteraan sosial bagi masyarakat akibat kebijakan pemerintah, pengaruh politik yang kuat dari golongan mahasiswa terhadap pemerintahan, dan lain sebagainya.

Structural strain adalah sebuah ketegangan struktural yang merupakan

tahapan lebih lanjut dari munculnya kondusifitas struktural. Contoh dari ketegangan struktural dalam konteks gerakan mahasiswa antara lain adalah kesenjangan ekonomi antara rakyat kecil dan pejabat wakil rakyat yang mencolok, gulung tikarnya sejumlah besar industri lokal karena merajalelanya modal asing dan lain sebagainya.

Growth and spread of generalized belief atau berkembang dan menyebarnya

kepercayaan umum adalah fase selanjutnya dalam sebuah proses terbentuknya perilaku kolektif menurut Smelser. Dalam bukunya, Smelser menuliskan :

(30)

13

source of strain, attributes certain characteristics to this source, and specifies certain responses to the strain as possible of appropriate.8

Melalui kutipan di atas maka dapat dipahami bahwa faktor pendukung perilaku kolektif yang muncul dari kondusifitas dan ketegangan struktural kemudian perlu disebarkan dan diolah seluas mungkin guna membentuk sebuah kesepakatan bersama bahwa perlu dilakukan sebuah gerakan untuk mengatasi itu semua, yang dipercayai betul oleh pihak-pihak yang terkait gerakan tersebut.

Dalam konteks “Peristiwa 15 Januari 1974”, maka tahapan ini merujuk pada

munculnya forum-forum diskusi dan seminar yang digagas oleh organisasi mahasiswa.

Precipitating factors adalah faktor-faktor pendukung yang telah mendahului

terjadinya gerakan yang akan digagas. Pada tahapan ini isu-isu ketegangan yang telah tersebar luas perlu dipertegas dengan menimbang relevansi peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dalam konteks ini setidaknya ada aksi mahasiswa angkatan

’66, forum-forum diskusi mahasiswa tahun 1973 dan kunjunga PM Jepang yang

mendahului dan berpengaruh terhadap “Peristiwa 15 Januari 1974”.

Mobilization of participants for actions adalah proses menggerakkan peserta

ataupun massa dari sebuah gerekan yang baru dikonsepsikan ke dalam sebuah aksi nyata. Mahasiswa Indonesia pada awal tahun ’70-an menjadi peserta inti dari

Peristiwa 15 Januari 1974” yang akan dibahas pada fase ini.

The operation of social control adalah tahapan berlangsungnya kontrol sosial

terhadap gerakan yang telah berubah bentuk dari konsep menjadi aksi nyata. Tahapan ini dapat menjadi pencegah, penghambat dan penggangu dari akumulasi

8 Smelser, Neil J. (1971). Theory of Collective Behaviour. New York : The Free Press. Hlm.

(31)

14

kelima tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini muncul pihak yang kemudian berwenang untuk melakukan kontrol sosial atas perilaku kolektif yang terjadi. Sesuai dengan pernyataan Smelser, “the study of social control is the study of

those counter-determinants which prevent, interrupt, deflect, or inhibit the

accumulation of the determinants just reviewed.”9

Dengan meminjam indikator-indikator perilaku kolektif tersebut, penelitian

ini berusaha untuk menganalisa “Peristiwa 15 Januari 1974” sebagai sebuah

gerakan sosial yang didasari oleh perilaku kolektif dan sekaligus menjawab pertanyaan mengenai proses terjadinya peristiwa tersebut.

H. Metode Penelitian

Terkait metode, Prof. Kuntowijoyo menjelaskan dalam bukunya Pengantar

Ilmu Sejarah bahwa terdapat lima tahapan dalam sebuah penelitian sejarah.

Tahapan tersebut berturut-turut adalah (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber), (4) interpretasi (analisis dan sintesis) dan (5) penulisan.10

Sesuai dengan rumusan Prof. Kuntowijoyo tersebut, maka setelah topik ditentukan ( topik adalah Peristiwa “15 Januari1974”), dilakukan pengumpulan sumber berupa karya biografi dari para pelaku sejarah Peristiwa “15 Januari 1974”. Pilihan sumber dijatuhkan kepada karya biografi dalam rangka

pengumpulan data yang bersifat primer. Karya-karya biografi yang terkumpul

9 Smelser, Neil J. (1971). Theory of Collective Behaviour. New York : The Free Press. Hlm.

17.

10 Kuntowijoyo (2013). Pengantar Ilmu Sejarah Edisi Baru Cetakan ke-I. Yogyakarta : PT.

(32)

15

didapatkan dari koleksi pribadi ataupun perpustakaan. Metode penelitian ini dikenal dengan metode penelitian studi pustaka.

Verifikasi data (kritik sumber) dilakukan dengan cara pembacaan menyeluruh terhadap sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan. Hasil dari pembacaan sumber akan diperbandingkan satu sama lain. Dari perbandingan tersebut akan didapatkan data yang valid dan saling mendukung.

Setelah verifikasi dilakukan maka tahapan selanjutnya adalah interpretasi. Tahapan interpretasi terbagi dua, yaitu analisis dan sintesis.11 Dalam fase analisis, data hasil verifikasi sumber diuraikan satu per satu. Dari uraian yang dilakukan akan didapatkan fakta. Data dan fakta yang terkumpul kemudian dipersatukan dalam fase sintesis. Rangkaian interpretasi (analisis dan sintesis) tersebut dilakukan untuk mendapatkan konsep umum dari data dan fakta yang terkumpul.

Tahapan penelitian sejarah kemudian akan ditutup dengan penulisan sejarah. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologis menjadi konten yang sangat penting. Hal ini guna memperlihatkan perbedaan dari penjelasan sejarah yang diakronis (menekankan proses) dengan penjelasan ilmu sosial yang sinkronis (menekankan struktur).12

I. Sistematika Penulisan

Penelitian mengenai Peristiwa MALARI 1974 ini akan disusun dalam empat bab, dengan urutan sebagai berikut :

11 Ibid.,Hlm. 78-80.

12 Prof. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah edisi ke-2. 2003. Tiara Wacana : Yogyakarta.

(33)

16

Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari; Latar Belakang, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II Modal Asing di Tanah Ibu Pertiwi Tahun 1973-1974. Dalam bab kedua ini akan dibahas kondisi sosial yang mendesak terbentuknya sebuah jaringan aktif diantara para mahasiswa Indonesia pada periode 1970-an.

Bab III Perkembangan Gerakan Mahasiswa di Indonesia 1973-1974. Bab ini menyoroti tentang realisasi dari konsep-konsep aksi dan pergerakan yang telah dirumuskan oleh jaringan mahasiswa Indonesia.

Bab IV Peristiwa “15 Januari 1974” Aksi Protes Berujung Malapetaka. Dalam bab ini akan dipapar mengenai langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk melemahkan pengaruh dan posisi dari gerakan mahasiswa di Indonesia, agar tidak terulang peristiwa yang serupa dengan Peristiwa 15 Januari

1974.

(34)

17

BAB II

MODAL ASING DI TANAH IBU PERTIWI

TAHUN 1973-1974

A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Indonesia Tahun 1970an

Dalam teori collective behaviour yang dikemukakan oleh Neil J. Smelser, tahapan pertama yang menjadi syarat bagi kemunculan sebuah perilaku kolektif adalah adanya dukungan berupa stuctural conducieveness. Pada Peristiwa 15

Januari 1974, adanya structural conducieveness dibuktikan melalui munculnya

keprihatinan atas merajalelanya modal asing dan juga konflik internal di kalangan Militer.

Modal asing yang mendominasi sektor ekonomi Indonesia pada tahun 1973 menyebabkan industri lokal terhimpit. Keterbatasan teknologi yang dimiliki industri lokal mengakibatkan produk mereka kehilangan daya saing terhadap produk asing di pasar dalam negeri.13 Kondisi yang sedemikian rupa kemudian memicu terjadinya kelesuan dalam industri lokal. Produk merek dagang yang dihasilkan oleh para investor asing, mulai dari kendaraan bermotor sampai dengan makanan menguasai pasar barang dagangan dalam negeri.

Pada lain pihak, usaha dari para petinggi Militer yang saling bersinggungan justru memberikan angin segar kepada pergerakan mahasiswa. Fasilitas-fasilitas pelatihan dan juga janji-janji yang diberikan para tokoh Militer, membuat para

13 A. Yoghaswara (2009). Dalang Malapetaka 15 Januari ( MALARI). Yogyakarta : Penerbit

(35)

18

mahasiswa menjadi semakin percaya diri dan terhadap pengaruh yang mereka miliki dalam mengkritisi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Salah satu contoh dari usaha para tokoh militer memfasilitasi para aktifis mahasiswa adalah berbagai program yang diselenggarakan oleh CSIS (Center for Strategic and International Studies). Salah satu tokoh CSIS, yaitu Sofjan Wanandi dikenal memiliki hubungan dekat dengan para aktifis mahasiswa seperti Hariman Siregar.14

Dalam sub bab ini akan dijelaskan mengenai hubungan antara kondisi penyelenggaraan negara, beserta seluruh elemennya dengan gerakan mahasiswa yang juga berkembang di Indonesia pada tahun 1973.

1. Kontroversi Strategi Pembangunan di Indonesia di Awal Orde Baru

Memasuki tahun 1973, Orde Baru (rezim yang sedang berkuasa di Indonesia) sedang sibuk dengan berbagai macam rencana pembangunan. Pembangunan menggambarkan orientasi dari penyelenggaraan negara pada era Orde Baru.

Pembangunan yang digalakkan pada saat rezim Orde Baru berkuasa merambah berbagai sektor, mulai dari sektor sosial sampai dengan sektor ekonomi. Seluruh program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah dinamakan Rencana Pembangunan Lima Tahun, atau disingkat REPELITA.15

14 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang

Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hlm.31.

Karena kedekatan Hariman dengan ali Moertopo, sosoknya dapat diteima dengan baik di CSIS.

15 REPELITA bertujuan untuk mewujudkan pembangunan bagi terciptanya masyarakat yang

(36)

19

Produk-produk dari REPELITA dan juga kebijakan lain yang dipraktekan oleh pemerintahan Orde Baru tidak selamanya mendapatkan respon positif dari kalangan masyarakat. Salah satu contoh program pembangunan yang berkembang menjadi sebuah polemik adalah program pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pembangunan kompleks taman replika kepualuan Indonesia yang digagas oleh Ibu Tien Soeharto ini menuai respon negatif dari masyarakat16. Hal ini dikarenakan pembangunan TMII dipandang sebagai sebuah proyek pembangunan yang menghambur-hamburkan uang, ditengah sedang diterapkannya program penghematan di berbagai departemen pemerintahan. Pembangunan TMII dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan pembangunan yang sangat pesat sudah pasti membutuhkan biaya yang besar pula. Dalam rangka menjamin ketersediaan biaya pembangunan, maka pemerintah Indonesia membuka peluang masuknya investasi modal asing selebar-lebarnya.

Masuknya gelombang investasi besar-besaran ke Indonesia memang menjamin pertumbuhan ekonomi negara, namun juga mengancam kesejahteraan rakyat Indonesia. Dominasi dari produk industri modal asing menggilas eksistensi

dari industri lokal, yang modalnya “cekak” dan skalanya pun kecil.

Berkembangnya pembangunan Indonesia justru memakan korban anak bangsanya sendiri.

Kondisi seperti ini kemudian memunculkan keprihatinan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan mahasiswa Indonesia. Keprihatinan para mahasiswa

16 A.Yoghaswara. Dalang Malapetaka 15 Januari ( MALARI). 2009. Penerbit Media

(37)

20

ini berimbas pada orientasi pergerakan mereka yang berubah konsentrasinya pada wacana-wacana kesejahteraan dan ketimpangan pendapatan.

Fenomena ini ditangkap dan dituliskan dengan jelas oleh Fachry Ali, dalam bukunya Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara terbitan tahun 1985, sebagai berikut ;

“Pada awal dekade ’70-an tema-tema gerakan mahasiswa dipengaruhi betul oleh ide-ide tentang pembangunan alternatif dan ketimpangan pendapatan, seperti hal yang kerap muncul didalam tulisan-tulisan Mahbub Ul-Haq, Ander Gunter Frank, dan beberapa penulis dari Amerika Latin. Mahasiswa berpandangan bahwa strategi pembangunan Indonesia dengan melakukan industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan jurang pemisah yang makin dalam antara kaya dan miskin, kota dan desa serta sektor modern dan tradisional.”17

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa, mahasiswa Indonesia pada awal

dekade ’70-an telah menangkap betul adanya ketimpangan ekonomi yang melanda rakyat, diakibatkan oleh pembangunan yang tidak merata dan justru menambah masalah perekonomian dalam negeri. Permasalahan tersebut antara lain matinya industri lokal dan meningkatnya pengangguran.

Memang fenomena merajalelanya modal asing, khususnya dari negara Jepang sangat terlihat bahkan dalam kondisi kasat mata. Lambang Toyota, yang merupakan salah satu pabrikan otomotif dari Jepang terpampang di puncak gedung Wisma Nusantara, gedung tertinggi di Indonesia pada masa itu. Tidak hanya di bidang otomotif, restoran-restoran yang menyajikan masakan Jepang pun menyebar di pusat-pusat pertokoan18.

17 Fachry Ali. (1985). Sistem Politik di Indonesia dan Negara. Jakarta : Inti Sarana Aksara.

Hlm. 23-24.

18 Jopie Lasut (2011). Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. Depok : Yayasan

(38)

21

Secara kronologis, masuknya modal asing di Indonesia berawal dari usaha pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri yang mengalami kemerosotan pasca berakhirnya Orde Lama (masa pemerintahan Soekarno). Dalam rangka meningkatkan pendapatkan negara dan melancarkan sektor-sektor pendapatan yang macet, Kabinet pada masa itu, Kabinet Ampera ditugaskan Presiden Soeharto untuk mencari solusi atas kondisi permasalahan ekonomi tersebut.

Salah satu solusi yang ditempuh adalah dibukanya kesempatan bagi modal asing untuk ditanamkan di Indonesia. Kebijakan ini diambil dalam rangka untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari bahaya kehancuran yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, pimpinan Presiden Soekarno. Undang-undang yang menjadi landasan dari aktifitas penanaman modal asing ini adalah UU No.1 tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing.

Bicara tentang kebijakan ekonomi negara pada awal ’70-an, maka nama Widjojo Nitisastro tak mungkin dapat dilepaskan. Widjojo Nitisastro adalah ahli ekonomi lulusan Universitas Berkeley di Amerika Serikat. Karena kompetensinya sebagai seorang ahli ekonomi, Widjojo Nitisastro kemudian banyak dimintai pendapatnya mengenai pembangunan sektor perekonomian negara oleh Presiden Soeharto.19

Namun pemaparan fakta mengenai merajalelanya modal asing tersebut belum cukup untuk menjawab mengenai tendensi yang menyebabkan para mahasiswa mengangkat isu perekonomian, khususnya anti modal asing sebagai isu utama

19 A. Yoghaswara (2009). Dalang Malapetaka 15 Januari ( MALARI). Yogyakarta : Penerbit

(39)

22

gerakan mereka. Wacana anti modal asing menjadi rutin didiskusikan oleh para aktifis mahasiswa tak lepas dari pengaruh para mantan aktifis pada periode sebelumnya dan juga para aktifis non-kampus. Argumen tersebut dibuktikan oleh beberapa hal.

Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) yang bergerak menginisiasi ruang-ruang-diskusi di kalangan para akademisi pernah menyelenggarakan sebuah

diskusi bertajuk “28 Tahun Kemerdekaan Indonesia” pada tanggal 13-16 Agustus 1973. Dalam diskusi tersebut hadir pembicara dari kalangan negarawan dan politis, antara lain Soebadio Sastrosatomo, Sjafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B. Simatupang.20

Salah satu kesimpulan dari diskusi tersebut adalah “perlunya serangkaian tindakan”, tentunya yang bersifat konkret untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan yang mendera Indonesia. Kesimpulan tersebut kemudian dipahami

oleh Hariman Siregar, sebagai representasi aktifis mahasiswa periode ‘70an sebagai “aksi terencana yang melibatkan massa”.21

Pemahaman tersebut kemudian menginspirasi Hariman untuk mendalami wacana-wacana tentang permasalahan yang mendera rakyat kecil dengan cara menjalin kontak dengan para aktifis non-kampus, terutama para aktifis buruh dan kaum marginal perkotaan.Situasi ini kemudian mendukung terjadinya transfer informasi berupa keluhan dari masyarakat ekonomi bawah akan nasib mereka, khusunya dari sudut pandang ekonomi kepada Hariman Siregar, baik secara personal ataupun kelembagaan (DMUI). Aktifitas sosial ini kemudian mendapat

20 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang

Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hal.40.

(40)

23

dukungan dan apresiasi dari para mantan aktifis angkatan ’66, salah satunya

kelompok Barisan Golongan Putih (Golput).22

Dalam bidang kerja sama internasional, kedatangan Ketua dari IGGI, J.P. Pronk ke Indonesia memicu reaksi negatif dari masyarakat, khususnya golongan mahasiswa. Kedatangan dari ketua lembaga yang mengatur bantuan internasional bagi Indonesia pada tanggal 11 November 1973 tersebut, disambut dengan demonstrasi mahasiswa anti modal asing di bandara Halim Perdanakusuma23.

Faktor eksternal lain yang berpengaruh dengan kondisi sosial politik di dalam negeri Indonesia adalah aksi mahasiswa di Thailand yang mampu menggulingkan Marsekal Thanon Kittakachorn dari tampuk kekuasaan. Hal ini kemudian menambah kepercayaan diri dari golongan mahasiswa Indonesia untuk bergerak dan melancarkan sebuah aksi protes yang mampu berdampak positif bagi usaha stabilisasi kondisi sosial, politik dan ekonomi di dalam negeri.

Masih terkait dengan pengaruh luar negeri, Jopie Lasut dalam bukunya

MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA menuturkan bahwa

munculnya kebencian terhadap asing pada periode 1973 juga dipengaruhi oleh rasa sakit hati yang dialami oleh salah seorang wartawan Indonesia, yaitu Mochtar Lubis. Dalam bukunya tersebut, Jopie menceritakan tentang kunjungan seminar ke Jepang yang dihadiri oleh tokoh-tokoh muda dan budayawan dari beberapa daerah di Asia Tenggara. Mochtar Lubis turut menghadiri seminar tersebut. Singkat kata, Mochtar Lubis merasa tersinggung dengan pernyataan Presiden Komisaris Mitsui yang dianggapnya sombong. Presiden Komisaris Mitsui

22 Ibid., Hlm. 41.

23 Jopie Lasut (2011). Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. Depok : Yayasan

(41)

24

membandingkan persentasi eksport Jepang ke Asia Tenggara, yang kala itu berada pada angka 40% dengan eksport Asia Tenggara ke Jepang yang berada pada angka 5%.24

Perasaan tersinggung itu kemudian menumbuhkan rencana untuk memberi pelajaran kepada pihak Jepang. Moctar Lubis, yang pada periode tersebut juga memiliki kedekatan dengan para aktifis mahasiswa mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi para mahasiswa terkait isu anti Jepang.

B. Munculnya Gerakan Mahasiswa di Indonesia 1973-1974

Desakan untuk menyuarakan ketidakadilan yang muncul karena merajalelanya modal asing dan ketimpangan sosial terkait taraf hidup masyarakat membuat para mahasiswa menjadi semakin yakin dalam merancang aksi protes secara masif. Selain meningkatkan keyakinan mahasiswa dalam merancang sebuah aksi protes secara masif, mencoloknya ketimpangan sosial antara rakyat kecil dengan pejabat wakil rakyat serta para konglomerat dan banyaknya industri lokal yang mati karena dominasi modal asing telah membawa gerakan mahasiswa tahun 1973 pada tahap lebih lanjut bagi terwujudnya perilaku kolektif. Tahapan tersebut adalah structural strain atau ketegangan struktural.

Pada tahapan structural strain, kondisi sosial di Indonesia pada tahun 1973 telah menimbulkan sebuah ketegangan. Merosotnya kesejahteraan sosial dan matinya industri lokal akibat dominasi modal asing secara perlahan telah membakar semangat para mahasiswa di Indonesia umtuk melakukan sebuah aksi yang dapat menyalurkan aspirasi mereka.

(42)

25

Pada dasarnya, besarnya keinginan untuk melakukan aksi protes kepada pemerintah sebagai reaksi atas kondisi ketidakadilan tidak semata-mata muncul karena dorongan dari adanya ketegangan atau kepanikan di masyarakat, khususnya mahasiswa. Dorongan untuk melakukan aksi protes secara masif muncul karena adanya sifat saling mendukung antara kepanikan yang muncul karena permasalahan ekonomi (matinya industri lokal, kesenjangan taraf hidup masyarakat) dengan structural conducieveness (merajalelanya modal asing, konflik di kubu militer).

1. Golongan Mahasiswa di Tengah Konflik Jenderal ORBA

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Militer25 masih memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk kondisi kehidupan bernegara pada tahun 1973. Pengaruh tersebut dimiliki oleh kalangan Militer karena berlakunya UU No. 16/1969 yang isinya menjamin kalangan Militer (ABRI) mendapatkan jatah kursi di DPR/MPR untuk mengimbangi peran politisi sipil.26 Konsekuensi dari duduknya tokoh-tokoh Militer di kursi anggota legislatif adalah terbukanya akses bagi kalangan Militer untuk ikut menentukan produk undang-undang yang nantinya akan ditetapkan di masa mendatang.

Selain partisipasi politik pada ruang lingkup legislatif, kalangan Militer juga terlibat aktif dalam ruang lingkup penelitian-penelitian akademis pada tahun 1973. Hal ini dibuktikan oleh eksistensi Centre for Strategic and International Studies

25 Militer mampu membangun jaringan dengan mahasiswa pada era sebelumnya (era

Soekarno) sehingga dapat mengakhiri rezim Orde Lama yang dianggap korup dan terlalu dekat dengan komunis.

26 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang

(43)

26

(CSIS) yang didirikan pada tahun 1971 dan memiliki titik fokus pada aktifitas penelitian akademis terhadap kebijakan publik, baik dalam lingkup nasional ataupun internasional. Berdirinya CSIS adalah prakarsa dari Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani27 (keduanya memiliki latar belakang sebagai seorang perwira Militer).

Walaupun semakin terlihat nyata pengaruh kalangan Militer dalam penentuan kebijakan di Indonesia pada tahun 1973, konflik justru terjadi diantara mereka. Konflik yang terjadi di kalangan Militer ini melibatkan kubu Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden) dengan kubu Jenderal Soemitro (Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban). Pemicu dari konflik tersebut adalah adanya perasaan saling mencurigai di antara Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro. Kedua perwira militer ini saling menganggap satu sama lain berambisi untuk menggeser posisi Presiden Soeharto. Dalam konflik tersebut, Soedjono Humardani dan Jendral M. Panggabean (Menhankam sekaligus Panglima ABRI) merapat ke kubu Ali Moertopo, sedangkan Sutopo Juwono (Kepala Bakin) mendekat kepada Jendral Soemitro.28

Konflik di kalangan Militer ini kemudian berpengaruh kepada kondisi mahasiswa di Indonesia. Kedua kubu militer yang berkonflik seakan memperebutkan simpati dari golongan mahasiswa. Ali Moertopo dengan Opsus-nya membina kader-kader mahasiswa untuk kemudian disalurkan kepada organisasi-organisasi intra kampus. Pada lain pihak, Jendral Soemitro melakukan

27Background and Development. http : // www .csis.or.id / about /

background_and_development.html. Diunduh : 08/06/2015 pukul 14:29 WIB.

28

(44)

27

kunjungan ke berbagai perguruan tinggi. Dalam kunjungannya tersebut, Soemitro melakukan dialog dengan aktifis-aktifis mahasiswa pada masa itu.

Kedekatan kedua kubu militer yang berseteru dengan kelompok mahasiswa juga menimbulkan pandangan negatif terkait afiliasi gerakan mahasiswa. Muncul anggapan bahwa kemunculan pergerakan mahasiswa di Indonesia tergantung pada sejauh mana militer dapat mempertahankan stabilitasnya. Sehingga dengan kata lain, pergerakan mahasiswa baru terwujud jika terjadi perpecahan di dalam tubuh golongan militer.

Namun argumen tersebut rasanya tidak cocok jika diterapkan pada konteks

Peristiwa 15 Januari 1974. Memang, tersebar fakta bahwa Ketua Umum DMUI

periode 1973-1974, Hariman Siregar bisa menduduki jabatannya akibat dukungan Ali Moertopo. Lewat siasat yang disusun oleh Opsus, dengan lancar Hariman dapat menduduki kursi Ketua Umum DMUI. Hariman Siregar dipilih oleh Opsus sebagai calon Ketua Umum DMUI dalam rangka memutus mata rantai dominasi mahasiswa aktivis HMI dalam lingkungan Dewan Mahasiswa UI. Tetapi anggapan bahwa Hariman Siregar dikooptasi oleh Ali Moertopo beserta Opsus-nya seakan gugur ketika Hariman justru menunjuk Judilherry Justam, aktivis mahasiswa dari HMI sebagai Sekertaris Jenderal DMUI.

(45)

28

kesepuluh fungsionaris DMUI tersebut merupakan anggota binaan Opsus dan sengaja mengeluarkan mosi tidak percaya tersebut untuk menghentikan sepak terjang hariman dalam membentuk jaringan untuk mengkritisi pemerintah. Tak ayal, kesepuluh fungsionaris tersebut dipecat oleh Hariman. Kesepuluh fungsionaris tersebut juga diduga terlibat dengan kemunculan massa misterius yang melakukan pembakaran di Proyek Senen ketika long march aksi mahasiswa digelar, 15 Januari 1974.

Secara lebih umum, Jopie Lasut dalam bukunya MALARI Melawan Barisan

Jenderal ORBA menuturkan bahwa argumen tentang pergerakan mahasiswa

1973-1974 dikooptasi oleh kubu militer adalah keliru. Sebagai seorang aktivis yang saat itu sedang gencar menggeluti wacana-wacana anti Jepang, Jopie beranggapan justru para Jenderal ABRI yang sedang berseteru tersebut diperalat oleh para mahasiswa.29

Berdasarkan susunan fakta diatas, terkait independensi gerakan mahasiswa dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974, maka dapat kita meminjam teori gerakan sosial baru yang mendefinisikan bahwa sebuah gerakan sosial baru tidak menganggap pemerintah sebagai sekutu mereka dalam merealisasikan perubahan. Para Jenderal ABRI yang berseteru dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974 dapat digolongkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah, sehingga sesuai dengan definisi gerakan sosial baru, independensi gerakan mahasiswa 1973-1974 terbukti dengan fakta yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa justru mengkritisi dan menyerang para petinggi ABRI yang berseteru tersebut.

29 Jopie Lasut (2011). Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. Depok : Yayasan

(46)

29

2. Forum Diskusi dan Safari Kampus

Dalam kerangka perilaku kolektif, setelah munculnya structural conducieveness dan structural strain, pada tahapan selanjutnya kedua hal tersebut

perlu disebarluaskan. Tahapan ini oleh Smelser dinamakan growth and spread of

generalized belief.

Pada tahapan ini, faktor pendukung perilaku kolektif yang muncul dari

structural conducieveness dan structural strain kemudian perlu disebarkan dan

diolah seluas mungkin guna membentuk sebuah kesepakatan bersama bahwa perlu dilakukan sebuah gerakan untuk mengatasi itu semua, yang dipercayai betul oleh pihak-pihak yang terkait gerakan tersebut.

Dalam konteks gerakan mahasiswa Indonesia 1974, khususnya dalam

Peristiwa 15 Januari 1974, penyebarluasan kepanikan yang disebabkan kondisi

sosial ekonomi pada periode tersebut dilakukan dengan beragam cara. Salah satunya melalui beberapa forum diskusi dan seminar yang digagas oleh para mahasiswa di beberapa daerah.

(47)

30

Sejalan dengan pemaparan Smelser mengenai tahapan growth and spread of

generalized belief, maka dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974 wacana yang

dibangun oleh mahasiswa ditujukan untuk mendorong munculnya reaksi terhadapan kondisi negara demi kehidupan bernegara yang lebih baik, berupa sebuah gerakan protes, dari para agent of change (mahasiswa).

Sebelum pembahasan dikhususkan pada usaha penyebarluasan isu protes yang dilakukan oleh mahasiswa, terlebih dahulu akan dipaparkan penjelasan mengenai kelompok-kelompok mahasiswa yang terlibat dalam usaha penyebarluasan isu tersebut.

3. Organisasi Mahasiswa Intra dan Ekstra Kampus

Dalam dunia kemahasiswaan pada tahun 1970-an, bermunculan organisasi-organisasi mahasiswa yang aktif dalam menggagas diskusi dan wacana-wacana tentang isu-isu sosial, politik dan ekonomi di Indonesia pada periode tersebut. Pada tatanan intra kampus dikenal sebuah bentuk organisasi mahasiswa yang bernama Dewan Mahasiswa.

(48)

31

yang terlibat dalam perumusan aksi 15 Januari 1974 adalah Theo L. Sambuaga dan Judilhery Justam.

Organisasi mahasiswa yang muncul di Universitas Indonesia tidak hanya DMUI. Sebuah grup diskusi juga lahir di Universitas Indonesia, yaitu Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI). Tokoh mahasiswa yang muncul dari

GDUI adalah Dr. Syahrir, atau akrab disapa dengan nama Ci’il.

Selain DMUI dan GDUI, bermunculan pula organisasi mahasiswa intra kampus lain yang berperan aktif dalam membangun wacana keprihatinan terhadap kondisi sosial ekonomi Indonesia pada periode 1970-an, antara lain Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, Dewan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarata, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Selain dewan mahasiswa dan kelompok diskusi yang berafiliasi pada universitas tertentu, Pada era 1970-an muncul juga beberapa organisasi mahasiswa yang beranggotakan mahasiswa dari antar kampus. Secara umum, organisasi mahasiswa ekstra kampus yang eksis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial masyarakat pada masa itu terbentuk melalui kesamaan ideologi pergerakan dan konsentrasi kejuruannya masing-masing.

(49)

32

(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI, PMKRI dan GMKI.30

Selain organisasi ekstra kampus yang dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi pergerakan para anggotanya, muncul juga organisasi ekstra kampus yang dibentuk berdasarkan profesi dan konsentrasi kejuruannya. Organisasi tersebut antara lain adalah Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (IMKGI), Ikatan Mahasiswa Ekonomi Indonesia, Ikatan Mahasiswa Teknik Indonesia (IMTI) dan Ikatan Mahasiswa Farmasi Indonesia (Imafi). Organisasi-organisai mahasiswa berdasarkan profesi dan konsentrasi kejuruan tersebut terbentuk berdasarkan prakarsa Opsus (Ali Moertopo/Aspri) oleh sebab itu gelontoran dana dari pemerintah mengalir kepeada mereka untuk mendanai kegiatan yang mereka rancang.

Berbagai faktor, baik dari dalam ataupun luar negeri yang memepengaruhi kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia kemudian dibahas secara intens oleh golongan mahasiswa dan akademisi di Indonesia tersebut. Forum demi forum dibentuk untuk dapat menemukan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang timbul di dalam negeri. Forum tersebut melibatkan berbagai organisasi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

4. Pembangunan Jaringan Mahasiswa

30 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang

Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hal. 38.

(50)

33

Dalam membentuk sebuah gerakan mahasiswa, jumlah simpatisan jelas berpengaruh dengan keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut meraih tujuannya. Ketika semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam sebuah gerakan, maka pengaruh dari gerakan tersebut akan menjadi semakin luas. Hal ini dibuktikan dengan safari kampus yang dilakukan, khususnya oleh aktifis-aktifis gerakan mahasiswa tahun 1973 sampai dengan 1974.

Salah satu organisasi mahasiswa yang anggotanya aktif melakukan safari kampus adalah DMUI. Tercatat, setidaknya Hariman Siregar (Ketua DMUI pada tahun 1973-1974) melakukan kunjungan ke Yogyakarta dan Bandung. Dalam kunjungannya tersebut, Hariman terlibat diskusi dengan Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan para seniman, akademisi serta mahasiswa di Bandung. Dalam kunjungannya di Bandung, Hariman kerap bertemu dengan Ketua DM-Unpad, Hatta Albanik dan DM-ITB, Komarudin.

Pada saat melakukan kunjungannya tersebut, baik di Yogyakarta ataupun di Bandung, Hariman terlibat pembahasan tentang isu-isu aktual pada periode tersebut. Isu-isu tersebut antara lain mengenai modal asing, RUU Perkawinan, dan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto oleh kekuatan militer.

Selain kunjungan yang dilakukan Hariman, mewakili DMUI ke daerah-daerah, kunjungan dari aktifis-aktifis mahasiswa daerah ke Jakarta juga terjadi. Menjelang pergantian tahun, tepatnya tanggal 31 Desember 1973 diselenggarakan

malam tirakatan dengan tema “Malam Keprihatinan” di halaman depan kampus

(51)

34

acara tersebut. Dalam acara ini, Hariman membacakan pidatonya yang berjudul

“Pidato Pernyataan Diri Mahasiswa”. Pidato Hariman itulah, yang menurut Theo

L. Sambuaga (Wakil Ketua DMUI ketika Hariman menjadi Ketua DMUI dan

peserta “Malam Keprihatinan”) dianggap pemerintah sebagai upaya provokasi

untuk melakukan gerakan makar.

(52)

35

BAB III

PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA DI

INDONESIA 1973-1974

A. Faktor Pendukung Terjadinya

Peristiwa “15 Januari 1974”

Setelah dibangunnya wacana mengenai kondisi negara pada periode tersebut serta pengarahan respon kepada sebuah gerakan protes, maka dalam kerangka identifikasi perilaku kolektif, tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah

precipitating factors atau faktor-faktor pendukung terjadinya respon yang

diharapkan. Faktor-faktor pendukung dari terjadinya gerakan turun ke jalan yang dilakukan oleh para mahasiswa pada Peristiwa 15 Januari 1974 adalah beragam demonstrasi dengan isu seputar permasalahan sosial ekonomi dan sosial pada periode tersebut. Mulai dari merajalelanya modal asing yang mematikan pasar industri lokal, korupsi pejabat pemerintah yang merugikan keuangan negara dan rakyat, wacana RUU Perkawinan yang mengatur soal poligami serta pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang dianggap pemborosan ditengah menyebarluasnya kemiskinan di Indonesia.

1. Aksi Protes 15 Januari 1974 Sebagai Akumulasi Aksi-Aksi Sebelumnya

Gambar

Tabel 1. Daftar Tahanan Aktivis Mahasiswa dalam Peristiwa “15 Januari

Referensi

Dokumen terkait