• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

KOMANG AGUNG CRI BRAHMANDA

NIM. 1103005255

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN

ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

Skripsi ini di buat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

KOMANG AGUNG CRI BRAHMANDA

NIM. 1103005255

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat anugerahnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN

ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) serta memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun inmateriil. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana..

6. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, SH., MS., Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(6)

7. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH, Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Ida Bagus Putra Admaja, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

9. Orang tua (I Putu Tuny Caka Bawa Landra dan Ni Made Ayu Ariani Inggas), Kakak (I Gede Anom Ananta Yudha), dan (I Nengah Cri Dharma Nickylananda) serta keluarga besar penulis yang selalu mendoakan, memberikan dorongan, tuntunan, bimbingan kepada penulis yang tak ternilai harganya.

10.Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

11.Bapak/Ibu Staff Tata Usaha, Perpustakaan, Laboratorium Hukum, dan Bapak/Ibu pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pelayanan dan mendukung selama perkuliahan dan penyusunun skripsi ini.

12.Sahabat-sahabat penulis (Kak Doron, Mas Rochman, Ko Hendra) yang sudah memberikan motivasi kepada penulis untuk masa depan dan seluruh teman-teman seperjuangan seangkatan 2011 yang telah memberikan pengalaman berkesan selama perkuliahan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menghargai dan menerima kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 13 Januari 2016 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 6

1.4 Tujuan Penulisan ... 6

1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat Penulisan ... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6 Landasan Teoritis ... 8

1.7 Metode Penelitian ... 16

1.7.1 Jenis Penelitian ... 16

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 17

1.7.3 Sumber Bahan Hukum ... 14

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 16

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANGPERLINDUNGAN HUKUM DAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) 2.1.1. Pengertian Perdagangan Orang (Human Trafficking) ... 23

2.1.2. Aspek-Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ... 26

(8)

2.1.4 Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana

Perdagangan Orang ... 33

BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN

TRAFFICKING) ... 38

3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang 38 3.2 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perdagangan Orang (Human Trafficking) ... 41

BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KORBAN

PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

4.1 Upaya Penanggulangan Perlindungan Korban Perdagangan

Orang (HumanTrafficking) ... 48

4.2 Penegakan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang

(Human Trafficking) Di Masa Mendatang ... 53

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 56 5.1 Saran ... 58

(9)
(10)

ABSTRAK

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

PERDAGANGAN ORANG (Human Trafficking)

Perdagangan manusia (Human Trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri maupun antar negara melalui mekanisme paksaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdaya atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti protitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Artikel ini secara khusus membahas tentang pengaturan perlindungan hokum terhadap korban perdagangan orang (human trafficking) dan perlindungan terhadap korban perdagangan orang (human trafficking) di masa mendatang. Adapun yang menjadi penulisan proposal ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perlindungan hokum terhadap korban perdagangan orang (human trafficking).Sedangkan manfaatnya adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dan memberi informasi mengenai perlindungan hokum terhadap perdagangan orang (human trafficking).

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian hokum normatif. Karena penelitian ini adalah berupa data sekunder yang berupa bahan hokum baik bahan hukum primer maupun hokum sekunder. Jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan pendekatan konsep. Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, dan argumentatif.

Kesimpulan yang dapat di tarik, 1) pengaturan perlindungan hokum terhadap korban perdagangan orang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur mengenai bentuk-bentuk perbuatan yang harus dihukum kepada pelaku maupun korporasi, tetapi terhadap beberapa ketentuan dalam perjanjian internasional. 2) pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat dilakukan melalui pengembangan norma hukum dan penegakan hukum. Pada tataran ini dapat dilakukan dengan menegakkan hukum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 melalui kerjasama dan persamaan persepsi aparat penegak hukum, sosialisasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dan juga bantuan hukum serta pendampingan bagi korban, dari segi sosial, kesehatan, dan psikologi.

(11)

ABSTRACT

HUMAN TRAFFICKING VICTIMS LEGAL PROTECTION (Human Trafficking)

The definition of human trafficking as an act which involve the removal, smuggling or human trafficking both domestically or between state through a coercion, threats, kidnapping, fraud and deceive or put someone in a forced labor circumstances such as a forced prostitution, domestic slavery labor, entanglement debt or any kind of labor practice. This article especially discuss about the regulation of human trafficking legal protection and its future regulation. This research aims to knowing and analyze the regulation of human trafficking victims legal protection. Then, the advantage is to give an information concerning about human trafficking victims legal protection.

This research applied normative legal research method, because this research using secondary legal materials. The statute approach were applied in this research and also the analyzed of legal materials that has been obtained is done by descriptive, analyze and argumentative method.

The conclusion drawn for each man issues as follows: 1) the regulation of human trafficking victims legal protection which is regulate in Act Number 21 of the year 2007 concerning Human Trafficking Criminal Action, its regulate about the kind of action that have to punish to the person who commits crime of the corporation, yet towards to some of international agreement, 2) the prevention of Human Trafficking Criminal Action can be done by the enforcement of Act Number 21 of the year 2007 through the corporation and common perception of law enforcement officers then it needs the socialization of that act and also giving the legal aid and an assistance to the victims from socially, health and psychology aspects.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Isu perdagangan orang sebenarnya bukanlah yang baru bagi masyarakat Internasional maupun Indonesia khususnya. Fenomena ini telah ada sejak zaman imperialisme dan kolonialisme. Perdagangan orang ini telah dikenal sejak abad ke-4 dan berkembang terus sampai abad ke-18, saat ini perkembangan perdagangan orang beralih pada kondisi rentan dan atau tersubodinasi. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak-anak mudah dibujuk dan dibohongi dengan iming-iming yang menggiurkan. Tindak pidana perdagangan orang terjadi akhir-akhir ini menunjukan tandensi meningkat namun penanganan terhadap kasus tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Perdagangan orang dapat diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama terhadap perempuan dan anak-anak. Perdagangan orang benar-benar suatu pelanggaran HAM karena korban diabaikan hak dasar sebagai manusia. Seperti hak untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup layak termasuk cukup sandang, pangan dan papan serta hak atas tingkat hidup atas tingkat hidup untuk kesehatan dan kesejahteraan diri.1

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menjelaskan bahwa setiap orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang. UUD NRI 1945 juga mengatur menangani hak asasi manusia tersebutdan diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.2

Selain didalam UUD NRI 1945, pengaturan hak asasi manusia juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

1

Made Sweda, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak-Anak Sebagai Korban Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Hubungkan Dengan Konvensi-Konvensi Intenasional, (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta, h.1.

2Ibid

,h.2.

(13)

2

(selajutnya disebut UU HAM). Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa hak asasi manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perdagangan orang untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor)

merupakan masalah yang sangat besar. “Trafficking in persons for labor may not attract as much publicity as trafficking in persons for sex, but it is a huge

problem…” Data Perdagangan orang di Indonesia sejak 1993-2003 menunjukkan

bahwa perdagangan orang dengan modus menjanjikan pekerjaan banyak terjadi dan ini dialami oleh kalangan perempuan dan anak-anak.3 Dampak yang dialami para korban perdagangan orang beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan pekerjaan.

Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sebutan Perdagangan Orang sebagai " the form of modern day slavery". Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya hal ini adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini, dan juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah memberikam harapan baru dalam rangka penanganan kasus perdagangan orang yang semakin marak dan sudah

3Agusmidah, “

(14)

merupakan kejahatan yang serius dan juga pengingkaran terhadap HAM. Bahkan saat ini, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009, tanggal 1 Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara global.

Meskipun telah diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tindak pidana ini masih terus terjadi. Hal ini menunjukan adanya pelanggaran norma hukum yang menimbulkan korban. Adapun korban yang dimaksud dalam tindak pidana perdagangan orang tersebut ialah seorang yang mengalami beban dan tekanan psikologis, seperti rasa jengkel, takut yang berkepanjangan, trauma, atau bahkan gangguan kejiwaan akibat penderitaan yang ia alami. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka (3) UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang.

Menanggulangi perdagangan orang melalui produk hukum berupa undang-undang, pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari kebijakan akan penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik/kebijakan kriminal4. Khusus di Provinsi Bali terdapat aturan mengenai penanggulangan korban yang termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang selanjutnya disebut PERDA Bali tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Penelitian ini sangat penting dilakukan karena pulau Bali dikenal sebagai daerah pariwisata yang rentan terhadap kejahatan termasuk tindak pidana perdagangan orang, dengan demikian perlu adanya pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang yang bertujuan untuk melindungi masyarakat Bali dari tindak pidana perdagangan orang.

Penanggulangan tindak pidana perdagangan orang, membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat perdagangan orang merupakan kejahatan yang teroganisir yaitu kejahatan yang dilakukan secara berkelompok dan anggotanya

4

(15)

4

mendapat pembagian tugas yang sistematis serta memiliki tujuan tertentu. Norma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konflik norma yang penulis kaji, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Konflik antar norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang dan Pasal 83 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang masih tetap berlaku ketentuannya dimana beberapa ketentuan pasalnya telah dirubah dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 3 berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negaraRepublik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negaralain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,Pasal 83 menyatakan: “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(dua ratus empat puluh juta rupiah). Penjelasan Pasal 9 dalam penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.

(16)

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Penjelasan pasal 83 dalam penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas terlihat adanya konflik norma dalam hal penerapan penjatuhan sanksi pidana dalam hal terjadinya kejahatan human trafficking. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang menyatakan bahwa sanksi pidana yang diberikan dalam tindak pidana perdagangan orang adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam substansi Pasal 83 dinyatakan bahwa Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun Ketentuan undang-undang yang mana yang akan digunakan dalam hal penerapan sanksi pidana dalam kejahatan human trafficking.

Bertitik tolak dari permasalahan dalam latar belakang diatas maka penulis merasa terdorong untuk meneliti dan berusaha menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang (Human Trafficking).”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalampenelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang (human trafficking)?

(17)

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang lingkup masalah yang akan diuraikan sehingga jelas batasannya, karena tanpa adanya ruang lingkup yang jelas maka masalah tersebut sulit untuk dikaji. Oleh karena itu didalam penulisan skripsi ini batasan masalahnya ialah terkait dengan perkembangan tindak pidana perdagangan orang.

1.4Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun yang menjadi tujuan umum dari penulisan proposal ini adalah: 1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah

secara tertulis.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang penelitian Ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perdagangn orang (human trafficking).

1.4.2Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang (human trafficking).

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dimasa mendatang.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam studihukumpidana, serta menambah wawasan tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang (Human Trafficking).

1.4.1 Manfaat Teoritis

(18)

1.4.2 Manfaat Praktis.

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah praktik bagi praktisi hukum, akademisi, dan mahasiswa mengenai perlindungan hukum terhadap perdagangan orang (Human Trafficking).

1.5 Landasan Teoritis

Pada umumnya setiap penelitian yang baik selalu menggunakan teori. Menurut Fred Kerlinger dalam The Liang Gie, sebuah teori adalah seperangkat pengertian (konsep), defenisi, dan proposisi yang saling berkaitan yang menyajikan sebuah pandangan sistematik antara variabel-variabel dengan tujuan menerangkan dan mramalkan fenomena-fenomena itu.5 Cooper dan Schindler, mengemukakan bahwa, teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.6Adapun teori teori ysng dipergunakan dalam penelitian ini yaknni teroi perlindungan hukum dan teori pemidanaan

1.5.1. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajianya adalah memberikan perlindungan hukum ini berasal dari bahsa Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan theorie der rechtliche schutz.7

Terkait dengan perlindungan hukum, Philipis M. Hadjon menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum respresif di Indonesia ditangani oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus.8Dalam kongres PBB pada Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and moment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyognyanya di lihat sebagai

5Gie, Liang, The, 2004, „‟Pengantar Filsafat Ilmu, „‟Liberty, Yogyakarta,

hal. 145

6

Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif‟‟‟, Alfabeta, Bandung, hal. 41.

7

Dr. H. Salim HS, S.H., M.S dan Kebudyaan, 1989,

8

(19)

8

bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana9Ini berarti, antara filosofis manusia selalu mencari perlindungan dari ketidak seimbangan yang dijumpainya baik yang menyangkut hak-haknya maupun melalui aturan-aturan sehingga tercapai kehidupan selaras bagi kehidupan. Hukum, menurut Isran, dalam hal ini hukum pidana, merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan hal-hal tersebut10

1.5.2. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai didalam penjatuhan pidana.11

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.12

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak

9

Banda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. h.53

10

Koespamono Isran, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang,h. 81.

11

Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika Aditama,Bandung,h. 22.

12

(20)

peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.13 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).14

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu : 1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ;

4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

13

Dwidja Priyanto, Op. Cit, h 24.

14

(21)

10

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :15 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak

boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak

15

(22)

dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.16

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Disinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

1.5.3 Konsep Korban

Sebelum membahas tentang Viktimologi maka perlu kiranya memahami korban itu sendiri. Untuk memberikan pengertian tentang korban tidak mudah, seperti dikemukakan Kindren, bahwa untuk sampai pada pemberian definisi yang tepat mengenai korban, maka harus memenuhi kriteria benar-benar sebagai korban. Sebab hal ini akan membawa konotasi crime without victim (Kejahatan tanpa korban). Dengan demikian perlu adanya identifikasi serta verivikasi kriteria korban secara jelas.

Konsep “korban” telah terdapat sejak jaman Hebrew kuno. Pengertian

aslinya berasal dari ide „pengorbanan‟ atau „pengkambinghitaman‟ mengeksekusi

atau membuang orang atau binatang guna memuaskan dewa-dewi atau penguasa bumi.

16

(23)

12

Korban diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut, bahwa korban ialah orang, baik secara individu maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara., termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selaian itu korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah pelaku kejahatan itu sudah diketahui ditahan, dituntut atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara pelaku dan korban. Istilah korban juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban dan juga orang-orang yang menderita tanggungan korban dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.

Korban tidak hanya selalu orang perorang tetapi juga merupakan suatu kelompok, korporasi, badan hukum dan organisasi walaupun dalam kenyatannya yang mengalami dan merusaknya adalah para oknum atau anggota kelompok itu sendiri. Untuk itu pihak yang menderita perlu mendapat kompensasi (penyetaraan hak), rehabilitasi (pemulihan hak) dan restitusi (pengembalian hak) dari penderitaannya.17

Sehubungan dengan ini, maka ingin dikemukakan pemikiran, pandangan yang berkaitan dengan viktimologi (sebagai landasan untuk melayani para korban). Berhubung terbatasnya kesempatan pengolahan dan pembahasan permasalahan, maka pada kali ini hanya akan disinggung beberapa hal sebagai berikut:

1. Korban pemerkosaan.

2. Aspek sosial/budaya perkosaan.

17 S. Maronie, 2012 “Viktimologi”, http://www.zriefmaronie.blogspot.com, diakses

(24)

3. Kemungkinan ganti kerugian (aspek sosial yuridis).

Viktimologi sebagai suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari penimbulan korban sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan satu kenyataan social, mendorong orang memahami permasalahan pelayanan terhadap para korban (ini berlaku juga terhadap para pelaku yang menjadi korban tindakan tertentu). Menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional.Dengan demikian permasalahan akan dikaji dan ditanggulangi secara meluas terpadu (makro integral), interdisipliner, intersektoral, dan antar departemen dalam hal mengatasinya. Tindakan-tindakan ini dapat dihindari oleh karena rumitnya, peliknya permasalahan korban perdagangan orang.

1.6 Metode Penelitian

Metodologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu: a. Logika dari penelitan ilmiah,

b. Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan c. Suatu system dari prosedur dan teknik penelitian.

Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan konsisten. 18

1.6.1 Jenis Penelitian

Bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan pembahasan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya konflik antar norma hukum.19Konflik antar norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang dan Pasal 83 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang masih tetap berlaku ketentuannya dimana beberapa ketentuan pasalnya telah dirubah dalam ketentuan Undang-Undang

18

H.Zainudin Ali, 2013, Metode Penulisan Bahan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, h. 17.

19

(25)

14

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 3 berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negaraRepublik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negaralain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,Pasal 83 menyatakan: “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Sehingga terdapat kelemahan dalam hal substansi hukum terkait penjatuhan pidana denda dalam kejahatan perdagangan orang (human traficking). Dalam penjatuhan sanksi terjadi tumpang tindih dalam hal penerapan sanksi denda yang terhadap di dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orangatau tunduk pada ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Sanksi denda hukum dipidana dikenal prinsip yang menguntungkan bagi tersangka/terdakwa di Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang Human Trafficking pada pasal 3dalam sanksi dendapaling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (dua ratus empat puluh juta rupiah)”,

(26)

Undang-undang nomor 21 tahun 2007 dengan Tujuanya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum20hak dan kewajiban peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum Pengkajian mengenai sebab masing-masing masalah perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang yang dilakukan dengan undang-undang termasuk ke dalam penelitian hukum normative, karena penelitian hukum tersebut dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Adapun jenis pendekatan yang digunakan adalah penedekatan perundang-undangan (The Statute Approach)dan pendekatan konsep hukum. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporanpenelitian terdahulu sudah ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

1. Bahan hukum primer berupa peraturan Perundang-undangan yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

20Ibid

(27)

16

f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perlindungan anak. dan

g. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.

2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum dan hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang.

3. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan encyclopedia.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).21Adapun metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus menerus sampai menemukan titik jenuh, dan hal ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara sistematis.

1.6.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik deskripsi, tehnik evaluasi dan Asas Preferensi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deksripsi berarti uraian

21

(28)

apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.22

Asas Preferensi adalah asas yang digunakan untuk mengidentifikasi aturan hukum dalam hal terjadi konflik norma hukum (antinomi hukum). Dalam menghadapi konflik antar norma hukum, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:

1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;

2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;

3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.23

Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder.

Isu perdagangan orang atau trafficking khususnya perempuan dan anak beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton diberbagai media masa. Media masa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi juga lika-liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kasus-kasus perdagangan orang yang cukup mendapat sorotan media

22

I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga, hal.42-43

23

(29)

18

beberapa waktu yang lalu misalnya kasus yang terjadi di Malaysia kasus lima gadis Bali terlantar di Malaysia yang diduga merupakan sindikat perdagangan orang. 24 Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV dari Tekongnya di Malaysia.

Trafficking in person atau perdangan orang mungkin bagi banyak kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena itu tingkat terjadinya kasus trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi baik Indonesia maupun negara-negara yang sedang berkembang lainya. Sebagaimana yang ketahui bahwa Traficking terhadap orang adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara:

a. Ekonomi yaitu memiliki kemampuan ekonomi yang lemah atau kurang mampu, sehingga mudah diiming – imingi dengan janji tuk mendapatkan pekerjaan.

b. Sosial yaitu yang memiliki kedudukan sosial atau status yang rendah di masyarakat, sehingga ada keinginan dari masyarakat tersebut untuk menaikan status sosial mereka dengan cara menerima tawaran bekerja di luar negeri akan tetapi malah dimanfaatkan, sehingga menjadi korban dari sindikat perdagangan orang.

c. Politik yaitu lemahnya perlindungan yang diberikan oleh Indonesia terhadap warga negaranya yang menjadi korban perdagangan orang, sehingga mereka tidak bisa dilindungi secara maksimal.

d. Kultural yaitu secara kebiasaan yang berkembang di masyarakat bahwa tidak mau teliti atau bertanya secara detail mengenai jenis pekerjaan yang ditawarkan sehingga mereka menerima saja jika di suruh tanda tangan perjanjian kerja.

e. Biologis yaitu secara naluri seseorang tentu ingin mempunyai keturunan, dengan cara kawin, sebelum kawin tentunya memerlukan biaya, untuk

24

(30)

memenuhi biaya tersebut akhirnya mereka menerima resiko untuk bekerja di luar negeri.25

Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi didalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sebutan Perdagangan Orang sebagai " the form of modern day slavery". Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Dia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.

Masalah lain yang sering timbul dari perdagangan orang khususnya bayi adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang semakin marak di Indonesia tidak berkeprimanusiaan. Dari hal ini dapat diketahui pula bahwa traffickingadalah merupakan industri yang sangat menguntungkan. Dari industri seks saja menghasilkan US $ 1,2 -3,3 Milyar per tahun untuk di Indonesia saja.

Pada konteks nasional, persoalan trafficking manusia di Indonesia sudah sampai pada taraf sangat memprihatinkan. Fenomena trafficking manusia dapat diasumsikan bagaikan "fenomena gunung es di samudera yang luas yaitu jumlah korban yang terdeteksi atau terungkap dan tertangani baru merupakan puncak gunung es yang tampak dipermukaan samudera luas.

Trafficking manusia juga dikenal diseluruh dunia sebagai satu-satunya tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan terorganisir untuk mengalihkan dana yang besar ke berbagai upaya mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika, pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk ke dalam kejahatan lintas negara.

25

Ida Bagus Ketut Weda, 2013, “Trafiking Dalam Perspektif Hukum Internasional Dan

(31)

20

Trafficking merupakan kejahatan yang terorganisir yang dilakukan dengan berbagai prosedur oleh beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing seperti perekrutan, penyekapan, pengiriman serta penerimaan seperti yang dikatakan oleh Donald Cressey.26Semua prosedur ini banyak terjadi melewati batas nasional negara yang menyangkut kepentingan banyak negara yang menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu pula maka banyak pula dilakukan konvensi-konvensi internasional guna membahas bagaimana cara pencegahan dan penanggulan terjadinya kasus trafficking ini karena juga disadari trafficking sebagai tindak pidana sumber dana kejahatan lainnya yang juga berimbas pada kepentingan negara-negara pula.

Trafficking berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti "illegal trade" atau perdagangan illegal.27 Kita memang sudah sering mendengar kata trafficking yang dimana masyarakat secara luas mengetahui yang dimaksud disini ialah perdagangan manusia. Dan oleh karena itu maka perlulah diketahui lebih lagi apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia atau trafficking tersebut.

Dalam kamus Webster's College Dictionary dikatakan sebagai berikut yaitu: Trafficking, to carry on traffic, especially illegal (in a commodity). Jadi, mengangkut dalam suatu lain lintas dengan kata lain memindahkan sesuatu dengan cara illegal. Oleh karena itu, beberapa penulis menyebut trafficking sebagai perdagangan illegal manusia. Penelitian Convention Watch yang dilaksanakan di UI Jakarta tanggal 30 Juni 2006 oleh karena menurut mereka perdagangan manusia tidak ada yang legal karena itu tetaplah sebuah kejahatan.

Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan trafficking dengan:

"Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries with economies in transition, with the goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative

26Anonim2009, “

Pelatihan Bersama Bagi Penegak Hukum Untuk Penanganan Kejahatan Lintas Negara”, dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia Di Pusdiklat Kejaksaan Agung RI, Jakarta, h. 11.

27

(32)

situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic labour, false marriages, clandestine employment and false adoption ".

"Perekrutan, pengiriman ke suatau tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, pengaiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapat-kan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya, mencakup eksploitasi meialui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktik-praktik serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya".

Indonesia adalah salah satu negara yang rawan kejahatan trafficking anak.28 Menurut perkiraan UNICEF, dari 1,2 juta korban trafficking di dunia sekitar 100 ribu anak berasal dari Indonesia. Artinya tiap minggu ada sekitar 273 anak menjadi korban trafficking di Indonesia.29Trafficking adalah salah satu kejahatan terbesar kedua dari peredaran narkoba yang mempengaruhi dan berdampak pada kerusakan tatanan sosial bangsa Indonesia.30 Ada banyak tipe kasus trafficking yang terjadi di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang mempunyai jaringan Internasional.

28

http//www.unicef.org diakses tanggal 2 Maret 2015.

29

Ibid.

30

(33)
(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN

KORBAN PERDAGANGAN ORANG(HUMAN TRAFFICKING)

1.1 Pengertian Human Trafficking

Perdagangan manusia (Human Trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus menyangkut anak diterapkan juga definisi bahwa human trafficking anak juga berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela. Definisi perdagangan wanita dan anak-anak menurut PBB dan ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) adalah Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi1.

Dalam sejarah perdagangan manusia di Indonesia pernah ada melaluiperbudakan danpenghambaan. Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, kasus perdagangan manusia, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Koenjoro mengidentifikasikan ada 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masiih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan.

Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya seorang Janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis akan menjadi milik raja. Jika raja memutuskan untuk tidak mengambil dan masuk ke lingkungan

1

https://multiteam1.wordpress.com/2010/12/25/definisi-human-trafficking-2/

(35)

istana, maka dia akandi kirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada Raja secara teratur.

Dalam Prostitution in Colonial Java DP Chandler and M.C. Riclefs bahwa kasus Prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dari Anyer Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Daendels. Perkembangan prostitusi di Indonesia kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan pritivasi perkebunan atau kulturstelsel.2

Halserupa juga terjadi pada periode penjajahan Jepang, kasus Perdagangan Manusia di Indonesia berbentuk kerja rodi dan komersial seks. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak membawa perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang.

Setelah merdeka, hal tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di era globalisasi, perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan manusiamelalui bujukan, ancaman, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan di bawa ke daerah lain bahkan ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemauannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.3

Pengertian Perdagangan manusia dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah sebagai berikut: "Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegangkendaliatas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antar negara maupun di dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."

2

Henry Nuraency, Op.Cit, h.14

3

(36)

Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pengertian eksploitasi dalam tindak pidana perdagangan manusia dijelaskan dalam pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa:

“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organdan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril.4

2.1.1 Aspek-aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perdangangan

Orang(Human Trafficking)

Secara umum Dalam proses penegakkan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang juga masih terdapat beberapa kendala, sehingga pelaksanaannya dianggap belum maksimal. Beberapa kendala tersebut, bukan hanya dalam tataran hukum saja, tetapi setiap bidang penegakan hukum mengalaminya. Dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009, terutama dalam Rencana Aksi (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2010, disebutkan bahwa kendala penegakan hukum meliputi:

1. Belum maksimalnya pengembangan norma hukum dan penegakan hukum, terutama:

a.Belum maksimalnya kerja sama aparat penegak hukum dan masih adanya perbedaan persepsi dalam mengimplementasikan Undang-Undang

4

(37)

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

b.Belum dipahaminya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh aparat maupun masyarakat.

c.Terbatasnya bantuan hukum dan pendampingan bagi korban.

2. Belum optimalnya pencegahan segala bentuk perdagangan orang, terutama: a.Kurangnya komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perdagangan orang

kepada kepentingan maupun masyarakat.

b.Terbatasnya aksesibilitas terhadap pendidikan jalur sekolah maupun luar sekolah bagi kelompok rentan, terutama perempuan putus sekolah.

3. Sistem administrasi kependudukan dan keimigrasian belum memadai, sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan identitas diri seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran, dan Paspor, terutama:

a.Belum tersedianya system pendataan dan informasi tentang perdagangan orang.

b.Terbatasnya program pembangunan di daerah perbatasan dan masih kurangnya system pengawasan di daerah perbatasan, antar pulau, maupun antar daerah.

4. Belum optimalnya pelayanan rehabilitasi dan reintegrasi social terhadap korban perdagangan orang, terutama:

a.Terbatasnya anggaran untuk penyelenggaraan rehabilitasi dan reintegrasi social.

b.Terbatasnya sarana dan prasarana layanan bagi korban.

c.Terbatasnya kuantitas dan kualitas petugas dalam menangani pelayanan kesehatan, trauma, konseling, serta pendampingan hukum bagi korban. 5. Belum optimalnya kerja sama dan koordinasi, terutama:

(38)

sebagai illegal migrant, sedangkan negara asal melihatnya sebagai korban.

b.Belum semua daerah provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai gugus tugas dan rencana aksi daerah.

c.Kerjasama dan Koordinasi antar sector dan provinsi, kabupaten/kota dalam pencegahan dan penanganan perdagangan orang belum memadai.

6. Terbatasnya dukungan anggaran untuk upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, baik di tingkat nasional (sektor) maupun daerah.

Seperti diketahui akar permasalahan perdagangan orang yang terutama adalah kemiskinan/ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan. Upaya penegakan hukum harus sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan/ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat (formal dan informal), dan peningkatan serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan kerja.

Selain itu salah satu sumber penyebab dari perdagangan orang adalah adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakkan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisir dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengusaha hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan manusia modern, dan sebagainya.5

2.1.2 Kebijakan Hukum dalam Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan

Orang (Human Trafficking)

Dapat dikategorikan pengaturan bahwa beberapa peraturan perundang-undangan dari masing-masing deklarasi yang diluar, mempunyai pandangan dan tujuan yang berbeda. Hal ini dikarenakan latar belakang kondisi dari

5

(39)

negara yang melahirkan deklarasi tersebut berbeda-beda, seperti di Inggris, Amerika, dan Prancis terdapat perbedaan filosofis dan nilai-nilai. Perkembangan hukum HAM. Di Inggris diawali dari pemberontakan terhadap kesewenangan dan kekuasaan raja yang berkuasa, sedangkan di Amerika menekankan pada kebebasan individu. Di Prancis lebih menitik beratkan pada egalitarianisme, persamaan kedudukan dihadapan hukum, (equality before the law). Sejalan dengan prinsip dasar tentang hak asasi manusia tersebut, Indonesia kemudian mengatur mengenai hukum HAM dalam berbagai peraturan, dan juga meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang hukum HAM.

Menurut Mardjono Reksodiputro, cara pelaksanaan pengaturan hukum HAM dalam peraturan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Menjadikan HAM sebagai bagian dari hukum Indonesia;

2. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM; 3. Terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary);

4. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).6

Hal yang terpenting dari pengaturan perdagangan orang ini adalah proses hukum yang menekankan perlindungan kepada korban dan saksi sebagai akibat dari adanya pedagangan orang, di samping menghukum pelaku/trafficker. Selain itu penjegahan dan penaganan perdagangan orang adalah kewajiban seluruh masyarakat dan pemerintah, sebagai upaya penegakan hukum yang komprehensif dan integral.

Upaya penegakan hukum HAM. Menurut Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, di atur dalam BAB IX mengenai

“Pengadilan Hak Asasi Manusia”, yang diatur dalam Pasal 104 yang berbunyi:

(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.

(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.

6

(40)

(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dalam ayat (1) diadili pengadilan yang berwenang.7

Pengaturan hak dasar manusia secara garis besar diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

1. Hak untuk hidup;

Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi meningkatkan martabat kemanusiaan,

kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.8

Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 meliputi: dengan pelanggaran hak asasi manusia berat adalah pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan Pengdilan dalam (arbitrary/extra judicial killing),

penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang di lakukan secara sistematis (systematic desrimination). Sedangkan yang dimaksud “Pengadilan yang

berwenang” adalah mengacu pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku dewasa ini yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

8

(41)

Sedangkan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

menyatakan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan secara seksual lain yang setara;

Berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang hanya tiga (3) pasal, yaitu Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 40.

Pasal 37 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh limatahun) dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”.

Dari Pasal 37 ini yang berhubungan dengan perdagangan orang adalah

Pasal 9 huruf d dan huruf e. Pasal 9 huruf d mengatur tentang „pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa‟, dan huruf e mengatur tentang „perampasan

fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional‟. Sedangkan pengaturan tentang perbudakan diatur dalam

Pasal 38 berbunyi : “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana

(42)

Kemudian Pasal 40 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau I pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”. Ketiga (3) Pasal tersebut dapat diinterprestasikan sebagai modus-modus yang dilakukan dalam tindak pidana perdagangan orang.9.

1.2 Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap calon korban dan/atau korban, juga berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Oleh karena itu, untuk melakukan pencegahandan penegakan hukum yang tujuanya untuk melindungi HAM dapat dilakukan dengan diawali dari mengidentifikasikan penyebab terjadinya TPPO. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 merupakan suatu langkah positif dalam upaya perlindungan saksi dan korban, yang selama ini masih di atur secara sektoral. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini merupakan suatu kemajuan terhadap perlindungan korban, sesuai

dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yaitu „melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia‟.

Amanat dan semangat Pembukaan UUD 1945 untuk melindungi saksi dan korban, terlihat dari bagian Konsideran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:

a. Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sender terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana.

9

Referensi

Dokumen terkait

Iz toga vizualnom inspekcijom podataka moˇ zemo do- biti ideju o tome za koje se vrijednosti kovarijate izgladivaˇ c ne´ ce ponaˇsati najbolje u smislu pristranosti i u kojem smjeru

Bahtsul Masail dalam menetapkan hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah oleh pria yang menghamilinya serta menganalisis keduanya berdasarkan data-data yang

10 pidana anak dan KUHAP, mengingat bahwa tidak jarang terjadi perlakuan yang sama oleh para aparat penegak hukum terhadap anak sebagaimana memperlakukan

Berdasarkan penelitian sebelumnya terlihat masih ada kekurangan dari instansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu penulis ingin mengembangkan

yang sehat yang sudah memiliki faktor risiko untuk terkena kanker.. payudara. Pencegahan primer dilakukan melalui

Untuk membantu peserta didik mengembangkan keahlian, mereka harus menginternalisasi pengetahuan atau kemampuan baru dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang baru

I adalah a) masalah permodalan, b) manajemen dan pemasaran, c) masalah siunberdaya manusia, d)masalah penggunaan teknologi.. kecil yang tidak mampu memanfaatkan lembaga

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait regimen dosis (dosis, cara pakai, interval dan lama penggunaan) antibiotik pada pasien pneumonia