ABSTAK
DESKRIPSI TINGKAT KESIAPAN PSIKOLOGIS CALON SUAMI/ISTRI UNTUK HIDUP BERKELUARGA DAN IMPLIKASI TERHADAP
USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN BERKELUARGA
Natalia Wulansari
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga dan implikasi terhadap topik-topik bimbingan keluarga.
Subjek penelitian ini adalah calon suami/istri yang sudah memiliki komitmen berpacaran/bertunangan selama minimal 2 tahun. Jumlah subjek penelitian adalah 38 calon suami/istri. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hudup berkeluarga yang disusun berdasarkan 4 aspek, yaitu (1) kematangan emosi, (2) menerima pasangan, (3) memelihara hubungan, (4) menjaga komitmen. Angket tersebut terdiri dari 51 item yang sudah diuji validitasnya. Pengukuran validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0. Teknik analisis data yang digunakan berpatokan pada kriteria kategorisasi menurut konsep Azwar (2012). Tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri dikelompokan menjadi 5 kategorisasi, yaitu “sangat tinggi”, “tinggi”, “sedang”, “rendah”, dan “sangat rendah”.
ABSTRACT
DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL READINESS LEVEL FOR HUSBAND / WIFE PROSPECTIVES AND THE IMPLICATIONS FOR MARRIED LIFE
TOPICS PROPOSED BY FAMILY GUIDANCE
Natalia Wulansari
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2015
This study aims to know the level of psychological readiness for husband / wife prospective for having family life and the implications of the topics proposed by family guidance
Subjects of this study were husbands / wives prospective who already have a commitment dating / engaged for at least 2 years . The number of research subjects are 38 candidates for the husbands / wives . the collecting data in this study used a questionnaire for psychological readiness level of husband / wife prospective to have family life which is based on four aspects , namely ( 1 ) the emotional maturity , ( 2 ) receive a pair , ( 3 ) maintain relationships , ( 4 ) maintain a commitment . The questionnaire consists of 51 items that have been tested validity. The measurement for validity and reliability used SPSS 16.0 . Data analysis techniques are used based on the categorization criteria according to the concept of Anwar ( 2012) . The level of psychological readiness potential husband / wife grouped into 5 categories , which are " very high " , "high" , "medium" , "low " and "very low" .
DESKRIPSI TINGKAT KESIAPAN PSIKOLOGIS CALON
SUAMI/ISTRI UNTUK HIDUP BERKELUARGA DAN
IMPLIKASI TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK
BIMBINGAN BERKELUARGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh:
Natalia Wulansari
111114016
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
DESKRIPSI TINGKAT KESIAPAN PSIKOLOGIS CALON
SUAMI/ISTRI UNTUK HIDUP BERKELUARGA DAN
IMPLIKASI TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK
BIMBINGAN BERKELUARGA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh:
Natalia Wulansari
111114016
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv Karya ini dipersembahkan untuk:
1. Tuhan yang selalu setia mencurahkan berkahNYA dengan memberikan
kekuatan dan tuntunan.
2. Kedua orangtua dengan kasih yang tulus tak pernah lupa selalu menyebut
nama anak dalam doa, dan selalu mengusahakan yang terbaik.
3. Kakak yang selalu memberi motivasi dan memberi dukungan dengan
harapan saya menjadi lebih baik.
4. Bapak/ibu dosen yang tak jenuh membimbing dalam belajar untuk menjadi
konselor yang sejati
5. Sahabat-sahabat saya Aan, Agnes dan Putri yang merangkul dan saling
mendukung untuk maju.
6. Keluarga baru saya Omah Noto Plankton yang mengajak saya untuk
berkembang bersama.
7. Teman-teman Bimbingan dan Konseling 2011 yang sama-sama berjuang
vii ABSTAK
DESKRIPSI TINGKAT KESIAPAN PSIKOLOGIS CALON SUAMI/ISTRI UNTUK HIDUP BERKELUARGA DAN IMPLIKASI TERHADAP
USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN BERKELUARGA
Natalia Wulansari
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga dan implikasi terhadap topik-topik bimbingan keluarga.
Subjek penelitian ini adalah calon suami/istri yang sudah memiliki komitmen berpacaran/bertunangan selama minimal 2 tahun. Jumlah subjek penelitian adalah 38 calon suami/istri. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hudup berkeluarga yang disusun berdasarkan 4 aspek, yaitu (1) kematangan emosi, (2) menerima pasangan, (3) memelihara hubungan, (4) menjaga komitmen. Angket tersebut terdiri dari 51 item yang sudah diuji validitasnya. Pengukuran validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0. Teknik analisis data yang digunakan berpatokan pada kriteria kategorisasi menurut konsep Azwar (2012). Tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri dikelompokan menjadi 5 kategorisasi, yaitu “sangat tinggi”, “tinggi”, “sedang”, “rendah”, dan “sangat rendah”.
viii
ABSTRACT
DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL READINESS LEVEL FOR HUSBAND / WIFE PROSPECTIVES AND THE IMPLICATIONS FOR MARRIED LIFE
TOPICS PROPOSED BY FAMILY GUIDANCE
Natalia Wulansari
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2015
This study aims to know the level of psychological readiness for husband / wife prospective for having family life and the implications of the topics proposed by family guidance
Subjects of this study were husbands / wives prospective who already have a commitment dating / engaged for at least 2 years . The number of research subjects are 38 candidates for the husbands / wives . the collecting data in this study used a questionnaire for psychological readiness level of husband / wife prospective to have family life which is based on four aspects , namely ( 1 ) the emotional maturity , ( 2 ) receive a pair , ( 3 ) maintain relationships , ( 4 ) maintain a commitment . The questionnaire consists of 51 items that have been tested validity. The measurement for validity and reliability used SPSS 16.0 . Data analysis techniques are used based on the categorization criteria according to the concept of Anwar ( 2012) . The level of psychological readiness potential husband / wife grouped into 5 categories , which are " very high " , "high" , "medium" , "low " and "very low" .
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, berkat bimbingan Tuhan
sehingga penulisan skripsi ini pun dapat diselesaikan dengan baik. Berkat dan
bimbinganNya pun tak pernah lepas dari banyak pengantara, untuk itu diucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan
dan Konseling Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang selalu setia dan sabar dalam membimbing dari awal penulisan hingga
akhir. Terima kasih atas motivasi dan banyak ilmu yang diberikan.
3. Semua dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma yang selama 4 tahun ini membimbing dalam belajar.
4. Kedua orangtua yang pendukung yang utama dengan memberi yang
terbaik.
5. Kakak yang selalu memberikan motivasi dan nasehat dengan harapan yang
tulus agar saya menjadi seseorang yang lebih baik.
6. Ketiga sahabatku Aan, Agnes dan Putri yang selalu menjadi teman berbagi
cerita dan belajar bersama, terutama dalam penulisan skripsi ini.
7. Teman-temanku Pipit, Caroline, Tika dan Mbak Sulis yang selalu menjadi
teman dalam berbagi ilmu untuk mendukung skripsi.
8. Teman-teman angkatan 2011 terutama kelas A yang selama 4 tahun ini
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GRAFIK ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
C. Peranan Faktor Psikologis dalam Hidup Berkeluarga ... 14
1. Kematangan Emosi ... 14
2. Menerima Pasangan ... 16
3. Memelihara Hubungan ... 17
4. Menjaga Komitmen ... 19
C. Topik Persiapan Hidup Berkeluarg... 22
BAB III METODE PENELITIAN... 23
A. Jenis Penelitian ...23
B. Subyek Penelitian ...23
C. Instrumen Penelitian...24
1. Pengertian Angket Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ...24
2. Skala Pengukuran dan Penentuan Skor ...24
a. Skala pengukura ...24
xii
D. Validitas dan Reliabilitas ...26
1. Validitas ...26
2. Reliabilitas ...29
E. Prosedur Pengumpulan Data ...30
1. Persiapan dan Pelaksanaan ...30
2. Pengumpulan Data ...31
F. Teknik Analisis Data ...31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...37
A. Hasil Penelitian ...37
1. Hasil Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ...37
2. Hasil Skor Item-item Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ...39
B. Pembahasan Hasil Penelitian ...42
1. Deskripsi Hasil Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ...42
2. Item-item Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ...44
3. Usulan Topik-topik Bimbingan ...49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...51
A. Kesimpulan ...51
B. Saran ...51
DAFTAR PUSTAKA ...53
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kisi-kisi Angket Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 25
Tabel 2 Norma Skoring Inventori Tingkat Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 26
Tabel 3 Jabaran Kisi-kisi Angket Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 55
Tabel 4 Butir Item-item Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 28
Tabel 5 Kriteria Guilford ... 30
Tabel 6 Norma KategorisasiTingkat Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 32
Tabel 7 Kategorisasi Tingkat Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 34
Tabel 8 Norma Kategorisasi Skor Item Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 35
Tabel 9 Kategorisasi Skor Item Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 36
Tabel 10 Kategori Tingkat Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 37
Tabel 11 Kategorisasi Skor Item Deskripsi Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri ... 39
Tabel 12 Item-item Deskripsi Tingkat Kesiapan Psikologis
xiv
Tabel 13 Usulan topik-topik bimbingan persiapan psikologis
calon suami/istri menuju hidup berkeluarga ... 50
Tabel 14 Usulan Bimbingan Psikologis Calon Suami/Istri
xv
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1 Histogram Deskripsi Tingkat Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 38
Grafik 2. Histogram Skor Item Deskripsi Kesiapan Psikologis
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Jabaran Kisi-kisi Angket Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga ... 55
Lampiran 2 Angket Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri... 60
Lampiran 3 Hasil Penelitian Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri (Data Sebelum diolah) ... 65
Lampiran 4 Hasil Penelitian Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri (Tanda Merah Valid) ... 67
Lampiran 5 Hasil Penelitian Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri ... 68
Lampiran 6 Validitas ... 69
Lampiran 7 Reliability... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan definisi operasional variabel penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Calon suami/istri adalah individu yang memiliki komitmen untuk
menjalin ikatan yang lebih serius dalam pernikahan atau hidup
berkeluarga. Menurut Hornby (dalam Walgito, 1984:9) marriage: the
union of two persons as husband and wife (perkawinan itu adalah
bersatunya dua orang sebagai suami istri). Naluri untuk hidup berpasangan
terwujud dalam bentuk perkawinan (Nurhayati, 2011:203). Menurut
Purwadarminta (dalam Walgito, 1984:9) kawin dapat diartikan sebagai
pernikahan, yakni perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.
Kebutuhan berpasangan membentuk rumah tangga sebagai tugas
perkembangan usia dewasa (Nurhayati, 2011:203). Untuk menyalurkan
naluri berpasangan dengan lawan jenis, agama mensyariatkan kepada
laki-laki dan perempuan untuk “menikah”, sehingga dorongan yang bergejolak
itu tersalurkan dan masing-masing menjadi tentram (Nurhayati, 2011:204).
Pasangan suami istri adalah dua individu yang sudah mengikat
janji dalam pernikahan baik secara agama maupun negara yang sudah
diakui oleh masyarakat. Relasi suami istri memberi landasan bagi
ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi keharmonisan
dalam berkeluarga adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara
pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan
cara berpikir yang luwes (Lestari, 2012:9).
Pernikahan dapat diumpamakan sebagai suatu perjalanan yang
panjang (Gunarsa, 2002:3). Calon suami/istri dalam membangun
pernikahan atau berkeluarga tentu perlu mempersiapkan diri, karena
banyak faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai hubungan keluarga
yang harmonis. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan perlu
dipertimbangankan sebelum hidup berkeluarga oleh calon suami isteri
antara lain, faktor psikologi, faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor fisik.
Calon suami/istri yang mempersiapkan diri dengan baik, merupakan awal
yang baik. Awal yang baik akan memberikan arah yang baik dan semangat
dalam menjalani semua liku-liku kehidupan (Gunarsa, 2002:3).
Pengamatan di beberapa tempat di Yogyakarta dan wawancara
dengan pembimbing Kursus Persiapan Perkawinan dan pasangan suami
istri yang dilakukan untuk melihat semakin dalam tentang keluarga,
ditemukan banyak calon suami/istri yang kurang persiapan untuk hidup
berkeluarga. Kurangnya persiapan calon suami/istri diantaranya terlalu
banyak angan-angan yang indah tanpa diimbangi dengan sikap yang
mendukung seperti saling menerima kekurangan pasangan, belum mampu
benar-benar terbuka, belum benar-benar-benar-benar saling percaya dan banyak hal yang
lainnya.
Keluarga yang kurang harmonis tak jauh berbeda dengan calon
suami/istri yang kurang persiapan, dapat terlihat dari kurangnya
komunikasi antara pasangan suami istri. Kurangnya komunikasi pada
pasangan suami istri terlihat saat mereka tidak tahu kesibukan atau
kegiatan satu sama lain walaupun tinggal dalam satu rumah, saling
menarik diri satu sama lain, dan tidak ada keceriaan pada keluarga
tersebut. Mereka cenderung bertahan dalam rumah tangga mereka karena
merasa itu pilihan yang terbaik, jika bercerai mereka merasa tidak lebih
baik. Berbagai alasan pasangan suami istri tersebut mempertahankan
hubungannya antara lain karena memperjuangkan kebahagiaan anaknya,
takut akan cibiran lingkungan sosial, merasa dicukupi secara ekonomi dan
mungkin banyak hal yang lainnya.
Pasangan suami istri tersebut menikah dengan berbagai sebab, ada
suami/istri menikah karena dijodohkan, ada yang hamil pra nikah dan ada
pula yang sama-sama tertarik atau mereka menyebutnya karena cinta.
Sehingga mereka memutuskan untuk berkeluarga agar dapat saling
membahagiakan. Setelah mereka menikah, lama kelamaan kehidupan
mereka mengalami perubahan, lebih-lebih jika sudah memiliki anak.
Kalau suami istri itu mengalami kesulitan dalam menerima perubahan itu,
Beberapa kasus keluarga yang tak lagi memaksakan diri untuk
mempertahankan rumah tangganya, mereka memilih mengakhirinya
dengan berpisah. Terdapat beberapa kasus di berbagai tempat, berserta
dengan penyebab-penyebabnya. Seorang peneliti bernama Fachrul Rasyid
HF melakukan penelitian di Tanjung Pati dan Payakumbuh mengungkap
bahwa terdapat sebanyak 338 kasus ditangani Pengadilan Agama (PA)
Tanjung Pati dan 539 kasus oleh PA Payakumbuh. Artinya, tiap hari
rata-rata sekitar tiga pasangan suami istri bercerai di kedua daerah
berpenduduk sekitar 520 ribu jiwa. Kalau saja tiap keluarga yang bercerai
rata-rata memiliki dua anak, setidaknya ada 1.900 anak yang menjadi
yatim berbapak. Yakni, anak-anak yang masih memiliki ayah, tapi
ayahnya tak lagi berada di dekat mereka. Hal tersebut berdampak secara
sosial, ekonomi dan psikologis terhadap perkembangan anak. Secara
langsung maupun tak langsung, perceraian juga merupakan sumber
masalah yang berdampak bagi berbagai pihak yang akan jadi beban
pemerintah daerah.
Sebagaimana diberitakan, penyebab perceraian cukup beragam. Di
wilayah PA Tanjung Pati misalnya, sekitar 181 keluarga bercerai karena
tak ada keharmonisan, 45 pasangan suami tak bertanggungjawab, 41
pasangan karena pihak ketiga, 18 pasangan karena faktor ekonomi, 7
pasangan karena cemburu, 3 pasangan karena poligami, 2 pasangan krisis
akhlak, kawin paksa, dan kekerasan. Alasan serupa terjadi di wilayah PA
yang merasa terganggu pihak ketiga. Berita itu kian menarik karena
faktanya perceraian di kedua PA tersebut bukan karena faktor ekonomi.
Mungkin karena kedua daerah terbilang daerah yang makmur di Sumatera
Barat, bahkan tingkat pendidikan penduduk juga terbilang tinggi. Di lima
puluh kota saja diperkirakan rata-rata tiga sarjana tiap rumah. Sementara di
PA Padang, lebih 700 kasus perceraian, didominasi pasangan berusia
antara 21-41 tahun. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar dan tak
punya penghasilan tetap.
Tampaknya angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun,
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Padang mencatat pada 2012 terdapat
6.154 perkara talak/cerai secara Islam. Faktor penyebab perceraian karena
tidak adanya tanggungjawab mencapai 38,24 persen. Secara nasional,
menurut Dirjen Badilag Mahkamah Agung, Wahyu Widiana, seperti
dikutip Republika, Selasa (24/1/2012), sejak 2005 rata-rata terjadi
peningkatan di atas 10 persen setahun. Pada 2010 di Indonesia terjadi
285.184 perceraian. Penyebabnya, sebanyak 91.841 perkara akibat
ketidakharmonisan, 78.407 perkara suami tak bertanggungjawab, dan
masalah ekonomi 67.891 perkara.
Menurut Dagun (1990:146) perceraian dalam keluarga itu biasanya
berawal dengan suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini
sampai titik kritis maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu,
Pada saat kemelut, biasanya masing-masing pihak mencari jalan keluar
mengatasi berbagai rintangan dan menyesuaikan diri dengan hidup baru.
Hidup berkeluarga tidak semata-mata hanya untuk menghindari
perceraian, tetapi untuk membangun keluarga yang harmonis. Dari
pengamatan dan wawancara, pasangan suami istri yang harmonis dalam
menjalani rumah tangganya dengan saling menjaga kepercayaan,
keterbukaan, mengerti, menerima kekurangan dan kelebihan
masing-masing dan juga saling mengisi satu sama lain. Sikap-sikap tersebut
ternyata juga berdampak untuk hal yang lainnya seperti lebih semangat
dalam bekerja, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, lebih mampu
menjaga dalam bersosialisasi dengan orang lain, dan lain sebagainya.
Berdasarkan dari pengamatan, wawancara yang dilakukan dan didukung
beberapa fakta penelitian dapat disimpulkan kesiapan psikologis sangat
mempengaruhi dalam hidup berumahtangga.
Menurut Setiono (2011:9) dari pendekatan psikologi, keluarga
harmonis, atau bisa juga disebut keluarga serasi, adalah bila interaksi
antara anggota keluarga terpenuhi, dan khusus dari sudut pandang
psikologi perkembangan, perkembangan keluarga optimal, mengingat
keluarga adalah lingkungan pertama atau utama. Perlu adanya
pertimbangan dan pemantapan pada calon pasangan suami istri sebelum
hidup berkeluarga, bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keluarga
Setelah melihat fenomena di atas, maka menarik untuk meneliti
calon suami/istri tetapi lebih berfokus pada faktor psikologisnya. Untuk
melakukan penelitian lebih mendalam maka diangkat judul “Deskripsi
tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga dan
implikasi terhadap usulan topik-topik bimbingan berkeluarga”. Melalui
ini diharapkan akan ada manfaat yang dapat diambil oleh calon suami/istri
dalam mempersiapkan hidup berkeluarga.
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, terkait dengan
kesiapan psikologis calon suami/istri dapat diidentifikasi berbagai masalah
sebagai berikut:
1. Kurangnya kesiapan psikologis pada calon suami/istri terutama dalam
berkomunikasi untuk hudup berkeluarga.
2. Adanya indikasi pada calon suami/istri yang cenderung banyak
angan-angan hidup bahagia dalam berkeluarga tanpa memikirkan
kemungkinan-kemungkinan masalah yang bisa/akan terjadi
didalamnya.
3. Kurang adanya pertimbangan pada calon suami/istri untuk hidup
berkeluarga.
4. Kurang adanya kesiapan psikologis untuk perannya yang baru sebagai
C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, fokus kajian diarahkan untuk menjawab
kesiapan psikologis calon suami/istri yang lebih pada mengungkap
komunikasi untuk hidup berkeluarga.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Seberapa baik tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup
berkeluarga untuk dasar penyusunan program?
2. Topik bimbingan apa sajakah yang sesuai dengan bimbingan kesiapan
psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mendiskripsikan kesiapan psikologis calon suami/istri untuk menuju
hidup berkeluarga.
2. Merumuskan topik bimbingan yang mengikuti kesiapan psikologis
calon suami/istri untuk hidup berkeluarga.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi tolak ukur yang dapat
digunakan penyelenggara program persiapan hidup berkeluarga
untuk melihat seberapa kesiapan psikologis calon suami/istri.
b. Penyelenggara program persiapan hidup berkeluarga juga dapat
menentukan langkah-langkah yang dapat diberikan kepada calon
suami/istri yang mengikuti persiapan hidup berkeluarga
kaitannya dalam meningkatkan kesiapan psikologis dalam hidup
berkeluarga yang perlu dikembangkan.
2. Bagi calon suami/istri
a. Calon suami/istri dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk
melihat seberapa baik persiapan psikologis mereka dalam hidup
berkeluarga.
b. Berdasarkan hasil penenlitian ini calon suami/istri dapat lebih
lanjut mempersiapkan hidup berkeluarga.
3. Bagi peneliti
a. Dapat belajar untuk lebih memahami kesiapan psikologis calon
suami/istri untukhidup berkeluarga.
b. Dapat belajar untuk mempersiapakan program persiapan
berkeluarga bagi calon suami/istri sebelum berkeluarga.
c. Dapat mengusulkan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk
membantu meningkatkan kesiapan psikologis calon suami/istri
G. Definisi Operasional Variabel
Adapun Definisi Operasional Variabel dalam penelitian ini yaitu:
1. Calon suami/istri adalah individu yang memiliki komitmen untuk
melanjutkan ke ikatan yang lebih serius dalam pernikahan atau hidup
berkeluarga.
2. Kesiapan psikologis calon suami/istri menuju hidup berkeluarga
adalah kesiapan jiwa sebelum hidup berkeluarga meliputi:
a. Kematangan emosi
b. Menerima pasangan
c. Memelihara hubungan
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini dipaparkan mengenai konsep hidup berkeluarga/perkawinan
dan konsep peranan faktor psikologis dalam hidup berkeluarga.
A. Hidup Berkeluarga/Perkawinan
Calon suami/istri adalah individu yang memiliki komitmen yang
lebih serius untuk melanjutkan ke ikatan pernikahan atau hidup
berkeluarga. Menurut Hornby (dalam Walgito, 1984:9) marriage: the
union of two persons as husband and wife (perkawinan itu adalah
bersatunya dua orang sebagai suami istri). Naluri untuk hidup berpasangan
terwujud dalam bentuk perkawinan (Nurhayati, 2011:203). Purwadarminta
(dalam Walgito, 1984:9) kawin dapat diartikan sebagai pernikahan, yakni
perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Kebutuhan
berpasangan membentuk rumah tangga sebagai tugas perkembangan usia
dewasa (Nurhayati, 2011:203). Untuk menyalurkan naluri berpasangan
dengan lawan jenis, agama mensyariatkan kepada laki-laki dan perempuan
untuk “menikah”, sehingga dorongan yang bergejolak itu tersalurkan dan
masing-masing menjadi tentram (Nurhayati, 2011:204).Pasangan suami
istri adalah dua individu yang sudah mengikat janji dalam
pernikahan/perkawinan, baik secara agama maupun negara yang sudah
diakui oleh masyarakat.
Pernikahan/perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang
membentuk sebuah keluarga. Tujuan umum calon suami/istri dari
pernikahan/pekawinan adalah hidup bersama dengan pasangan yang
dicintai dan mendapatkan keturunan untuk mencapai kebahagiaan dalam
keluarga yang harmonis. Setiono (dalam Nurhayati, 2011:9) dari
pendekatan psikologi, keluarga harmonis, atau bisa juga disebut keluarga
serasi, adalah bila interaksi antara anggota keluarga terpenuhi; dan khusus
dari sudut pandang psikologi perkembangan, perkembangan keluarga
optimal, mengingat keluarga adalah lingkungan pertama atau utama.
Dalam mencapai keharmonisan keluarga bukan hal mudah kerena
dalam pernikahan/perkawinan melibatkan dua individu yang pasti
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut yang tidak menutup kemungkinan
menimbulkan suatu masalah. Maka demi membentuk keluarga yang
harmonis, calon pasangan suami istri perlu mempersatukan perbedaan
untuk satu tujuan yang sama dalam membangun berkeluarga yang
harmonis. Dalam tujuan membangun keluarga yang harmonis perlu
disadari bahwa tujuan tersebut akan dicapai bersama-sama dengan
pasangan.
B. Persiapan Hidup Berkeluarga
Persiapan hidup berkeluarga sangat diperlukan untuk membangun
keluarga yang harmonis. Persiapan berkeluarga tidak hanya dengan
sama-sama mencintai tetapi juga perlu beberapa persiapan lainnya seperti
tersebut ada karena kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap
individunya. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu dapat
digolongkan menjadi:
1. Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang
berkaitan dengan jasmani,kebutuhan yang diperlukan untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai mahluk hidup, misalnya
kebutuhan akan makanan, minuman, seksual, udara segar.
2. Kebutuhan psikologis
Kebutuhan psikologis yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan segi psikologis, misalnya kebutuhan akan rasa aman, kasih
sayang.
3. Kebutuhan sosial
Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan
interaksi sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain,
misalkan berteman, bersaing.
4. Kebutuhan Religi
Kebutuhan religi yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan
dengan kekuatan yang diluar diri manusia, kebutuhan berhubungan
C. Peranan Faktor Psikologis dalam Hidup Berkeluarga
Dalam hidup berkeluarga/perkawinan faktor psikologis adalah
salah satu hal yang penting. Relasi suami istri memberi landasan dan
menentukan warna begi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak
keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri.
Kunci dari kelanggengan perkawianan adalah dalam keberhasilan
melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat
dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes (Lestari,
2012:9). Dalam hal ini, komunikasi yang baik ikut berperan untuk
membangun harmonis. Menjalin komunikasi yang baik dalam berkeluarga
meliputi:
1. Kematangan Emosi
Orang yang matang secara emosi mempunyai persepsi obyektif dan
mampu memberi respon positif. Menurut Walgito (1984) mengenai
peranan psikologis dalam perkawinan ada beberapa, diantaranya
menjelaskan kematangan emosi. Kematangan emosi meliputi, yaitu
persepsi obyektif dan respon positif. Orang yang matang emosinya
biasanya mampu mengelola emosi, sehingga dalam keadaan emosi
yang seperti apapun, baik emosi positif seperti senang, bahagia, rindu,
maupun negatif seperti marah, kecewa, ia tetap dapat menempatkan
diri. Orang yang dapat menempatkan diri biasanya memiliki persepsi
Dalam hidup berkeluarga tentu kematangan emosi juga sangat
penting untuk mecapai keluarga yang harmonis. Emosi yang matang
didalamnya ada persepsi obyektif artinya melihat lebih dalam sebab
dan akibat sebuah kejadian, keadaan yang terjadi dalam diri atau
pasangan. Dengan lebih melihat kejadian, keadaan secara obyektif
orang dapat memberi respon secara positif. Respon positif berarti
dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik tanpa meledak-ledak
sehingga berdampak pada diri sendiri maupun orang lain. Jadi
persepsi obyektif dan respon positif saling mempengaruhi.
Orang yang memiliki persepsi obyektif maka seharusnya juga
dapat memberi respon positif begitu juga sebaliknya, orang yang
mampu merespon positif biasanya juga mempunyai persepsi obyektif.
Sebelum hidup berkeluarga calon suami/istri akan jauh lebih baik jika
mempersiapkan dirinya terlebih dahulu, salah satunya dengan
mengelola emosi agar emosinya benar-benar matang. Dengan emosi
yang matang maka orang akan disiapkan pula untuk mampu
menghadapi kemungkinan-kemungkinnya yang tidak terduga dalam
hidup berkeluarga.
Dalam hubungan tentu tidak akan selalu baik seperti apa yang
diinginkan. Maka calon suami/istri perlu belajar dalam mmengelola
emosi dengan membentuk persepsi secara obyektif dan memberikan
hidup berkeluarga. Jadi di dalam emosi yang matang terdapat persepsi
yang obyektif dan respon yang positif.
2. Menerima Pasangan
Selain kematangan emosi, menerima pasangan juga salah satu hal
yang sangat penting untuk membina hidup berkeluarga. Orang yang
menerima pasangan karena mengenal dapat mengerti tentang
pasangan. Untuk itu sebelum hidup berkeluarga calon suami/istri perlu
mengenal pasangan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
upaya mengenal pasangan, yakni perbedaan-perbedaan yang dimiliki
masing-masing (Gunarsa, 2002:5). Mengenal pasangan tidak hanya
sekedar tahu siapa namanya, tetapi mengenal pasangan berarti tahu
bahwa pasangan dari keluarga yang seperti apa, memahami pola asuh
kedua orangtuanya, mengetahui lingkungan sekitarnya dan lain
sebagainya.
Mengetahui banyak tentang pasangan, membuat calon suami/istri
dapat lebih mengerti, sehingga calon suami/istri tidaklah merasa
kaget, heran dengan sifat pasangannya. Dengan mengenal calon
suami/istri dapat saling memberikan pengertian pula. Dengan adanya
saling pengertian ini masing-masing pihak saling mengerti akan
kebutuhan-kebutuhannya, saling mengerti akan kedudukan dan
perannya masing-masing, sehingga dengan demikian diharapkan
(Walgito, 1984:47). Semakin mengenal juga membuat calon
suami/istri lebih mengerti dan mau memberikan toleransi.
Sikap bertoleransi yang baik perlu dibina dan hal tersebut dapat
dilakukan kalau adanya pengertian dari masing-masing pihak
(Walgito, 1984:44). Membina hubungan suami-istri yang akrab dan
mesra memerlukan tekad baik dan derajat toleransi yang tinggi untuk
dapat mengatasi macam-macam masalah (Gunarsa, 2002:11). Melalui
hal tersebut calon suami/istri belajar untuk semakin mengerti.
3. Memelihara Hubungan
Setelah mengenal pasangan sehingga dapat mengerti pasangan,
calon suami/istri juga perlu belajar memelihara hubungan yang baik
dengan pasangan. Tentu dalam sebuah hubungan itu harus dipelihara
agar tidak terjadi pertengkaran, kekecewaan maupun hal-hal negatif
lainnya. Hal yang diinginkan pastilah hal-hal yang positif seperti
kebahagiaan, keterbukaan, kejujuran dan banyak lagi yang mengarah
keharmonisan.
Untuk mencapai keharmonisan, cinta adalah modal utama
mengingat bahwa cinta adalah salah satu kebutuhan manusia. Rasa
cinta perlu dipupuk dengan adanya perhatian, untuk selalu
memeliharanya. Perhatian tersebut dapat ditunjukan dengan peka
terhadap keadaan pasangan, mengingatkan pasangan, memberi
dengan adanya berbagai macam kebutuhan antara lain kebutuhan rasa
aman, kebutuhan akan rasa cinta, kebutuhan akan aktualisasi diri,
kesemuanya pada dasarnya ingin mendapatkan pemenuhan, tidak
terkecuali dalam kehidupan berkeluarga. Maslow mengatakan bahwa
salah satu kebutuhan manusia adalah akan rasa cinta kasih (love
needs) dan kebutuhan ini juga ingin mendapatkan pemenuhannya
(Walgito, 1984:48).
Untuk memenuhi kebutuhan cinta maka orang juga harus mampu
memelihara hubungan. Dalam memelihara hubungan perlu ada rasa
percaya dan pengertian. Dengan adanya rasa percaya maka orang
berani untuk terbuka dalam berkomunikasi dengan pasangan, tidak
ragu dalam berbagi cerita dalam hal apapun sehingga tidak
menimbulkan rasa negatif yang akan membuat hati kurang nyaman.
Keluarga yang tidak memiliki rasa saling percaya satu sama lain,
maka dapat dikatakan bahwa keluarga itu hidup di atas sekam yang
berapi, akan adanya rasa panas (Walgito, 1976:49). Maka kepercayaan
dan perhatian itu sangatlah penting dalam hubungan dan perlu
dipelihara. Setelah memelihara dan membina hubungan suami-istri
dengan melancarkan komunikasi dalam mengatasi masalah
4. Menjaga Komitmen
Tidak cukup dengan memelihara saja, dalam hidup berkeluarga
juga perlu menjaga komitmen. Perlu disadari dalam hidup berkeluarga
tentu sedikit atau banyak akan mempengaruhi sikap seseorang.
Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap relasi dalam
berhubungan. Relasi-relasi pasangan tidak statis, tetapi tak terelakan
berubah sebagai konsekuensi dari tahap perkembangan relasi
(Geldard, 2009:358). Jadi dengan berjalannya waktu, perubahan dari
sikap seseorang itu pasti ada. Sehingga jika terjadi perubahan sikap
pada pasangan atau diri sendiri adalah hal yang wajar. Orang perlu
menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya juga berdampak pada
pasangan.
Perubahan sikap yang terjadi pada seseorang dipengaruhi antara
lain karena kesibukan, lingkungan sekitar, perkembangan diri,
cita-cita atau keinginan diri dan masih banyak lagi. Saat pasangan terlihat
berbeda atau berubah sikap, sering kali orang menuntut pasangan
untuk seperti dulu atau yang diinginkan. Tetapi, jika itu berbalik maka
orang pun akan marah pada pasangan karena merasa dituntut.
Perubahan yang terjadi pada pasangan sering kali tidak dipahami dan
perubahan diri sendiri sering kali tidak disadari, sehingga orang
dikuasai oleh ego dan melupakan komitmen awal dalam menjalani
Penting bagi calon suami/istri menyadari perubahan yang terjadi
pada diri sendiri atau pasangan, dan berusaha untuk dapat
menyikapinya dengan baik atas perubahan-perubahan tersebut.
Menurut Goldenberg Keggua pasangan harus menunjukan
kemampuan untuk mengubah aturan-aturan untuk berelasi satu sama
lain saat relasi mereka berkembang, sambil memepertahankan
beberapa atauran agar dapat mempertahankan suatu tingkat stabilitas
dalam relasi mereka (Geldard, 2011:359). Setiap perubahan yang
mempengaruhi relasi dalam hubungan, dapat disikapi dengan baik
apabila memahami dan mengingat kembali komitmen yang sudah
disepati bersama.
Menjaga komitmen dalam hidup berkeluarga perlu kemandirian
dan tanggung jawab. Kemandirian berarti dapat menghadapi segala
tantangan hidup dengan sebisa dan sebaik mungkin tanpa
ketergantungan dengan orang lain, apalagi lari dari masalah. Dapat
menghadapi tantangan hidup yang dimaksut adalah tahu akan
batasan-batasan dalam bergaul, tidak tergantung pada orang lain, dapat
menjaga nama baik pasangan dan mampu menyelesaikan masalah
bersama pasangan dengan penuh bijaksana dan tanggung jawab.
Apabila kita memiliki masalah alangkah baik jika kita membicarakan
bersama untuk mendapatkan solusinya, hal tersebut membuat individu
Dalam hidup berkeluarga tentu perlu sikap kemandirian yang
diimbangi dengan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti berani
menanggung segala kosekuensi yang telah dipilih atau diputuskan.
Maka dalam mengambil keputusan perlu dipikirkan secara matang
agar tidak terjadi penyesalan. Bertanggungjawab pada calon suami
istri adalah mampu menjaga diri, menjaga pasangan dan mempunyai
target menikah, memiliki anak dan lain sebagainya. Hal ini perlu
dimiliki calon suami/istri agar dapat melihat jauh dalam berhubungan
agar mempunyai gambaran untuk dapat semakin belajar dan
mempersiapkan psikologisnya kembali.
Hal-hal tersebut tidaklah bisa dilakukan sendiri, tetapi setiap
individu terlebih yang ingin menikah/berkeluarga perlu memiliki
kesadaran untuk tergerak dan melakukannya. Dalam kehidupan
berkeluarga melibatkan suami dan istri, jadi berhasil dan tidaknya
menjalankan hidup berkeluarga tergantung pada keduanya. Dengan ini
calon suami/istri diharapkan semakin belajar sebelum memutuskan untuk
hidup berumah tangga karena hidup berkeluarga adalah perjalanan hidup
yang panjang. Perjalanan hidup yang panjang tersebut akan menyenangkan
apabila jalannya dipersiapkan secara matang, tetapi sebaliknya akan terasa
menyebalkan, membuat stres atau tekanan batin apabila tidak ada
D. Topik Bimbingan Persiapan Hidup Berkeluarga
Topik Bimbingan Persiapan Hidup Berkeluarga adalah topik yang
diajukan kepada calon suami/istri yang akan berkeluarga, agar memiliki
gambaran lebih luas dan dapat mempersiapkan lebih matang sebelum
mengambil keputusan untuk hidup berkeluarga. Persiapan ini berfokus
pada persiapan psikologis, yang meliputi kematangan emosi, menerima
pasangan, memelihara hubungan dan menjaga komitmen. Calon
suami/istri yang mengikuti program Persiapan Hidup Berkeluarga akan
23
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi
penelitia, antara lain jenis penelitian, subyek penelitian, instrumen pengumpulan,
reliabilitas angket, teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode survey. Penelitian deskriptif merupakan metode
penelitian yang berusaha menggambarkan objek sesuai dengan keadaan
yang terjadi didalamnya secara nyata/apa adanya/tidak dibuat-buat
(Azwar, 2012). Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat
kesiapan psikologis calon suami/isteri dengan cara mengambil sampel.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah calon suami/istri yang dipilih secara
acak, dijumpai/bertempat tinggal di Yogyakarta. Subyek penelitian adalah
individu yang memiliki pasangan/pacar/tunangan, minimal usia hubungan
2 tahun. Subyek penelitian memiliki usia hubungan antara 2 tahun sampai
8 tahun. Subyek penelitian berjumlah 38 orang. Berbandingan subyek
penelitian antara laki-laki dan perempuan yaitu 1:3, dan dilihat dari segi
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket yang
disusun sendiri. Pertama-tama kisi-kisi dibuat dengan menentukan aspek
dan indikator kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup
berkeluarga. Kemudian membuat item pernyataan berdasarkan indikator
setiap aspek.
Berikut ini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan angket:
1. Pengertian Angket Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri
Angket ini memuat pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan
tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga.
Angket ini bersifat tertutup, artinya alternatif jawaban sudah
disediakan sehingga calon suami/istri tinggal memilih alternatif
jawaban yang sesuai.
2. Skala Pengukuran dan Penentuan Skor
a. Skala pengukuran
Angket ini memiliki 4 alternatif jawaban yaitu Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Alternatif jawaban dibuat hanya empat dengan
maksud untuk menghilangkan kelemahan yang ada dalam skala
lima tingkat, yaitu alternatif yang di tengah (alternative ketiga)
mempunyai arti belum dapat memutuskan atau ragu-ragu.
Tersedianya jawaban netral menimbulkan kecenderungan
responden untuk memilih (central tendency effect), terutama bagi
Pernyataan-pernyataan yang digunakan adalah pernyataan
yang diharapkan dapat mengungkapkan kesiapan psikologis calon
suami/istri. Rekapitulasi aspek-aspek dan nomor item angket
tentang tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup
berkeluarga disajikan dalam Tabel1.
Tabel 1
Kisi-kisi Angket Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Aspek Indikator No Item Jumlah
Skor untuk alternatif jawaban tersedia dalam bentuk norma
skoring. Norma skoring dikenakan terhadap pengolahan data yang
dihasilkan dari instrumen angket Tingkat Kesiapan Psikologis
Tabel 2
Norma Skoring Inventori Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Angket dikonstruk berdasarkan aspek-aspek Kesiapan Psikologis
Calon Suami/Istri untuk berkeluarga. Kisi-kisi angket kesiapan
psikologis calon suami/istri untuk berkeluarga dijabarkan pada
Tabel 3 pada lampiran.
D. Validitas dan Reliabilitas
1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi
ukurnya. Suatu tes atau instrument pengukur dikatakan mempunyai
validitas yang tinggi apabila alat yang bersangkutan menjalankan
fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
maksud pengukuran. Suatu alat ukur yang valid, tidak sekedar mampu
mengungkapkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan
gambaran yang cermat mengenai data tersebut.
Validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas isi
tidak dapat dinyatakan dengan angka, namun pengesahannya perlu
Alternatif Jawaban Skor Favourable Skor Unfovourable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
melalui tahap pengujian terhadap isi alat ukur dengan kesepakatan
penilai dari beberapa penilai yang kompeten (expert judgement)
(Azwar, 2012). Dalam penelitian ini, instrumen penelitian
dikonstruksi berdasarkan aspek-aspek yang akan diukur dan
selanjutnya dikonsultasikan pada beberapa ahli dalam bidangnya.
Ahli-ahli tersebut antara lain: dosen pembimbing, ahli psikologi.
Hasil konsultasi yang telah dilakukan oleh para ahli dilengkapi
dengan pengujian empirik dengan cara mengkorelasikan skor-skor
item instrument terhadap skor-skor total aspek dengan teknik korelasi
Spearman’s Rho menggunakan aplikasi SPSS for Window. Rumus
korelasi Spearman’s Rho adalah sebagai berikut:
Keterangan :
rs = Koefisien Korelasi Spearman
Σd² = Total Kuadran selisih antar ranking
n = Jumlah Sampel Penelitian
Keputusan ditetapkan dengan nilai koefisien validitas yang
minimal sama dengan 0,30 (Azwar, 2010). Apabila terdapat item yang
gugur atau tidak valid. Berdasarkan perhitungan statistik yang telah
dilakukan, diperoleh 51 item yang valid dan 13 item yang tidak valid
terdapat pada tabel 4
Tabel 4
Butir Item-item Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Berkeluarga yang Valid dan Tidak Valid
Aspek Indikator Item
64
TOTAL 51 13
2. Reliabilitas
Reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil pengukuran.
Pengukuran yang mempunyai reliabilitas tinggi yaitu yang mampu
memberikan hasil ukur yang terpercaya, disebut reliable. Pengukuran
yang menggunakan instrumen penelitian dikatakan mempunyai nilai
reliabilitas yang tinggi, apabila alat ukur yang dibuat mempunyai hasil
yang konsisten dalam mengukur apa yang hendak diukur.
Perhitungan indeks reliabilitas angket penelitian ini menggunakan
pendekatan koefisien Alpha Cronbach (α). Adapun rumus koefisien
reliabilitas Alpha Cronbach (α) adalah sebagai berikut:
α =
2[1-
]
Keterangan rumus :
S12 dan S22 :Varians skor belahan 1 dan varians skor
belahan 2
Sx2 :Varians skor skala
Hasil data tes dari angket tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri
yang dipilh secara acak dan dilakukan di Yogyakarta. Perhitungan
koefisien reliabilitas seluruh intrumen dengan menggunakan rumus
2 S
2 S + 2 S
koefisien alpha yaitu 0,809 dapat disimpulkan bahwa koefisien
instrument masuk dalam kategori tinggi. Perhitungan indeks
reliabilitas dikonsultasikan dengan kriteria Guilford (Masidjo, 1995)
dan tersaji dalam tabel 5.
Tabel 5
Kriteria Guilford
Koefisien Korelasi Kualifikasi
0,91 – 1,00 Sangat Tinggi 0,71 – 0,90 Tinggi 0,41 – 0,70 Cukup 0,21 – 0,40 Rendah negatif – 0,20 Sangat Rendah
E. Prosedur Pengumpulan Data
Berikut ini adalah tahap-tahap yang ditempuh pada pengumpulan data:
1. Persiapan dan Pelaksanaan
a. Mempelajari buku-buku tentang kesiapan psikologis calon
suami/istri
b. Menyusun angket tentang kesiapan psikologis calon suami/istri
dengan mengikuti beberapa langkah, yaitu:
1) Menetapkan dan mendefinisikan variabel penelitian, yaitu
tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri
2) Menjabarkan variabel penelitian ke dalam aspek-aspek dan
3) Menyusun item-item pernyataan sesuai dengan aspek dan
indikator yang sudah dibuat
4) Mengkonsultasikan angket pada dosen pembimbing
2. Pengumpulan Data
Angket yang sudah dikonsultasikan dengan dosen
pembimbing dan diperbolehkan digunakan untuk penelitian,
kemudian dipergunakan untuk pengumpulan data penelitian.
Pengumpulan data tersebut dilaksanakan pada tanggal 27-30
Agustus 2015. Jumlah calon suami/istri yang menjadi subyek
penelitian sebanyak 38 orang.
F. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya mengenai tingkat kesiapan
psikologis calon suami/istri. Langkah-langkah yang digunakan untuk
melakukan analisis data adalah sebagai berikut:
1. Peneliti menentukan skor pada setiap alternatif pilihan jawaban,
skoring untuk pernyataan positif adalah: sangat sesuai = 4, sesuai =
3, tidak sesuai = 2, sangat tidak sesuai = 1 dan untuk pernyataan
negatif adalah sebaliknya: sangat sesuai = 1, sesuai = 2, tidak
2. Membuat tabulasi data dan menghitung skor masing-masing
responden dengan menggunakan bantuan Microsoft office excel,
kemudian diolah menggunakan bantuan Statistical Product and
Service 16.0 (SPSS 16.0) guna menentukan validitas dan
reliabilitas.
3. Menentukan tingkat kesiapan psikologis calon suami/istri yang
mengacu pada pedoman Azwar (2012) dengan lima jenjang
kategori yaitu, sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat
rendah. Norma kategorisasi yang digunakan dapat dilihat pada
tabel 6.
Tabel 6
Norma Kategorisasi Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Perhitungan Skor Kategori
µ+1,5 σ < X Sangat Tinggi
µ+0,5 σ < X ≤ µ +1,5 σ Tinggi
µ- 0,5 σ < X ≤ µ+0,5 σ Sedang
µ- 1,5 σ < X ≤ µ-0,5 σ Rendah
Keterangan:
X maksimum teoritik :Skor tertinggi yang diperoleh subjek
penelitian berdasarkan perhitungan
skala
X minimum teoritik :Skor terendah yang diperoleh subjek
penelitian berdasarkan perhitungan
skala
Standar deviasi (σ/ sd) :Luas jarak rentangan yang dibagi
dalam 6 satuan deviasi sebaran.
µ (mean teoretik) :Rata-rata teoritis skor maksimum dan
minimum.
4. Mencari patokan yang akan digunakan dengan mencari X
maksimal teoritik dan X minimum teoritik, standar devisiasi dan
mean teoritik. Perhitungan dalam penggolongan norma kategorisasi
disesuaikan dengan item penelitian yang berjumlah 51 butir item.
Dari 51 item dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
Skor maksimum teoritik : 4 x 51 = 204
Skor minimum teoritik : 1 x 51 = 51
Luas Jarak : 204 – 51 = 153
Standardeviasi (σ/ sd) : 253 : 6= 25,5
Setelah perhitungan maka akan diperoleh kategori skala. Kategori
skala dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7
Kategorisasi Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Perhitungan Skor Rerata Skor Keterangan
µ+1,5 σ < X 165,75< X Sangat
Tinggi
µ+0,5 σ < X ≤ µ +1,5
σ 140,25< X ≤ 165,75 Tinggi
µ- 0,5 σ < X ≤ µ+0,5
σ 114,74 < X ≤140,25 Sedang
µ- 1,5 σ < X ≤ µ-0,5 σ 89,25 < X ≤ 114,75 Rendah
µ- 1,5 σ 89,25 Sangat
Rendah
Data setiap subjek penelitian dikelompokkan berdasarkan skor total
yang diperoleh ke dalam kategori di atas yaitu sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah dan sangat rendah. Data dapat dihitung jumlah dan
persentasenya dalam ketegori deskripsi tingkat kesiapan psikologis
calon suami/istri.
5. Peneliti mengkategorisasikan item menggunakan skala untuk
mengetahui item mana yang sudah baik dan yang kurang baik.
Norma kategorisasi skor item kesiapan psikologis calon suami/istri
diperoleh ke dalam kategori di atas yaitu sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah dan sangat rendah. Norma kategorisasi yang
Tabel 8
Norma Kategorisasi Skor Item Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Perhitungan Skor Kategori
µ+1,5 σ < X Sangat Tinggi
µ+0,5 σ < X ≤ µ +1,5 σ Tinggi
µ- 0,5 σ < X ≤ µ+0,5 σ Sedang
µ- 1,5 σ < X ≤ µ-0,5 σ Rendah
µ- 1,5 σ Sangat Rendah
Keterangan:
X maksimum teoritik :Skor tertinggi yang diperoleh
subjek penelitian berdasarkan
perhitungan skala
X minimum teoritik :Skor terendah yang diperoleh
subjek penelitian berdasarkan
perhitungan skala
Standar deviasi (σ/ sd) :Luas jarak rentangan yang
dibagi dalam 6 satuan deviasi
sebaran.
µ (mean teoretik) :Rata-rata teoritis skor
6. Mencari tinggi rendahnya skor item-item dengan
menggunakan N = 38. Dari N = 38 dapat diperoleh hasil
sebagai berikut:
Skor maksimum teoritik : 4 x 38 = 152
Skor minimum teoritik : 1 x 38 = 38
Luas Jarak : 152 – 38= 114
Standar deviasi(σ/ sd) : 114 :6= 19
µ (mean teoretik) : (152+ 38) : 2= 95
Setelah melakukan perhitungan, maka akan diperoleh ketegori
skala item. Kategori skala item dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9
Kategorisasi Skor Item Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Perhitungan Skor Rerata Skor Keterangan
µ+1,5 σ < X 123,5< X Sangat Tinggi
µ+0,5 σ < X ≤ µ +1,5 σ 104,5< X ≤ 123,5 Tinggi
µ- 0,5 σ < X ≤ µ+0,5 σ 85,5< X ≤ 104,5 Sedang
µ- 1,5 σ < X ≤ µ-0,5 σ 66,5< X ≤ 85,5 Rendah
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian mengenai hasil penelitian tentang tingkat kesiapan
psikologis calon suami/istri untuk hidup berkeluarga di Yogyakarta yang dipilih
secara acak dan pembahasan hasil penelitian.
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup
Berkeluarga
Berdasarkan data yang dikumpul dan dioalah, dapat diketahuai
tingkat kesiapan psikologis calon suami/isteri untuk hidup berkeluarga
µ- 1,5
σ 89,25 0 0% Rendah Sangat
Sangat Kurang
Baik
Kategorisasi tentang kesiapan psikologis calon suami/istri untuk hidup
berkeluarga dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:
Grafik 1
Grafik Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Berdasarkan tabel 11 dan gambar 1, terlihat bahwa:
a. Terdapat 14 calon suami/istri atau (37%) calon suami istri yang
memiliki tingkat kesiapan psikologis yang sangat tinggi.
b. Terdapat 19 calon suami/istri atau (50%) calon suami istri yang
memiliki tingkat kesiapan psikologis yang tinggi.
c. Terdapat 5 calon suami/istri atau (13%) calon suami istri yang
memiliki tingkat kesiapan psikologis yang sedang.
d. Terdapat 0 calon suami/istri atau (0%) calon suami istri yang
memiliki tingkat kesiapan psikologis yang rendah.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%
Sangat Tinggi
e. Terdapat 0 calon suami/istri atau (0%) calon suami istri yang
memiliki tingkat kesiapan psikologis yang sangat rendah.
2. Hasil Skor Item-item Tingkat Kesiapan Psikologis Calon
Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Berdasarkan data yang terkumpul dan diolah maka dapat diketahui
skor-skor item yang termasuk dalam kategori sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah dan sangat rendah. Hasil kategorisasi item dapat dilihat
pada tabel 11.
Tabel 11 Kategorisasi Skor Item
Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga
Formula
Kategorisasi tentang skor item kesiapan psikologis calon suami/istri
Grafik 2.
Grafik Skor Item Deskripsi Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untik Hidup Berkeluarga
Berdasarkan tabel 12 dan gambar 2, terlihat bahwa:
a. Terdapat 20 item atau (39%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sangat tinggi
b. Terdapat 22 item atau (43%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang tinggi
c. Terdapat 9 item atau (18%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sedang
d. Terdapat 0 item atau (0%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang rendah
e. Terdapat 0 item atau (0%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sangat rendah
Secara keseluruhan menjukan bahwa ketercapaian semua aspek
kesiapan psikologis dalam penelitian ini termasuk dalam kategori
0% 5% 10% 15% 20% 25%
Sangat Tinggi
tinggi. Perhitungan skor terlihat bahwa tidak terdapat item yang
termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah. Perhitungan skor
terlihat terdapat 9 item atau 18% termasuk dalam kategori sedang.
Butir-butir tersebut dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12
Item-item Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk Hidup Berkeluarga yang Termasuk dalam Kategori Sedang
Aspek Indikator No.Item Item Hasil
11 Saya menunjukkan rasa sayang saya
Percaya 37 Saya memilah-milah untuk
38 Saya menanyakan informasi tentang pasangan saya kepada orang lain untuk memastikan
39 Saya perlu
Mandiri 43 Saya menceritakan hubungan saya
44 Saya terbuka dalam menceritakan
Item-item diatas yang tergolong sedang akan digunakan sebagai dasar
pembuatan usulan topik-topik.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Deskripsi Hasil Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri
untuk Hidup Berkeluarga
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang pembatasan, ada yang
perlu diungkapkan terlebih dahulu sehubung dengan keterbatasan yang
masih terkandung dengan intrumen penelitian ini. Pertama, angket
memiliki kelemahan yaitu membatasi calon suami/istri dalam
menanggapi pernyataan yang terdapat dalam angket. Kedua, hal-hal
yang dialami dan dirasakan oleh calon suami/istri dalam kesiapan
psikologis sebelum hidup berkeluarga tidak seluruhnya terungkap
dalam angket. Ketiga, hasil penelitian ini bukanlah hasil yang tetap
karena kemungkinan kesiapan psikologis calon suami/istri dapat
berubah dengan berjalannya waktu.
Pada penelitian ini tidak terdapat calon suami/istri yang memiliki
tingkat kesiapan psikologis yang rendah dan sangat rendah. Pada
penelitian ini menunjukan bahwa beberapa calon suami/istri memiliki
tingkan kesiapan psikologis yang masih sedang, tetapi sebagian besar
calon suami/istri mempunyai kesiapan psikologis yang tinggi yaitu
mencapai 50%. Faktor yang mungkin melatarbelakangi calon
suami/istri tersebut dari hasil pengamatan dan wawancara adalah
karena hubungan mereka sudah cukup lama, berkisar antara 2 tahun
samapai 8 tahun.
Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut meraka banyak
mengalami suka dan duka dalam hubungan. Tak hanya rasa suka saja
yang mereka hayati, tetapi rasa duka juga meneka hayati. Duka dalam
hubungan tersebut mereka olah sehingga mereka semakin dewasa
dalam mengambil sikap untuk hubungan mereka.
Dari rasa duka dalam hubungan tersebut calon suami/istri belajar
obyektif sehingga mampu memberi respon yang positif. Calon suami
istri juga belajar lebih menerima pasangan dengan mengenal pasangan
lebih dalam dan mengerti, mereka juga memelihara hubungan mereka
dengan memberi perhatian dan memberi rasa percaya. Selain itu juga
calon suami istri menjaga komitmen dengan sikap mandiri dan
bertanggung jawab.
Rasa duka yang calon suami/istri alami ini mereka maknai dan
mereka olah agar menjadi baik. Segala rasa suka yang mereka
rasakan, mereka berusaha pertahankan agar menjadi bekal dalam
cita-cita mereka untuk membangun keluarga yang harmonis.
Selain lama hubungan yang calon suami/istri jalani faktor ekonomi
sedikit banyak juga mempengaruhi kesipan psikologis untuk hidup
berkeluarga. Calon suami/istri yang menjadi subyek penelitian secara
ekonomi mereka termasuk dalam ekonomi menengah keatas. Jadi hal
tersebut juga menjadi keyakinan atau tidak menjadi kekawatiran
dalam mempersiapkan untuk hidup berkeluarga.
2. Item-item Tingkat Kesiapan Psikologis Calon Suami/Istri untuk
Hidup Berkeluarga
Berdasarkan hasil penelitian item tingkat kesiapan psikologis calon
suami/istri di Yogyakarta yang dipilih secara acak adalah sebagai
a. Terdapat 20 item atau (39%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sangat tinggi
b. Terdapat 22 item atau (43%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang tinggi
c. Terdapat 9 item atau (18%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sedang
d. Terdapat 0 item atau (0%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang rendah
e. Terdapat 0 item atau (0%) skor item tingkat kesiapan psikologis
calon pasangan suami/istri yang sangat rendah
Item-item yang termasuk dalam kategori sangat tinggi dan tinggi
dapat diartikan bahwa kesiapan psikologis untuk hidup berkeluarga
tersebut telah dimiliki oleh calon suami/istri dengan baik.
Kemampuan tersebut antara lain calon suami/istri mampu belajar
untuk mengolola kematangan emosi sehingga memiliki persepsi
obyektif. Dari persepsi obyektif mempengaruhi sikap, sehingga
mampu memberi respon yang positif. Calon suami/istri juga mau lebih
mengenal pasangan sehingga dapat belajar menerima pasangan.
Mereka juga mampu memelihara hubungan mereka dengan memberi
perhatian dan memberi rasa percaya. Selain itu calon suami istri
mampu menjaga komitmen dengan sikap mandiri dan bertanggung
Item-item yang berada dalam kategori sedang bukan berarti bahwa
kesiapan psikologis untuk hidup berkeluarga tersebut tidak dimiliki,
hanya saja kemempuan yang dimiliki belum maksimal. Kesiapan
calon suami/istri tersebut dapat diolah dan dikembangkan lagi agar
calon suami/istri benar-benar siap dalam menjalani hidup berkeluarga.
Item-item yang berada dalam kategori sedang antara lain:
a. Saya menerima dan mengolah masukan dari orang lain untuk
hubungan saya
b. Saya tidak akan mendengarkan komentar orang lain mengenai
hubungan saya
c. Saya menunjukan rasa sayang saya dengan selalu mengandeng
pasangan saya
d. Saya memilah-milah untuk menceritakan tentang diri saya kepada
pasangan saya
e. Saya menanyakan informasi tentang pasangan saya kepada orang
lain untuk memastikan
f. Saya perlu mengenal semua teman pasangan saya
g. Saya menceritakan hubungan saya pada orang lain untuk meminta
bantuan dalam mengambil keputusan
h. Saya terbuka dalam menceritakan hubungan saya dengan pasangan
pada sahabat saya