• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. 2. 9 Suasana Pedesaan

IV. 3 Desa Pakraman

Desa pakraman adalah komunitas masyarakat Hindu di Bali yang menempati wilayah tertentu, dipayungi oleh tempat persembahyangan yang disebut dengan Khayangan Tiga. Pada Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003, yang merupakan revisi dari Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, dijelaskan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 angka 4).

Ada beberapa frase kunci yang dapat menjelaskan desa pakraman ini. Yang pertama adalah “masyarakat hukum adat di Propinsi Bali”. Artinya bahwa desa pakraman ini, dalam konteks keberadaannya pada kasanah wilayah Indonesia, hanya ada di Propinsi Bali, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakannya sehari-hari (adat). Desa yang ada di luar propinsi Bali, tidaklah disebutkan dengan sebutan “desa pakraman”, meskipun desa tersebut dilandaskan pembentukannya pada kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat.

Kedua, “mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun.” Paling tidak frase ini menekankan kepada identitas religius yang melandasi desa pakraman itu, yaitu agama Hindu, yang mana identitas ini diikuti oleh kebiasaan-kebiasaan yangtelah dilakukan turun temurun. Masyarakat yang keberadaannya di luar agama Hindu, tidaklah termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan desa pakraman tersebut. Dalam konteks sosiologis dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang turun-temurun itu telah tercermin di dalam pergaulan, kontak sosial, termasuk norma-norma setempat yang muncul sebagai akibat pergaulan tersebut. Apabila di Bali terdapat kebiasaan yang berbeda-beda, tetapi sepanjang hal itu merupakan roh dari agama Hindu Bali, maka hal itupun juga merupakan bagian dari desa pakraman. Fakta inilah yang kemudian membuat masing-masing desa pakraman itu mempunyai alur praktik sosial, budaya dan religius yang berbeda-beda di Bali. Awaig-awig yang ada di satu desa pakraman, tidak dapat disamakan dengan awaig-awig di desa pakraman yang lain. Hanya, pengikat dari konteks ini adalah kehinduan atau praktik ritual agama Hindu di Bali.

Ketiga, “dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa”. Frase ini menegaskan bahwa Khayangan Tiga merupakan hal kemutlakan di dalam desa pakraman tersebut. Artinya

setiap desa pakraman harus mempunyai khayangan tiga atau khayangan desa tersebut. Di Bali, yang disebut dengan khayangan tiga adalah tiga rangkaian kesatuan pura yang merupakan simbolisasi kekuatan Tuhan, dimana masing-masing tempat sembahyang tersebut merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada Khayangan Tiga, Pura Desa merupakan manifestasi dari Dewa Brahma, Pura Puseh merupakan manifestasi dari Dewa Wisnu dan Pura Dalem merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Ketiga tempat sembahyang ini mutlak dimiliki oleh komunitas yang disebut dengan Desa Pakraman, bagaimanapun wujud fisik dari pura tersebut dan bagaimanapun lokasinya jaraknya. Desa yang tidak mempunyai tiga pura tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai desa pakraman. Sebaliknya apabila satu komunitas sosial mempunyai tiga tempat persembahyangan tersebut, dia layak mendapat sebutan sebagai Desa Pakaraman.

Keempat, mempunyai wilayah tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang tergabung dalam Desa pakraman ini harus mempunyai wilayah tertentu. Pada peraturan daerah ini tidak disebutkan secara pasti seberapa jauh wilayah yang ditempati oleh masyarakat yang tergabung di dalam desa pakraman tersebut. Juga tidak disebutkan berapa jumlah penduduknya dan bagaimana perbatasannya. Yang paling utama adalah keterikatan mereka dengan tempat persembahyangan bersama yang disebut dengan khayangan tiga tersebut. Dengan demikian, bisa saja keanggotaan desa pakraman itu berasal dari tiga banjar dinas, atau bahkan satu banjar dinas, bahkan satu banjar dinas dapat terdiri dari dua desa pakraman dengan komposisi tempat tinggal penduduknya selang- seling atau berdampingan dengan penduduk rumah tangga yang menjadi anggota desa pakraman lain. Tidak ada kewajiban desa pakraman tersebut mempunyai kuburan. Karena itu dimungkinkan desa pakraman itu berdiri dengan tanpa kuburan asal masyarakat tersebut mempunyai tiga tempat sembahnya tersebut, yaitu Khayangan Tiga. Di jaman sekarang, tahun 2015 ini, dengan adanya jasa penitipan jenazah di rumah sakit, jasa untuk mengkremasi jenazah, sangat mungkin desa pakraman ini berdiri hanya dengan mengikatkan diri pada pura khayangan tiga, tanpa mempunyai kuburan.

Kelima, “mempunyai harta kekayaan sendiri”. Frase ini mencirikan tentang kesejarahan dari desa pakraman itu di Bali. Desa pakraman ini merupakan komunitas gotong-royong, saling tolong menolong, yang amat mungkin di masa lalu terkosentrasi pada pelaksanaan ritual keagamaan. Seperti yang sudah diketahui dan dirasakan masyarakat, ritual Hindu Bali, apalagi di masa lalu, ritual tersebut cenderung kompleks. Kekompleksan ini membutuhkan waktu, tenaga

dan biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Untuk pelaksanaan kompleksitas tersebut, maka secara ekonomi memerlukan biaya yang besar. Maka untuk menutupi pembiayaan ini, secara sosial desa pakraman mempunyai kekayaan yang dapat dikelola secara bersama. Inilah barangkali yang menjadi dasar pemikiran munculnya harta benda yang dimiliki desa pakraman. Yang paling terkenal, kekayaan ini adalah tanah laba pura, yang dipertahankan sampai sekarang. Angka 10 pada pasal 1 Peraturan daerah No. 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman. Ini juga menjadi kekayaan yang dapat dikelola oleh desa parkaran secara mandiri. Tentu sekarang kekayaan tersebut berkembang semakin meluas seperti Lembaga Perkreditan Rakyat dan sebagainya. Pura Khayangan Tiga tentu juga menjadi hak milik dari desa pakraman.

Keenam “ berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dari sini dapat dikatakan bahwa komunitas ini mempunyai kewenangan otonomi. Konstitusi Indonesia melindungi hal ini karena masing-masing kebiasaan yang berupa adat tersebut mempunyai perwujudan praktik yang berbeda-beda. Demikiann juga halnya di Bali. Meskipun mempunyai landasan keagamaan yang sama, akan tetapi penafsiran atas ritual yang telah menjadi kebiasaan itu berbeda-beda. Dalam hal desa pakraman, kepentingan mengurus rumah tangga sendiri yang bersendi otonomi itu penting, demi mencegah konflik penafsiran.

Banyak yang menyebutkan secara satir bahwa desa pakaraman itu mirip seperti negara di dalam negara. Mungkin ini hanya ungkapan lelucon yang ditujukan kepada lembaga ini karena mempunyai fungsi, kewenangan serta kelengkapan organisasi mirip dengan negara. Pasal 5 Peraturan daerah No 3 Tahun 2003 mengatur tentang tugas desa pakraman sebagai berikut:

a. Membuat awig-awig b. Mengatur karma desa

c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa

d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan,

e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaann nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras paros, sagilik-saguluk salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).

a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awaig-awig dan adat kebiasaan setempat.

b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana,

c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Organisasi desa pakraman dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai alat kelengkapan yang disebut dengan prajuru. Dimana prajuru ini ditetapkan oleh masyarakat yang menjadi anggota desa pakraman tersebut berdasarkan awig-awig yang dimilikinya (Pasal 7, Perda No. 3 Tahun 2003). Sedangkan pada bidang keamanan, dilengkapai dengan apa yang disebut pecalang (pasal 17, Perda No. 3 Tahun 2003). Ketertiban dan keamanan di masyarakat dilaksanakan oleh pecalang.

Dengan adanya fungsi, kewenangan dan kelengkapan seperti itu, ditambah dengan kekayaan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, material maupun immaterial, serta barang-barang yang memiliki makna magis dan religius, desa pakraman tersebut mirip dengan negara di dalam negara. Apalagi kemudian lembaga ini mempunyai otoritas sendiri untuk mengelolanya.

Desa pakraman merupakan sebutan untuk sistem kemasyarakatan asli dari masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, perhatian yang lebih menekankan kepada aspek hukum tentang lembaga desa adat ini justru baru dimulai pada tahun 1986, ketika pemerintah daerah Bali membuat Peraturan daerah No 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali. Ini boleh dikatakan sebagai upaya pertama secara normative dalam mengatur, menegaskan eksistensi desa adat di Bali, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Dalam peraturan daerah ini kata “adat” masih dipakai untuk menyebutkan pakraman seperti yang dirtulis sekarang. Adat, dengan demikian mencerminkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, sesuai dengan leluhurnya, dan menurun secara berkesinambungan. Munculnya aturan normatif ini, dapat dipandang sebagai munculnya kesadaran baru dari kalangan elit dan intelektual Bali terhadap perlindungan komunitas adat ini, baik secara hukum maupun dalam menghadapi perubahan sosial. Aturan secara hukum perlu dibuat demi memberikan status yang jelas kedudukan, fungsi dan eksistensi dari lembaga ini, baik bagi masyarakat Bali maupun masyarakat di luar Bali. Bagi

masyarakat Bali hal ini akan menambah keyakinannya dalam negara Indonesia karena kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan turun-temurun telah mempunyai payung hukum. Bagi kalangan di luar masyarakat Bali, akan mengetahui bagaimana keberadaan desa tradisionil di Bali dan bagaimana posisinya di dalam hukum nasional. Akan tetapi yang juga perlu dilihat adalah bahwa munculnya peraturan daerah ini amat mungkin didorong oleh mulai terasakannya desakan-desakan kepada desa adat dari pengaruh-pengaruh luar, terutama dari arus turisme yang demikian deras di Bali.

Peraturan daerah ini kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana kemudian yang telah direvisi melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003. Dua hal penting yang mesti dicatat dalam perkembangan ini, terutama dari tahun 1986 dengan tahun 2001 adalah adanya bab khusus tentang Pemberdayaan Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman serta bab tentang Pecalang. Ketiga ketentuan ini tidak ada dalam peraturan daerah sebelumnya. Munculnya bab tentang Pemberdayaan Desa Pakraman mencerminkan telah mulai ada kesadaran bahwa desa pakraman ini dapat dibuat mandiri, maju dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bahkan dalam ketentuan pasal 1 angka 19 sengaja dijelaskan tentang maksud dari kata pemberdayaan itu, yaitu rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakraman dapat lestari dan kokoh sehingga berperan positif dalam pembangunan. Dengan kata lain, desa pakraman ini dapat ikut terlibat dalam perubahan sosial, membangun dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman dan tetap eksis. Tidak lain, ini disebabkan karena desa pakraman mempunyai sumber daya atau kepemilikan seperti yang disebutkan pada bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman dan bab VI tentang Pendapatan Desa Pakraman.

Bab tentang Majelis Desa Pakraman boleh dikatakan sebagai sebuah lembaga yang bermanfaat untuk menyelesaikan segala perbedaan-perbedaan yang ada di berbagai desa pakraman di Bali dan menyamakan persepsi diantara sekian banyaknya desa pakraman yang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda meskipun dilandasi oleh agama Hindu. Sedangkan Bab tentang Pecalang, merupakan antisipasi dari adanya konflik yang mungkin muncul intra anggota desa pakraman tentang kesalahan penafsiran dari makna awaig-awig di tengah perkembangan jaman serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi di antara desa pakraman. Konflik berpotensi muncul sebagai akibat perubahan sosial yang demikian deras di Bali dengan industri pariwisatanya.

Dokumen terkait