• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802008044 Full Text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802008044 Full Text"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

DINA YOHANNA KOLLOH 80 2008 044

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara subjective well-being dan internet addiction pada remaja. Subjek penelitian berjumlah 60 orang yang diperoleh dengan menggunakan teknik simple random sampling (sampel acak), yaitu teknik penentuan sampel dari anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata

(tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. (Sugiyono, 2011). Variabel subjective well-being diukur dengan menggunakan skala kepuasan hidup remaja (MSLSS) dari Huebner (2001) yang terdiri dari 31 aitem terpakai dan skala afek positif dan negative (PANAS) dari Watson (1988) yang terdiri dari 8 aitem terpakai. Internet Addiction diukur dengan menggunakan internet addiction test dari Young (1996) yang terdiri dari 18 aitem terpakai. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis korelasi pearson product moment dan diperoleh hasil korelasi sebesar -0,016 Dengan signifikansi 0,453 (p>0,01), menunjukkan tidak ada ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dan internet addiction yang berarti tinggi rendahnya tingkat subjective well-being tidak berpengaruh pada tinggi ataupun rendahnya tingkat internet addiction.

(7)

This research is a qua ntitative one that aims to determine the relationship between

subjective well-being and Internet addiction in adolescents. The subject of the study of 60

people has used simple random sampling technique (random sampling), that is the

sampling technique of ra ndom members of the population regardless of the strata (levels) in

members of the population. (Sugiyono, 2011). The Variable of subjective well-being was

measured using marriageable standard of life satisfaction sca le (MSLSS) from Huebner

(2001) consisting of 31 used items and the positive and negative affective scale (PANAS) of

Watson (1988) consisting of 8 used items. The Internet Addiction was measured using the

internet addiction test of Young (1996) consisting of used 18 items. Data were analyzed

using pearson product moment correlation analysis technique and the results of correlation

obtained was -0.016 With the significance of 0.453 (p> 0.01), shows that there is no

negative correlation between subjective well-being and internet addiction, which means no

matter what the levels of subjective well-being is will not necessarily be followed by a high or

low level of internet addiction.

(8)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi dari waktu ke waktu semakin terasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai sarana yang bertujuan untuk membantu aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu wujud konkret perkembangan teknologi tersebut adalah hadirnya internet. Dengan internet, aktivitas manusia menjadi lebih efisien. Kegiatan yang pada awalnya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang besar kini dapat dilakukan dengan mudah.

Internet dikenal secara luas sebagai sarana untuk pertukaran informasi, penelitian akademik, hiburan, komunikasi dan promosi. Dengan internet, orang dapat dengan mudah mengakses informasi kapan saja dan di mana saja. Internet juga dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk berbisinis, ditandai dengan maraknya perdagangan online yang mempermudah transaksi jual beli tanpa harus bertemu langsung. Selain itu, internet juga menawarkan kemudahan akses komunikasi dan hiburan bagi penggunanya, diantaranya layanan email, mailing list atau group diskusi, serta berbagai jenis jejaring sosial yang saat ini banyak digunakan seperti facebook, twitter, yahoo, youtube, online game serta berbagai layanan lainnya.

(9)

internet melupakan realitas yang ada karena merasa lebih senang berada dan berinteraksi melalui dunia maya.

Internet addiction digolongkan oleh Young (1996;1998) sebagai penggunaan internet secara berlebihan yang mengganggu pola tidur, produktivitas kerja, aktivitas sehari-hari dan kehidupan sosial seseorang. Kriteria kecanduan internet sendiri antara lain secara berlebihan memikirkan aktivitas yang dilakukan di internet; merasa perlu untuk menggunakan internet dengan durasi yang terus meningkat; gagal dalam usahanya untuk mengontrol, mengurangi atau menghentikan pemakaian internetnya; merasa gelisah, depresi, dan sensitif ketika pemakaian internetnya dikurangi atau dihentikan sama sekali; menghabiskan lebih banyak waktu dari yang direncanakan di internet; beresiko kehilangan kesempatan atau pendidikan atau karir; berbohong kepada orang lain (keluarga, teman-teman, terapis, dan sebagainya) tentang durasi pemakaian internet, menggunakan internet untuk melarikan diri dari masalah atau perasaan negatif (seperti putus asa, rasa bersalah, kelelahan, khawatir). Dengan demikian, perilaku kecanduan internet merupakan perilaku penggunaan internet lebih dari kebutuhan sehingga mengganggu produktivitas kehidupan seseorang.

(10)

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang sehingga mengembangkan perilaku kecaduan terhadap internet. Salah satu faktor tersebut adalah tinggi atau rendahnya level subjective well-being orang tersebut. Subjective well-being adalah sebuah evaluasi kognitif dan afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003). Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Sedangkanindividu dengan subjective well-being yangrendah, memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995).

Komponen subjective well-being sendiri terdiri dari komponen kepuasan hidup, di mana individu menilai kualitas hidupnya secara global; kepuasan domain, di mana individu menilai aspek khusus dalam hidupnya; dan komponen afektif, yang terdiri dari perasaan positif dan negatif seseorang. Dengan demikian subjective well-being adalah sebuah konsep yang luas mencakup tingginya tingkat kepuasan hidup serta pengalaman emosi menyenangkan, dan level perasaan negatif yang rendah (Diener et al, 1999).

(11)

merupakan individu yang seringkali merasakan depresi dan kesepian (Dalam putri, 2013).

Sejalan dengan itu, penelitian Ayas dan Horzu yang berjudul “Relation Between

Depression, Loneliness, Self-esteem and Internet addiction juga menemukan adanya hubungan positif antara depresi dan kesepian dengan internet addiction. Studi tentang internet addiction menunjukkan bahwa karakteristik seperti rasa malu, tanda-tanda depresi dan self-estem yang rendah (Aydin and Sari, 2011 dalam Cardak, 2013) dihubungkan dengan kecenderungan internet addiction (Yang & Tung, 2007 dalam Cardak, 2013). Penelitian lain yang serupa yaitu “From the Perspective of Loneliness and Kognitive Absorption Internet addiction as Predictor and Predicted” menyatakan kesepian, secara positif dan berarti mempengaruhi internet addiction. Saat level kesepian individu meningkat, individu tersebut dapat teradiksi internet, dan sebaliknya seorang yang teradiksi internet secara bertahap dapat merasa kesepian (Celik, Korkmaz & Usta, 2014).

Dalam penelitian Evaluation of The Relationship Between Internet addiction and Depression in University Students”, disebutkan bahwa ada hubungan positif antara

(12)

penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Namzi et al (dalam Seifi dkk, 2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah penggunaan internet dengan level depresi pada penggunanya. Pada penelitian lainnya mengenai subjective well-being pada mahasiswa yang menggunakan internet secara berlebihan ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara subjective well being dengan problematic internet use atau internet addiction (Putri, 2013).

Fenomena kecanduan internet saat ini dialami oleh berbagai kelompok usia, termasuk remaja sebagai pengguna internet terbanyak. Laporan aktual pemerintah Jerman menyangkut kasus kecanduan menyebutkan, lebih setengah juta warga pada kisaran umur 14 hingga 64 tahun mengidap kecanduan internet. Sekitar 250.000 pecandu internet adalah remaja berusia antara 14 hingga 24 tahun. Remaja lelaki lebih berisiko kecanduan games internet, tapi yang juga menarik, kaum perempuan lebih banyak yang mengidap kecanduan surfing di jejaring sosial dibanding laki-laki (Lichtenberg, 2012). Kasus kecanduan internet yang dialami oleh remaja juga terjadi di Tiongkok di mana seorang remaja berusia 19 tahun dilaporkan nekat memotong tangannya sendiri demi menghilangkan ketergantungannya terhadap internet (Paragian, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa remaja, didapatkan informasi bahwa mereka akan merasa marah, stres dan kesepian jika penggunaan internetnya dibatasi atau dikurangi. Para remaja tersebut menyatakan, bahwa mereka lebih senang mengakses internet ketika menghadapi masalah atau ketika merasakan emosi-emosi negatif. Selain itu mereka juga mengaku bahwa dalam sehari mereka bisa menghabiskan waktu untuk mengakses internet lebih dari empat jam.

(13)

orang. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Remaja memang tercatat sebagai pengguna internet terbesar.

Di Indonesia sendiri remaja pengguna internet mencapai 80% dari total 83,7 juta pengguna internet tanah air (Paragian, 2014). Hal ini disebabkan pada usia tersebut, remaja pada umumnya masih duduk di bangku pendidikan sehingga untuk memudahkan proses belajar mengajar, remaja dituntut untuk menguasai teknologi, salah satunya layanan internet. Selain itu, tuntutan pergaulan juga mempengaruhi remaja untuk semakin banyak mengakses internet.

(14)

Perasaan-perasaan negatif yang dialami oleh remaja tersebut jika terus menerus dialami oleh remaja akan mempengaruhi rendahnya level subjective well-being pada remaja. Hal inilah yang dapat mengacu pada perilaku internet addiction, sebagai salah satu bentuk pelarian dari perasaan-perasaan negatif yang dialami remaja tersebut. Oleh sebab itu penelitian yang hendak dilakukan adalah hubungan antara subjective well-being dengan internet addiction pada remaja.

Hubungan Subjective well-being dengan Internet addiction pada Remaja

Dampak dari kemajuan teknologi tidak selalu dirasakan dan ditanggapi secara positif oleh manusia. Salah satu wujud kemajuan teknologi yaitu hadirnya internet justru memiliki dampak negatif bagi penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut adalah perilaku kecanduan internet. David Greenfield (dalam Ningtyas, 2012) menyatakan 6% dari pengguna internet mengalami kecanduan. Salah satu hal yang mempengaruhi internet addiction atau perilaku kecanduan internet adalah tingkat subjective well-being seseorang. Subjective well-being diketahui sebagai evaluasi kognitif dan afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003) yang ditandai dengan tingginya kepuasan hidup serta perasaan positif serta rendahnya perasaan negatif. Munculnya internet addiction, dikatakan oleh Young (1996) merupakan salah satu upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindar atau melupakan perasaan negatif yang sering dialaminya.

(15)

pertemuan secara online (disukai, semakin ahli dalam bermain games, merasa sama dan mengisi waktu kosong).

Namun di sisi lain, remaja sebagai pengguna internet terbesar juga memiliki resiko yang besar untuk mengembangkan perilaku kecanduan internet. Tsai & Lin (2003) menyatakan, penggunaan internet yang lebih sering di kalangan remaja yang belum matang secara psikologis serta masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat menempatkan mereka pada resiko internet addiction.

Hipotesis

Ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction. Semakin tinggi tingkat subjective well-being maka semakin rendah tingkat internet addiction. Sebaliknya semakin rendah tingkat subjective well-being maka semakin tinggi tingkat internet addiction.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional. Variabel bebas pada penelitian ini adalah subjective well-being. Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah internet addiction

Populasi dan Sampel

(16)

sampel untuk peneliti pemula dapat berjumlah 10% dari total populasi, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang.

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel Subjective well-being adalah Multidimensional Students Life Satisfaction Scale oleh Huebner (2001) serta Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) dari Watson, Clark, dan Tellegen (1988). Skala MSLSS dirancang untuk mengukur kepuasan hidup remaja dan kepuasan domain tertentu mencakup sekolah, lingkungan tempa tinggal, teman, keluarga dan diri sendiri. Skala ini terdiri dari 40 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 31 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,304 – 0,706 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,892 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.

Pada skala PANAS yang digunakan untuk mengukur afek positif dan negatif yang dirasakan oleh remaja, terdapat 20 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 8 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,49 – 0,733 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,850 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel. Untuk menentukan skor subjective well-being (SWB), maka data pada aspek kepuasan hidup yang diukur dengan menggunakan MSLSS serta afek yang diukur dengan PANAS diubah menjadi z skor dan t skor terlebih dahulu, baru kemudian keduanya dijumlahkan sehingga menghasilkan skor SWB (Suwito,2013).

(17)

dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,378 – 0,765 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,906 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.

HASIL PENELITIAN

Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Penelitian ini menggunakan uji normalitas yang dilihat melalui Kolmogrov-Smirnov. Data berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0.05 (Santoso, 2000).

Tabel 1 Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

internet_addictio

n kepuasan_hidup panas

N 60 60 60

Normal Parametersa Mean 36.4667 149.0833 21.4167

Std. Deviation 10.97372 15.64792 6.13214

Most Extreme Differences Absolute .114 .077 .110

Positive .114 .061 .110

Negative -.063 -.077 -.073

Kolmogorov-Smirnov Z .883 .595 .855

Asymp. Sig. (2-tailed) .417 .870 .457

a. Test distribution is Normal.

(18)

b. Uji Linearitas

Uji Linearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang linear signifikan antara variabel. Hubungan variabel dapat dikatakan linear jika nilai signifikansinya > 0,05.

Tabel 2 Uji Linearitas

Berdasarkan uji linearitas antara subjective well-being dan internet addiction, terdapat signifikansi sebesar 0,315 (p>0,05). Hal ini menunjukkan hubungan keduanya bersifat linear.

Analisis Deskriptif

a. Variabel Internet addiction

Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal dan standar deviasi sebagai standar pengukuran skala:

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Internet_Addiction * SWB Between

Groups

(Combined) 7104.433 58 122.490 244.980 .051

Linearity 1.724 1 1.724 3.448 .315

Deviation from

Linearity 7102.710 57 124.609 249.218 .050

Within Groups .500 1 .500

(19)

Tabel 3

Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Internet addiction

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui skor internet addiction paling tinggi adalah 69 dan paling rendah 18. Skor rata-ratanya adalah 36,47 dengan standar deviasi 10,974. Skala internet addiction memiliki 18 aitem dengan lima kategori jawaban yaitu jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering, dan selalu. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 5. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 5 x 18 = 90 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 18 =18. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:

(20)

Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu 0% partisipan berada dalam kategori sangat tinggi, 5% tinggi, 10% sedang, 43,3% rendah dan 41,6% sangat rendah. Maka secara umum dapat dikatakan tingkat internet addiction pada subyek tergolong rendah.

b. Variabel SWB (Kepuasan Hidup)

Tabel 5

Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Kepuasan Hidup

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Kepuasan_hidup 60 112 181 149.08 15.648

Valid N (listwise) 60

Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui skor kepuasan hidup paling tinggi adalah 181 dan paling rendah 112. Skor rata-ratanya adalah 149,08 dengan standar deviasi 15,648. Skala kepuasan hidup memiliki 31 aitem dengan enam kategori jawaban yaitu sangat setuju, setuju, agak/sedikit setuju, agak/sedikit tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 6. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 6 x 31 = 186 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 31 =31. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:

18 ≤ x < 32,4 Sangat Rendah 25 41,6%

(21)

Tabel 6 40% partisipan berada dalam kategori sangat tinggi, 51,67% tinggi, 8,33% sedang, 0% rendah dan 0% sangat rendah. Maka secara umum dapat dikatakan tingkat kepuasan hidup pada subyek tergolong tinggi.

c. Variabel SWB (Afek)

Tabel 7

Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Afek

Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui skor afek paling tinggi adalah 35 dan paling rendah 10. Skor rata-ratanya adalah 21,42 dengan standar deviasi 6,132. Skala PANAS

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

PANAS 60 10 35 21.42 6.132

(22)

memiliki 8 aitem dengan lime kategori jawaban yaitu sangat sedikit/tidak sama sekali, sedikit, rata-rata, agak banyak, dan sangat banyak. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 5. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 5 x 8 = 40 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 8 =8. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:

Tabel 8

(23)

Analisis Korelasi

Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas dan linearitas, hubungan antara kedua variabel didapati berdistribusi normal dan bersifat linear. Dengan demikian uji korelasi yang digunakan adalah pearson product moment dengan menggunakan SPSS 16.0 Berdasarkan hasil uji korelasi, didapatkan hubungan sebesar -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction pada remaja.

Tabel 7

Uji Korelasi Subjective Well- Being dan Internet addiction

Correlations

internet_addiction Pearson Correlation -.016 1

Sig. (1-tailed) .453

N 60 60

Tabel 8

Uji Korelasi Kepuasan Hidup dan Internet addiction

Correlations

internet_addictio

n kepuasan_hidup

internet_addiction Pearson Correlation 1 -.119

Sig. (1-tailed) .183

N 60 60

(24)

Sig. (1-tailed) .183

N 60 60

Tabel 9

Hasil Uji Korelasi Afek dan Internet addiction

Correlations

internet_addictio

n afek

internet_addiction Pearson Correlation 1 .100

Sig. (1-tailed) .224

N 60 60

afek Pearson Correlation .100 1

Sig. (1-tailed) .224

N 60 60

(25)

PEMBAHASAN

Hasil perhitungan korelasi product moment antara variabel subjective well-being dengan internet addiction didapatkan hasil r = -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05) Data tersebut menunjukkan bahwa variabel subjective well-being dengan internet addiction tidak memiliki hubungan negatif yang signifikan. Artinya, tinggi ataupun rendahnya tingkat subjective well-being belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini ditolak.

Berdasarkan hasil perhitungan, didapati kepuasan hidup sebagai salah satu komponen subjective well-being, memiliki korelasi negatif yang tidak signifikan dengan internet addiction dengan nilai r = -0,119 dan signifikansi sebesar 0,183 (p>0,05). Tinggi ataupun rendahnya kepuasan hidup belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction. Dari data yang ada, diketahui bahwa subjek penelitian memiliki tingkat kepuasan hidup tinggi (51,67%) dan tingkat internet addiction rendah (43,3%).

(26)

hidup yang tinggi pada umumnya memiliki relasi interpersonal yang baik serta sehat secara fisik dan mental. Selain itu beberapa ilmuwan menyatakan bahwa kepuasan hidup yang tinggi dapat mencegah gangguan psikis yang dapat muncul karena pengalaman-pengalaman hidup yang menekan (Saric, Brajsa & Sakic, 2008).

Sementara itu hasil perhitungan juga menunjukkan adanya nilai korelasi afek dengan internet addiction sebesar 0,100 dengan signifikansi 0,224 (p>0,05) yang berarti ada tidak korelasi positif yang signifikan antara afek dalam hal ini afek negatif dengan internet addiction. Dengan demikian tinggi atau rendahnya afek yang dirasakan belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa, variabel psikologis seperti kesepian, depresi, kecemasan dan stres diketahui memiliki korelasi dengan penggunaan internet bermasalah. Bagi remaja, internet digunakan untuk mengatasi stres dengan cara menghindar dari tugas kognitif dengan melakukan aktivitas pengalihan (Panicker & Sachdev, 2014). Pendapat lain yang sejalan dengan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh Seifi, Ayati & Fadaei (2014) dimana dikatakan untuk menentukan hubungan antara kecemasan dan stres dengan internet addiction, kita dapat menetapkan bahwa kecemasan yang tinggi dan stres bisa ada sebelum penggunakan internet, di mana individu yang merasa cemas, menggunakan internet sebagai pelarian.

(27)

ada maupun teman baru serta untuk bersenang-senang (Flora, nd). Dengan demikian, alasan remaja menggunakan internet tidak selalu karena ingin melarikan diri dari emosi negatif.

Dari penelitian, didapati tingkat internet addiction yang tergolong rendah pada subyek, yaitu 43,3%. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Sazmas, Tayar dkk (2013) yang menyatakan bahwa resiko internet addiction terbilang tinggi di kalangan siswa SMA. Remaja pada umumnya mengalami perubahan-perubahan serius dalam masa perkembangan sehingga mereka lebih mudah terbawa oleh lingkungan internet yang menarik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara subjective well-being dengan intenet addiction pada remaja, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction yang ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar -0,016 dengan signifikansi 0,453 (p>0,05) yang berarti tinggi atau rendah tingkat subjective well being belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction.

2. Tingkat internet addiction sebagian besar subyek tergolong rendah yaitu 43,3%, tingkat kepuasan hidup tergolong tinggi yaitu 51,67% dan tingkat afek dalam hal ini afek negatif tergolong rendah yaitu 43,3%.

(28)

Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, beberapa hal yang disarankan sebagai berikut:

1. Bagi Remaja

Remaja dapat mempertahankan tingkat kepuasan hidup yang dimiliki. Dengan cara menambah aktivitas yang membangun remaja ke arah positif. Remaja juga diharapkan dapat mengontrol penggunakan internetnya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dari hasil penelitian ini diketahui masih banyak kekurangan. Peneliti selanjutnya dapat memperluas populasi dan jumlah sampel penelitian. Selain itu peneliti selanjutnya juga dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi internet addiction seperti gender, kondisi sosial ekonomi dan alasan penggunaan internet. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti secara lebih spesifik faktor psikologis seperti kesepian, kontrol diri, self-esteem serta faktor psikologis lain yang mempengaruhi internet addiction.

DAFTAR PUSTAKA

Arnet, J.J (1999) Adolescent Storm and Stres, Reconsidered. American Psychologist. 54(5). 317-326

Ayas, T& Horzu, M. Relation Between Depression, Loneliness,Self-Esteem And Internet addiction. Education. 133(3)

(29)

Bhakti, T.(2013). Pengertian Internet Manfaat dan Kegunaan Internet Secara Umum.

Diunduh pada 04 Mei 2015, dari

http://karangtarunabhaktibulang.blogspot.com/2013/05/pengertian-internet-manfaat-dan-kegunaan-internet-secara-umum.html

Cardak, M. (2013). Psychological Well-Being And Internet addiction Among University Students. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational Technology. 12(3)

Celik, V., Yesilyurt, E., Korkmaz, O & Usta, E (2014). From the Prespective of Loneliness and Cognitive Absorption Internet addiction as Predictor and Predicted. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 10(6): 581-594

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bullentin. 95 (3), 542-575

Ehrlich, B. S & Isaacowitz, D. M (2002). Does Subjective well-being Increase with Age? Perspective in Psychology. 21-26

Evren, C., Dalbudak, E., Evren, B & Demirci, A.C. (2014). High Risk of Internet addiction and Its Relationship With Lifetime Substance Use, Psychological and Behavioral Problems Among 10th Grade Adolescents. Psychiatria Danubina. 26 (4), 330-339

Fajarwati, D. I. (2014). Hubungan Dukungan Sosial dan Subjective well-being pada Remaja SMP N 7 Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Program Studi Psikologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Flora, K. Internet addiction Disorder Among Adolescents And Young Adults: The Picture In Europe And Prevention Strategies. Perspective on Youth. 119-132

(30)

Huebner, S.E. (2001). Manual for the multidimensional student’s life satisfaction scale.

Diunduh pada 10 September 2015 dari

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source

Isiklar, A & Sar, A. H. (2011). Internet addiction Among Adolescents and Its Relation to Subjective well-being. International Journal of Academic Research. 3(6) II Part

Karim, Rezaul A.K.M (2014). The Impact of Internet addiction on Life Satisfaction and Life Engagement in Young Adults. Universal Journal of Psychology. 2(9), 273-284

Lichtenberg, A (2012). Kasus Kecanduan Internet Meningkat. Diunduh pada 21 Mei 2015 dari http://www.dw.de/kasus-kecanduan-internet-meningkat/a-15995770

Moghaddam, H., & Malmir T (2015). Investigating the Relationship between Subjective Well- being and Students’ Addiction to Internet among Female Students (case study: Guidance Schools and High Schools of Districts 4 and 8 of Tehran). Magnt Research Report. 3 (1). 723-731

Ningtyas, S. D (2012). Hubungan Antara Self-Control dengan Internet addiction pada Mahasiswa. Educational Psychology Journal.

Oladipo, S. E., Olapegba, P. O., Adenaike, F. A. Evidence of Low Life Satisfaction Among Undergraduates in Southwest Nigeria. International Journal of Asian Social Science. 2 (10), 1718-1723

S, Sahin., K, Ozdemir & A, Unsal. Evaluation of The Relationship Between Internet addiction and Depression in University Students. Medicinski Glasnik. Str. 14-27

Saptanto, H. N. (2010). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga dengan Kesepian pada Remaja. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana

(31)

Sazmas, T., Oner, Seva., Kurt, O. A.,& Yapici, Gulcin. (2013). Prevalence and risk factors of Internet addiction in high school students. The European Journal of Public Health. 24 (1), 15-20

Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS Statistic Parametric. Jakarta: Alex Media Komputindo.

Setyawan, F. A. (2014). Hubungan Antara Religiusitas Dan Subjective Well Being Pada Remaja Islam Salatiga. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana

Seifi, A., Ayati, M & Fadaei, M (2014). The Study of the Relationship between Internet addiction and Depression, Anxiety and Stres among Student of Islamic Azad University of Birjand. International Journal of Economy, Management and Social Sciences. Vol.3(12).28-32

Smahel, D., Brown, Bradford B., & Blinka, L (2012). Associations Between Online Friendship and Internet addiction Among Adolescents and Emerging Adults. Developmental Psychology. 48.(2), 381-388

Sugiyono (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta .

Suwito, L. D. (2013). Hubungan Komitmen Dalam Berpacaran Dengan Subjective well-being Pada Mahasiswa UKSW Salatiga yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak Jauh. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana.

Sasmaz, T., Oner, S., Kurt, A. O., Yapici, G., Bugdayci, R., & Sis, M. (2013). Prevalence And Risk Factors Of Internet addiction In High School Students. Eur J Public Health. 24 (1), 15-20

Panicker, J & Sachdev, R. (2014). Relation Among Lonelines, Depression, Axiety, Stres And Problematic Internet Use.Impact. International Journal of Research in Applied, 2(9), 1-10

(32)

http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internet-indonesia-naik-430-persen-grafik/

Putri, N. (2013). Subjective well-being Mahasiswa yang Menggunakan Internet Secara Berlebihan. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2(1)

Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief Measures of Positive and Negative Affect: The PANAS Scales. Journal of Personality and Social Psychology. 54(6), 1063-1070.

Yilmaz, H & Arslan, C. (2013). Subjective well-being, Positive and Negative Affect in Turkish University Students. TOJCE, 2(2), 1-8

Young, K. (2004). Internet addiction: A New Clinical Phenomenon and Its Consequences. American Behavioral Scientist. 48(2), 402-415

Yusuf, O. (2014). Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia. Diunduh pada 21

Mei 2015 dari

http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/pengguna.internet.indonesia . nomor.enam.dunia

Yusuf, O. (2015). Kecanduan Internet, Remaja Potong Tangan Hingga Putus. Diunduh

pada 21 mei 2015 dari

Gambar

Tabel 3 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala
Tabel 5 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Kepuasan Hidup
Tabel 6  Kategorisasi Pengukuran Kepuasan Hidup Remaja
Tabel 8  Kategorisasi Pengukuran Afek
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perlokusi adalah sebuah tuturan yang disampaikan terkadang mempunyai daya pengaruh, Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu, sedangkan Ilokusi adalah

Memperkaya wawasan bagi pendidik dalam dunia pendidikan pada lembaga PAUD khusunya dan untuk meningkatkan mutu pendidikan anak melalui metode permainan menggunting

Sehubungan dengan tidak adanya peserta yang lulus evaluasi teknis pada pelaksanaan pengadaan pekerjaan Pembangunan Pembangkit Listrik Surya (PLTS) Terpusat di

Pada hari ini, Senin tanggal Delapan Bulan September Tahun Dua Ribu Empat Belas pukul 10.00 WITA sampai dengan 11.00 WITA, Pokja Unit Layanan Pengadaan Kabupaten

Dapat menyelesaikan tugas dengan perbedaan teori-praktik &lt; 25% : skor 100 data sudahd. terkumpul semua, tidak selesai dalam menghitung perbedaan teori-praktik skor:

Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi linkungan yang tidak

- Dititrasi dengan HCL sampai warna kuning berubah menjadi warna pink (Perubahan warna tidak terlalu kentara dan oleh karena itu harap hati-hati dalam menentukan titik akhir

Evaluasi perawat terhadap pasien dengan masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespon rangsangan nyeri, diantaranya: klien melaporkan adanya