• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

oleh Hariman Siregar, sebagai representasi aktifis mahasiswa periode ‘70an sebagai “aksi terencana yang melibatkan massa”.21

Pemahaman tersebut kemudian menginspirasi Hariman untuk mendalami wacana-wacana tentang permasalahan yang mendera rakyat kecil dengan cara menjalin kontak dengan para aktifis non-kampus, terutama para aktifis buruh dan kaum marginal perkotaan.Situasi ini kemudian mendukung terjadinya transfer informasi berupa keluhan dari masyarakat ekonomi bawah akan nasib mereka, khusunya dari sudut pandang ekonomi kepada Hariman Siregar, baik secara personal ataupun kelembagaan (DMUI). Aktifitas sosial ini kemudian mendapat

20 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hal.40.

23

dukungan dan apresiasi dari para mantan aktifis angkatan ’66, salah satunya

kelompok Barisan Golongan Putih (Golput).22

Dalam bidang kerja sama internasional, kedatangan Ketua dari IGGI, J.P. Pronk ke Indonesia memicu reaksi negatif dari masyarakat, khususnya golongan mahasiswa. Kedatangan dari ketua lembaga yang mengatur bantuan internasional bagi Indonesia pada tanggal 11 November 1973 tersebut, disambut dengan demonstrasi mahasiswa anti modal asing di bandara Halim Perdanakusuma23.

Faktor eksternal lain yang berpengaruh dengan kondisi sosial politik di dalam negeri Indonesia adalah aksi mahasiswa di Thailand yang mampu menggulingkan Marsekal Thanon Kittakachorn dari tampuk kekuasaan. Hal ini kemudian menambah kepercayaan diri dari golongan mahasiswa Indonesia untuk bergerak dan melancarkan sebuah aksi protes yang mampu berdampak positif bagi usaha stabilisasi kondisi sosial, politik dan ekonomi di dalam negeri.

Masih terkait dengan pengaruh luar negeri, Jopie Lasut dalam bukunya

MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA menuturkan bahwa

munculnya kebencian terhadap asing pada periode 1973 juga dipengaruhi oleh rasa sakit hati yang dialami oleh salah seorang wartawan Indonesia, yaitu Mochtar Lubis. Dalam bukunya tersebut, Jopie menceritakan tentang kunjungan seminar ke Jepang yang dihadiri oleh tokoh-tokoh muda dan budayawan dari beberapa daerah di Asia Tenggara. Mochtar Lubis turut menghadiri seminar tersebut. Singkat kata, Mochtar Lubis merasa tersinggung dengan pernyataan Presiden Komisaris Mitsui yang dianggapnya sombong. Presiden Komisaris Mitsui

22 Ibid., Hlm. 41.

23 Jopie Lasut (2011). Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. Depok : Yayasan Penghayat Keadilan..Hlm. 49.

24

membandingkan persentasi eksport Jepang ke Asia Tenggara, yang kala itu berada pada angka 40% dengan eksport Asia Tenggara ke Jepang yang berada pada angka 5%.24

Perasaan tersinggung itu kemudian menumbuhkan rencana untuk memberi pelajaran kepada pihak Jepang. Moctar Lubis, yang pada periode tersebut juga memiliki kedekatan dengan para aktifis mahasiswa mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi para mahasiswa terkait isu anti Jepang.

B. Munculnya Gerakan Mahasiswa di Indonesia 1973-1974

Desakan untuk menyuarakan ketidakadilan yang muncul karena merajalelanya modal asing dan ketimpangan sosial terkait taraf hidup masyarakat membuat para mahasiswa menjadi semakin yakin dalam merancang aksi protes secara masif. Selain meningkatkan keyakinan mahasiswa dalam merancang sebuah aksi protes secara masif, mencoloknya ketimpangan sosial antara rakyat kecil dengan pejabat wakil rakyat serta para konglomerat dan banyaknya industri lokal yang mati karena dominasi modal asing telah membawa gerakan mahasiswa tahun 1973 pada tahap lebih lanjut bagi terwujudnya perilaku kolektif. Tahapan tersebut adalah structural strain atau ketegangan struktural.

Pada tahapan structural strain, kondisi sosial di Indonesia pada tahun 1973 telah menimbulkan sebuah ketegangan. Merosotnya kesejahteraan sosial dan matinya industri lokal akibat dominasi modal asing secara perlahan telah membakar semangat para mahasiswa di Indonesia umtuk melakukan sebuah aksi yang dapat menyalurkan aspirasi mereka.

25

Pada dasarnya, besarnya keinginan untuk melakukan aksi protes kepada pemerintah sebagai reaksi atas kondisi ketidakadilan tidak semata-mata muncul karena dorongan dari adanya ketegangan atau kepanikan di masyarakat, khususnya mahasiswa. Dorongan untuk melakukan aksi protes secara masif muncul karena adanya sifat saling mendukung antara kepanikan yang muncul karena permasalahan ekonomi (matinya industri lokal, kesenjangan taraf hidup masyarakat) dengan structural conducieveness (merajalelanya modal asing, konflik di kubu militer).

1. Golongan Mahasiswa di Tengah Konflik Jenderal ORBA

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Militer25 masih memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk kondisi kehidupan bernegara pada tahun 1973. Pengaruh tersebut dimiliki oleh kalangan Militer karena berlakunya UU No. 16/1969 yang isinya menjamin kalangan Militer (ABRI) mendapatkan jatah kursi di DPR/MPR untuk mengimbangi peran politisi sipil.26 Konsekuensi dari duduknya tokoh-tokoh Militer di kursi anggota legislatif adalah terbukanya akses bagi kalangan Militer untuk ikut menentukan produk undang-undang yang nantinya akan ditetapkan di masa mendatang.

Selain partisipasi politik pada ruang lingkup legislatif, kalangan Militer juga terlibat aktif dalam ruang lingkup penelitian-penelitian akademis pada tahun 1973. Hal ini dibuktikan oleh eksistensi Centre for Strategic and International Studies

25 Militer mampu membangun jaringan dengan mahasiswa pada era sebelumnya (era Soekarno) sehingga dapat mengakhiri rezim Orde Lama yang dianggap korup dan terlalu dekat dengan komunis.

26 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hlm. 38.

26

(CSIS) yang didirikan pada tahun 1971 dan memiliki titik fokus pada aktifitas penelitian akademis terhadap kebijakan publik, baik dalam lingkup nasional ataupun internasional. Berdirinya CSIS adalah prakarsa dari Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani27 (keduanya memiliki latar belakang sebagai seorang perwira Militer).

Walaupun semakin terlihat nyata pengaruh kalangan Militer dalam penentuan kebijakan di Indonesia pada tahun 1973, konflik justru terjadi diantara mereka. Konflik yang terjadi di kalangan Militer ini melibatkan kubu Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden) dengan kubu Jenderal Soemitro (Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban). Pemicu dari konflik tersebut adalah adanya perasaan saling mencurigai di antara Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro. Kedua perwira militer ini saling menganggap satu sama lain berambisi untuk menggeser posisi Presiden Soeharto. Dalam konflik tersebut, Soedjono Humardani dan Jendral M. Panggabean (Menhankam sekaligus Panglima ABRI) merapat ke kubu Ali Moertopo, sedangkan Sutopo Juwono (Kepala Bakin) mendekat kepada Jendral Soemitro.28

Konflik di kalangan Militer ini kemudian berpengaruh kepada kondisi mahasiswa di Indonesia. Kedua kubu militer yang berkonflik seakan memperebutkan simpati dari golongan mahasiswa. Ali Moertopo dengan Opsus-nya membina kader-kader mahasiswa untuk kemudian disalurkan kepada organisasi-organisasi intra kampus. Pada lain pihak, Jendral Soemitro melakukan

27Background and Development. http : // www .csis.or.id / about / background_and_development.html. Diunduh : 08/06/2015 pukul 14:29 WIB.

28

A. Yoghaswara (2009). Dalang Malapetaka 15 Januari ( MALARI). Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo. Hlm. 39-40.

27

kunjungan ke berbagai perguruan tinggi. Dalam kunjungannya tersebut, Soemitro melakukan dialog dengan aktifis-aktifis mahasiswa pada masa itu.

Kedekatan kedua kubu militer yang berseteru dengan kelompok mahasiswa juga menimbulkan pandangan negatif terkait afiliasi gerakan mahasiswa. Muncul anggapan bahwa kemunculan pergerakan mahasiswa di Indonesia tergantung pada sejauh mana militer dapat mempertahankan stabilitasnya. Sehingga dengan kata lain, pergerakan mahasiswa baru terwujud jika terjadi perpecahan di dalam tubuh golongan militer.

Namun argumen tersebut rasanya tidak cocok jika diterapkan pada konteks

Peristiwa 15 Januari 1974. Memang, tersebar fakta bahwa Ketua Umum DMUI

periode 1973-1974, Hariman Siregar bisa menduduki jabatannya akibat dukungan Ali Moertopo. Lewat siasat yang disusun oleh Opsus, dengan lancar Hariman dapat menduduki kursi Ketua Umum DMUI. Hariman Siregar dipilih oleh Opsus sebagai calon Ketua Umum DMUI dalam rangka memutus mata rantai dominasi mahasiswa aktivis HMI dalam lingkungan Dewan Mahasiswa UI. Tetapi anggapan bahwa Hariman Siregar dikooptasi oleh Ali Moertopo beserta Opsus-nya seakan gugur ketika Hariman justru menunjuk Judilherry Justam, aktivis mahasiswa dari HMI sebagai Sekertaris Jenderal DMUI.

Fakta lain juga menunjukkan independensi DMUI, sebagai representasi organisasi mahasiswa yang terlibat Peristiwa 15 Januari 1974 dari kooptasi Ali Moertopo. Menjelang perumusan dan pengerahan massa mahasiswa menuju aksi 15 Januari 1974, 10 orang fungsionaris DMUI mengajukan mosi tidak percaya kepada Hariman Siregar selaku Ketua Umum. Belakangan diketahui bahwa

28

kesepuluh fungsionaris DMUI tersebut merupakan anggota binaan Opsus dan sengaja mengeluarkan mosi tidak percaya tersebut untuk menghentikan sepak terjang hariman dalam membentuk jaringan untuk mengkritisi pemerintah. Tak ayal, kesepuluh fungsionaris tersebut dipecat oleh Hariman. Kesepuluh fungsionaris tersebut juga diduga terlibat dengan kemunculan massa misterius yang melakukan pembakaran di Proyek Senen ketika long march aksi mahasiswa digelar, 15 Januari 1974.

Secara lebih umum, Jopie Lasut dalam bukunya MALARI Melawan Barisan

Jenderal ORBA menuturkan bahwa argumen tentang pergerakan mahasiswa

1973-1974 dikooptasi oleh kubu militer adalah keliru. Sebagai seorang aktivis yang saat itu sedang gencar menggeluti wacana-wacana anti Jepang, Jopie beranggapan justru para Jenderal ABRI yang sedang berseteru tersebut diperalat oleh para mahasiswa.29

Berdasarkan susunan fakta diatas, terkait independensi gerakan mahasiswa dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974, maka dapat kita meminjam teori gerakan sosial baru yang mendefinisikan bahwa sebuah gerakan sosial baru tidak menganggap pemerintah sebagai sekutu mereka dalam merealisasikan perubahan. Para Jenderal ABRI yang berseteru dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974 dapat digolongkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah, sehingga sesuai dengan definisi gerakan sosial baru, independensi gerakan mahasiswa 1973-1974 terbukti dengan fakta yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa justru mengkritisi dan menyerang para petinggi ABRI yang berseteru tersebut.

29 Jopie Lasut (2011). Malari Melawan Soeharto & Barisan Jenderal Orba. Depok : Yayasan Penghayat Keadilan. Hal. 164.

29

2. Forum Diskusi dan Safari Kampus

Dalam kerangka perilaku kolektif, setelah munculnya structural conducieveness dan structural strain, pada tahapan selanjutnya kedua hal tersebut

perlu disebarluaskan. Tahapan ini oleh Smelser dinamakan growth and spread of

generalized belief.

Pada tahapan ini, faktor pendukung perilaku kolektif yang muncul dari

structural conducieveness dan structural strain kemudian perlu disebarkan dan

diolah seluas mungkin guna membentuk sebuah kesepakatan bersama bahwa perlu dilakukan sebuah gerakan untuk mengatasi itu semua, yang dipercayai betul oleh pihak-pihak yang terkait gerakan tersebut.

Dalam konteks gerakan mahasiswa Indonesia 1974, khususnya dalam

Peristiwa 15 Januari 1974, penyebarluasan kepanikan yang disebabkan kondisi

sosial ekonomi pada periode tersebut dilakukan dengan beragam cara. Salah satunya melalui beberapa forum diskusi dan seminar yang digagas oleh para mahasiswa di beberapa daerah.

Dalam forum diskusi dan seminar tersebut, wacana yang dibahas terkait dengan modal asing, refleksi terhadap kondisi pemerintahan negara dan beragam isu-isu yang berorientasi kepada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada periode tersebut (1973 s/d. 1974). Hal ini bertujuan untuk mengarahkan wacana publik kepada kondisi negara, sehingga muncul kesadaran untuk segera mengambil tindakan demi stabilitas penyelenggaraan negara.

30

Sejalan dengan pemaparan Smelser mengenai tahapan growth and spread of

generalized belief, maka dalam konteks Peristiwa 15 Januari 1974 wacana yang

dibangun oleh mahasiswa ditujukan untuk mendorong munculnya reaksi terhadapan kondisi negara demi kehidupan bernegara yang lebih baik, berupa sebuah gerakan protes, dari para agent of change (mahasiswa).

Sebelum pembahasan dikhususkan pada usaha penyebarluasan isu protes yang dilakukan oleh mahasiswa, terlebih dahulu akan dipaparkan penjelasan mengenai kelompok-kelompok mahasiswa yang terlibat dalam usaha penyebarluasan isu tersebut.

3. Organisasi Mahasiswa Intra dan Ekstra Kampus

Dalam dunia kemahasiswaan pada tahun 1970-an, bermunculan organisasi-organisasi mahasiswa yang aktif dalam menggagas diskusi dan wacana-wacana tentang isu-isu sosial, politik dan ekonomi di Indonesia pada periode tersebut. Pada tatanan intra kampus dikenal sebuah bentuk organisasi mahasiswa yang bernama Dewan Mahasiswa.

Salah satu Dewan Mahasiswa yang mencolok kiprahnya pada periode 1970-an adalah DMUI (Dew1970-an Mahasiswa Universitas Indonesia). Pada periode 1973 sampai dengan 1974, Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia diketuai oleh Hariman Siregar, mahasiswa Universitas Indonesia dari Fakultas Kedokteran. Terpilihnya Hariman Siregar sebagai ketua dari DMUI menjadi sebuah anomali ditengah dominasi organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas kursi kepemimpinan DMUI. Selain Hariman Siregar, tokoh mahasiswa dari DMUI

31

yang terlibat dalam perumusan aksi 15 Januari 1974 adalah Theo L. Sambuaga dan Judilhery Justam.

Organisasi mahasiswa yang muncul di Universitas Indonesia tidak hanya DMUI. Sebuah grup diskusi juga lahir di Universitas Indonesia, yaitu Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI). Tokoh mahasiswa yang muncul dari

GDUI adalah Dr. Syahrir, atau akrab disapa dengan nama Ci’il.

Selain DMUI dan GDUI, bermunculan pula organisasi mahasiswa intra kampus lain yang berperan aktif dalam membangun wacana keprihatinan terhadap kondisi sosial ekonomi Indonesia pada periode 1970-an, antara lain Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, Dewan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarata, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Selain dewan mahasiswa dan kelompok diskusi yang berafiliasi pada universitas tertentu, Pada era 1970-an muncul juga beberapa organisasi mahasiswa yang beranggotakan mahasiswa dari antar kampus. Secara umum, organisasi mahasiswa ekstra kampus yang eksis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan kondisi sosial masyarakat pada masa itu terbentuk melalui kesamaan ideologi pergerakan dan konsentrasi kejuruannya masing-masing.

Pada saat isu mengenai penanaman modal asing di Indonesia merebak, organisasi-organisasi ekstra kampus juga bereaksi dan secara aktif mengolah wacana-wacana atas isu tersebut. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tersebut antara lain adalah KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAPI

32

(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI, PMKRI dan GMKI.30

Selain organisasi ekstra kampus yang dibentuk berdasarkan kesamaan ideologi pergerakan para anggotanya, muncul juga organisasi ekstra kampus yang dibentuk berdasarkan profesi dan konsentrasi kejuruannya. Organisasi tersebut antara lain adalah Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (IMKGI), Ikatan Mahasiswa Ekonomi Indonesia, Ikatan Mahasiswa Teknik Indonesia (IMTI) dan Ikatan Mahasiswa Farmasi Indonesia (Imafi). Organisasi-organisai mahasiswa berdasarkan profesi dan konsentrasi kejuruan tersebut terbentuk berdasarkan prakarsa Opsus (Ali Moertopo/Aspri) oleh sebab itu gelontoran dana dari pemerintah mengalir kepeada mereka untuk mendanai kegiatan yang mereka rancang.

Berbagai faktor, baik dari dalam ataupun luar negeri yang memepengaruhi kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia kemudian dibahas secara intens oleh golongan mahasiswa dan akademisi di Indonesia tersebut. Forum demi forum dibentuk untuk dapat menemukan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang timbul di dalam negeri. Forum tersebut melibatkan berbagai organisasi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.

4. Pembangunan Jaringan Mahasiswa

30 Daulay, Amir Husin & Imran Hasibuan (Ed.) (2011). Hariman & Malari, Gelombang Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-Communication. Hal. 38.

Dalam struktur kepengurusan DMUI pada masa kepemimpinan Hariman Siregar, banyak para pengurus yang terlibat dalam organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMKRI, GMKI. Hal tersebut merupakan usaha DMUI untuk memiliki akses ke berbagai gerakan mahasiswa ekstra kampus.

33

Dalam membentuk sebuah gerakan mahasiswa, jumlah simpatisan jelas berpengaruh dengan keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut meraih tujuannya. Ketika semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam sebuah gerakan, maka pengaruh dari gerakan tersebut akan menjadi semakin luas. Hal ini dibuktikan dengan safari kampus yang dilakukan, khususnya oleh aktifis-aktifis gerakan mahasiswa tahun 1973 sampai dengan 1974.

Salah satu organisasi mahasiswa yang anggotanya aktif melakukan safari kampus adalah DMUI. Tercatat, setidaknya Hariman Siregar (Ketua DMUI pada tahun 1973-1974) melakukan kunjungan ke Yogyakarta dan Bandung. Dalam kunjungannya tersebut, Hariman terlibat diskusi dengan Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan para seniman, akademisi serta mahasiswa di Bandung. Dalam kunjungannya di Bandung, Hariman kerap bertemu dengan Ketua DM-Unpad, Hatta Albanik dan DM-ITB, Komarudin.

Pada saat melakukan kunjungannya tersebut, baik di Yogyakarta ataupun di Bandung, Hariman terlibat pembahasan tentang isu-isu aktual pada periode tersebut. Isu-isu tersebut antara lain mengenai modal asing, RUU Perkawinan, dan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto oleh kekuatan militer.

Selain kunjungan yang dilakukan Hariman, mewakili DMUI ke daerah-daerah, kunjungan dari aktifis-aktifis mahasiswa daerah ke Jakarta juga terjadi. Menjelang pergantian tahun, tepatnya tanggal 31 Desember 1973 diselenggarakan

malam tirakatan dengan tema “Malam Keprihatinan” di halaman depan kampus

UI Salemba. DMUI sebagai pihak penyelenggara mengundang mahasiswa dari berbagai daerah seperti mahasiswa Bogor dan Bandung untuk ikut serta dalam

34

acara tersebut. Dalam acara ini, Hariman membacakan pidatonya yang berjudul

“Pidato Pernyataan Diri Mahasiswa”. Pidato Hariman itulah, yang menurut Theo

L. Sambuaga (Wakil Ketua DMUI ketika Hariman menjadi Ketua DMUI dan

peserta “Malam Keprihatinan”) dianggap pemerintah sebagai upaya provokasi

untuk melakukan gerakan makar.

Aktifitas saling mengunjungi antar aktifis mahasiswa sepanjang tahun 1973 tersebut menjadi bukti adanya usaha yang rutin dan serius untuk membangun interpretasi bersama atas isu-isu aktual yang beredar di masyarakat. Komunikasi yang dibangun melalui forum-forum diskusi mahasiswa ini kemudian membentuk sebuah jaringan mahasiswa antar daerah.

35

BAB III

PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA DI

INDONESIA 1973-1974

A. Faktor Pendukung Terjadinya Peristiwa “15 Januari 1974”

Setelah dibangunnya wacana mengenai kondisi negara pada periode tersebut serta pengarahan respon kepada sebuah gerakan protes, maka dalam kerangka identifikasi perilaku kolektif, tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah

precipitating factors atau faktor-faktor pendukung terjadinya respon yang

diharapkan. Faktor-faktor pendukung dari terjadinya gerakan turun ke jalan yang dilakukan oleh para mahasiswa pada Peristiwa 15 Januari 1974 adalah beragam demonstrasi dengan isu seputar permasalahan sosial ekonomi dan sosial pada periode tersebut. Mulai dari merajalelanya modal asing yang mematikan pasar industri lokal, korupsi pejabat pemerintah yang merugikan keuangan negara dan rakyat, wacana RUU Perkawinan yang mengatur soal poligami serta pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang dianggap pemborosan ditengah menyebarluasnya kemiskinan di Indonesia.

1. Aksi Protes 15 Januari 1974 Sebagai Akumulasi Aksi-Aksi Sebelumnya

Melalui berbagai demonstrasi yang cukup intens dilakukan secara berkala, kesadaran terhadap dibutuhkannya sebuah respon atas kondisi negara, didorong dengan lebih keras oleh para mahasiswa. Berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa juga menunjukkan adanya usaha untuk menyebarluaskan

36

kepanikan dan juga kewaspadaan terhadap kondisi negara yang dianggap semakin memburuk dengan cara yang lebih konkret dan radikal.

Demonstrasi Menolak Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah

Salah satu proyek yang dianggap sebagai bukti nyata mislokasi dana pembangungan adalah proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Proyek pembangunan taman yang berisikan anjungan-anjungan dari berbagai provinsi di Indonesia tersebut dianggap penghambur-hamburan uang rakyat ditengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada pada situasi memprihatinkan.

Rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tersebut kontan menuai reaksi dan kritik yang keras dari golongan mahasiswa. Aksi-aksi protes menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah digelar oleh para mahasiswa. Berbagai kelompok aksi mahasiswa pun bermunculan, seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat samapi dengan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.31

Terkait polemik pembangun Taman Mini Indonesia Indah, Jenderal Soemitro sendiri pernah merasakan teguran karena mempertanyakan sumber dana proyek tersebut kepada Presiden Soeharto. Teguran bukan datang dari Presiden Soeharto namun dari istrinya, Tien Soeharto. Ibu negara tersebut mempertanyakan mengapa Jenderal Soemitro tidak suka dengan rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Namun perselisihan kecil itu selesai ketika Jenderal Soemitro

31Widiarsi Agustina et al.( 2014) Massa Misterius Malari Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta : Tempo. Hlm. 19.

37

meluruskan mengatakan bahwa dirinya hanya mempertanyakan sumber pendaan Taman Mini Indonesia Indah, dan juga sudah merasa jelas ketika Presiden Soeharto menjelaskan bahwa dana pembangunan didapat dari pihak Swasta.

Razia Dilarang Gondrong

Pada hari Senin, 1 Oktober 1973 Pangkopkamtib Jenderal Soemitro memberikan sebuah pernyataan pers di TVRI yang mencengangkan banyak pihak. Jenderal bertubuh besar tersebut membahas tentang gaya rambut gondrong yang marak dikalangan anak muda pada periode itu. Dikutip dari buku Dilarang

Gondrong! yang ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira, pada bagian kata pengantar

Asvi Warman Adam, Sejarawan UI menuliskan bahwa Jenderal Soemitro menyatakan rabut gondrong mengakibatkan para pemuda bersikap onverschillig, atau mungkin jika diterjemahkan dalam konteks zaman sekarang menjadi bersikap

cuek. Hal ini menjadi sebuah anomali yang menggelikan, karena ternyata seorang

Jenderal besar dengan lambang kepangkatan di pundaknya justru membicarakan masalah rambut gondrong, hal yang terkesan remeh.

Namun jika ditarik kebelakang, ternyata pernyataan itu yang menjadi alasan penyelenggaraan razia rambut gondrong di beberapa wilayah di Indonesia pada periode tersebut. Warga sipil yang kedapatan berambut gondrong ketika razia digelar langsung diberikan hukuman potong rambut ditempat. Tidak hanya itu beberapa kantor pemerintahan bahkan tidak memberikan pelayanan bagi warga sipil yang berambut gondrong. Selain itu, beberapa artis berambut gondrong

38

seperti Sophan Sophiaan, Trio Bimbo, W.S. Rendra juga terkena dampaknya melalui pencekalan seniman rambut gondrong untuk tampil di TVRI.

Golongan mahasiswa, yang waktu itu rata-rata berambut gondrong merasa perlu ada reaksi konkret terhadap, yang mereka anggap bentuk kesewenang-wenangan pemerintah itu. Para mahasiswa di Bandung misalnya, membalas razia rambut gondrong itu dengan menggelar razia orang gendut. Hariman berkisah,

Dokumen terkait