• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. 3. 2 Kelemahan Desa Pakraman

IV. 4 Kerjasama antar Sektor

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 ini jelas mempunyai tujuan memperbaiki kualitas desa yang ada sekarang, dengan desa yang dimaksud baik desa dinas, desa adat atau desa dengan sebutan lain di Indonesia. Artinya memaksimalkan peran desa dalam keberadaannya di Indonesia maupun memperbaiki kedudukannya dilihat dari sejarah desa sebelumnya. Karena itulah, disamping memperbaiki sistem pemerintahan desa, memperbaiki hubungan sosial dengan desa-desa lainnya, pemerintah dari segala tingkatan memberikan bantuan kepada desa-desa. Bantuan tersebut baik berupa penasihatan maupun banatuan pada bidang keuangan. Disamping memberikan bantuan pada bidang keuangan, dalam kerangka memaksimalkan peran desa, melalui undang-undang ini pemerintah memberikan kesempatan kepada desa untuk memaksimlakan segala sumber daya yang ada dan dimiliki oleh desa.

Upaya memaksimalkan peranan desa dalam kerangka memajukan Indonesia tersebut boleh dikatakan sebagai upaya dasar bagi pembangunan negara karena desa merupakan basis dasar dari negara Indonesia. Dengan memajukan desa maka secara simultan Indonesia maju secara nasional sebab kemajuan itu akan merata, tidak hanya sepihak pada daerah-daerah perkotaan atau desa yang berdekatan dengan kota. Kemajuan itupun sangat kuat mempunyai dasar dalam berkompetisi dengan dunia internasional (globalisasi) karena keberhasilan pembangunan di desa itu didasarkan pada potensi-potensi dan aset yang dimiliki oleh desa bersangkutan. Potensi itulah yang diunggulkan untuk menopang kesejahteraan rakyat, sehingga apabila kemakmuran rakyat berbasis kepada kemampuan dasar desa itu, maka potensi akan semakin ditingkatkan kualitasnya oleh masyarakat di desa bersangkutan sehingga sumber daya itu semakin hari kualitasnya semakin meningkat, semakin berkembang dan semakin menemukan pembaruan. Misalnya, sebuah desa yang dikelilingi oleh sungai, maka sungai itu tidak hanya dapat dimanfaatkan airnya untuk menyiram tanaman, akan tetapi juga dapat dipakai mengairi persawahan, kemudian memelihara berbagai jenis ikan, wisata air untuk anak-anak, sumber air

bersih, sampai pada akhirnya pembangkit tenaga listrik untuk mengairi desa. Apabila desa itu cocok sebagai penghasil kayu jati karena tanahnya berkapur, masyarakat di sekitar desa itu tidak saja memperluas perkebunan jatinya tetapi juga mengembangkan berbagai jenis varian tanaman jati, mendirikan usaha ukir-ukiran sampai mebel dan menghidupakan upaya ekspor furniture.

Memaksimalkan peranan desa dalam pembangunan nasional dan memperkuat ketahanan negara, dapat dilakukan melalui kerjasama dengan desa lain. Secara sosiologis, ini sangat berguna. Cara melakukan kerjasama ini akan memunculkan interaksi dengan masyarakat lain, baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok. Bagi Indonesia cara kerjasama ini penting karena dasar dari masyarakat Indonesia itu adalah gotong royong. Akan tetapi bukan sekedar gotong royong itu yang menjadi maanfaat utama dari kerjasama ini. Budaya Indonesia dalam khasanah sosiologisnya adalah kontak sosial. Di dalam kontak sosial ini akan ditemui berbagai macam manfaat. Yang pertama tentang pertukaran informasi. Baik di kota, desa maupun pegunungan, informasi itu sangat penting untuk saling memahami perkembangan sosial yang ada. Di desa perkembangan sosial itu berguna untuk saling memberikan pengetahuan. Informasi pada hakekatnya adalah pengetahuan yang sudah dikemas. Bagaimanapun bentuk dan wujud pengetahuan itu, apabila disebarkan akan dapat berguna bagi masyarakat. Misalnya tentang kepenyakitan. Berjangkitnya penyakit rabies di Bali perlu diinformasikan ke desa lain agar desa yang lain bersiaga menghadapi wabah ini. Informasi tersebut tentu juga diikuti dengan cara-cara pencegahan dan teknik pertolongan pertama. Demikian juga informasi tentang kejahatan serta informasi lain.

Kedua, kerjasama ini akan memberi manfaat mengetahui karakter dan kebiasaan dari desa lain. Pengetahuan tentang karkater desa lain dengan sendirinya juga akan mengetahui sifat secara umum dari desa tetangga dengan melihat kebiasaan yang dilakukan. Hal ini akan mampu mencegah munculnya konflik antar desa. Di desa-desa yang berdekatan, konflik sering muncul disebabkan oleh ketidakpahaman dari kebiasaan dari desa tetangga. Kerjasama yang akan dilakukan, bagaimanapun akan memberikan kesempatan untuk mengetahui karakter desa tersebut. Desa yang terbiasa menggelar ritual pertanian, pasti mempunyai mayoritas warga petani. Demikian juga desa yang pemudanya mempunyai kegiatan olahraga sore hari, menandakan kekompakan pada generasi muda.

Ketiga, memberikan kesempatan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Masing-masing desa mempunyai potensi yang berbeda-beda dan Masing-masing-Masing-masing penduduk mempunyai

keterampilan yang juga berbeda-beda. Untuk memberikan manfaat yang lebih maksimal dari potensi-potensi tersebut, maka kerjasama merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkannya. Desa yang mempunyai mayoritas penduduk sebagai petani, memerlukan orang yang cakap untuk memasarkan hasil pertanian, atau memerlukan desa yang mempunyai alat untuk mengolah gabah. Kerjasama yang saling menguntungkan ini tentu saja juga memberikan sumbangan penting bagi saling meningkatnya pemahaman antar individu.

Keempat, bermanfaat untuk saling mengenal secara individual. Mengenal individu masing-masing desa penting karena jalinan keakraban sesungguhnya berada pada tataran individu. Kerjasama antar desa memberikan kesempatan untuk pengenalan individu ini. Keakraman yang terjalin antar individu antar desa, mempunyai pengaruh besar kepada stabilitas antar desa sebab hal ini dapat menurun pada generasi yang baru. Persahabatan yang dijalin oleh orang tua, dapat menjalar menurun kepada anak-anak dan dari anak-anak kepada cucu. Demikian seterusnya.

Pada masyarakat Bali masa lalu, paling tidak dekade tujuhpuluhan dan sebelumnya, contoh kerjasama positif dapat dilihat pada lomba laying-layang. Lomba ini memberikan kesempatan adanya pertemuan komunitas penggemar layang-layang dari satu desa dengan desa lainnya. Juga memberikan kesempatan memunculkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang tinggi. Desa yang menggelar lomba layang-layang akan mengundang desa sekitar untuk berlomba, meminta bantuan kepanitiaan, bantuan makanan berupa kue sampai nasi dan minuman. Cara-cara seperti ini juga akan dilakukan oleh desa-desa lain yang menggelar lomba laying-layang di waktu lain, dan demikian terus bergiliran setiap tahun manakala sudah ada masa untuk lomba laying-layang. Cara meminta bantuan dan pelibatan seperti ini, sangat ampuh untuk membina persahabatan serta menekan konflik.

Dalam konteks demikian, Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang desa ini memberikan peluang untuk melakukan kerjasama dengan desa lainnya dalam hal upaya meningkatkan potensi desa. Pasal 83 dari undang-undang ini menyebutkan tentang kawasan perdesaan. Kawasan yang dimaksud merupakan perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten/kota. Basis dari pasal ini mempunyai tujuan agar pembangunan itu terpadu dan disesuaikan dengan perencanaan-perencanaan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Perencanaan tersebut dibuat dengan memperhatikan potensi yang ada di masing-masing desa yang dipandang mampu melaksanakan perpaduan tersebut, dengan titik pusat pada bidang

pertanian. Untuk melaksanakan pembangunan yang terpadu ini, tidak lain harus dilakukan dengan melakukan kerjasama antar desa dengan memanfaatkan aset-aset yang ada. Penggunaan aset tersebut dapat saja dilakukan secara silang, dalam arti antara aset yang dimiliki oleh satu desa akan dapat dimaksimalkan pemberdayaannya melalui tenaga terampil dari desa yang lain. Dalam penafsiran dari undang-undang tersebut serta Peraturan pemerintah No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 6 tahun 2014, pemerintahlah, baik pusat maupun daerah yang menentukan kawasan perdesaan itu, yang kemudian disosialisasikan. Desa kemudian menyambutnya dengan membuat kajian dan kemudian usulan untuk menetapkan kawasan perdesaan tersebut.

Dengan demikian, melalui kerjasama antar desa dapat dilakukan maksimalisasi manfaat dari pembangunan desa ini. Dalam konteks pembangunan kawasan perdesaan, konsep awalnya yang meliputi wilayah-wilayah yang ditetapkan itu, berasal dari pemerintah. Desa tetap mempunyai peran untuk menginventarisasi aset dan potensi-potensi yang ada untuk dikembangkan. Dalam kerangka inventarisasi inilah kemudian dimungkinkan lagi melakukan kontak sosial dengan desa-desa lainnya untuk mencapai saling pengertian. Inventarisasi aset dan potensi pengembangan ini perlu mendapatkan kerjasama untuk saling memudahkan. Pemerintah akan mudah melakukan penilaian, dan ketika kerjasama antar kawasan perdesaan itu terjadi, akan mudah melakukan tindakan baik untuk memngembangkan usaha maupun mencari solusi masalah yang muncul.

Cara lain untuk memaksimalkan peranan desa untuk kesejahteraan rakyat itu adalah dengan mengoptimalkan potensi dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh desa. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini telah memberikan garis-garis besar upaya untuk memaksimalkan potensi tersebut demi dapat mengejar kepentingan-kepentingan yang sifatnya ekonomis, dengan tujuan utama demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara struktural, pemerintah telah digariskan dalam undang-undang untuk memberikan bantuan kepada desa demi melakukan pembangunan itu. Pemerintah yang dimaksudkan ini, tidak hanya pada pemerintah kabupaten saja, akan tetapi juga pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Pasal 72 Undang-Undang itu menyebutkan bahwa dana yang akan didapatkan oleh desa dari pemerintah dapat berupa alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, alokasi dana desa yang merupakan dana perimbangan yang diterima

kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan belanja daerah Kabupaten/Kota.

Makna dari pernyataan dalam undang-undang ini adalah bahwa pemerintah tidak akan membiarkan desa tersebut berjalan sendirian semata-mata hanya dengan mengolah asetnya sendiri untuk mengembangkan diri, tetapi tetap memberikan dana rangsangan yang dapat dipadukan dengan kekayaan serta kemampuan yang dimiliki oleh desa. Jika memang desa mempunyai modal yang besar dan potensi besar pula untuk mengembangkannya, tentu hal ini tidak masalah. Namun apabila dana yang besar tersebut kemudian dipadukan dengan bantuan yang diberikan oleh pemerintah, akan menjadi sinergi positif untuk menjalankan fungsi desa sebagai basis utama mensejahterakan masyarakat Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan ini boleh dipandang sebagai hasil pemikiran yang menyadari bahwa tidak seluruhnya desa-desa di Indonesia yang jumlahnya ribuan tersebut, mampu mengembangkan diri secara mandiri. Bahkan sebagian besar desa-desa yang ada di Indonesia masih memerlukan dana sebagai penopang melaksanakan pembangunan. Hal ini juga merupakan kewajiban dari pemerintah untuk menyebarkan hasil pendapat negara kepada masyarakat melalui bantuan kepada desa.

Keterlibatan pemerintah dalam memberikan bantuan itu dapat juga dibaca bahwa pembangunan di pedesaan itu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ditentukan pemerintah. Dalam arti, sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam koridor negara Indonesia. Setiap perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pasti menekankan hal ini, termasuk juga dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014. Koridor utama yang harus ditaati adalah tidak bertentangan dengan Pancasila dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bantuan dari pemerintah tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai adanya bentuk diksusi dua arah antara pemerintah dengan desa dalam kerangka melakukan berbagai perencanaan-perencanaan pembangunan di pedesaan. Ini misalnya terlihat jelas dalam hal pembentukan pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan ini berbasis pada pertanian antar desa yang ada di kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan ini mesti dkoordinasikan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Upaya memaksimalkan pembangunan desa untuk kepentingan ekonomi demi kesejahteraan rakyat, tidak hanya dilakukan melalui bantuan dari pemerintah tersebut. Ia juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan aset-aset desa yang sudah dimiliki. Karena itu aset desa

harus diketahui dan digali keberadaannya. Cara paling bagus untuk memaksimalkan pembangunan desa dalam konteks ini adalah dengan memadukan dua hal tadi, yaitu antara bantuan dari pemerintah dengan aset yang dimiliki oleh desa. Bagi yang tidak mempunyai aset dan potensi atau bagi desa yang masih belum menggali potensi desanya, bantuan dari pemerintah itu masti dipandang sebagai rangsangan atau modal awal untuk menggerakkan potensi dan aset yang ada, betapapun minimnya aset tersebut. Misalnya, bantuan itu dapat digunakan sebagai upaya untuk membuat lokasi pengolahan air, yang mana akan dapat dipakai untuk menjual air sumber kepada umum.

Oleh pemerintah, aset yang telah diakui oleh undang-undang sudah dinyatakan secara jelas. Bahkan aset tersebut dapat diperluas lagi sepanjang itu dinyatakan sah. Aset itu diantaranya adalah, seperti yang dinyatakan pada pasal 76, dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, permaindian umum dan aset lainnya milik desa. Juga dikatakan, bahwa aset pemerintah, termasuk pemerintah daerah, yang berskala desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa. Kekayaan milik desa yang telah diambilalih oleh pemerintah kabupaten/kota, dapat diambilalih lagi oleh desa sepanjang tidak dipakai untuk kepentingan umum.

Untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, segala aset yang disebutkan diatas, dapat diolah dan dipakai untuk itu, dengan memadukan dana yang dimiliki desa dan bantuan pemerintah. Sebutan yang diterakan pada undang-undang tentunya tidak dapat disamaratakan dengan kepemilikan aset dari desa-desa yang ada di Indonesia. Karena itulah kemudian tetap ada kemungkinan desa yang masih mempunyai kekayaan lain di luar yang ditentukan oleh undang-undang. Aset ini dapat dimiliki apabila prosedurnya dilakukan dengan cara yang sah. Di Bali misalnya, sangat jarang desa mempunyai tambatan perahu. Namun desa pakraman mempunyai aset yang sering disebut dengan laba pura . Akhir-akhir ini desa pakraman juga mempunyai pasar tradisional. Kecenderungan ini semakin banyak dilakukan oleh desa pakraman sebagai akibat dari perubahan sosial yang ada. Bali pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini terasa mengalami urbanisasi yang besar dengan datangnya warga dari luar pulau. Di desa-desa di Bali juga banyak dijumpai sumber air pegunungan. Akan tetapi sumber air ini banyak yang terbuang atau dimiliki oleh perorangan karena ada di tanah yang dimiliki oleh perorangan.

Aset yang dimiliki desa, seperti yang disebutkan pada undang-undang itulah yang seharusnya dikelola, dikembangkan secara terus-menerus dengan memakai modal yang ada, untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di pedesaan. Ini yang menjadi tujuan dari pemerintah untuk membentuk Undang-Undang No 6 tahun 2014. Pesan yang dikembangkan dari perundangan ini dapat berupa menggugah masyarakat dan aparat desa tentang potensi yang dimilikinya untuk dikembangkan secara mandiri, dengan perlindungan dan sokongan pemerintah demi memperkuat ketahanan negara dan bangsa Indonesia. Sebagai wilayah organisasional yang terletak pada struktur paling bawah, berhadapan langsung dengan rakyat, kesadaran kepemilikan aset ini memang harus digugah. Sebelumnya tidak banyak desa yang sadar dengan berbagai kekayaan yang dimiliki.

Yang selanjutnya adalah memaksimalkan sumber daya manusia. Intinya tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia itu guna mendukung maksimalisasi ekonomi dan kerjasama dengan desa lain. Sumber daya manusia mempunyai karakter yang unik dan luar biasa. Meskipun manusia tidak merasakan mempunyai keterampilan di dalam kehidupannya, akan tetapi manakala ada seseorang yang menemukan keterampilan tersebut dan kemudian mengasahnya, mereka akan menemukan kesenangan tersendiri untuk menekuni. Manusia juga akan terbiasa dan menyesuaikan diri dengan keterampilan itu. Atau, keterampilan itu ditemukan secara kebetulan dan merasa cocok, senang dan tidak terbebani dengan keterampilan tersebut. Misalnya seseorang yang menemukan dirinya sebagai pedagang dan menemukan kenikmatan di sana. Bukan tidak mungkin hal ini akan berlanjut terus dan semakin hari mengasahnya. Demikian juga dengan keterampilan lain seperti menulis, melukis, membuat kue, memasak, beternak dan sebagainya. Inilah keunikan dari manusia yang dapat mengerjakan apa saja, menemukan apa saja di dalam perjalanan hidupnya dan kemudian menekuni profesi tersebut. Dan apabila profesi dan kesenangan itu dikembangkan dengan kesediaan-kesediaan belajar, maka hal ini akan menjadi luar biasa perkembangannya. Kepercayaan diri terhadap keterampilan tersebut akan mampu membuat perkembangan luar biasa. Seseorang yang menemukan diri pada keterampilan memperbaiki kendaraan (bengkel), akan dapat membuka cabang-cabang bengkel di berbagai tempat dan akhirnya menyedot banyak lapangan pekerjaan.

Secara nasional, Indonesia sekarang dikatakan sebagai negara yang mempunyai bonus demografi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa diantara 250 juta penduduk Indonesia di tahun 2015 ini, mayoritas dari penduduk itu mempunyai usia produktif, antara 17 sampai dengan

50 tahun. Keadaan demikian merupakan keuntungan bagi suatu negara untuk menggerakkan segala potensi yang dimiliki negara itu, entah potensi alam seperti pertanian, pertambangan dan sebagainya. Atau potensi ekonomi perdagangan baik yang berskala domestik, nasional, bahkan internasional. Bonus demografi tersebut terasa juga di pedesaan. Di Bali misalnya, rapat-rapat di pedesaan banyak yang dikendalikan oleh anak-anak muda usia di bawah 50 tahun yang mendominasi pendapat dan usulan. Tenaga kerja di pedesaan juga banyak yang berumber dari anak-anak muda, bahkan di bawah 40 tahun. Lalu-lintas penglaju di pedesaan yang bekerja di kota Denpasar dan Badung, membuktikan bahwa hanya usia-usia produktiflah yang mampu melakukan aktivitas tersebut karena memerlukan tenaga ekstra untuk menempuh jarak antara 50 sampai 60 kilometer. Banyak warga pedesaan di Bali yang memilih cara menglaju untuk bekerja pada rentang jarak antara 50 sampai 60 kilometer tersebut. Fenomena ini tidak hanya terlihat pada siang hari tetapi juga malam hari, bahkan juga sampai dini hari.

Sekali lagi, hal itu membuktikan apabila memang bonus demografi ada di Indonesia, termasuk juga pedesaan. Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa ini sesungguhnya memberikan arahan memanfaatkan bonus demografi untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia yang ada, memanfaatkan sumber daya yang ada di desa demi kemakmuran rakyat. Dari sumber daya manusia itu sesungguhnya dapat digali berbagai macam potensi yang dapat memanfaatkan aset dan sumber daya desa untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang ini, termasuk peraturan pelaksanannya, sudah jelas tidak mencantumkan bagaimana aset sumber daya manusia yang harus dimiliki oleh desa dalam rangka mengejar tujuan undang-undang tersebut. Akan tetapi untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan strategi pemberdayaan, mau tidak mau haruslah dilakukan oleh generasi aktif dan produktif.

Pasal 127 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memuat tentang upaya pemberdayaan masyarakat desa. Hal penting yang harus dilihat dalam upaya pemberdayaan ini adalah bahwa upaya itu mendorong partisipasi masyarakat membuat perencanaan pembangunan desa, mengembangkan program pembangunan agar berkelanjutan; menyusun perancanaan yang berpihak kepada masyarakat miskin, tidak mampu, berkebutuhan khusus, dan sebagainya; menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa; melakukan pendampingan dan seterusnya. Semua kondisi-kondisi tersebut hanya dapat dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih aktif dan produktif. Potensi-potensi inilah yang

kemudian harus digali oleh masyarakat desa demi mendapatkan kecocokan dalam pembangunannya.

IV. 4. 1 Pendampingan

Upaya untuk memajukan negara dengan berbasiskan pada desa, boleh dikatakan sebagai upaya pelaksanaan yang baru, meski ide tersebut sudah lama. Keinginan untuk membentuk desa sebagai daerah tingkat III misalnya, boleh dikatakan sebagai keinginan untuk membangun desa sejak jaman Orde Lama. Akan tetapi karena persoalan politik dan administrasi kenegaraan yang belum tuntas, hal ini tidak sempat terlaksana. Harus jujur diakui bahwa perpaduan antara keinginan yang tertunda dengan basis petani yang menjadi mayoritas penduduk desa di Indonesia itu, mempunyai dampak kemana-mana. Pada tingkat kebijakan politik, pemerintah Orde Baru sesungguhnya sudah mempunyai kebijakan yang bagus dalam garis-garis besar haluan negara, dengan menetapkan proses pembangunan yang disebut Pelita. Mulai dari Pelita I sampai dengan Pelita IV, kebijakan ini telah menetapkan pertanian sebagai basis pembangunan Indonesia.

Secara langsung dan tidak langsung, sesungguhnya langkah politis ini telah memperhatikan desa sebagai pusat pembangunan karena basis pertanian itu ada di desa dan rakyat Indonesia kebanyakan ada di pedesaan. Karena itu, langkah politis ini sudah benar. Pada tingkatan akademis, pada pertengahan pemerintahan Orde Baru, perguruan tinggi juga telah mencetak banyak sarjana pertanian. Bahkan dekade delapanpuluhan, sarjana pertanian menjadi salah satu favorit bagi anak-anak sekolah lanjutan atas untuk kuliah di perguruan tinggi. Pemerintah juga mulai mengembangkan fakultas dan program studi yang relatif baru, yaitu Teknologi Pertanian. Akan tetapi perkembangan ini kemudian seolah berbenturan dengan kenyataan yang ada karena pada saat itu kegiatan perekonomian yang berbasis industri sudah mulai kelihatan di Indonesia, termasuk juga dengan barang-barang impornya. Jika dipakai kasus Malari sebagai salah satu tolok ukur, maka boleh dikatakan bahwa impor barang-barang dari luar negeri (Jepang) sudah mulai kelihatan pada awal dekade tujuhpuluhan.

Inilah yang kemudian kiranya berdampak pada kosentrasi pembangunan pertanian, yang juga pada akhirnya pada pembangunan di pedesaan. Sarjana-sarjana pertanian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi ternama, tidak dapat bekerja secara maksimal pada garis linear sesuai dengan jurusannya di kampus, tetapi malah terserap pada dunia kerja

Dokumen terkait