• Tidak ada hasil yang ditemukan

AUDIT COVERAGE RATIO: Mengapa Kurang Dari 5%? Ch. Heni Kurniawan Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AUDIT COVERAGE RATIO: Mengapa Kurang Dari 5%? Ch. Heni Kurniawan Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

AUDIT COVERAGE RATIO: Mengapa Kurang Dari 5%?

Ch. Heni Kurniawan

Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta kurniawan@mail.uajy.ac.id

Abstract

This article aims to present the general analysis of the causes of low coverage of tax audits (audit coverage ratio) that nationally only about 1.2% of the number of registered taxpayers. This condition is still far from the conditions set out in Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006 on the Re-Structuring of Tax Inspection Function that one of the objective is to increase the scope of the inspection reached 5%.

The analysis is based on data inspection findings in the KPP Yogyakarta Two (now KPP Pratama Sleman) in the period 2004 to 2006. The data are compared with the standard, examination, and inspection process that prescribed before by KPP Yogyakarta Two.

Analysis showed that the main problem causes of low audit coverage ratio are the length of period of completion of the examination and the number of outstanding inspection that occur at each examination period. The main cause is the insufficient number of labor inspectors and the lack of cooperation from the taxpayer under investigation.

Keywords: audit coverage ratio, tax inspection, and KPP Yogyakarta Two PENDAHULUAN

Salah satu pilar utama penerapan law enforcement di bidang perpajakan adalah kegiatan pemeriksaan pajak terhadap SPT yang dilaporkan Wajib Pajak. Pemeriksaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuan utamanya adalah untuk menguji dan meningkatkan tax compliance seorang Wajib Pajak ( Priatara 2000: 24). Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dalam hal:

1. Surat Pemberitahuan (SPT) menunjukkan kelebihan pembayaran dan/ rugi. 2. Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada

waktunya yang telah ditetapkan.

3. Surat Pemberitahuan (SPT) memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

4. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada angka 2 tidak dipenuhi.

Dibandingkan dengan pemeriksaan keuangan dalam akuntansi, ruang lingkup pemeriksaan pajak lebih luas daripada pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh akuntan publik. Pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik berdasarkan sample untuk menentukan kewajaran penyusunan laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan pajak dimaksudkan untuk menguji kebenaran transaksi bisnis (bukan kewajaran) (Lumbantoruan 1996: 381) yang dilakukan dengan :

1. Menerapkan teknik – teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya (pemeriksaan lengkap).

2. Menerapkan teknik – teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan (pemeriksaan sederhana).

Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, fiskus dapat menerbitkan ketetapan pajak seperti yang dinyatakan Naswar (2002) sebagai berikut:

(2)

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan/selisih dengan yang dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT-nya dan menimbulkan koreksi, maka fiskus berwenang mengeluarkan SKP berupa: SKPLB (vide UU No.9/1994, Pasal 17), SKPKB (vide UU No.9/1994, Pasal 13 ayat (1)), SKPKBT (vide UU No.16/2000, Pasal 15 ayat (1)), atau SKPN (vide UU No.9/1994, Pasal 17A), bergantung pada hasil perhitungan pajak yang tidak atau kurang dibayar. Namun demikian, tolok ukur sistem pajak apapun pada akhirnya akan dinilai dari besar kecilnya pemasukan uang pajak ke kas Negara, baik yang dibayarkan secara sukarela (voluntary compliance) oleh Wajib Pajak maupun yang dipungut melalui tindakan penagihan aktif setelah tahap pemeriksaan.

Mutu penagihan pajak setelah melalui tahap pemeriksaan harus makin ditingkatkan yang disebabkan oleh semakin besarnya jumlah tunggakan pajak kumulatif saat ini. Kondisi ini menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh fiskus dalam rangka menjalankan proses pengawasan. Dengan sumber daya aparat pajak yang dimiliki saat ini, harapan untuk dapat meningkatkan mutu penagihan pajak setelah pemeriksaan masih jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rasio perbandingan antara SPT yang diperiksa dengan jumlah wajib pajak terdaftar. Parwito (2006) menyatakan bahwa selama ini tingkat cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) secara nasional hanya sekitar 1,2% dari jumlah wajib pajak terdaftar. Jumlah rata-rata pemeriksaan per tahun sekitar 70.000, dengan lebih dari 70% di antaranya merupakan pemeriksaan sederhana dan sisanya pemeriksaan lengkap. Temuan ini masih jauh dari ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006 mengenai Penataan Ulang Fungsi Pemeriksaan Pajak yang salah satunya untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) mencapai 5%.

Melihat temuan Parwito (2006) di atas, maka artikel ini ditulis dengan tujuan untuk membahas lebih jauh mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi rendahnya audit coverage ratio terhadap Wajib Pajak. Bahasan dalam artikel ini didasarkan pada data hasil pemeriksaan di KPP Yogyakarta Dua yang dibandingkan dengan standar, fungsi dan kebijakan pemeriksaan seperti diuraikan Gunadi (2005) dan Hartono (2001). Berdasarkan pembahasan ini, diharapkan diperoleh adanya gambaran yang menjadi penyebab tidak tercapainya audit coverage ratio sebesar 5% dan upaya apa yang telah dilakukan KPP untuk meningkatkan rasio tersebut.

KPP Yogyakarta Dua

KPP Yogyakarta Dua (saat ini telah berubah status menjadi KPP Pratama Sleman) merupakan salah satu unit vertikal di bawah Dirjen Pajak yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan, pengawasan administrasi dan pemeriksaan sederhana terhadap Wajib Pajak. Tugas pokok tersebut meliputi bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Tidak Langsung Lainnya dalam wilayah wewenangnya yang mencakup Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bentuk kegiatan secara umum yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPP Yogyakarta Dua antara lain:

1. Melakukan Pembinaan/Penyuluhan

Hal ini dimaksudkan dalam rangka mensosialisasi perpajakan kepada masyarakat agar mereka melakukan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dari undang – undang perpajakan yang berlaku. Walaupun dalam melakukan penyuluhan ke masyarakat di serahkan kepada Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan yang ada di Setiap Daerah Tingkat II.

2. Melakukan Pelayanan Kepada Masyarakat.

Dalam hal ini KPP berlaku sebagai penghubung antara negara dengan Wajib Pajak yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi terlaksananya pembangunan, yaitu berupa pembayaran pajak. Bahkan untuk memberikan pelayanannya, KPP Yogyakarta Dua telah membentuk Klinik Pajak yang dapat membantu Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

(3)

3. Melakukan Pendataan dan Pendaftaran Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang sudah memenuhi kriteria untuk melakukan kewajiban perpajakannya atau ekstensifikasi Wajib Pajak, pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan dan pengamatan potensi perpajakan.

4. Melakukan Pengawasan kepada Wajib Pajak

KPP bertindak sebagai pengatur dan pengawas terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban perpajakannya apakah telah sesuai dengan kondisi yang ada.

5. Melakukan Pemotongan, Pemungutan dan Pelaporan Pajak kepada negara tentang pajak yang telah dipungut dari masyarakat Wajib Pajak.

6. Melakukan Pemeriksaan dan Penyidikan

Tugas ini dilakukan untuk menguji kebenaran informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dari data pemeriksaan di KPP Yogyakarta Dua, diperoleh gambaran bahwa rendahnya tingkat audit coverage ratio terhadap Wajib Pajak secara nasional juga dialami oleh KPP Yogyakarta Dua. Fakta tersebut dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata – rata audit coverage ratio pada KPP Yogyakarta Dua tahun 2004 – 2006 kurang dari 5% bahkan cenderung menurun. Selama ini Ditjen Pajak sebagai lembaga yang menaungi KPP, selalu berupaya mendorong peningkatan kinerja pemeriksaan yang sesuai dengan tujuan dan tugas pokok organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Salah satu upayanya dengan mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006 mengenai Penataan Ulang Fungsi Pemeriksaan Pajak yang berisi untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) mencapai 5%.

Tabel 1.

Tingkat Cakupan Pemeriksaan (Audit Coverage Ratio) Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 – 2006 Jenis Pemeriksaan Rutin Tahun RTLB LB Hapus NPWP Kriteria Seleksi Pemeriksaan Khusus Total Tingkat Ratio 2004 24 130 267 80 20 521 2,08% 2005 16 137 122 55 13 343 1,26% 2006 26 100 96 63 21 306 1,02%

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Dengan data dan fakta yang ditemukan pada KPP Yogyakarta Dua, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang penyebab tidak tercapainya audit coverage ratio sebesar 5%. Temuan yang ada pada KPP Yogyakarta Dua diharapkan dapat menjadi gambaran umum tentang penyebab kegagalan audit coverage ratio secara nasional yang selalu di bawah 5%.

PEMERIKSAAN PAJAK Pengertian Umum

Berdasarkan ketentuan Hukum Pajak Material yang diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000, menyatakan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang – undangan perpajakan.

Pelaksanaan UU tentang Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak diatur dalam serangkaian Hukum Pajak Formal sebagai berikut: Setiawan (2006)

(4)

1. Tata cara pemeriksaan pajak: Pasal 31 UU KUP, Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006.

2. Tata cara penyegelan: Pasal 30 UU KUP. Kep – DJP No. 343/PJ./2002.

3. Tata cara pemeriksaan kantor: Kep-142/PJ/2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-173/PJ/2006.

4. Tata cara pemeriksaan lapangan: Per-123/PJ/2006 sebagaimana diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-176/PJ/2006.

5. Tata cara pemeriksaan bukti permulaan: Kep–DJP No. 02/ PJ.7/1990 Jo. Kep– DJP No.272/PJ/2002.

6. Penegasan atas Pembahasan Hasil Pemeriksaan: Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ/2006.

Di dalam sebuah negara yang sistem perpajakannya menganut self assessment system, pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak melalui pemeriksaan pajak wajib dilakukan agar hak dan kewajiban perpajakan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Wajib Pajak. Pemeriksaan pajak disamping untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, bertujuan pula meningkatkan penerimaan pajak dan mencegah rasa ketidakadilan di dalam perlakuan perpajakan diantara sesama Wajib Pajak. Pemeriksaan Pajak pada dasarnya mirip dengan pemeriksaan akuntansi yaitu mencakup usaha untuk memperoleh dan menilai bukti yang mendasari laporan perpajakan.

Tujuan Pemeriksaan Pajak

Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Hukum Pajak Material tentang Pemeriksaan Pajak, tujuan dilakukannya Pemeriksaan Pajak adalah untuk :

1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal: SPT menunjukkan lebih bayar atau rugi, SPT tdidak disampaikan atau terlambat, SPT memenuhi kriteria seleksi pemeriksaan tertentu, dan adanya indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban menyampaikan SPT tidak terpenuhi.

2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan; yaitu:

a.

Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.

b.

Penghapusan NPWP.

c.

Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

d.

Wajib Pajak mengajukan keberatan.

e.

Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan Penghasilan Netto.

f.

Pencocokan data dan atau keterangan.

g.

Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.

h.

Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jenis Pemeriksaan Pajak

Berdasarkan jenisnya, Pemeriksaan Pajak yang dilakukan oleh Fiskus terhadap Wajib Pajak dapat berbentuk sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Rutin; adalah pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Pemeriksaan Rutin diprioritaskan terhadap:

a.

SPT yang menyatakan lebih bayar.

b.

Terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar yang diterima oleh KPP, harus dibuatkan rekapitulasinya beserta target penyelesaiannya dan dikirimkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan c.q Subdirektorat Perencanaan Pemeriksaan setiap 3 (tiga) bulan sekali.

c.

Atas SPT Tahunan PPh Pasal 21 Lebih Bayar dan SPT Masa PPN Lebih bayar (kompensasi/restitusi) tiap Kepala UP3 harus melakukan pengawasan atas penyelesaiannya.

(5)

d.

Pemeriksaan Rutin terhadap SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar diprioritaskan yang memiliki potensial penerimaan pajak yang signifikan, atau yang akan dasaluwarsa, atau pada saat rugi tersebut dikompensasikan.

e.

Sebelum memberikan persetujuan atas Pemeriksaan Rutin terhadap SPT

Tahunan PPh suatu tahun pajak, Kepala Kantor Wilayah harus memperhatikan SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar tahun – tahun pajak sebelumnya yang belum dilakukan pemeriksaan.

f.

Dalam hal ditemukan adanya SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar tahun – tahun pajak sebelumnya, pemeriksaannya harus diperluas ke tahun – tahun pajak tersebut.

2. Pemeriksaan Khusus

a. Tatacara pemeriksaan khusus harus dilakukan berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-05/PJ.07/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Khusus.

b. Selain berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-05/PJ.07/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Khusus, usulan pemeriksaan khusus juga dilakukan sehubungan dengan :

1).

Wajib Pajak yang data dan informasinya telah ditindaklanjuti dengan Optimalisasi Pemanfaatan Data Perpajakan (OPDP) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-26/PJ.07/2007; atau

2).

Wajib Pajak dari sektor tertentu yang data dan informasinya telah ditindaklanjuti dengan aktivitas himbauan dan counseling.

c.

Usulan pemeriksaan khusus berdasarkan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 2, dikirimkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir.

d.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menerbitkan surat persetujuan pemeriksaan khusus dengan kriteria data/informasi yang telah ditindaklanjuti dengan aktivitas himbauan/klarifikasi dan/atau counseling (kode pemeriksaan 1901 atau 1902) dan Lembar Penugasan Pemeriksaan diterbitkan melalui SIMPP.

3.

Pemeriksaan Kriteria Seleksi

Pemeriksaan Kriteria Seleksi dilaksanakan tehadap SPT Tahunan PPh yang terpilih untuk diperiksa berbasiskan resiko (risk based audit). Risk Based Audit dihitung dari tax revenue at risk berdasarkan rasio tertentu, tax gap, kepatuhan, dan audit history yang diproses secara sistem (computerized). Dengan sistem ini hanya Wajib Pajak yang mempunyai potensial tinggi dan menunjukkan indikasi kuat melakukan pelanggaran terhadap kewajiban perpajakannya dapat diperiksa.

4.

Pemeriksaan Lokasi

Kegiatan usaha Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib Pajak domisili adalah Wajib Pajak yang tempat usahanya terdaftar PPh sebagai Wajib Pajak atau Orang Pribadi, disamping terdaftar sebagai PKP dan Pemotong/Pemungut. dan Wajib Pajak Lokasi adalah Wajib Pajak yang tempat kegiatan usaha tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi, dan hanya terdaftar sebagai PKP atau Pemotong/Pemungut. Pemeriksaan Lokasi adalah pemeriksaan pajak yang dilakukan ditempat Wajib Pajak berstatus baik domisili maupun lokasi. Pemeriksaan Lokasi dapat dilakukan apabila :

a. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan atau SPT Masa PPN menyatakan Lebih Bayar.

b. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 selama dua tahun berturut – turut dan atau SPT Masa PPN selama tiga bulan berturut – turut dalam tahun pajak.

c. Wajib Pajak mengajukan permohonan pemusatan tempat terhutang PPN. d. Permintaan dari UP3 domisili.

(6)

e. Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha tertentu yang ditentukan oleh Kepala Kanwil DJP khususnya atas PPh Pasal 23, Pasal 26, PPN dan PPn BM.

5.

Pemeriksaan Tahun Berjalan

Pemeriksaan ini dapat dilakukan tanpa perlu dikaitkan dengan pemeriksaan tahun sebelumnya yaitu terhadap :

a. Wajib Pajak yang dalam tahun berjalan melakukan merger, likuidasi, pemekaran, pengambilalihan usaha atau penilaian kembali aktiva tetap. b. Pemotong atau pemungut yang menunjukkan adanya pembayaran PPh pasal

21 yang berfluktuasi tinggi selama 6 bulan berturut – turut, adanya perbedaan yang signifikan antara pembayaran PPh Pasal 26 terutama atas royalti dengan objek PPN jasa Luar Negeri, adanya Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria untuk pemeriksaan tahun berjalan.

c. Wajib Pajak untuk tujuan Deliquency Audit. Deliquency Audit adalah audit yang dilaksanakan untuk mendapatkan data mengenai harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang merupakan objek sita sehubungan dengan adanya tunggakan pajak sesuai dengan Undang – undang Pajak dengan Surat Paksa.

d. Wajib Pajak tertentu berdasarkan instruksi Direktur Pemeriksaan, Penyelidikan dan Penagihan Pajak.

6.

Pemeriksaan terintegrasi

Pemeriksaan ini dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berada dalam satu group atau memiliki hubungan istimewa serta Wajib Pajak yang memiliki hubungan kegiatan usaha maupun financial dengan Wajib Pajak lain diperiksa.

7.

Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan Pajak ini dilaksanakan apabila ada laporan pengamatan maupun Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) yang mengindikasikan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

8.

Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency Audit)

Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.75/2002, Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka penagihan pajak terhadap 1.000 penunggak pajak skala nasional, atau 500 penunggak pajak skala regional, atau 100 penunggak pajak skala lokal yang data mengenai harta objek sitanya tidak tersedia atau data mengenai harta objek sitanya tersedia namun jumlahnya tidak mencukupi untuk pelunasan tunggakan pajak yang dimiliki. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk memperoleh data, keterangan, dan bukti yang berkaitan dengan :

a.

Harta Wajib Pajak/ Penanggung Pajak yang dimiliki pada tahun berjalan.

b.

Proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan LPP, KPP, dan/atau Berita

Acara Hasil Pemeriksaan.

c.

Kegiatan penagihan aktif yang dilakukan.

d.

Upaya hukum dari Wajib Pajak / Penanggung Pajak. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Audit Coverage Ratio

Selama tahun pemeriksaan 2004 – 2006, tingkat cakupan pemeriksaan pajak pada KPP Yogyakarta Dua belum mampu mencapai angka 5% seperti yang diharapkan oleh Dirjen Pajak menurut ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006. Pada data realisasi pemeriksaan berikut ini, terlihat adanya penurunan jumlah realisasi pemeriksaan berdasarkan SP3 (Surat Perintah Pemeriksaan Pajak) tahun 2004 – 2006.

Tabel 2.

Jumlah Realisasi Pemeriksaan Pajak Pada KPP Yogyakarta Dua Tahun 2004 - 2006

Tahun SP3 Terbit Tahun

Sebelumnya SP3 Terbit SP3 Selesai SP3 Sisa

2004 26 512 521 17

2005 17 430 343 104

(7)

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa total jumlah SP3 selesai pada tahun 2004 sebanyak 521 SP3. Jumlah SP3 selesai ini terdiri dari sisa SP3 Terbit yang belum selesai diperiksa tahun 2003 sebanyak 26 SP3 dan 495 SP3 yang selesai diperiksa dari 512 SP3 terbit tahun 2004. Total jumlah SP3 selesai untuk tahun berikutnya yakni tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 1,52 % menjadi 343 SP3 yang terdiri dari 17 sisa SP3 terbit belum selesai diperiksa tahun 2004 dan 326 SP3 yang selesai diperiksa dari 430 SP3 terbit tahun 2005. Terakhir pada tahun 2006, total jumlah SP3 selesai semakin mengalami penurunan sebesar 1,12 % menjadi 306 SP3 yang terdiri dari 104 sisa SP3 terbit belum selesai diperiksa tahun 2005 dan 202 SP3 yang selesai diperiksa dari 250 SP3 terbit tahun 2006.

Penurunan total jumlah SP3 terbit yang telah selesai diperiksa dari tahun 2004 hingga tahun 2006 ternyata berpengaruh pada penurunan standar prestasi pemeriksa pada KPP Yogyakarta Dua. Menurut ketentuan mengenai Rencana Pemeriksaan Nasional tahun 2004 – 2006 yang diterbitkan melalui Surat Edaran Dirjen Pajak setiap tahunnya, disebutkan bahwa standar prestasi pemeriksa merupakan ukuran kinerja seorang pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat Standar Prestasi per pemeriksa yang telah ditetapkan menurut Rencana Pemeriksaan Nasional tahun 2004 – 2006

Tabel 3.

Standar Prestasi Per Pemeriksa Pada KPP Yogyakarta Dua Tahun 2004 - 2006 Tahun Rencana Pemeriksaan Sederhana Standar Prestasi Per Pemeriksa 2004 440 20 2005 420 20 2006 126 6

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Selanjutnya akan dibandingkan total jumlah SP3 selesai dengan jumlah pemeriksa pada KPP Yogyakarta Dua dari tahun 2004 hingga 2006. Perbandingan tersebut untuk mengukur kinerja Pemeriksa Pajak sesungguhnya dalam menyelesaikan pemeriksaan selama tahun 2004 – 2006.

Tabel 4

Perbandingan Jumlah SP3 Selesai dengan Jumlah Pemeriksa Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 - 2006 Tahun SP3 Terbit Tahun Sebelumnya SP3 Terbit SP3 Selesai SP3 Sisa Jumlah Pemeriksa Standar Prestasi 2004 26 512 521 17 22 23,7 2005 17 430 343 104 21 16,3 2006 104 250 306 48 27 11,3

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Dari tabel 4 terlihat bahwa standar prestasi pemeriksa yang berhasil dicapai tahun 2004 sebesar 23,7 atau naik 3,7 dari standar yang ditetapkan pada rencana pemeriksaan nasional tahun 2004 (tabel 3). Selanjutnya di tahun 2005, terjadi penurunan standar prestasi pemeriksa sebesar 3,7 dari standar yang ditetapkan. Terakhir pada tahun 2006, standar prestasi pemeriksa yang berhasil dicapai sebesar 11,3 atau naik 5,3 dari standar yang ditetapkan untuk tahun 2006. Angka standar prestasi yang dapat dicapai pada tahun 2006 kelihatannya mengalami kenaikan dari standar yang ditetapkan menurut rencana pemeriksaan nasional tahun 2006, namun sebenarnya terjadi penurunan penetapan standar dari tahun 2005. Hal ini berarti standar prestasi per pemeriksa yang dicapai oleh KPP Yogyakarta Dua mengalami penurunan pada tahun 2005 dan 2006. Penurunan standar prestasi pemeriksa pada KPP Yogyakarta Dua dipengaruhi oleh semakin menurunnya jumlah SP3 yang mampu diselesaikan oleh pemeriksa. Pada tabel berikut ini akan dirinci jumlah

(8)

pemeriksaan terhadap SP3 terbit yang dapat diselesaikan berdasarkan jenis pemeriksaannya.

Tabel 5.

Jumlah SP3 Selesai Diperiksa Berdasarkan Jenis Pemeriksaan Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 – 2006 Jenis Pemeriksaan Rutin Tahun SP3 RTLB LB Hapus NPWP Kriteria Seleksi Pemeriksaan Khusus Total SPT Badan 24 23 119 14 10 190 SPT OP - 26 148 49 7 230 SPT PPh 21 - 16 - 17 3 36 PPN - 65 - - - 65 2004 Total 24 130 267 80 20 521 SPT Badan 16 28 65 30 6 145 SPT OP - 29 57 20 5 111 SPT PPh 21 - 15 - 5 2 22 PPN - 65 - - - 65 2005 Total 16 137 122 55 13 343 SPT Badan 26 14 33 22 8 103 SPT OP - 16 63 22 9 110 SPT PPh 21 - 15 - 19 4 38 PPN - 55 - - - 55 2006 Total 26 100 96 63 21 306

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Penurunan jumlah pemeriksaan terhadap SP3 terbit yang dapat diselesaikan oleh KPP Yogyakarta Dua dikarenakan semakin meningkatnya jangka waktu penyelesaian dalam memeriksa SP3 selama periode tahun 2004 – 2006. Hal ini berarti semakin bertambahnya jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya diperpanjang. Pada tabel berikut ini, akan dirinci jumlah realisasi SP3 yang diperiksa berdasarkan jangka waktu penyelesaiannya, sehingga dapat diperoleh gambaran tentang lamanya jangka waktu pemeriksaan.

Tabel 6.

Jangka Waktu Penyelesaiaan Pemeriksaan Terhadap SP3 Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 – 2006 Jenis Pemeriksaan Rutin Tahun Jangka Waktu RTLB LB Hapus NPWP Kriteria Seleksi Pemeriksaan Khusus Total 1 Bulan 20 105 230 - - 355 2 Bulan 4 25 37 51 12 129 2004 > 2 Bulan - - - 29 8 37 1 Bulan 10 117 94 - - 221 2 Bulan 6 20 28 20 3 77 2005 > 2 Bulan - - - 35 10 45 1 Bulan 18 88 78 - - 184 2 Bulan 8 12 18 13 5 56 2006 > 2 Bulan - - - 50 16 66

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jangka waktu dalam menyelesaikan pemeriksaan dari tahun 2004 – 2006. Pada tahun 2004, jumlah pemeriksaan rutin yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 1 (satu) bulan, terhitung sejak SP3 diterima oleh Wajib Pajak berjumlah 355 dan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) bulan

(9)

yakni 2 (dua) bulan berjumlah 66. Jumlah pemeriksaan rutin yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 1 (satu) bulan menurun pada tahun 2005 menjadi 1,60% atau sebesar 221 pemeriksaan. Selain itu, jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) bulan yakni 2 (dua) bulan juga menurun menjadi 1,22% atau sebesar 54 pemeriksaan. Terakhir pada tahun 2006, jumlah pemeriksaan rutin yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 1 (satu) bulan semakin menurun menjadi 1,20% atau sebesar 184 pemeriksaan dan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) bulan yakni 2 (dua) bulan juga semakin menurun menjadi 1,42% atau sebesar 38 pemeriksaan. Jumlah pemeriksaan Kriteria Seleksi, pada tahun 2004, jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan, terhitung sejak SP3 diterima oleh Wajib Pajak berjumlah 51 dan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan berjumlah 29. Jumlah pemeriksaan kriteria selesai yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan menurun pada tahun 2005 menjadi 2,55% atau sebesar 20 pemeriksaan. Namun, jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan justru meningkat menjadi 0,83% atau sebesar 35 pemeriksaan. Terakhir pada tahun 2006, jumlah pemeriksaan rutin yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan semakin menurun menjadi 1,54% atau sebesar 13 pemeriksaan. Sedangkan, jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan semakin meningkat menjadi 0,7% atau sebesar 50 pemeriksaan.

Pada tahun 2006, jumlah pemeriksaan khusus yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan, terhitung sejak SP3 diterima oleh Wajib Pajak berjumlah 12 dan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan berjumlah 8. Jumlah pemeriksaan Khusus yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan menurun pada tahun 2005 menjadi 4% atau sebesar 3 pemeriksaan. Selain itu, jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan justru semakin meningkat menjadi 0.8% atau sebesar 10 pemeriksaan. Terakhir pada tahun 2006, jumlah pemeriksaan rutin yang jangka waktu penyelesaiannya tepat waktu yakni 2 (dua) bulan kembali meningkat menjadi 0.6% atau sebesar 5 pemeriksaan dan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari 2 (dua) bulan semakin meningkat menjadi 0.63% atau sebesar 16 pemeriksaan.

Jangka waktu penyelesaian yang semakin lama akan mengurangi jumlah SP3 yang mampu diselesaikan oleh pemeriksa. Berdasarkan hasil wawancara pihak KPP Yogyakarta Dua, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan ini dikarenakan kurangnya kerja sama Wajib Pajak dalam menyerahkan berkas – berkas dokumen, catatan serta memberikan keterangan yang sebenarnya selama jalannya proses pemeriksaan. Di samping itu, seringkali baik Wajib Pajak maupun Kuasanya menolak hadir dalam pemeriksaan kantor ataupun saat pemeriksaan di lapangan. Penyebab lainnya tingkat cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) pada KPP Yogyakarta Dua belum dapat mencapai angka 5% adalah semakin bertambahnya jumlah SP3 Terbit yang belum selesai diperiksa selama tahun 2004 hingga tahun 2006. Pada tabel berikut ini akan ditunjukkan jumlah SP3 yang belum selesai diperiksa oleh KPP Yogyakarta Dua.

Tabel 7.

Jumlah SP3 Terbit Belum Selesai Diperiksa Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 – 2006

Tunggakan SP3 Terbit Belum Realisasi Rutin Tahun Jenis SP3 Tahun Pajak RTLB LB Hapus NPWP Kriteria Seleksi Pemeriksaan Khusus Total 2003 - - 4 2 2 8 2002 - - - 0 2004 PPh Badan < 2002 - - - 0

(10)

2003 - - 2 3 1 6 2002 - - - 0 PPh OP < 2002 - - - 0 2003 - - - 3 - 3 2002 - - - 0 PPh 21 < 2002 - - - 0 Total 0 0 6 8 3 17 2004 - - 17 18 - 35 2003 - - - - 3 3 PPh Badan < 2003 - - - 0 2004 - - 15 12 3 30 2003 - - 22 - - 22 PPh OP < 2003 - - - 0 2004 - - - 14 - 14 2003 - - - 0 2005 PPh 21 < 2003 - - - 0 Total 0 0 54 44 6 104 2005 - - - 7 - 7 2004 - - 11 4 - 15 PPh Badan < 2004 - - 6 - - 6 2005 - - 4 5 - 9 2004 - - 5 3 - 8 PPh OP < 2004 - - - 0 2005 - - - 3 - 3 2004 - - - 0 2006 PPh 21 < 2004 - - - 0 Total 0 0 26 22 0 48

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah tunggakan pemeriksaan pajak atau Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) yang belum dapat diselesaikan pada tahun 2004 yakni 17 pemeriksaan dan naik menjadi 0.16% menjadi 104 tunggakan pemeriksaan untuk pemeriksaan tahun 2005. Terakhir, pada tahun 2006, jumlah tunggakan pemeriksaan kembali turun menjadi 2.16% atau 48 tunggakan pemeriksaan.

Berkaitan dengan jumlah tunggakan pemeriksaan pajak, rencana pemeriksaan nasional yang diatur melalui Surat Edaran Dirjen Pajak menyebutkan bahwa target pemeriksaan disusun berdasarkan jumlah Pemeriksa Pajak dan jumlah Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam satu tahun. Target pemeriksaan merupakan jumlah LPP minimal yang harus diselesaikan oleh masing-masing UP3 dan mencakup semua ruang lingkup serta jenis pemeriksaan dengan memperhitungkan saldo tunggakan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) setiap awal tahunnya. Saldo tunggakan pemeriksaan diharapkan tidak lebih dari 20% dari jumlah rencana pemeriksaan masing – masing UP3 karena tunggakan SP3 akan mempengaruhi rencana pemeriksaan tahun berikutnya.

Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa jumlah tunggakan pemeriksaan dari tahun 2004 sebesar 17 pemeriksaan atau 0.04% dari 420 rencana pemeriksaan untuk tahun 2005. Selanjutnya, jumlah tunggakan pemeriksaan dari tahun 2005 sebesar 104 pemeriksaan atau 0.85% dari 126 rencana pemeriksaan untuk tahun 2006. Hal ini berarti jumlah tunggakan SP3 yang belum diselesaikan semakin bertambah dari tahun 2004 hingga tahun 2005, sehingga mempengaruhi jumlah rencana pemeriksaan yang semakin menurun untuk tahun 2005 dan tahun 2006. Jumlah rencana pemeriksaan yang semakin menurun akan mempengaruhi tingkat cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) belum dapat mencapai angka 5% sesuai SE Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006.

Sebaiknya KPP Yogyakarta Dua memperhatikan jumlah tunggakan pemeriksaan pajak setiap akhir tahun pemeriksaan. Upaya pengurangan jumlah tunggakan pemeriksaan dapat mulai dilakukan dengan memperhatikan target pemeriksaan

(11)

setiap awal tahun pemeriksaan dan jumlah tunggakan tahun lalu sebelum mengirimkan daftar nominatif pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus kepada Kepala Kanwil Ditjen Pajak DIY maupun menerima daftar nominatif pemeriksaan kriteria seleksi dari Kepala Kanwil Ditjen Pajak DIY. Bila jumlah Laporan Penugasan Pemeriksaan (LP2) yang dikirimkan pada KPP Yogyakarta Dua telah diterbitkan SP3 tetapi belum disampaikan kepada Wajib Pajak karena banyaknya pemeriksaan yang masih harus dilaksanakan, maka sebaiknya KPP Yogyakarta Dua mengembalikan LP2 tersebut kepada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan agar dapat dialihkan kepada UP3 lainnya.

Selain itu, pengawasan yang ketat baik di tingkat KPP Yogyakarta Dua maupun tingkat Kanwil bahkan tingkat Kantor Pusat terhadap kemajuan proses dari setiap pemeriksaan serta pemberian hukuman yang tegas terhadap pihak - pihak yang menyebabkan pemeriksaan tidak selesai tepat waktu harus dilakukan. Seperti, pihak Wajib Pajak yang tidak kooperatif dalam menyediakan data ataupun pihak Tim Pemeriksa yang tidak disiplin dalam bekerja. Hal ini karena berdasarkan kenyataan dilapangan, pihak KPP Yogyakarta Dua dan Kanwil Ditjen Pajak DIY cenderung kurang serius dalam menerapkan sanksi. Sanksi hanya dijalankan terhadap pemeriksaan SPT Lebih bayar yang jalannya pemeriksaan lebih dari satu tahun sehingga pihak Ditjen Pajak secara jabatan harus mengembalikan jumlah nominal lebih bayar yang diminta oleh Wajib Pajak.

Saat ini pentingnya pembagian yang tegas antara tugas pemeriksaan dan administrasi pelayanan memang sangat diperlukan. Pada tingkat Karikpa dan Kanwil Ditjen Pajak DIY sudah terdapat pembagian yang tegas, yakni untuk tugas pemeriksaan dikerjakan oleh pihak fungsional pemeriksa namun untuk tingkat KPP Yogyakarta Dua hal tersebut masih kurang. Upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut melalui pembentukan KPP Pratama, yakni dengan adanya seksi pemeriksaan yang pegawainya merupakan pegawai fungsional pemeriksa. Pegawai tersebut hanya bertugas melakukan pemeriksaan tanpa harus diganggu dengan kegiatan administrasi pelayanan.

Upaya – Upaya untuk Meningkatkan Audit Coverage Ratio

Pihak KPP Yogyakarta Dua sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sudah terlebih dahulu menjelaskan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan pihak Wajib Pajak mau bekerja sama menyerahkan dokumen, catatan dan keterangan yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak permintaan disampaikan.

Bila jangka waktu 7 hari belum cukup untuk mengumpulkan dokumen yang diminta, maka Wajib Pajak yang tidak meminta perpanjangan jangka waktu akan diberikan surat peringatan. Surat peringatan dikirim ke Wajib Pajak sebanyak dua kali. Jika surat peringatan pertama tidak mendapat respon dari Wajib Pajak, maka akan dikirim surat peringatan kedua. Bagi pihak pemeriksa KPP Yogyakarta Dua, jangka waktu 7 hari yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk mengumpulkan dokumen, catatan dan keterangan yang mendukung jalannya pemeriksaan sangatlah membantu dalam menyelesaikan pemeriksaan sesuai jangka waktu yang sudah ditetapkan.

Apabila setelah dikirimkan surat peringatan kedua, Wajib Pajak belum juga memberikan dokumen yang dibutuhkan secara lengkap kepada pihak pemeriksa, maka pemeriksa pajak akan membuatkan berita acara tidak dapat dipenuhinya peminjaman buku, catatan dan dokumen. Berita Acara ini akan menjadi dasar untuk menetapkan pajak Wajib Pajak yang bersangkutan secara jabatan sesuai dengan Pasal 7d Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 sebagaimana diubah dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006.

Pada tabel berikut dapat dilihat jumlah pemeriksaan yang menghasilkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak secara jabatan pada KPP Yogyakarta Dua.

(12)

Jumlah Pemeriksaan yang Menghasilkan SKP dan STP Secara Jabatan Pada KPP Yogyakarta Dua

Tahun 2004 – 2006 Jenis Pemeriksaan Rutin Tahun SP3 RTLB LB Hapus NPWP Kriteria Seleksi Pemeriksaan Khusus Total SPT Badan 2 3 - 4 2 11 SPT OP - 2 - 2 - 4 SPT PPh 21 - - - 2 - 2 2004 PPN - - - - Total 2 5 - 8 2 17 SPT Badan 2 1 - 3 1 7 SPT OP - 2 - 2 - 4 SPT PPh 21 - - - - 2005 PPN - - - - Total 2 3 - 5 1 11 SPT Badan 3 2 - 2 - 7 SPT OP - - - 1 - 1 SPT PPh 21 - - - - 2006 PPN - - - - Total 3 2 - 3 - 8

Sumber: KPP Yogyakarta Dua (2007)

Jumlah pemeriksaan yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatan tahun 2004 untuk pemeriksaan rutin sebesar 7 pemeriksaan atau hanya 0,11% dari 66 pemeriksaan rutin yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) bulan. Sedangkan untuk pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus berjumlah 10 pemeriksaan atau hanya 0,27% dari 37 pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) bulan.

Pada tahun 2005, jumlah pemeriksaan rutin yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatan untuk pemeriksaan rutin sebesar 5 pemeriksaan atau hanya 0,09% dari 54 pemeriksaan rutin yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) bulan. Sedangkan untuk pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus berjumlah 6 pemeriksaan atau hanya 0,13% dari 45 pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) bulan. Terakhir, pada tahun 2006, jumlah pemeriksaan rutin yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatan sebesar 5 pemeriksaan atau hanya 0,14% dari 38 pemeriksaan rutin yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) bulan. Selanjutnya, jumlah pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatam sebesar 3 pemeriksaan atau hanya 0,04% dari 66 pemeriksaan kriteria seleksi dan khusus yang diselesaikan dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) bulan.

Total jumlah pemeriksaan yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatan pada tahun 2004 – 2006 semakin menurun sedangkan jumlah pemeriksaan yang jangka waktu penyelesaiannya diperpanjang semakin bertambah. Hal ini berarti peraturan mengenai penetapan pajak secara jabatan pada Pasal 7d Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 belum sepenuhnya diterapkan dalam pemeriksaan yang dijalankan oleh KPP Yogyakarta Dua. Ada baiknya bila peraturan tersebut lebih diterapkan pada wajib pajak yang kurang bekerja sama dengan pemeriksa untuk mendukung jalannya pemeriksaan, sehingga dapat mengurangi jumlah pemeriksaan yang penyelesaiannya tidak tepat waktu dan jumlah tunggakan pemeriksaan untuk pemeriksaan tahun selanjutnya.

PENUTUP Simpulan

(13)

Dari data dan fakta yang terdapat pada KPP Yogyakarta Dua, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor – faktor penyebab audit coverage ratio pada KPP Yogyakarta Dua belum mencapai 5% (SE–19/PJ./2006) disebabkan oleh:

a.

Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan

Terjadi penurunan jangka waktu dalam menyelesaikan pemeriksaan dari tahun 2004 – 2006. Penurunan jangka waktu dalam menyelesaikan pemeriksaan hanya terjadi pada pemeriksaan Kriteria Seleksi dan pemeriksaan Khusus. Pada pemeriksaan Kriteria Seleksi dan Khusus, jangka waktu penyelesaian yang tepat waktu yakni 2 (dua) bulan semakin menurun sedangkan jangka waktu penyelesaian yang lebih dari 2 (dua) bulan justru semakin meningkat.

Semakin lamanya jangka waktu penyelesaian pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa di KPP Yogyakarta Dua mempengaruhi semakin berkurangnya jumlah penyelesaian SP3 yang telah disampaikan kepada Wajib Pajak. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan ini dikarenakan kurangnya kerja sama Wajib Pajak dalam menyerahkan berkas – berkas dokumen, catatan serta memberikan keterangan yang sebenarnya selama jalannya proses pemeriksaan. Di samping itu, seringkali baik Wajib Pajak maupun Kuasanya menolak hadir dalam pemeriksaan kantor ataupun saat pemeriksaan di lapangan.

b.

Jumlah tunggakan pemeriksaan

Jumlah tunggakan pemeriksaan pajak pada awal tahun 2005 hingga tahun 2006 semakin meningkat melebihi jumlah tunggakan minimal yang diharapkan, menurut rencana pemeriksaan nasional, yakni tidak lebih dari 20% dari jumlah rencana pemeriksaan. Semakin meningkatnya jumlah tunggakan pemeriksaan akan turut mempengaruhi menurunnya jumlah rencana pemeriksaan pajak. Jumlah rencana pemeriksaan yang semakin menurun akan mempengaruhi audit coverage ratio belum dapat mencapai angka 5% sesuai SE Dirjen Pajak Nomor SE–19/PJ./2006.

2.

Upaya-Upaya yang telah dilakukan oleh KPP Yogyakarta Dua untuk meningkatakan Audit Coverage Ratio sesuai SE–19/PJ./2006 adalah:

a.

Pihak KPP Yogyakarta Dua sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sudah terlebih dahulu menjelaskan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan pihak Wajib Pajak mau bekerja sama menyerahkan dokumen, catatan dan keterangan yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pemeriksaan. Namun upaya ini belum optimal karena ternyata kerjasama Wajib Pajak masih relatif rendah dalam proses pemeriksaan.

b.

KPP Yogyakarta Dua berupaya menetapkan SKP dan STP secara jabatan sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 pasal 7d. Peraturan ini menyatakan bahwa bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi peminjaman dokumen, maka pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan. Namun di sisi lain, KPP Yogyakarta Dua juga memperpanjang jangka waktu penyelesaian pemeriksaan untuk memberi kesempatan bagi Wajib Pajak memenuhi kewajibannya. Hal ini berarti peraturan mengenai penetapan pajak secara jabatan pada Pasal 7d Keputusan Menteri Keuangan No.545/KMK.04/2000 belum sepenuhnya diterapkan dalam pemeriksaan yang dijalankan oleh KPP Yogyakarta Dua.

Saran

Dari kesimpulan berdasarkan data dan fakta pada KPP Yogyakarta Dua, ada sejumlah saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki upaya-upaya dalam peningkatan audit coverage ratio sebagai berikut :

1.

Bila Dirjen Pajak mengharapkan peningkatan audit coverage ratio mencapai ratio 5 %, maka sebaiknya KPP Yogyakarta Dua dalam melaksanakan pemeriksaan harus berupaya mengurangi jumlah tunggakan pemeriksaan karena berdampak

(14)

pada penurunan jumlah rencana pemeriksaan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penurunan tingkat audit coverage ratio pemeriksaan pajak. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap kemajuan proses dari setiap pemeriksaan serta pemberian hukuman yang tegas terhadap pihak - pihak yang menyebabkan pemeriksaan tidak selesai tepat waktu harus dilakukan seperti Wajib Pajak yang tidak mau bekerja sama maupun pemeriksa yang tidak disiplin dalam menjalankan tugasnya.

2.

Sebaiknya peraturan mengenai penetapan pajak secara jabatan pada Pasal 7d Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 sebagaimana diubah dalam Peraturan Menteri Keuangan No 123/PMK.03/2006 lebih diterapkan secara tegas pada wajib pajak yang kurang bekerja sama dengan pemeriksa untuk mendukung jalannya pemeriksaa. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi jumlah pemeriksaan yang penyelesaiannya tidak tepat waktu dan jumlah tunggakan pemeriksaan untuk pemeriksaan tahun selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Gunadi, 2005; “Fungsi Pemeriksaan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pajak (Tax Compliance)”, Jurnal Perpajakan Indonesia, edisi 4(5), 4 - 9.

Hartono, Sri, 2001; "Kebijakan Pemeriksaan dan Implementasinya Sesuai Peraturan Perpajakan Tahun 2000", Berita Pajak, April 15, hal 31 – 38.

Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

Keputusan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006 tentang Perubahan atas keputusan menteri keuangan No. 545/KMK.04/2000 tentang tata cara pemeriksaan pajak.

Lumbatoruan, Sophar, 1996; Akuntansi Pajak, edisi revisi., Jakarta, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Naswar, 2002 "Pelunasan Pajak yang Terutang Menurut Surat Ketetapan Pajak Dalam Perspektif Sistem Self Assessment", Berita Pajak, Juli 15, hal 37– 40.

Parwito, 2006 'Audit Pajak Dilipatgandakan' http://www.Pajak.go.id/artikel/audit pajak/pajak.html akses September 4, 2007.

Priatara, Diaz, 2000; Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Jakarta, Penerbit Djembatan.

Setiawan, Agus, 2007; Teknik Audit dan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak, Edisi Pertama, Yogyakarta, Penerbit Lingkaran Buku.

Suparmoko, M, 2000; Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Penerbit BPFE.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency Audit).

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 18/PJ./2006 tentang Key Performance Indicator (KPI).

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 07/PJ.7/2003 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional tahun 2004.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 08/PJ.7/2004 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional tahun 2005.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 13/PJ.7/2005 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional tahun 2006.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 19/PJ./2006 tentang Penataan Ulang Fungsi Pemeriksaan Pajak.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 03/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Rutin.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 05/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Khusus.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 02/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Kriteria Seleksi

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan berpikir tingkat tinggi aspek mencipta diamati dari ketercapaian indikator (1) siswa mampu merumuskan penyelesaian/solusi yang berbeda belum terpenuhi disebabkan

Pembahasan mengenai makna puisi dengan analisis semiotika Riffaterre terhadap puisi-puisi karya sastrawan Arab telah banyak diteliti, di antaranya adalah penelitian

Dari pengolahan data sebelumnya, diperoleh instrumen reksa dana saja yang masuk dalam portofolio, untuk tidak perlu dilakukan perhitugan persentase/bobot investasi pada

Pada gambar 5.24 Tampilan laporan pembelian formulir, digunakan untuk mengetahui jumlah pembelian formulir penerimaan siswa baru berdasarkan pemilihan filter gelombang atau

Tujuan studi adalah untuk menganalisis aplikasi kogenerasi nuklir untuk proses dekomposisi air pada pabrik pupuk urea, serta menganalisis kebutuhan dan konversi CO2

Pada Data Flow Diagram Level 0 ini, proses dipecah menjadi tujuh bagian yaitu login admin, pengolahan data kategori, pengolahan data produk, pengolahan data

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi, pengungkapan modal intelektual, dan kualitas audit