• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meskipun dua desa ini berada di dalam satu komunitas, dalam pelaksanaan praktik sehari-hari kedua desa tersebut menjalankan fungsinya secara mandiri. Pada intinya, desa dinas menjalankan fungsinya dalam rangka administratif kependudukan yang berhubungan dengan kepemerintahan. Sedangkan desa pakraman, menjalankan fungsi yang berhubungan dengan adat dan keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali secara turun-temurun dan berkelanjutan. Dari konteks tersebut, sesungguhnya tidak ada kaitan antara desa pakraman dengan desa dinas karena masing-masing mempunyai peran tersendiri.

Namun demikian, kedua desa di Bali ini mempunyai hubungan yang unik yang kemudian membentuk pola hubungan harmonis. Yang pertama adalah adanya satu banjar dinas yang langsung menjadi satu desa pakraman. Ini merupakan hubungan menarik karena di lingkungan banjar dinas itu juga berdiri Pura Khayangan Tiga sebagai tempat persembahyangan dari seluruh masyarakat yang ada di banjar dinas itu. Dalam konteks sistem sosial tradisional di Bali, banjar ini disebut dengan Desa Pakraman atau dulu disebut dengan desa adat karena mempunyai Pura Khayangan Tiga tersendiri. Hubungan antara desa pakraman dengan banjar dinas boleh dikatakan sejajar, tidak saling intervensi, dan saling bekerjasama. Dikatakan sejajar karena masing-masing mempunyai legitimasi. Banjar dinas merupakan unsur paling rendah (dekat dengan masyarakat) dalam sistem kepemerintahan Indonesia di Bali. Banjar inilah yang mengurus administrasi kependudukan dalam kerangka hubungan penduduk dengan negara atau pemerintah. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali sehingga dengan keberadaan itu juga memiliki legitimasi sosial. Fungsi dari desa pakraman lebih banyak mengatur soal hubungan sosial tradisional di Bali yang menyangkut kebudayaan dan ritual atau berhubungan dengan sistem sosial ketradisionalan Bali. Dengan komposisi legistimasi seperti itulah kemudian kedua sistem ini dapat hidup berdampingan tanpa harus mencampuri urusan masing-masing lembaga. Keduanya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, dengan pokok melayani masyarakat, akan tetapi dengan wujud yang berbeda. Akibat positif dari keberadaan dua lembaga ini sering terlihat. Di darah-daerah rawan di Bali, terutama di desa atau lingkungan yang dekat dengan perkotaan, desa pakraman dengan banjar dinas dapat melakukan kerjasama dalam memelihara ketertiban dan keamanan. Satuan pecalang yang dimiliki oleh Desa Pakraman dapat bersinergi melaksanakan tugas untuk menertibkan desa yang dengan demikian, juga menciptakan ketertiban di banjar dinas. Dalam praktiknya pecalang melaksanakan tugas

dengan melakukan sidak ke tempat-tempat yang dipandang rawan pelanggaran seperti kos-kosan atau melakukan patroli ke wilayah lingkungan desa untuk memantau keamanan. Dalam rapat yang dilakukan oleh desa pakraman misalnya, pimpinan (kelihan) banjar dinas dapat memakai kesempatan memberikan pengumuman kepada warga tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah. Kerjasama antara kedua lembaga ini justru dapat memberikan saling keberuntungan bagi warga.

Aparatur yang menjalankan desa dinas ada juga yang menjadi aparatur di desa pakraman sehingga membuat segala perkembangan yang ada di kedua lingkungan lembaga tersebut, dapat diketahui dan disikapi oleh aparatur yang sama. Atau sebaliknya aparatur yang secara struktural mempunyai kedudukan tinggi di desa pakraman, mempunyai struktur juga di banjar dinas. Ini membuat sikap saling hormat menghormati diantara kedua desa tersebut. Mau tidak mau, untuk memelihara ketertiban lingkungan, baik desa pakraman maupun desa dinas (keperbekelan), harus saling memberikan penilaian, bertukar informasi tentang segala potensi negatif yang ada di desa untuk didiskusikan demi menciptakan ketertiban bersama.

Realitas adanya banjar dinas yang menjadi desa pakraman sesungguhnya merupakan komposisi yang ideal karena kedua lembaga itu berada di dalam satu wilayah, satu lingkungan dan dengan demikian juga aparaturnya dapat saling melengkapi. Harmonisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan relatif dapat dipelihara karena lingkungan perbatasan dari dua lembaga komunal ini sama. Satu hal yang dapat menjadi pengganjal dari dua lembaga ini adalah pada bidang keyakinan dari warganya. Karena desa pakraman merupakan lembaga yang menjadi pengayom masyarakat Hindu (Bali), maka warga di banjar tersebut yang bukan pemeluk Hindu bukan menjadi wadah dari desa pakraman. Perbedaan budaya karena kebanyakan masyarakat non-Hindu berasal dari luar daerah Bali, dan juga perbedaan agama, akan menimbulkan ketidakpahaman tentang pola ritual atau pelaksanaan agama yang digelar. Pada titik inilah penting bagi banjar dinas dengan aparatnya menjadi penghubungan yang baik dan fungsional untuk menjelaskan kebiasaan dan ritual dari masing-masing kepercayaan tersebut kepada berbagai pihak agar dapat saling dimengerti. Norma-norma, kebiasaan dan budaya dari masing-masing pihak harus dijelaskan oleh aparatur banjar dinas agar mampu memunculkan saling pengertian. Dengan dasar saling pengertian inilah kemudian akan mampu diciptakan harmonisasi di lingkungan tersebut. Tentu saja juga sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur banjar dinas itu

dilakukan secara bersama-sama oleh aparat (prajuru) desa pakraman. Cara ini akan menambah kentalnya upaya harmonisasi tersebut.

Harus diakui bahwa ada perbedaan antara desa dinas (administratif) dengan desa pakraman. Pada umumnya desa dinas itu terdiri dari beberapa banjar dinas yang kemudian bersatu atau disatukan menjadi satu desa dinas, yang sekarang di Bali disebutkan dengan nama keperbekelan. Misalnya Perbekel Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdiri dari enam banjar dinas, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam I, Samsam II dan Banjar Dinas Lumajang. Akan tetapi di Keperbekelan Samsam terdapat Lima Desa Pakraman, yaitu Samsam, Lumajang, Penyalin, Kutuh Kelod dan Kutuh Kaja. Dari sisi penyebutan anggota masyarakat juga mempunyai perbedaan karena pada desa dinas (perbekel), disebut sebagai warga dan desa pakraman, disebut dengan krama.

Dalam hal pengelompokan krama, desa pakraman mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu, sesuai dengan asal usul atau kepemilikan yang dikelola. Pembagian sebutan krama (warga) pada desa pakraman ini setidaknya dikenal pada tiga kelompok, yaitu krama pengarep, krama pangle, dan sekarang ada juga yang disebut dengan krama tamiu. Mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah orang yang terkena ayah-ayahan dan ikut bertanggung jawab di dalam ritual yang dilakukan oleh desa. Di wilayah lain, misalnya di Karangasem, mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah pihak yang mendapatkan hak untuk mengolah tanah milik desa pakraman (Stuart-Fox, 2010: 37). Sedangkan krama pangele adalah mereka yang berasal dari desa pakraman bersangkutan, akan tetapi karena berdomisili di wilayah yang jauh, dapat melakukan ganti terhadap kerja gotong royong yang dilakukan di desa pakraman tersebut. Sedangkan krama tamiu merupakan warga lain yang berasal dari luar wilayah, berdomisili di wilayah desa pakraman tersebut tetapi tidak bergabung dengan desa pakraman. Paling banyak mereka yang disebut sebagai krama tamiu ini adalah mereka yang beragama di luar Hindu dan berasal dari daerah lain. Dalam kasus di Bali, di awal millennium ke-21 ini cukup banyak

krama tamiuyang menduduki wilayah desa pakraman, terutama yang berdekatan dengan kota.

Dalam konteks demikian, desa administrative (keperbekelan), tidak mempunyai pembedaan dalam penyebutan anggota masyarakat yang berdomisili di wilayahnya. Seluruh warga yang menyatakan bertanggung jawab dan berdomisili di wilayah desa tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai pembedaan sebutan. Semua warga wajib membayar pajak apabila berada di wilayah keperbekelan itu dan juga berhak untuk mengelola

tanah miliknya atas dasar pajak yang diserahkan, dan sebaliknya juga berhak mendapatkan kepengurusan administrasi seperti memiliki KTP, mengurus kartu keluarga dan sebagainya.

Hubungan kerjasama antara desa pakraman dengan desa dinas atau banjar dinas, justru semakin kental akhir-akhir ini ketika krama tamiu semakin banyak yang datang di Bali. Krama tamiu tersebut bertempat tinggal di banjar-banjar yang menjadi wilayah desa dinas sekaligus juga menjadi wilayah desa atau banjar pakraman. Datangnya krama tamiu ini memberikan penghasilan tambahan bagi krama desa dengan penyediakan rumah-rumah kontrakan atau tempat kost. Akibat dari itu, jumlah penduduk satu desa menjadi bertambah banyak dan dipandang perlu untuk melakukan kontrol lapangan demi menjaga ketertiban lingkungan. Untuk melakukan kontrol inilah kemudian desa dinas (keperbekelan), memerlukan peran dari desa pakraman dengan memanfaatkan petugas keamanan dari desa pakraman, yang disebut dengan

pecalang. Petugas keamanan desa pakraman yang berfungsi menjaga keamanan.

Ada dua varian kerjasama yang dilakukan. Varian yang pertama adalah pimpinan desa dinas meminta bantuan kepada pimpinan desa pakraman (disebut dengan kelihan) untuk mengaktifkan pecalangdi wilayahnya masing-masing. Dalam kerangka ini, desa pakraman akan bertindak sendirian untuk memantau situasi lingkungan yang ada di desa pakraman bersangkutan. Dalam praktik, pecalang biasanya berkeliling wilayah desa untuk memantau situasi dan melakukan razia terhadap warga yang tidak jelas identitasnya. Sedangkan varian kedua, akan ada gabungan tindakan baik yang dilakukan oleh desa pakraman maupun desa dinas (administratif) untuk melakukan pemantauan lingkungan. Desa pakraman akan turun ke lapangan dengan dilengkapi pecalang beserta jajaran pimpinan dan kelengkapan organisasi, sedangkan jajaran pimpinan desa dinas juga melakukan hal yang sama. Karena garis komando dari desa dinas ada di dalam pemerintahan negara, maka dalam konteks kerjasama ini, petugas kepolisianlah yang akan mendampingi desa dinas dalam melakukan pemeriksanaan. Karena itulah akan terlihat kerjasama koordinatif antara desa pakaraman dan dinas, yang dalam praktik secara teknis akan mempunyai beragam metode untuk mengaplikasikannya. Misalnya, setiap desa pakraman yang ada di desa dinas tersebut mendapat dampingan beberapa petugas kepolisian saat melakukan sidak lingkungan.

Dalam kasus yang lain, bentuk kerjasama dan koordinasi antara desa dinas dengan desa atau banjar pakraman itu sangat tergantung dari kebiasaan yang ada di wilayah bersangkutan. Di Desa Pakaraman Eka Cita di Penyalin, Kecamatan Kerambitan, Tabanan misalnya, ketika desa

pakraman mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah propinsi, dalam jumlah tertentu juga disumbangkan kepada banjar dinas, yang penggunannya untuk perbaikan sarana di wilayah banjar tersebut. Membangun jalan menuju sungai atau permandian umum, mempunyai dua cara pandang karena dapat memperbaiki infrastrutur di desa pakraman sekaligus juga di desa dinas. Bantuan juga diberikan untuk memperbaiki kantor dari banjar dinas, atau untuk memperbaiki

bale banjaryang dipakai sebagai kantor dari banjar dinas.

Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 18B menyebutkan pada angka 2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Ini menandakan bahwa kesatuan masyarakat adat tersebut, dengan berbagai kebiasannya masih tetap mendapatkan pengakuan oleh negara di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Adat pada awalnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “Adah” yang artinya kebiasaan, yakni perilaku masyarakat yang selalu terjadi (Samosir, 2013: 8). Desa pakraman yang sekarang berlaku di Bali, pada awalnya disebut dengan desa adat yang memang mengacu kepada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Kebiasaan ini lebih mengacu kepada ritual agama yang telah dilakukan masyarakat Bali secara turun-temurun dan berabad-abad. Akan tetapi setelah menemukan makna kata yang lebih sesuai dengan konteks Bali, maka kata “adat” tersebut kemudian dihilangkan dan dipakailah kata pakramansebagai pelengkap kata “desa” untuk menyebutkan praktik kebiasaan masyarakat Bali, sesuai ritual Hindu yang dilakukan dan berlangsung di desa, dan menjadi desa pakraman untuk mengganti sebutan desa adat.

Dokumen terkait