• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mmemaksimalkan Sumberdaya Desa untuk Memajukan Pembangunan Nasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mmemaksimalkan Sumberdaya Desa untuk Memajukan Pembangunan Nasional."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

JUDUL BUKU:

MEMAKSIMALKAN SUMBER DAYA DESA UNTUK MEMAJUKAN PEMBANGUNAN NASIONAL

(4)

KATA PENGANTAR

Buku sederhana ini dibuat untuk memberikan sumbangan pikiran terhadap pembangunan yang ada di pedesaan. Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan pemikiran bahwa

sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi lain dari pada yang lain dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Potensi itu tidak adalah sumber daya yang ada di desa. Apabila undang-undang ini dijalankan dengan baik, maka Indonesia mempunyai ciri tersendiri dalam kasanah internasional, yakni kesejahteraan yang bersumber dari desa. Karakteristik masyarakat Indonesia adalah pedesaan yang berkehidupan agraris. Maka, jika mampu memaksimalkan ini,

Indonesia memberikan sumbangan pikiran kepada dunia, bahwa kemajuan dan kesejahteraan sosial itu tidak saja bersumber atau berasal dari kota, tetapi juga dari desa.

Untuk itulah penulis mencoba menuangkan pemikiran atau menafsirkan apa yang ada di dalam undang-undang tersebut. Buku ini sebagian besar merupakan penafsiran atau gagasan penulis sendiri, yang dengan demikian, jelas memberikan kesempatan kepada pemikiran atau

gagasan lain untuk menambah atau mengkritisi apa yang ada di dalam buku ini. Tidak lepas juga, pasti akan kekurangan atau kekeliruan dalam tulisan ini. Karena itu gagasan-gagasan pembanding sangat diperlukan. Tentu akan sangat bermanfaat positif kalau kemudian muncul buku-buku lain yang mengupas tentang potensi sumber daya pedesaan.

Sebagian isi yang dimuat dalam buku ini pada awalnya merupakan hasil penelitian penulis yang kebetulan mengambil tempat di Kecamatan Kerambitan. Dari wilayah itulah, kemudian dituangkan berbagai macam kelebihan-kelebihan yang ada di pedesaan yang apabila diberdayakan secara maksimal, pasti akan mampu memberikan sumbangan positif kepada warga

desa. Tidak lepas juga diungkapkan disini bahwa munculnya pemikiran dan penelitian tentang sumber daya desa ini, bukan semata-mata didorong oleh munculnya Undang_undang No. 6 Tahun 2014 itu, akan tetapi penulis memang meyakini bahwa sesungguhnya desa mempunyai sumber daya yang mampu diberdayakan. Apabila mampu memberdayakan itu, hidup di desa tentu akan mampu menyamai kehidupan di kota, bahkan lebih baik dibandingkan dengan kota.

Pemberdayaan yang berhasil akan dapat menekan arus urbanisasi.

(5)

lebih dari desa hanya untuk bekerja di kota. Bayangkan, dua atau tiga jam perjalanan bolak-balik dari desa ke kota tersebut, apabila dimanfaatkan untuk memberdayakan sumberdaya desa, pasti akan mampu memberikan penghasilan yang lebih besar, dengan fisik yang lebih sehat. Dengan cara memberdayakan desa itulah maka sawah, tegalan atau kebun lainnya tidak terbengkalai

semata-mata tergiur oleh janji-janji pekerjaan di kota yang belum tentu mampu memberikan kepuasan dalam hal penghasilan.

Tentu juga buku ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahun kepada mahasiswa, terutama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Hukum, serta masyarakat umumnya yang tertarik dengan masalah-masalah pedesaan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut membantu sampai terbitnya buku ini. Dan akhirnya penulis persembahkan buku ini kepada anggota pasukan keluarga kami, istri I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, anak-anak I Gusti Ayu Agung Putri Indria Saraswati dan I Gusti Bagus Rama Raditya Mahardika.

Hormat

(6)

BAB I

DESA DALAM KONTEKS PERUNDANG-UNDANGAN

Sekitar tiga bulan menjelang berakhirnya tahun 2014, masyarakat diramaikan dengan

diskusi tentang pilihan, apakah Bali akan memakai desa dinas atau desa pakraman (adat) sebagai desa “resmi” di Bali sesuai dengan tuntutan Undang-Undang No. 6 tahun 2014, yang mengatur tentang Desa. Fenomena ini hampir sama dengan awal tahun 2014 ketika diselenggarakan berbagai pertemuan dan seminar tentang desa yang akan menjadi pilihan bagi Bali dalam kerangka undang-undang tersebut. Diskusi masalah ini sempat diselenggarakan di Universitas

Udayana, diikuti oleh berbagai pihak termasuk komponen masyarakat. Di luar pertemuan yang diselenggarakan di kampus, diskusi informal bisa dilihat dari berbagai perbincangan ringan di pertemuan masyarakat, semisal saat ada upacara adat atau melayat ke tempat orang meninggal.

Bagaimanapun, desa dinas dan desa pakraman ini, harus mendapatkan perhatian dari masyarakat agar kelak tidak mendapatkan gangguan. Keputusan memilih satu desa dapat

menimbulkan berbagai macam akibat. Gangguan secara fisik dapat saja terajdi, misalnya berupa pembongkaran hak milik karena tanah itu, diklaim oleh krama. Di beberapa tempat di Bali, tenah dan rumah yang ditempati warga bisa diambilalih oleh desa pakraman, jika memang ketahuaan sejarah penempatan rumah dan pekarangaan tersebut. Disamping itu, gangguan

psikologis bisa berupa rasa menyesal telah melakukan pilihan yang salah dalam pengajuan desa yang dimaksudkan sesuai dengan yang dituntut oleh undang-undang No. 6 tahun 2014 tersebut. Dalam konteks seperti ini, ganggaun pesikologis tersebut dapat terjadi di dalam satu desa.

Desa, dalam pengertian Undang-undang No. 16 Tahun 2014 adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.

Dari pengertian ini saja dapat dikatakan bahwa desa itu, benar-benar mandiri dan mampu

(7)

yang disebut juga dengan keperbekelan, sesungguhnya dapat dipilih menjadi desa sesuai dengan amanah dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Indonesia menurut data biro pusat statistik, jumlah desa ada sebanyak 81.635 desa (Kompas 3 Juli, 2015, hal. 5)

Dalam pandangan Padjung (2015), nafas utama dari Undang-undang Desa ini adalah

rekognisi dan subsidiaritas. Asas tersebut mengandung arti bahwa pemerintah mengakui desa sebagai kesatuan hukum masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat atas dasar asal-usulnya dan atau hak tradisionilnya. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa tidak menjadi bawahan dari kota atau kabupaten tetapi merupakan pemerintahan yang berbasis masyarakat (kombinasi antaraself governing communitydan local self government) yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Sedangkan asas subsidiaritas mempunyai arti bahwa negara menyerahkan kewenangan lokal berskala desa kepada desa bersangkutan. Artinya ada sejumlah kewenangan desa yang tidak perlu melalui pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota.

Satu hal yang harus dilihat dari keberadaan undang-undang ini adalah bahwa pusat

otonomi daerah yang kini ada di kabupaten, seolah berpindah ke wilayah desa dengan adanya dana dan kewenangan yang cukup besar di desa, baik untuk mengelola keuangan maupun memberdayakan masyarakat dan sumber daya yang ada. Karena itulah kemudian sumberdaya manusia yang diperlukan untuk menggerakkan kewenangan tersebut harus betul-betul

diperhatikan. Berlakunya undang-undang ini juga menjadi tanggung jawab bersama untuk mencapai cita-cita bersama demi memberdayakan desa.

Keinginan untuk melakukan pemberdayaan sesungguhnya merupakan cita-cita lama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah telah menyebut

tiga tingkat pemerintahan daerah, yaitu tingkat I (provinsi), tingkat II (kabupaten/kota) dan tingkat III (desa). Akan tetapi penjelasan undang-undang ini mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan masyarakat, hanya dapat diadakah dua tingkat terlebih dahulu. Undang-undang No. 5 Tahun 1979 menyatakan titik berat otonomi daerah ada di pedesaan (Kompas, 2 Juli 2015: 5). Namun kedua titik berat itu dipandang kurang berhasil.

(8)

yang menentukan tingkah gerak kita dalam berinteraksi secara sosial. Telah ada aturan-aturan yang mengatur tentang tingkah gerak manusia, baik di lingkungannya sendiri maupun di lingkungan wilayah lain.

Dengan demikian, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang desa ini,

tidak lain yang diinginkan adalah menciptakan ketertiban masyarakat khususnya dalam menjalankan kehidupannya sebagai warga desa serta mengejar cita-cita kesejahteraan sosial itu. Tentu juga desa yang dimaksudkan mampu berjalan secara manajerial sesuai dengan undang-undang yang ada serta peraturan pemerintah yang menjadi aturan lanjutannya. Undang-undang-undang tentang desa ini sangat penting di Indonesia karena secara mayoritas, sebagian besar dari habitat

Indonesia itu desa, dan sebagian besar dari masyarakat Indonesia hidup di pedesaan. Munculnya undang-undang ini boleh dikatakan terlambat, dalam hal mengadaptasi model pembangunan.

Kalau dilihat dari semangat yang ada pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 ini, maka ada beberapa hal yang dapat dikatakan menjadi tujuannya. Yang pertama adalah upaya

memperbarui dan memperbaiki perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Undang-undang ini secara jelas menginginkan masyarakat desa mampu memanfaatkan potensi sumber daya yang ada. Ketentuan demikian, kurang mendapat penekanan pada produk perundangan sebelunya, khususnya yang menekankan pada keberadaan desa. Kedua demi memberikan

kemandirian kepada masyarakat desa untuk mengelola aset yang dimiliki. Bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta berbagai kerjasama yang dilakukan, bertujuan untuk mengelola aset yang dimiliki oleh masing-masing desa. Ketiga, memperlihatkan demokratisasi yang lebih menukik kepada masyarakat Indonesia. Artinya

ide-ide yang berasal secara langsung dari rakyat, dapat disalurkan dan dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan. Dan keempat adalah dalam kerangka menghadapi globalisasi, khususnya tahun 2015, adalah masyarakat bebas ASEAN. Demokrasi yang dimaksudkan disini adalah munculnya berbagai ide, kreasi dan pendapat dari masyarakat paling bawah demi mencapai kesejahteraan mereka. Pemerintah yang ada di atasnya, mendukung pengelolaan itu.

(9)

Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ada dua pengertian yang menyangkut desa, yakni desa dan kelurahan. Yang dimaksudkan dengan desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah,

langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat a). Wilayah di bawah desa disebut dengan dusun yang masih merupakan lingkungan pelaksanaan pemerintahan desa.

Sedangkan kelurahan merupakan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk, mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Di bawah lurah yang merupakan lingkungan kerja pelaksnaan kelurahan, disebut dengan lingkungan. Secara geografis, kelurahan tersebut berada perkotaan atau berdekatan dengan kota.

Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik

Indonesia (Undang-undang tentang Desapraja), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan desapraja dalam undang-undang tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta benda sendiri.

Secara sosiologis, pengertian desa menurut Undang-Undang yang disebutkan diatas masih longgar karena letak desa tersebut tidak harus jauh di pedalaman seperti di pegunungan atau mempunyai jarak dengan kota. Pemahaman tradisionil masyarakat tentang desa selalu mengacu kepada hal yang mempunyai jarak dengan kota, dimana kehidupan tradisional lekat

dengan kehidupan itu. Perbedaan antara desa dengan kota terletak pada sikap masyarakat terhadap tradisionalitas tersebut. Biasanya yang membedakan adalah sikap dan tindakan rasional. Atau dengan cara pandang lain, adalah sikap praktis dalam kehidupan, dimana sikap praktis ini lebih diacu kepada proses waktu yang dihabiskan dalam menyelesaikan sesuatu. Di kota misalnya, orang memasak memakai listrik atau kompor gas. Di desa memakai kayu api.

(10)

Desa menurut Undang-undang No 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (pasal 1, huruf 1.).

Ada satu frasa penting dalam pengertian desa seperti yang tercantum dalam pengertian itu, yakni hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan. Jika dilihat dari sejarahnya, kota pun merupakan desa sebelum kemudian mendapatkan perkembangan baru dengan lebih banyaknya penduduk dan ragam profesi yang ada

di wilayah kota itu. Akan tetapi, hak-hak tradisionil yang mampu di pertahankan di daerah itu, apapun bentuknya, memungkinkan tumbuh, berdiri dan hadirnya desa di wilayah kota. Tentu dengan batasan wilayah yang dimiliki. Di Bali, sesungguhnya tidaklah terlalu sulit melihat kehadiran desa demikian di dalam kota. Desa adat atau desa pakraman, hadir dan ada di lingkungan kota karena desa pakraman ini mempunyai wilayah sendiri dan mengayomi praktik

tradisionil dari masyarakat yang beragama Hindu.

Dibandingkan dengan pengertian desa dalam undang-undang yang lain, pengertian desa yang dimaksudkan pada Undang Undang No. 6 Tahun 2014 terlihat lebih komplit karena mengandung frase tradisional seperti yang diungkapkan diatas. Frase ini penting, paling tidak

untuk menjembatani alam pikiran dan persepsi masyarakat, tentang pengertian desa yang ada jarak dengan kota dan desa yang lebih mempunyai sifat tradisional tersendiri.

Dilihat dari sisi kemandiriannya, seluruh undang-undang yang disebutkan itu menekankan bahwa desa merupakan wilayah dengan masyarakatnya yang boleh mengurus

rumah tangganya sendiri, yang tentu saja dalam koridor negara Republik Indonesia. Adanya pengakuan terhadap desa yang membolehkan mengurus rumah tangganya sendiri ini berkaitan dengan berbagai kondisi adat setempat atau lingkungan dan sejarah dari desa tersebut. Dalam konteks Indonesia, kemandirian ini penting demi memberi kebebasan bagi komunitas yang ada di wilayah desa itu untuk menyerap kebiasaan dan adat istiadat yang ada. Indonesia merupakan

(11)

Itulah yang menjadi alasan mengapa desa dipandang berhak mempunyai otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Hanya saja dari tiga pengertian desa ditas, hanya undang-undang No 19 tahun 1965 yang menekankan bahwa setiap desa mempunyai harta benda sendiri. Dua undang undang lainnya,

meski tidak menyebutkan tentang harta benda, lebih menyebutkan dengan sumber dana dari desa tersebut. Setidaknya, dalam penjelasan undang-undang ini, dapat dikatakan bahwa pencatuman harta benda tersebut terjadi karena beberapa alasan. Disebutkan bahwa pada jaman Orde Lama, ada keinginan untuk membagi habis wilayah Indonesia menjadi daerah tingkat I, II, dan III, maka desapraja ini hendak dijadikan wilayah peralihan untuk menjadi daerah tingkat III. Daerah

inilah yang dengan dasar pasal 18 UUD 1945, kelak akan dijadikan sebagai daerah tingkat III yang sifatnya otonom juga. Karena sifatnya otonom itulah maka diperlukan adanya harta benda tersebut. Daerah tingkat III yang dimaksudkan itu sesuai dengan asal-usulnya yang mempunyai sifat tradisionil. Jadi harta benda ini dimaksudkan untuk membiayai keadmistrasian desapraja yang mempunyai asal-usul berbeda dengan yang lainnya.

Selanjutnya, harta benda ini juga mempunyai arti untuk memutus hubungan dengan model-model feodal di masa itu. Harta benda inilah yang menjadi salah satu penghasilan dari desapraja, yang dapat digunakan untuk kepentingan desapraja, seperti membayar pamong dan sebagainya. Di jaman feodal masih dijumpai adanya penggunaan tenaga kerja tanpa bayaran atau

tanah bengkok untuk membayar kepala desa.

Meskipun tidak dinyatakan secara jelas soal harta benda desa, tetapi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, harta benda itu secara tersurat dimuat pada bagian kedelapan, tentang kekayaan desa, dimana yang dimaksudkan dengan itu adalah tanah-tanah kas desa atau

usaha yang dilakukan oleh desa tersebut. Seperti juga Undang_undang No 5 Tahun 1979, pada Undang-Undang No 6 Tahun 2014, tidak dicantumkan secara jelas harta benda desa di dalam definisi. Akan tetapi undang-undang ini mencantumkan secara lengkap apa yang dimaksud dengan aset desa. Diantara yang dimaksudkan itu adalah pada bagian kedua, pasal 76 dan 77 mengupas tentang aset desa, dimana dua pasal ini terdiri dari 9 ayat, dengan pasal 76 ayat 2

(12)

pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundaang-undangan. Hasil kerjasama desa, dan kekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pada ayat 4 disebutkan bahwa kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama pemerintah desa.

Demikian banyaknya aturan tentang aset desa ini disebabkan karena desa kelak diharapkan menjadi sentra pembangunan negara, yang mampu bersaing dalam dunia global. Dalam pertimbangan konsiderans Undang-undaang No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju mandiri dan demokratis sehingga menjadi landasan yang kuat dalam

melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Pertimbangan ini bisa dikatakan sebagai salah satu alasan demikian rinci aset yang disebutkan dalam perundangan ini. Dengan aset yang kuat, diharapkan pemberdayaan desa agar maju, kuat dan mandiri, akan bisa terlaksana. Disamping itu, pasal 78 dari undang-undang ini secara garis besar menentukan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, penanggulangan kemiskinan sampai dengan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Ini menandakan bahwa tujuan pembangunan itu akan bisa dicapai apabila dilakukan dengan memanfaatkan aset desa yang komplit dan berdaya guna.

Satu hal yang menjadi kelebihan dari Undang-Undang No 6 tahun 2014 ini adalah tentang pembangunan desa. Pada dua undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang desa atau desa praja, tidak ada hal yang secara khusus mengupas tentang pembangunan desa. Malah, lebih banyak mengatur masalah teknis seperti soal pemilihan kepala desa. Undang-Undang No 6

Tahaun 2014 mengatur dengan rinci pembangunan desa tersebut. Ini jelas mempunyai keterkaitan dengan konsiderans dari perundangan ini yang menekankan tujuan bahwa desa harus menjadi kuat, mandiri dan demokratis. Lebih jauh lagi disebutkan bahwa pengaturan desa seperti dengan pembuatan undang- undang ini mempunyai tujuan untuk menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan (pasal 4, huruf i). Tidak ada konsepsi seperti ini yang ditekankan

pada dua perundangan lainnya, baik Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-Undang No 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.

(13)

lokasi tempat tinggal rakyat Indonesia, lebih banyak di desa. Mereka hidup secara agraris dengan menempatkan alam sebagai tumpuan utama kehidupan sosial, individu maupun keluarga. Dengan karakter seperti ini, maka menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan merupakan pilihan yang tepat. Pertama, masyarakat akan mampu menyelami

berbagai bentuk pembangunannya karena pembangunan tersebut sesuai dengan model dari lingkungan yang ada. Kedua, mereka tidak akan terkejut dengan model dan instrumen pembangunan yang baru, misalnya instrumen yang lebih menekankan pada pembangunan yang bercirikan kota, seperti menekankan pada penggunaan mesin. Ketiga, pembangunan bisa dilakukan secara pelan-pelan dan akan menyeleksi kelompok masyarakat yang mampu

mengadaptasi perubahan sosial lebih cepat. Artinya kelompok masyarakat desa yang mampu mengadaptasi perubahan sosial, dapat menyesuaikan model pembangunannya dengan apa yang ada di kota.

Pada Undang-Undang No. 6 tahun 2014 ini, pembangunan desa tersebut boleh dikatakan dilapis. Dalam arti tidak hanya ada kehendak untuk membangun desa itu sendiri

tetapi juga pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan desa, artinya pembangunan yang dilakukan di dan oleh masyarakat desa tersebut. Sedangkan pembangunan kawasan perdesaan adalah pembangunan pedesaan yang ada di lingkungan kabupaten atau kota. Disini, rencana atau tanggung jawab itu lebih tertekan kepada kota atau kabupaten tempat desa-desa tersebut berada.

Daerah tingkat II inilah yang harus tanggap terhadap cita-cita, rancangan dan inspirasi terhadap pembangunan desa di kawasan itu.

Sebagai kelengkapan teknis pembangunan desa, undang-undang ini telah mencantumkannya secara lebih luas. Secara tradisional, seluruh pembangunan yang berlangsung

di desa tersebut harus didasarkan kepada kearifan lokal yang ada di desa tersebut (pasal 81 ayat 3). Pemilihan kearifan lokal sebagai basis pembimbing pembangunan itu sangat berguna karena masing-masing desa di Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Seperti yang telah menjadi pemahaman nasional, Indonesia ini merupakan negara yang berbhineka secara sosial dan budaya, dimana masing-masing budaya itu mempunyai kearifan masing-masing sesuai

(14)

benar-benar terserap secara utuh karena menyesuaikan dengan iklim sosial masyarakat setempat. Pada masyarakat yang masih tradisionil dengan basis kekuatan agraris, maka cara gotong royong untuk melaksanakan pembangunan merupakan pilihan yang lebih tepat dan membantu. Sebaliknya, desa yang ada di kota, tidak keliru apabila instrumen pembanguannya memakai

mesin.

Dengan cara memakai kearifan lokal demikian, penyerapan tenaga kerja juga akan lebih maksimal dari desa tersebut. Tidak akan terjadi banyak pengangguran karena keterampilan yang dipakai menyesuaikan dengan keadaan setempat.

Seperti halnya pada skala nasional, pembangunan desa inipun mempunyai perencanaan

juga. Dalam undang-undang ini disebutkan dengan perencanaan pembangunan jangka menengah yang mempunyai rentang waktu 6 tahun (pasal 79 ayat 2 huruf a). Yang lebih penting diperhatikan disini adalah bahwa perencanaan pembangunan itu sangat berguna untuk memberikan skala prioritas terhadap pembangunan yang ada di desa, sesuai dengan karakter lingkungan dan potensi yang ada di desa tersebut. Sebuah perencanaan pembangunan, apalagi

yang bersifat sosial pasti memerlukan perencanaan sosial. Dalam perencanaan sosial ini, yang perlu dilibatkan adalah masyarakat dan segenap komponen yang ada di masyarakat tersebut. Dalam undang-undang ini telah dicantumkan bahwa dalam membuat perencanaan tersebut, diikutkan masyarakat desa (pasal 80). Secara sosial, disamping merupakan sebuah keharusan,

pelibatan masyarakat setempat itu mempunyai manfaat besar bagi kepentingan di desa tersebut. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan, secara langsung akan menggali potensi-potensi kritis dan cerdas dari anggota masyarakat desa untuk membuka wawasannya. Perencanaan tentu memerlukan permusyawaratan dari semua warga yang ada. Keterlibatan ini jelas akan membuat

hasil pembangunan itu merupakan hasil rumusan bersama, sehingga apapun hasilnya akan menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian, secara tidak langsung juga akan mampu menumbuhkan spesialisasi di dalam anggota masyarakat itu. Artinya akan muncul tokoh atau kelompok atau individu yang secara khusus memperhatikan persoalan air, ladang, sawah, perekonomian dan sebagainya sehingga hal ini berpotensi mendorong tumbuhnya kecerdasan

warga. Kecerdasan akan menumbuhkan kemajuan desa.

(15)

pendidikan sesuai dengan kondisi yang ada di desanya. Jadi mereka akan menjadi ahli sesuai dengan keadaan lingkungan di desa.

Tanggung jawab desa terhadap pembangunannya juga akan terasa lebih komplit karena ketentuan undang-undang ini menyebutkan bahwa apabila ada pembangunan “milik”

pemerintah kota yang berkosentrasi di desa bersangkutan, akan diberikan kepada desa tersebut. Pasal 79 ayat 6 menyebutkan bahwa program pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang berskala lokal desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanannya kepada desa. Secara sosial maupun politis, hal ini telah menyiratkan bahwa desa merupakan sentral dari pembangunan, sesuai dengan karakter yang ada di desa tersebut. Campur tangan pemerintah

kepada pembangunan desa dikhawatirkan akan membuat pola dan bentuk pembangunan akan menyimpang karena tidak sesuai dengan karakter masyarakat desa. Memberikan pelaksanaan pembangunan kepada desa mempunyai makna bahwa agar pembangunan ini lebih baik, maka pilihan jenis pembangunan mesti diberikan kepada masyarakat setempat. Atau apabila memang desa tersebut masih belum mampu melaksanakan pembangunannya secara mandiri yang

disebabkan oleh tenaga ahli, keterampilan ataupun infrastrutur yang kurang, maka pemerintah daerah tetap tidak mau melaksanakan pembangunan itu secara mandiri tetapi tetap memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk melaksanakan, dengan koordinasi kepada pemerintah daerah. Bentuk koordinasinya tentu saja ditentukan dengan kesepakatan antara kedua belah

pihak. Jadi, boleh dikatakan bahwa secara politis pemerintah daerah memberikan perhatian lebih banyak kepada desa demi berbagai macam tujuan yang telah ditetapkan, misalnya menekan angka kemiskian.

Proyek pengentasan kemiskinan misalnya, lebih sering jatuh kepada pemerintah daerah,

khususnya pemerintah daerah tingkat II. Di jaman Orde Baru, kemiskinan itu lebih banyak ada di pedesaan. Akan tetapi, sekarang karena sistem ekonomi yang cenderung lebih liberal, kemiskinan itu tidak hanya ada di desa, akan tetapi juga ada di perkotaan. Undang-Undang No. 6 Tahun 2016 ini tidak mengenal pembedaan secara khusus antara desa dengan kota. Artinya di kota pun dinyatakan tetap ada desa. Karena itu apabila ada proyek pencegahan kemiskinan yang

dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II, maka demi kelancaran dan ketepatsasaran dari proyek tersebut, pelaksanaan dari hal ini akan lebih baik langsung diberikan kepada desa.

(16)

informasi ini dilakukan oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah kabupaten dalam bentuk macam-macam. Misalnya pemerintah daerah itu harus mempersiapkan fasilitas perangkat keras maupun lunak, jaringan sampai dengan sumber dayanya. Apabila dilihat dari sisi keterbukaan dan tanggung jawab, penyediaan sarana ini merupakan upaya memberikan keterbukaan kepada

dua pihak. Pemerintah memberikan perangkat informasi itu guna memberikan aliran pengetahuan kepada masyarakat di desa, sampai ke sektor yang paling kecil, terhadap berbagai informasii pembangunan. Hal ini mempunyai beberapa manfaat. Yang pertama, memberikan aliran pengetahuan kepada masyarakat tentang metode, keahlian, keterampilan sampai dengan berbagai kebutuhan dalam pembangunan. Masyarakat akan dapat pengetahuan untuk

membangun selokan yang baik misalnya, melalui internet yang telah disediakan di desa. Masyarakat pun akan dapat mendiskusikan tentang kebutuhan campuran semen untuk membuat dinding bagunan. Jadi, informasi ini akan dapat langsung diakses oleh masyarakat yang paling bawah. Kedua, memberikan informasi tentang ragam wujud pembangunan di desa. Aparat desa dan juga masyarakat harus rajin membuka informasi melalui perangkat yang ada karena melalui

hal inilah pemerintah daerah akan menginformasikan berbagai berita, pengumuman dan sebagainya tentang pembangunan di desa. Ini misalnya bisa dilihat dalam bentuk jenis pembangunan apa yang mendapatkan pembiayaan dari pusat. Atau bagaimana alokasi pembiayaan tersebut dan waktu yang ditetapkan untuk proyek pembangunan di desa. Juga

tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Ketiga, akan memberikan keterbukaan. Baik anggota masyarakat, pemerintah daerah, maupun aparat desa sama-sama mengetahui berbagai informasi tentang pembangunan desa secara terbuka. Jumlah dana yang diperlukan, dana yang dihabiskan sampai sarana dan jangka waktu pembangunan itu, semuanya dapat diakses secara terbuka baik

oleh masyarakat desa setempat maupun oleh pemerintah. Keempat, keterbukaan informasi ini sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab. Bagi masyarakat tanggung jawabnya adalah memantau jalannya proyek pembangunan, sekaligus memberikan kritik dan sumbangan pikiran terhadap proyek pelaksanannnya itu, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada aparat desa. Dalam hal pelaksanaan negara yang bersih, cara seperti ini akan mampu menekan dan

(17)

Salah satu kekhawatiran dari palaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini adalah bahwa pada tahap awal-awal pelaksanannya, sangat rawan dengan tindakan-tindakan koruptif. Gelontoran dana yang berjumlah sampai milyaran rupiah tersebut, memerlukan pembukuan yang professional yang akan mencatat segala macam pengeluarannya. Padahal pada sisi lain, seperti

yang telah diketahui oleh masyarakat banyak, profesionalisme birokrasi pada tingkat desa itu jauh dari sisi memadai. Desa yang dimaksud baik desa dinas maupun desa pakraman (di Bali). Karena itu dikhawatirkan uang milyaran rupiah tersebut tidak akan dapat digunakan secara baik dan bergunan apabila tidak dikelola secara prpfesional. Artinya ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Maka, cara keterbukaan melalui jaringan informasi di pedesaan ini,

dipandang mampu memberikan kontrol agar dana-dana itu tidak digunakan secara sewenang-wenang. Artinya untuk memberikan tekanan agar korupsi tersebut tidak muncul, apalagi di pedesaan.

Pembangunan desa tidak dapat hanya dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tetapi juga bisa dilakukana melalui apa yang disebut dengan Pembangunan Kawasan Perdesaan. Dalam

undang-undang ini, yang dimaksudkan dengan pembangunan kawasan perdesaan adalah pembangunan yang merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten atau kota (pasal 83). Ketentuan ini menyertakan bahwa pembangunan desa tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun daerah tingkat dua. Akan tetapi pembangunan itu

dilakukan dalam konteks yang berhubungan antara satu desa dengan desa lainnya. Hubungan dan interaksi tersebut sangat penting untuk meningkatkan saling kerjasama antar desa di dalam satu kabupaten. Pembangunan kawasan perdesaan ini mempunyai tujuan untuk mengintegrasikan antara kebijakan pemerintah, tetapi tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kearifan lokal

dan lingkungan yang ada di desa. Karena itulah kemudian, rancangan pembangunan kawasann perdesaan ini dibuat bersama oleh pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah tingkat II (kabupaten dan kota). Akan tetapi rencana pembangunan kemudian ditetapkan oleh bupati/walikota sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (pasal 83 ayat 5).

Hal ini memperlihatkan bahwa tujuan pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksud

(18)

Sedangkan pelaksanannya harus melibatkan masyarakat desa. Pembangunan kawasan perdesaan ini, juga memperlihatkan bahwa pembangunan di kawasan tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan kawasan daerah tingkat II yang ada di desa tersebut.

Keterkaitan hubungan antara pemerintah kota atau kabupaten, termasuk juga dengan

pemerintah pusat dan propinsi dalam hal pembangunan desa, masih sangat erat. Ini misalnya terlihat bahwa pembangunan kawasan perdesaan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini, bertujuan paling tidak menyesuaikan dengan model pembangunan yang ada di kota atau kabupaten. Bahwa penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan, sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota. Karena itu, meskipun pembangunan

kawasan pedesaan ini tetap melibatkan aparat dan masyarakat desa, tetap ketentuan lanjutan dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan ini, tetap diatur dalam peraturan daerah kabupatan/kota.

Ketentuan demikian, disamping bertujuan untuk memberikan bantuan terhadap arah pembangunan desa, juga dimaksudkan mengontrol pembangunan desa agar menyesuaikan

dengan pola pembangunan di kabupaten/kota. Hal ini penting karena dalam konsep pembangunan perdesaan itu, lebih menentukan pada pembangunan antar desa yang ada di kabupaten tersebut. Karena merupakan pembangunan antar desa, dapat saja model dan bentuk pembangunannya terintegrasi yang menyesuaikan dengan pola pembangunan yang dirancang

kota. Ketentuan pembangunan perdesaan ini mengandung makna tersembunyi. Artinya pembuat undang-undang ini telah mengetahui bahwa kota-kota di Indonesia itu cepat berkembang, dimana perkembangannya sering kali menjalar sampai ke desa-desa yang ada di sekitar kota. Agar tidak memunculkan persoalan-persoalan sosial di kemudian hari, maka kota atau kabupaten mencoba

melihat konteks perkembangan yang ada di kota itu sesuai dengan kebutuhan dan ciri dari daerah tingkat II yang ada. Sebuah kabupaten telah mempunyai perencanaan jangka menengah, sehingga pelaksanaan pembangunan di desa haruslah sesuai dengan perencanaan tersebut. Misalnya, pembangunan diarahkan ke wilayah barat, maka desa-desa yang ada di wilayah timur mesti menyesuaikan diri dengan rencana tersebut. Sekarang, perluasan permukiman misalnya,

sering kali menggerus desa-desa yang ada di wilayah berdekatan dengan kota atau pusat kabupaten sehingga justru mampu memunculkan persoalan-persoalan sosial.

(19)

saling kebersamaan pembangunan antar desa tersebut, sangat berguna untuk menentukan pilihan-pilihan pembangunan yang sesuai dengan keunggulan maupun ciri dari kabupaten maupun kota tersebut. Misalnya untuk mencegah munculnya urbanisasi, maka pemerintah kabupaten dapat saja membangun industri kopra di desa-desa yang mempunyai sentral pohon kelapa. Pemerintah

kabupaten dapat membuat peraturan tentang perencanaan tersebut, demi menahan arus urbanisasi yang kemungkinan terjadi. Di Tabanan Bali, misalnya, wilayah Selabih, Surabrata dan sekitarnya sanat tepat dipakai sebagai sentra pengolahan kelapa.

Dalam jangka pendek, terutama di jaman sekarang (2014-2020), yang harus diperhatikan fokus pembangunannya adalah pada desa-desa yang berdekatan dengan kota

kabupaten. Di Bali, desa-desa yang ada di wilayah Bali selatan haruslah mewaspadai perkembangan perkembangan kota kabupaten ini. Dikhawatirkan desa-desa yang ada di pinggir kota ini akan diserobot pembangunan sebagai imbas dari kesesakan arus urbanisasi yang berlangsung di kota. Desa-desa yang ada di wilayah Badung misalnya, sudah sangat sesak oleh penduduk, pembangunan perumahan, tempat hiburan dan sebagainya sebagai akibat dari

padatnya arus urbanisasi ke kabupaten Badung dan memadati Mangupura. Khusus di kota Denpasar misalnya, haruslah diperhatikan bahwa semakin sesaknya penduduk di kota akan dapat menggerus nilai-nilai budaya yang ada di desa-desa yang ada di kota, terutama yang berkaitan dengan masalah adat dan kebiasaan masyarakat Hindu Bali.

Proses pembangunan perdesaan ini, yang bersesuaian dengan pola pembangunan di kabupaten akan mempunyai akibat lebih kuat kalau dilakukan secara bersama-sama. Jadi melakukan kerjasama atau melakukan integrasi pembangunan dengan beberapa desa, akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Ini disebabkan, kesepakatan antar desa itu dapat dipandang

sebagai bendungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Yang paling tepat, kerjasama itu harus dilakukan oleh desa-desa yang benar-benar berada di pinggir kota atau dengan fokus pada desa-desa yang melingkari kota kabupaten.

Landasan Sosiologis Keterikatan Kota dengan Desa

(20)

cara-cara yang dilakukan oleh orang nomaden atau perkebunan berpindah. Air dan tanah merupakan penopang kehidupan manusia. Karena itu, desa yang terbentuk pasti berdekatan dengan sungai atau dengan sumber air. Di Bali, identitas ini terlihat cukup jelas karena hampir di setiap desa selalu dijumpai sungai atau sumber air. Bahkan juga desa-desa di pegunungan

didirikan berdekatan dengan sumber air.

Dilihat dari konteks perkembangan demikian, dapat dikatakan bahwa di daerah perkotaan setidaknya ditemukan adanya lebih dari satu sungai, atau sungai yang panjang dan besar. Hal ini merupakan perkembangan dari keberadaan desa di masa sebelumnya. Kota, dengan demikian dapat merupakan perkembangan jumlah penduduk dari desa yang berwilayah luas. Atau

merupakan gabungan dari beberapa desa yang berada di sekitar sungai, yang secara geografis mempunyai wilayah berdekatan. Paling kurang penduduk desa tersebut saling meluber secara geografis dan akhirnya menyatukan diri menjadi kota. Hal ini misalnya terlihat, dalam kasus di Bali, di kota, baik di Denpasar, Tabanan, Klungkung dan kota-kota lainnya. Banyak terdapat desa yang disebut dengan desa pakraman atau desa adat yang merupakan kesatuan masyarakat

tradisionil di Bali. Desa dinas pun terdapat di dalam kota.

Dengan logika perkebangan demikian, maka banyak ciri-ciri ataupun identitas desa masih melekat pada perkembangan kota. Pola pemukiman misalnya, masih banyak dijumpai pola pemukiman kampung yang ada di perkotaan. Di Bali, rumah penduduk di kota mempunyai

kesamaan dengan apa yang ada di desa. Pola pemukiman tradisional masyarakat Bali setidaknya dibagi menjadi empat atau lima bagian. Rumah tidur utama, ada pada bagian barat menghadap ke timur. Dapur ada di bagian selatan, rumah tempat menyimpan sarana upacara di bagian utara dan di bagian tengah ada rumah untuk melaksanakan ritual upacara. Pada bagian timur laut,

merupakan lokasi tempat persembahyangan keluarga. Tempat untuk beternak ada di belakang rumah utama. Model pemukiman seperti itu juga masih terlalu jamak dan dijumpai di kota-kota di Bali. Demikian juga dengan pola tempat tinggal sosial.

Pola tempat tinggal sosial masyarakat Indonesia, dan juga di Bali sebarannya mengelompok dan mengembang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Rumah inti yang

(21)

sesuai dengan perkembangan jumlah anggota keluarga yang telah bertempat tinggal. Perumahan yang ada dihiasi oleh pola-pola perumahan seperti itu. Di Bali, kesatuan kehidupan sosial paling kecil diatas keluarga, disebut dengan banjar. Menurut sejarahnya, munculnya kata banjar tersebut tidak lain disebabkan oleh adanya deretan rumah yang berjajar. Karena itu disebut

dengan banjar. Pola perumahan yang mengelompok sesuai dengan anggota keluarga juga dijumpai di kota-kota lain di Indonesia. Khusus di Bali, model rumah yang berjajar seperti berbanjar tersebut, juga dijumpai di kota.

Pola kehidupan sosial kota juga mempunyai korelasi dengan pola kehidupan sosial di desa, bahkan di kota-kota besar sekalipun. Karena geografisnya luas, terdiri dari ladang dan

persawahan serta perumahan yang tidak demikian banyak, sebagian masyarakat di pedesaan memelihara hewan dengan cara membiarkannya berkeliaran di ladang. Atau untuk menghindari adanya pencurian, hewan-hewan besar seperti sapi atau kambing dibuatkan kandang tepat di belakang rumahnya. Unggas juga dipelihara dengan cara membiarkannya bebas berkeliaran, sehingga masuk ke pekarangan rumah bahkan ke kamar-kamar tempat masakan dan tempat

tidur. Pola pemeliharaan seperti itu, sampai saat ini masih dijumpai di kota. Di Surabaya kambing masuk halaman kampus. Di Bali, sapi masih berkeliaran di jalan raya dan perumahan. Di Jakarta, masih banyak masyarakat yang membuat kandang sapi di belakang rumahnya. Ini menandakan bahwa latar belakang kota itu, berawal dari desa beserta dengan kehidupannya.

Atau masyarakat yang tinggal di kota itu sesungguhnya mempunyai latar pedesaan.

Dalam konteks demografis, tidak dapat dilepaskan bahwa pertumbuhan berbagai kota di Indonesia disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Berbagai perilaku yang dipaparkan di depan tadi, juga tidak dapat dilepaskan oleh perilaku urbanisasi tersebut. Ketimpangan pembangunan

serta infrastruktur yang tidak mendukung, membuat pembangunan di desa sangat tidak imbang apabila dikaitkan dengan kota. Jalan yang rusak membuat pola pengangkutan barang kebutuhan masyarakat menjadi tersendat atau malah mahal. Demikian pula sebaliknya untuk pengangkutan barang yang ada di desa. Hal inilah membuat kehidupan di desa lebih sulit dibanding dengan kota. Jawaban untuk menghadapi persoalan ini adalah dengan cara berpindah dan bekerja di

(22)

mencuci. Mereka mencuci di belakang gubuk atau lapak tempat berdagang. Padahal lapak itu ada di jalan di kota atau di trotoar. Akibatnya jalan dan trotoar menjadi kotor karena menjadi tempat pencucian.

Dengan demikian, kehidupan sosial yang ada di kota tersebut hampir sama dengan apa

yang ada di desa. Dalam konteks sejarah membentukan kota, desa merupakan cikal bakalnya. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa desa yang “melekat” di dalam kota. Sedangkan pola interaksi sosial yang ada di kota, mempunyai kesamaan dengan apa yang ada di desa karena kota dipenuhi oleh kaum urban yang datang dari desa.

Bahkan, kalau dilihat dari kondisi sekarang, meskipun Indonesia sudah masuk kedalam

negara modern secara sosial, tetapi kehidupan-kehidupan model pedesaan tetap terlihat di kota. Salah satu dari indikator modernnya kehidupan sosial masyarakat adalah penggunaan teknologi. Kendaraan bermotor, baik yang berjenis mobil maupun kendaraan roda dua, kini sudah dimiliki oleh sebagian besar masyarakat sampai ke desa. Akses terhadap informasi juga menjadi salah satu ciri dari masyarakat modern. Dilihat dari sudut ini, penggunaan telepon seluler serta

kepemilikan televisi, memberikan indikasi bahwa sebagian besar masyarakat sudah masuk dalam ranah modern. Cara mengolah lahan pertanian, sampai cara memasak sekarang sudah lebih banyak menggunakan tenaga bukan manusia. Penggunaan traktor pertanian sampai dengan alat pengulik sambal sudah memakai teknologi. Di pedesaan juga banyak dijumpai kompor gas yang

membuat masyarakat tidak lagi mencari kayu bakar untuk memasak di dapur. Sekali lagi, ini merupakan indikator kemajuan. Di kota-kota hampir seluruhnya dijumpai hal seperti yang diungkapkan diatas.

Akan tetapi kalau dilihat dari perilaku dan sikap terhadap lingkungan, tindakan sosial

yang dilakukan masyarakat antara desa dengan kota, tidak ada perbedaan yang signifikan. Perilaku-perilaku desa masih banyak kelihatan di kota. Misalnya seorang pedagang masih seenaknya membuang sampah di sekitar tempat berjualan atau mencuci piring di sekitar tempat berjualan. Padahal lokasi berjualan itu di pinggir jalan. Apabila berjualan di desa, dengan lokasi yang masih luas, tentu cara seperti itu masih dapat dipandang biasa meskipun tidak sopan, akan

(23)

masih sering terlihat sapi yang berjalan liar tanpa dikawal oleh pemiliknya. Atau ayam yang tidak dikandangkan. Belum lagi dengan cara berbicara yang masih dengan volume keras seperti di sawah atau di ladang.

Apa yang diungkapkan diatas, merupakan perilaku-perilaku desa yang masih tetap

melekat di kota-kota di Indonesia, yang pada akhirnya memberikan pemahaman bahwa antara kota dengan desa di Indonesia masih cukup lekat secara sosiologis.

Kepentingan Keterkaitan antara Kota dengan Desa

Undang Undang No. 6 Tahun 2014, tentang Desa, menyatakan bahwa desa itu juga ada

di kota. Pasal 5 menyatakan bahwa desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Sedangkan pada pasal 1 tentang Ketentuan Umum ada yang menyebutkan kawasan perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pasal 83 menyiratkan kalau kawasan

perdesaan ini ada di lingkungan wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, desa yang dimaksudkan dalam undang-undang ini tidak semata-mata seperti yang ada dalam bayangan orang dengan ciri-ciri seperti jauh dari perkotaan, ada di kawasan pegunungan, sepi dan sebagainya, tetapi desa juga ada di kota atau perkotaan. Dimana wilayah-wilayah pertanian pun

sebenarnya juga ada di daerah perkotaan, sesuai dengan undang-undang ini.

Ada beberapa hal yang dapat dilihat tentang keterkaitan antara desa dengan kota, apabila dihubungkan dengan persoalan sosiologis. Yang harus dilihat dari sisi struktural bahwa kota dapat dikatakan mempunyai perkembangan sosial yang lebih dinamis dibandingkan dengan desa.

Perkembangan kedinamisan itu, tidak sekedar sebagai akibat dari sarana kota yang lebih dibanding dengan desa, tetapi berdasarkan kelebihan tersebut tingkat kemampuan intelektual dan rasionalitas masyarakat kota, pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang ada di pedesaan. Sekolah dari tingkat rendah sampai dengan perguruan tinggi, lebih banyak di kota. Berbagai jenis perkantoran, pasar dan pertokoan lebih banyak di kota. Ruang untuk

(24)

Akan tetapi mengingat sejarah kota, seperti yang disebutkan diatas berasal dari dari desa, maka di dalam kota pun masih dijumpai eksistensi desa dengan segala identitasnya, yang kalau tidak diperhatikan secara cermat akan dapat menghapuskan identitas dan keberadaan masyarakat desa. Pemikiran rasional yang dimiliki oleh masyarakat kota, akan mampu menghilangkan

identitas tersebut. Dengan menerapkan teknologi mesin pemotong rumput misalnya, gotong royong untuk membersihkan lingkungan akan terhapus. Di Bali pemikiran ekonomis membuat masyarakat lebih memilih membeli sarana upacara, dibanding dengan membuatnya secara bersama-sama. Inilah beberapa contoh yang memungkinkan praktik gotong royong yang ada di desa akan punah. Padahal gotong royong itu mempunyai nilai kebersamaan yang memungkinkan

saling memahami saling keperluan antar individu yang membuat persaudaraan tetap utuh, untuk mencegah konflik dan kekerasan.

Kota sebagai lokus pemikiran dan rasionalitas, dengan tingkat komposisi pemikir lebih banyak, bahkan dapat dikatakan sebagai pusat, mempunyai kedudukan struktur sosial lebih tinggi dibanding dengan desa. Karena itu dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini,

sebagian ketentuan untuk mengatur desa tersebut, harus bersumber dari kota (kabupaten). Belanja desa misalnya, seperti yang ditentukan dalam pasal 74, disesuaikan dengan prioritas pemerintah kabupaten/kota, pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah Indonesia. Laporan penyelenggaraan dari kepala desa juga harus dilaporkan kepada walikota setiap tahun dan saat

mengakhiri jabatanya, kepala desa harus melapor kepada pemerintah kabupaten/kota. Bahkan pemberhentian atau merahabilitasi nama baik kepala desa, dilakukan oleh walikota (bupati). Pembuatan peraturan desa juga harus dikoordinasikan dengan walikota untuk mendapat evaluasi, terutama tentang anggaran pendapatan, tata ruang serta organisasi pemerintahan desa.

Dengan ketentuan seperti itu, secara struktural desa masih berada dalam pengawasan dari kota. Akan tetapi langkah dan proses pengawasan atau pengaturan atau pengendalian desa tersebut mempunyai kepentingan yang positif.

Keterkaitan antara kota dengan desa pada konteks seperti yang disebutkan diatas itu dalam hal asas pengaturannya bisa dikatakan sebagai asas pemberdayaan dan keberlanjutan.

(25)

suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.

Dari titik itulah dapat dilihat bagaimana pentingnya hubungan antara desa dan kota dalam hal perdesaan yang ada di kota. Dengan cara memberikan keterkaitan pendanaan desa

disesuaikan dengan prioritas keuangan dari kota misalnya, pembangunan yang ada di desa dapat disesuaikan dan dikoordinasikan dengan pembangunan yang ada di kota. Misalkan dalam taraf ijin pembangunan ruko modern, desa-desa yang ada di kota tidak harus seluruhnya ikut-ikutan memberikan keleluasaan pembangunan ruko apabila salah satu desa yang berdekatan telah didirikan toko dengan berbagai jenis barang yang dijual. Ruko tersebut terjangkau dari berbagai

desa yang ada di sekitarnya, dengan menggunakan sarana transportasi yang telah ada. Pembangunan terminal juga akan melihat pada lokasi terminal yang sudah ada. Demikian juga soal pembangunan pasar tradisionil.

Cara mengkoordinasikan pembangunan seperti itu akan mampu memberikan pentahapan perkembangan perluasan kota secara teratur dan bertahap, dan memberikan pentahapan

penyesuaian diri kepada masyarakat untuk mengikuti pola-pola kehidupan masyarakat kota, dengan rasionalitas yang dimilikinya. Dengan demikian, identitas kehidupan sosial masyarakat desa akan dapat disesuaikan dan dikembangkan secara sistematis dan terarah. Adanya kecenderungan kota yang tetap memberikan campur tangan terhadap perkembaangan desa (yang

ada di perkotaan), disebabkan oleh perkembangan globalisasi, perkembangan sosial terutama arus urbanisasi, tidak dipahaminya makna perundang-undangan oleh masyarakat sampai dengan munculnya egosentris pemikiran individual yang dianut oleh oknum-oknum pengembang. Di Bali, terutama di kota-kota yang ada pada wilayah Bali bagian selatan, perkembangan kota ini

sangat tidak kondusif karena menghabiskan wilayah-wilayah perdesaan dan tidak sesuai dengan tata ruang yang telah disediakan. Munculnya banyak perumahan, ruko, dan berbagai fasilitas sosial, sangat tidak memberikan dukungan bagi pemeliharaan identitas-identitas masyarakat pedesaan. Kota, bagaimanapun merupakan pengembangan dari masyarakat desa.

Memanfaatkan Keterkaitan Kota dengan Desa

(26)

lebih tinggi dibanding dengan desa. Sekolah dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak berdiri di kota. Dalam perkembangan dunia global, perubahan sosial dan modernisasi selalu menjadi langkah yang dinilai sebagai sebuah kemajuan. Dalam arti lebih memperingan hidup manusia dan memberikan kenyamanan. Intinya masyarakat kota lebih rasional. Dengan demikian, dalam

kerangka memajukan desa yang ada di dalam lingkungan kota, desa yang menjadi subordinat kota, mendapatkan posisi yang penting. Yang pertama, bahwa sesuai dengan pola pemikiran global, modernisasi dan perubahan sosial yang ada, secara lambat laun desa yang ada akan terpengaruhi oleh kehidupan kota. Atau dalam bahasa yang lebih kasar, tergerus oleh perkembangan kota. Padahal gerusan dan perkembangan kota yang tidak terkendali justru akan

mampu merusak tatanan kehidupan desa. Masyarakat yang terbiasa dengan hidup sebagai pedagang barang kelontong misalnya, tidak akan mampu secara cepat beradaptasi dengan perdagangan jasa. Memerlukan pendidikan dan keterampilan lanjutan apabila seorang pedagang minyak tanah menjadi pedagang jasa penukaran uang. Apalagi apabila asal muasal itu dari seorang petani.

Maka, keunggulan pemikir-pemikir yang dimiliki oleh masyarakat kota, termasuk pengalaman kontak sosialnya dengan lebih banyak komponen, akan mampu memberi pengarahan untuk memilih prioritas pembangunan di desa yang berada di lingkungan perkotaan. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa ini juga menyebutkan bahwa anggaran belanja

yang akan digunakan oleh desa, menyesuaikan dengan prioritas dari kota. Ini artinya penyesuaian-penyesuaian itu harus dilakukan. Dalam perkembangan kota mutakhir, perencanaan perluasan kota tersebut sangat dipentingkan. Desa-desa yang ada di pinggir kota sering kali menjadi sasaran untuk perluasan kota dalam bentuk pembangunan pemukiman dan pusat

perdagangan. Para perencana kota yang terdiri dari para pemikir-pemikir, akan mampu memilih dan memilah wilayah mana dan desa mana yang akan dikembangkan untuk itu, dengan melakukan berbagai pertimbangan, mulai dari aspek sosial-lingkungan, kebudayaan, ekonomi sampai dengan pertimbangan politis. Desa yang mempunyai lahan luas dan kosong dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih minim, boleh saja dikembangkan menjadi wilayah

(27)

Dalam kasus di Bali, mulai dari jaman Orde Baru sampai sekarang, kecenderungan untuk mengabaikan pendapat masyarakat desa cukup kelihatan. Di jaman Orde Baru, perluasan kota untuk membuat pemukiman sering memakai alasan demi kepentingan pemerintah, meskipun hal itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan pengembang. Inilah yang membuat perluasan kota

sering masuk sampai ke desa-desa sekitar kota. Di jaman reformasi, uang menjadi alat utama (plus ancaman dari kelompok), yang diiming-imingi kepada rakyat pemilik lahan untuk menjual tanahnya. Secara kebetulan biaya kehidupan sosial di Bali cukup tinggi dan biaya untuk upacara agama juga tinggi sehingga memudahkan uang itu menjadi target penduduk untuk menjual lahannya.

Dari sisi pemanfaatan dan pengenalan potensi sumber daya, keterkaitan pola subordinasi antara kota dengan desa memungkinkan kerjasama antara dua pihak. Artinya komponen-komponen masyarakat kota (seperti para ahli) melakukan identifikasi sekaligus sistematika potensi sumber daya yang dimiliki oleh desa. Identifikasi inilah yang kemudian dapat ditinjaklanjuti dalam bentuk kerjasama antara dua pihak untuk dikembangkan agar dapat

memajukan kota dan desa tersebut. Pembuatan batu bata misalnya, jelas bukan merupakan kebutuhan orang desa saja, tetapi pembangunan yang ada di kota termasuk cara pemasarannya dan modernisasi yang dilakukan, memerlukan keahlian orang kota juga. Peraturan yang dibuat untuk mengembangkan desa, dimungkinkan diberikan evaluasi oleh walikota sehingga dalam

eveluasi tersebut dimungkinkan adanya ayat tambahan untuk membuat peraturan sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Atau para ahli dan perkantoran yang ada di kota membuat kebun percobaan di desa tertentu.

Dari sini dapat dikatakan bahwa komposisi subordinat desa terhadap kota mempunyai

manfaat positif dalam kerangka menggradualkan perkembangan desa yang ada di dalam kota. Perkembangan itu tidak dilarang akan tetapi ditahapkan sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh rasionalitas masyarakat kota. Budaya desa tidak selamanya kalah dengan budaya kota. Dengan cara pandang seperti ini akan terdapat dialektika antara budaya dan cara berfikir orang kota dengan orang desa, sehingga pada masa depan akan ada pilihan-pilihan bagi anggota

masyarakat demi menjalankan kehidupan sosialnya. Kehidupan seperti ini di Indonesia tetap perlu dipertahankan sebagai pengimbang kemajuan rasionalitas pada masyarakat kota.

(28)

apabila ada desa yang menginginkan berdirinya kompleks industri demi pekerjaan yang didapatkan oleh penduduknya. Akan tetapi, pengontrolan keinginan seperti itu justru sangat diperlukan karena tidak semuanya kompleks industri dapat menguntungkan desa bersangkutan. Jadi kota tetap harus memperhatikan perkembangan desa yang ada di perkotaan. Dengan

demikian, maksud undang-undang ini lebih mempunyai sifat ordinat bagi desa adalah demi menjaga pembangunan antara dua pihak tersebut dapat melakukan pentahapan secara lebih baik, memelihara budaya-budaya tradisionil dan mengembangkan budaya, terutama budaya positif yang dapat digunakan untuk orang banyak. Sifat altruistis yang sekarang mulai didengung-dengungkan, sebenarnya termaknai sebagai budaya perhatian, simpati dan empati kepada pihak

(29)

BAB 2

MENGGALI POTENSI SUMBERDAYA DI PEDESAAN

Salah satu pemikiran yang muncul terhadap keberadaan Undang-Undang No 6 Tahun

2014 tentang Desa ini adalah keinginann untuk menggerakkan desa dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Karena desa jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, maka dapat dikatakan tidak semua desa mempunyai potensi sumber daya manusia yang sama antara satu desa dengan yang lain. Bentangan geografis Indonesia yang jutaan kilometer luasnya, dengan sifat geografis yang bermacam-macam tidak memungkinkan kesamaan itu. Di Pulau Jawa dan Bali misalnya, banyak

dijumpai daerah pegunungan. Beberapa dari gunung itu aktif meletus atau dalam sejarahnya pernah meletus. Ini yang membuat kekayaan alam di dua pulau tersebut lebih bervariasi serta tanahnya subur. Di Papua, geografisnya lain lagi karena kaya dengan bahan tambang. Demikian juga dengan Pulau Sumatra, Kalimantan serta Sulawesi yang kaya dengan bahan pertambangan.

Apabila dilihat dari konteks budaya, Indonesia ini juga sangat kaya ragam. Catatan yang

pernah ada menyebutkan bahwa paling kurang Indonesia terdiri dari 250 suku bangsa. Masing-masing suku ini mempunyai budaya, seni, kebiasaan, sejarah yang berbeda-beda yang dapat ditampilkan sebagai sebuah kekayaan budaya yang dapat diolah. Misalnya ditampilkan sebagai sebuah pesta kesenian yang dapat mengundang turis. Budaya merupakan salah satu aset desa

yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pendapatan desa kelak. Di Bali, dengan kekayaan budayanya mempunyai bentuk budaya dalam wujud kesenian tradisionil yang demikian banyak ada di setiap desa. Tari Sanghyang dengan berbagai bentuknya itu, tidak hanya dijumpai di satu tempat tetapi juga ada di berbagai tempat, dengan wujud yang berbeda.

Disamping itu atraksi budaya yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk seni seperti Perang Tipat di Kapal, Mekotek di Tabanan, atau Omed-Omedan di Sesetan, merupakan atraksi yang dapat diklaim sebagai milik desa dan kemudian diberdayakan untuk kemanfaatan desa tersebut. Salah satu resiko dari pemberdayaan desa ini adalah komersialisasi terhadap upacara-upacara ritual yang sebelumnya dipandang sakral.

(30)

mempunyai kaitan dengan upaya memberdayakan sumber daya desa, aset desa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tujuan itu adalah mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan

kesejahteraan umum; memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.

Dari tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa, ada beberapa kalimat kunci yang dapat dilihat yaitu, masyarakat desa harus dijadikan sebagai subyek pembangunan. Disini harus dilihat bahwa pembangunan yang hendak dilakukan di desa, tidak boleh

menyimpang dari lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang ada di desa tersebut. Proyek pembangunan yang akan dilaksanakan harus mengacu kepada lingkungan tersebut. Perencanaan pembangunan dan pengembangannya harus dimulai dari apa yang ada di desa. Misalnya, apabila di desa itu ada bendungan, maka proyek pembangunan dan pengembangan ke depan, haruslah dimulai dari bendungan ini. Artinya pengembangan dapat dari pertanian, pengembangan

pariwisata air, budidaya perikanan, dan seterusnya. Apabila kebanyakan masyarakat di desa tersebut dalam kehidupan sosialnya sebagai pedagang, maka haruslah dikembangkan upaya-upaya pengembangan jiwa wirausaha, terutama bagi generasi penerusnya.

Kalimat kunci lain yang dapat dilihat dari tujuan tersebut adalah pengembangan potensi

dan aset desa demi kesejahteraan bersama. Dengan kalimat kunci seperti ini, maka yang dipentingkan adalah mengenali potensi sumber daya manusia yang ada di desa untuk mengembangkan potensi dan aset tersebut. Dalam kehidupan sosial sekarang, sesungguhnya tantangan besar terletak disini karena orientasi pemuda desa, kebanyakan ke kota atau ke

wilayah-wilayah yang telah menyediakan lahan untuk langsung bekerja. Misalnya, pemuda desa yang sudah mempunyai keterampilan, tamat diploma, tamat sarjana bahkan tamat doktor, memilih bekerja di bank, di perhotelan dan sebagainya. Padahal, maksud dan tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menahan mereka-mereka itu keluar desa dan mengenali potensi yang ada di desanya. Untuk hal ini, beberapa cara dapat dilakukan demi mengembangkan potensi desa

(31)

para pejabat desa, baik kepala desa maupun tokoh-tokoh desa harus pro aktif melihat potensi generasi mudanya, dan kemudian memberikan pesan kepada lembaga pendidikan dimana pemuda itu melanjutkan pendidikan, agar kelak pemuda tersebut bersedia kembali ke desa. Ketiga, desa dapat mengeluarkan bantuan keuangan untuk ikut membiaya pemuda melanjutkan

sekolah. Dan keempat adalah, pemantauan dini kepada sumber daya manusia desa, tentang keahlian-keahlian yang dimiliki. Selanjutnya memberikan biaya melanjutkan pendidikan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Dengan cara demikian, akan dapat diupayakan partisipasi warga untuk memanfaatkan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.

Peningkatan pelayanan publik juga merupakan kata kunci menarik. Tidak lain, ini

ditujukan kepada aparat-aparat desa yang bekerja di birokrasi desa. Disamping aparatur desa yang bertugas harus ditingkatkan kualitasnya, penting juga diperhatikan kualitas instrumen-instrumen yang dipakai untuk melayani masyarakat. Intinya adalah bagaimana aparat tersebut sigap, kosentrasi dan dengan menggunakan prasarana yang modern, dapat memperingkas pelayanannya kepada masyarakat, membuat rakyat merasa puas dan senang ketika berususan

dengan kantor kepala desa. Pembuatan kartu penduduk yang memerlukan waktu hanya satu hari, tentu akan mempercepat proses lanjutan lainnya sehingga percepatan ini dapat mewujudkan kesejahteraan umum. Pemakaian komputer dan internet, menjadi persyaratan pokok bagi keberlangsungan dari keberhasilan desa di masa depan.

Pembangunan desa pada akhirnya merupakan upaya untuk menghilangkan kesenjangan nasional. Untuk menghilangkan kesenjangan ini, tidak lain cara yang dipakai adalah gerakan-gerakan pada bidang ekonomi. Kritik paling banyak yang ditujukan kepada Indonesia saat ini adalah adanya kesenjangan dengan dimensi banyak. Artinya, dalam konteks negara secara utuh,

kemakmuran ekonomi antara Indonesia di bagian barat dengan baagian timur, sangat senjang. Pembangunan banyak dilakukan di bagian barat, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Jalan beraspal, kendaraan serta pusat pengembangan intelektual, ada di wilayah Indonesia bagian barat. Demikian juga halnya dengan proyek industri. Juga ada kesenjangan antara kota dengan desa. Dalam proses pembangunan, kota seolah lebih dulu dikembangkan di dibanding dengan desa.

(32)

memperlihatkan kontrasnya hasil pembangunan. Tidak hanya di Jakarta, kota besar lain seperti Surabaya, Denpasar juga memperlihatkan disparitas kekayaan tersebut. Banyak masih dijumpai ada pengemis dan gubuk-gubuk liar di pinggir jalan, padahal di beberapa wilayah hotel bintang lima bertebaran.

Karena itulah kemudian, untuk menghindari adanya kesenjangan seperti ini, pembangunan dengan pusat pedesaan akan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan Indonesia. Satu hal paling utama yang dapat dilihat dari pembangunan di desa, adalah bahwa proyek tersebut akan dapat menekan arus urbanisasi ke kota. Urbanisasi ini disebabkan oleh tidak adanya kegiatan pembangunan atau kegiatan ekonomi di pedesaan sehingga kebutuhan

masyarakat tidak mampu dipenuhi dengan baik. Dengan kegiatan ekonomi yang reletif lebih banyak di perkotaan, membuat urbanisasi itu meningkat. Menghentikan hal itu adalah dengan menggerakkan perekonomian di pedesaan. Dengan cara seperti inilah kelak diharapkan tidak akan terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dengan kota. Karena Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, maka yang menjadi sasaran adalah seluruh

pedesaan di Indonesia. Hilangnya kesenjangan inipun diharapkan untuk seluruh negara Indonesia.

Maka, upaya-upaya untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan diatas, tidak lain dengan cara memaksimalkan berbagai sumber daya yang ada di desa, dikembangkan dengan

karakter lingkungan dan identitas lingkungan di desa tersebut. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa desa sesungguhnyaa telah mempunyai aset yang dapat dikelola. Pasal 76 undang-undang ini menyebutkan bahwa aset desa itu dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik

desa, pemandian umum dan aset lainnya milik desa.

Terutama setelah reformasi, Bali menjadi salah satu daerah yang paling banyak mendapat luberan pendatang. Hal ini awalnya disebabkan oleh kerusuhan yang terjadi setelah jatuhnya rejim Orde Baru. Bali yang dipandang aman, menjadi daerah tujuan tempat tinggal bagi mereka-mereka yang berduit di Jakarta. Pada akhir kekuasaan Orde Baru juga terlihat ada

kelompok minoritas Tionghoa yang merasa terganggu tinggal di Jakarta, memindahkan tempat tinggalnya di Bali.

(33)

banyak munculnya pengangguran di Jakarta khusunya dan di Jawa pada umumnya. Sebagai daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan terbaik di Indonesia, maka perekonomian Bali relatif tidak terganggu, kecuali pada dua kali peledakan bom di Kuta. Hal ini pula yang mendorong adanya aarus urbanaisasi semakin banyak ke Pulau Bali. Kaum urban dan

pendatang inilah yang kemudian datang ke desa-desa di Bali, termasuk juga desa pakraman. Salah satu akibat psoitif dari adanya hal ini adalah semakin banyaknya usaha penginapan (kos-kosan) yang ada di pedesaan. Usaha seperti ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit kepadamasyarakat yang membuka lahan itu. Di beberapa tempat, dibukanya upaya penginapan atau kos-kosan di pedesaan ini mengubah secara mendasar mata pencaharian anggota masyarakat

dari sebelumnya menjadi petani kemudian menjadi pengusaha kos-kosan. Bagi mereka yang mempunyai kemampuan kreatif dan memiliki usaha yang cukup banyak, usaha tersebut dapat diperlebar juga dengan sampingan berupa usaha dagang, baik yang kecil maupun menengah. Artinya ada masyarakat yang melebarkan usahanya dengan menyediakan usaha rantangan atau jualan kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh mereka yang mengontrak kamar tersebut. Jika

bukan pemilik yang melakukan diversifikasi ini, masyarakat setempat juga dapat menggerakkan perekonomian dengan membuka warung makanan. Jadi, mirip dengan upaya yang dilakukan masyarakat kota.

Disamping upaya tersebut, di desa juga semakin banyak dijumpai usaha perbengkelan,

baik untuk kendaraan besar roda empat atau lebih maupun untuk roda dua. Relatif baik tumbuhnya perekonomian Bali yang digerakkan oleh pariwisata, membuat dinamika gerakan masyarakat semakin banyak, termasuk juga untuk mekukan aktivitas pariwisata yang jaraknya cukup jauh dari desa di Tabanan ke Denpasar atau Badung. Dinamika ini pada akhirnya

membuat munculnya perpaduan antara kebutuhan gerak-cepat dengan kemampuan daya beli masyarakat. Dipadu dengan relatif baiknya lalu lintas transportasi sampai ke desa-desa, maka usaha perbengkelan itu dapat tumbuh sampai ke desa-desa. Dengan kemampuan daya beli demikian, bukan hanya bengkel kendaraan roda dua yang ada, juga roda empat dengan bisnis ikutannya, seperti karoseri dan pengelasan.

(34)

jalan raya Denpasar-Gilimanuk, segala macam barang-barang yang dijual di kota, termasuk juga jenis-jenis usaha yang ada di perkotaan, seperti misalnya di kota Denpasar, juga ada di sepanjang jalan tersebut. Ini disebabkan karena berbagai kebutuhan pengguna jalan raya sangat beragam. Bahkan kompleks industri juga mulai merambah wilayah ini. Kecenderungan sosial

awal abad ke-21 (tahun 2015), kepadatan kota telah meningkat dengan banyaknya kaum urban yang datang. Fenomena ini menyebabkan wilayah-wilayah untuk membangun kompleks perindustrian semakin susah dijumpai. Karena itu untuk membangun kompleks perindustrian yang semakin dibutuhkan masyarakat, pindah ke pedesaan. Dan wilayah desa yang dipilih adalah yang dekat dengan jalan poros Denpasar-Gilimanuk serta mempunyai jalan aspal yang

kondisinya baik. Inilah yang membuat industri seperti perakitan mobil, gudang mobil, industri furniture berdiri di wilayah pedesaan. Misalnya di Desa Pangkungkarung, Banjar Selingsing tempat lokasi furniture.

Suasana dan ciri masyarakat desa yang agraris tersebut sudah boleh dikatakan hilang pada jalur-jalur seperti ini. Desa-desa yang ada di jalur ini hanya dicirikan oleh desa pakraman,

yaitu adanya tempat persembahyangan Khayangan Tiga, dimana masyarakatnya menggelar ritual secara bersama-sama pada momen-momen tertentu. Ritual itu misalnya ngaben, atau persembahyangan bersama (odalan). Model kehidupan masyarakat kota sehari-hari lebih banyak kelihatan dengan penghargaan terhadap waktu. Jalan raya secara langsung dan tidak langsung

menjadi pendorong menjalarnya pola kehidupan kota menuju desa tersebut. Secara langsung karena jalan rayalah yang menjadi alur utama lalu-lintas masyarakat sehingga pertokoan dan usaha jual beli, muncul di tempat seperti ini. Hal itu muncul di jalan raya di Kecamatan Kerambitan yang dibelah oleh jalur utama Jawa-Bali. Secara tidak langsung, penduduk yang

(35)

BAB 3

POTENSI SUMBER DAYA DESA:

BEBERAPA CONTOH DI KECAMATAN KERAMBITAN, TABANAN, BALI

Embung Telaga Tunjung

Embung, yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bendungan yang ukuranya lebih kecil, telah ada di Desa Telaga Tunjung. Ini berada di Keperbekelan Timpag. Dalam konteks ekonomis, ia dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Pada bidang pertanian, bendungan ini sudah jelas mampu dimanfaatkan sebagai sumber air untuk mengairi

lahan pertanian yang ada di wilayah Timpag dan Kecamatan Kerambilan di bagian utara. Akan tetapi, bendungan juga dapat dimanfaatkan untuk menarik pariwisata air, seperti wisata mancing alami serta rekreasi. Bendungan yang luas ini sesungguhnya santat bagus dipakai untuk sarana mancing. Beberapa dekade yang lalu, pemerintah Provinsi Bali pernah menaburkan bibit ikan di Danau Batur yang kemudian dimanfaatkan masyarakat, bukan saja sebagai sarana pariwisata

tetapi juga sebagai tempat mata pencaharian. Hal yang sama seharusnya juga dapat dilakukan di Embung Telaga Tunjung ini. Keuntungan yang dapat diraih adalah bahwa dengan lokasi yang lebih kecil dibandingkan dengan Danau Batur, masyarakat lebih mudah untuk melakukan aktivitas macing. Dalam arti secara teoritis, mendapatkan ikannya lebih mudah dibanding dengan

apa yang dilakukan di Danau Batur. Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak melakukan hal itu untuk memetik keuntungan dari keberadaan Embung Telaga Tunjung. Padahal, masyarakat Tabanan, terutama di desa-desa, sangat rajin melakukan lomba

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS) suatu sistem kesehatan yang didanai dan dikelola oleh pemerintah secara

Dari grafik 6 ini, secara umum dapat memberikan suatu gambaran bahwa dengan skor abnormalitas organ hati kambing lokal berupa perdarahan (hemorrhagic), jaringan ikat

Inap Bagian Keperawatan Koordinasi tentang pelayanan registrasi RI 3 Ka Instalasi Penunjang Medis Unit Radiologi Unit radiologi Unit fisioterapi Pemeriksaan Radiologi

pembimbing mengenai proses penulisan tugas akhir yang dilakukannya.. Mahasiswa harus menyadari bahwa tugas akhir merupakan tanggung jawab mahasiswa sepenuhnya dari

Kawasan kajian juga menunjukkan bahawa hakisan tanih adalah tinggi di kawasan yang mempunyai siri tanih Serdang Kedah dan Tanah Curam yang mempunyai nilai K pada 0.128 dan

Hasil penelitian menunjukkan secara parsial komitmen organisasi berpengaruh signifikan negatif terhadap turnover intention guru Sekolah X di Tangerang, sedangkan

Simpulan-simpulan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode pembelajaran master mempunyai hasil belajar IPA yang lebih