• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suatu Penelitian Mengenai Perbedaan Self-Compassion pada Perempuan Bekerja yang Sudah Menikah dan yang Belum Menikah di PT "X" Purwakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suatu Penelitian Mengenai Perbedaan Self-Compassion pada Perempuan Bekerja yang Sudah Menikah dan yang Belum Menikah di PT "X" Purwakarta."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui perbedaan self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT “X” Purwakarta. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 150 orang yang terdiri dari 75 perempuan bekerja yang sudah menikah dan 75 perempuan bekerja yang belum menikah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode diferensial.

Alat ukur yang digunakan merupakan terjemahan dari alat ukur asli yang diciptakan oleh Dr. Kristen Neff (2003) dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Missiliana Riasnugrahani, M.Si.,Psik (2013) kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Eveline Sarintohe, M.Si dan disetujui oleh Dr. Kristen Neff. Alat ukur ini terdiri dari 26 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan Pearson program SPSS 20.0.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, diperoleh nilai signifikansi self-compassion adalah 0,430. Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai

signifikansi (0,430) nilainya lebih besar daripada nilai α (0.05), artinya tidak

terdapat perbedaan antara self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah menikah dan yang belum menikah. Saran peneliti adalah menambahkan faktor lain yang lebih menunjang.

(2)

ABSTRACT

This research conducted to acknowledge the differences of self-compassion between career woman whose married and single career woman at the “X” Company Purwakarta. The sample chosen with the purposive sampling. The total samples are 150 (75 career woman already married, and 75 career woman still singles). The research method used is the differential method.

The translation of measuring instrument is translated ftom the original that have been created by Dr. Kristen Neff (2003) and translated into Indonesian by Missiliana Riasnugrahani, M.Si.,Psik (2013) then back to English by Eveline Sarintohe, M.Si and the measurement was sent back and approved by Dr. Kristen Neff. This measuring istrument consists of 26 items. The data were analyzed and processed with pearson using the SPSS 20.0 programs.

The 2-tailed significance value obtained from the analysis was 0.430 with

an α of 0.05, that means there is no differences between self-compassion of the

career woman whose married ad single. The suggestions that can be given by the observer is adding more factors that can be more supportive.

Keywords: self-compassion, the differential method, career woman whose married, single career woman.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI...……… v

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identfikasi Masalah ... 14

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 14

1.3.1 Maksud ... 14

1.3.2 Tujuan ... 14

1.4 Kegunaan Penelitian ... 15

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 15

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 15

(4)

1.6 Asumsi ... 23

1.7 Hipotesis Penelitian ... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 24

2.1 Definisi Self-Compassion ... 24

2.2 Komponen Self-Compassion ... 27

2.3 Interkorelasi Komponen Self-Compassion ... 30

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 32

2.4.1 Faktor Internal ... 32

2.4.1.1 Personality ... 32

2.4.2 Faktor Eksternal ... 33

2.4.2.1 The Role of Parents... 33

2.4.2.2 The Role of Culture ... 37

2.4.3 Manfaat dari Self-Compassion ... 38

2.5 Dewasa Awal ... 41

2.5.1 Pengertian Dewasa Awal ... 41

2.5.2 Perkembangan Fisik ... 42

2.5.3 Perkembangan Kognitif ... 42

2.6 Sex Role ... 44

2.7 Pernikahan dan Keluarga ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 48

3.1 Rancangan Penelitian ... 48

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 49

(5)

3.3.1 Variabel Penelitian ... 49

3.3.2 Definisi Konseptual ... 49

3.3.3 Definisi Operasional ... 50

3.4 Alat Ukur ... 51

3.4.1 Kuesioner Self-Compassion ... 51

3.4.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 52

3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 52

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 53

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 53

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 53

3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 54

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 55

3.5.1 Populasi Sasaran ... 55

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 55

3.5.3 Teknik Penarikan Populasi ... 55

3.6 Teknik Analisis Data... 56

3.7 Hipotesis Statistik ... 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 57

4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 57

4.1.1 Usia Responden Penelitian ... 57

4.1.2 Masa Kerja Responden Penelitian... 58

4.2 Hasil Penelitian ... 58

(6)

4.2.2 Perbandingan derajat Self-Compassion ... 61

4.3 Pembahasan... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 SIMPULAN ... 69

5.2 Saran ... 69

5.2.1 Saran Teoretis ... 69

5.2.2 Saran Praktis ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

DAFTAR RUJUKAN... 73

(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Pikir. ... 21

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur Self-Compassion ... 51

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion... 52

Tabel 4.1 Usia Responden Penelitian... 57

Tabel 4.2 Masa Kerja Responden Penelitian ... 58

Tabel 4.3 Hasil Uji Mann Whitney untuk Self-Compassion ... 59

Tabel 4.4 Hasil Uji Mann Whitney untuk Komponen Self-Compassion ... 60

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Bukti Pengambilan Data

LAMPIRAN 2 Lembar Persetujuan

LAMPIRAN 3 Kuesioner Pengambilan Data

LAMPIRAN 4 Kisi-kisi Alat Ukur

LAMPIRAN 5 Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

LAMPIRAN 6 Hasil Uji Mann Whitney

LAMPIRAN 7 Tabel-tabel

LAMPIRAN 8 Data Mentah

LAMPIRAN 9 Profil Perusahaan

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Santrock memasuki perkembangan masa dewasa adalah ketika

individu memiliki kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat

keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, hubungan keluarga dan gaya

hidup. Ini adalah dua kriteria yang diajukan sebagai permulaan dari masa dewasa.

Bagi individu memenuhi tuntutan karir dan menyesuaikan diri dengan peran yang

baru adalah penting dalam perkembangan orang dewasa pada saat ini (Heise,

1991; Smither,1988 dalam Santrock). Seiring dengan perkembangan zaman dan

pertumbuhan ekonomi yang pesat, para perempuan terdorong untuk terjun

langsung dalam dunia profesional dengan bekerja, disamping itu juga untuk ikut

serta dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Dalam era global sekarang ini,

ilmu pengetahuan dan teknologi pun berkembang dengan pesatnya yang

menyebabkan semakin terkikisnya sekat-sekat yang memisahkan antara laki-laki

dan perempuan untuk bekerja.

Perempuan pada zaman sekarang ini sudah bisa dengan bebas menempuh

pendidikan setinggi-tingginya dan ketersediaan lapangan pekerjaan untuk

perempuan pun sudah banyak, sehingga memberikan peluang yang besar bagi

(11)

2

meningkat angka perempuan bekerja, demikian pula pada perempuan yang sudah

berkeluarga.

Perempuan yang berkeluarga umumnya mengombinasikan tugas sebagai ibu

dengan kegiatan bekerja, karena bekerja juga merupakan bagian dari kehidupan

perempuan (Crawford & Unger, 2000). Terdapat beberapa alasan para perempuan

untuk ikut bekerja, diantaranya adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan

bagi keluarga, sarana aktualisasi diri, atau sekedar menambah pertemanan dan

hubungan sosial di luar lingkup rumah tangga. Perempuan yang bekerja pada

dasarnya memiliki konsekuensi positif maupun negatif khususnya karena harus

menjalani peran sebagai istri, ibu sekaligus pekerja. Dari peran seorang

perempuan sebagai istri, ibu dan pekerja memiliki tuntutan yang berbeda-beda

dan tidak jarang dari tuntutan tersebut dapat menimbulkan tekanan yang berimbas

negatif bagi hubungan suami-istri dan perkembangan anak (Hoffman & Nye,

1984).

Tidak ditemukan data statistik yang memaparkan secara jelas mengenai

jumlah perempuan yang bekerja di Indonesia. Berdasarkan data statistik terakhir

yaitu pada bulan Agustus 2012 dari Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan

menyebutkan jumlah penduduk perempuan bekerja yang berada di Jawa Barat

dari umur 15 - >55 tahun ada sebanyak 6.146.932 orang dari total penduduk Jawa

Barat yang bekerja sebanyak 18.321.108 orang. Untuk data statistika jumlah

perempuan yang bekerja dari umur 15 - >55 tahun di Kabupaten Purwakarta

sebanyak 127.857 orang dari jumlah total pekerja yang ada di Kabupaten

(12)

3

perempuan yang bekerja di Purwakarta.

(http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/)

PT “X” di Purwakarta adalah perusahaan yang bergerak dibidang peralatan

elektrik seperti kawat dan kabel untuk bagian dalam dari perangkat listrik dan

elektronik, misalnya untuk printer. Sebagian besar pekerjanya sekitar 700 orang

dari 1000 pegawai adalah perempuan, dengan hari kerja Senin sampai Sabtu.

Waktu bekerja sebanyak depalan jam untuk hari Senin sampai Jumat, jadwal

kerja terbagi dua shift yaitu pukul 06.00-14.00 dan 14.00-22.00. Sedangkan waktu

kerja untuk hari Sabtu sebanyak lima jam, jadwal kerja juga terbagi dua shift yaitu

pukul 06.00-11.00 dan 11.00-16.00. Pekerja dalam satu bulan bergantian

mendapatkan jadwal lembur, waktu bekerjanya sebanyak 12 jam, jadwal kerjanya

juga dibagi dua shift yaitu pukul 06.00-18.00 dan 18.00-06.00. Selama jam kerja,

pekerja tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan telepon genggam.

Jadwal kerja inilah yang dapat menyita waktu bersama keluarga dan waktu untuk

dirinya sendiri baik untuk perempuan bekerja yang sudah menikah dan yang

belum menikah. Selanjutnya dalam pemaparan perempuan bekerja yang sudah

menikah dan yang belum menikah di PT “X” Purwakarta akan disebut responden.

Berdasarkan survai awal yang dilakukan oleh peneliti pada 10 orang

perempuan bekerja yang sudah menikah, alasan utama seluruh responden bekerja

adalah untuk menyukupi kebutuhan ekonomi keluarga, guna menutupi kebutuhan

anak. Selain menambah penghasilan, ada tiga dari 10 responden perempuan

bekerja yang sudah menikah memiliki alasan bekerja untuk menambah

(13)

4

Tetapi disisi lain, pilihan untuk bekerja ini bukan tanpa risiko atau konsekuensi

yaitu pada saat responden bekerja, waktu bersama suami, keluarga dan

anak-anaknya pun berkurang, begitu juga dengan waktu untuk diri responden itu sendiri

tentunya akan berkurang. Selama responden bekerja, anak-anak harus dititipkan

pada orang lain atau sanak keluarganya. Ini artinya responden tidak bisa

mendampingi anak-anaknya setiap saat karena harus bertanggungjawab juga pada

pekerjaannya. Para responden menitipkan anak-anaknya pada orangtua (nenek),

mertua, adik atau kakak kandung dan kakak iparnya. Sekalipun telah menitipkan

anak-anaknya kepada sanak keluarga, tetap saja responden memiliki rasa was-was

akan keadaan anak-anaknya terlebih jika saat ditinggal bekerja, anak sedang sakit.

Hasil survai awal yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap 10 responden

perempuan bekerja yang sudah menikah di PT “X” Purwakarta, pengalaman yang

dialami oleh dua dari 10 responden yaitu ketika suami atau anaknya sakit lalu

responden harus tetap pergi bekerja, walaupun pada awalnya responden memiliki

perasaan khawatir,cemas, merasa dirinya memiliki kekurangan dalam hal waktu

tapi perasaaan tersebut tidak berlangsung lama karena dua responden ini yakin

bahwa meninggalkan keluarga untuk bekerja dengan tujuan yang baik, yaitu untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ia tidak terlalu merasa bersalah pada

dirinya.

Sedangkan delapan dari 10 responden yang sudah menikah mengalami

pengalaman yang sama yaitu pengalaman ketika anak, suami atau keluarga ada

yang sedang sakit, responden tidak dapat menemani karena harus tetap pergi

(14)

5

dirinya memiliki ketidaksempurnaan fleksibillitas waktu dalam hal mengurus

keluarga, terutama karena harus tetap meninggalkan suami atau anak-anaknya

yang sedang sakit. Adapun satu dari delapan responden ini pernah merasakan

pengalaman saat anak harus masuk rumah sakit karena muntaber, namun tidak

dapat mendampinginya di rumah sakit karena tidak mendapat izin untuk

meninggalkan pekerjaan. Ada juga satu responden lainnya tidak bisa

mendampingi anaknya ketika pertama kali masuk sekolah, sehingga membuatnya

sedih, sementara anak yang bersangkutan mengeluhkan ingin ditemani.

Survai awal yang dilakukan peneliti pada 10 orang perempuan bekerja yang

belum menikah di PT “X” Purwakarta. Alasan utama dari 10 responden bekerja

adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, selain itu ada alasan-alasan lain

diantaranya, dua dari 10 responden memiliki alasan untuk bekerja adalah ingin

mendapatkan pengalaman, dua responden lain memiliki alasan bekerja untuk

membantu keluarga dan satu responden lain alasan bekerja karena tidak memiliki

bakat berwirausaha maka dari itu ia memilih untuk bekerja di perusahaan. Seluruh

responden perempuan bekerja yang belum menikah ini pernah mendapatkan

jadwal lembur.

Kegiatan sehari-hari yang dilakukan tujuh dari 10 responden hanyalah

bekerja, sedangkan ada beberapa responden yang memiliki kegiatan lain selain

bekerja di perusahaan yaitu, satu dari 10 responden mengajar les membaca untuk

anak-anak TK pada malam harinya, selain itu satu dari 10 responden lainnya

melakukan kegiatan berjualan. Para orang tua dari 10 responden seluruhnya

(15)

6

pernah diprotes oleh orangtuanya karena hari libur masih saja masuk kerja, waktu

berkumpul bersama keluarga khususnya orangtua semakin sedikit jika hari libur

masih dipakai responden untuk bekerja, terkadang orangtua juga selalu khawatir

jika responden kerja lembur atau pulang malam. Sedangkan tiga dari 10

responden tidak pernah diprotes oleh orangtuanya karena orangtua sangat

mengerti tanggungjawab responden terhadap pekerjaannya dan sudah

menganggap responden telah dewasa jadi bisa mengatur kehidupannya sendiri.

Dalam rutinitas sehari-hari dua dari 10 responden tidak merasa jenuh

menjalaninya, responden cenderung menikmati rutinitas kegiatan sehari-harinya.

Sedangkan untuk delapan dari 10 responden pernah merasa jenuh dengan rutinitas

kesehariannya, alasan para responden merasa jenuh antara lain karena bosan

dengan rutinitas yang sama setiap harinya, jenuh karena kerjaan banyak dan harus

cepat diselesaikan. Tapi disisi lain para 10 responden yang belum menikah ini

merasa menikmati pekerjaanya karena lingkungan pekerjaan yang nyaman, hasil

dari kerja juga bermanfaat bagi kehidupannya dan para responden juga selalu

bersyukur memiliki pekerjaan dimana saat sekarang ini mendapatkan pekerjaan

itu sulit. Para 10 responden ini merasa waktunya tersita untuk bekerja, waktu

bersama keluarga dan waktu untuk diri sendiri semakin sedikit, apalagi jika

responden diharuskan memakai waktu liburnya untuk lembur.

Dalam pekerjaannya, delapan dari 10 responden pernah melakukan kesalahan

pada saat bekerja, responden merasa telah lalai, merasa gagal dan bersalah karena

tidak bisa teliti dalam mengerjakan tugasnya, sehingga membuat responden

(16)

7

merasakan perasaan tersebut, setelah diberikan teguran mereka akan lebih teliti

dan berhati-hati dalam melakukan kegiatannya, mereka juga merasa kesalahan

yang mereka buat juga pernah dilakukan oleh para pekerja perempuan lainnya.

Sedangkan dua dari 10 responden merasa tidak pernah melakukan kesalahan

dalam pekerjaannya.

Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang sering dialami oleh para

responden baik itu perempuan bekerja yang sudah menikah dan yang belum

menikah. Para responden memiliki ikatan kerja yang ketat, yang

mengharuskannya tetap melakukan tanggung jawab sebagai pekerja sesuai dengan

jam kerjanya. Ikatan kerja yang ketat dimaksudkan adalah aturan yang sudah jelas

ditetapkan oleh pihak perusahaan mengenai izin, perusahaan tidak selalu dengan

mudah memberikan izin untuk tidak masuk kerja, adanya konsekuensi

pemotongan gaji apabila responden tidak masuk kerja atau terlambat datang, tidak

boleh menggunakan telepon genggam selama bekerja dan waktu kerja untuk

lembur setiap bulannya selama 12 jam. Kenyataan itu tidak terelakkan, mau tidak

mau harus dipenuhi oleh para responden, mengingat responden tetap perlu

memertahankan pekerjaan karena memerlukan tambahan penghasilan. Munculnya

rasa bersalah, cemas, kecewa dan merasa diri memiliki ketidaksempurnaan akibat

telah meninggalkan anak dan keluarga untuk bekerja dan menyerahkan perawatan

anaknya pada orang lain atau mengalami kegagalan dalam pekerjaan yaitu

(17)

8

Adapun artikel-artikel yang membahas tentang perasaan bersalah terhadap

anak yang dialami ibu bekerja, salah satunya mengungkapkan bahwa perasaan

bersalah muncul karena anak akan berkembang lebih baik bila mendapatkan

banyak belaian, cinta, kasih sayang, perawatan dan perhatian sepanjang hari dari

ibunya. Namun untuk ibu yang bekerja tidak bisa melakukannya setiap saat,

karena ada tanggung jawab pekerjaan, sehingga harus melimpahkan masalah

pengasuhan dan perawatan anak ketika bekerja pada orang lain

(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga).

Tanggungjawab responden perempuan bekerja yang sudah menikah di

Perusahaan sebagai pekerja dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ketika

responden pulang kerja, kedua kegiatan tersebut akan menyita waktu, sehingga

responden tidak memiliki waktu luang untuk dirinya sendiri maupun waktu lebih

untuk suami dan anak. Responden memiliki kegiatan yang kompleks yaitu antara

kegiatan bekerja dan kegiatan mengurus rumah tangga. Responden mengharuskan

dirinya meninggalkan anak-anaknya ketempat kerja setiap hari, tanpa dapat

memilih keadaan yang tengah dihadapi anak. Adakalanya anak, suami sedang

sakit sehingga sangat membutuhkan kehadiran responden. Keadaan ini dapat

menimbulkan perasaan bersalah, cemas, khawatir terhadap kondisi keluarga

dirumah dan dapat menjadi penderitaan akan ketidaksempurnaan tersendiri bagi

responden perempuan bekerja yang sudah menikah. Sedangkan untuk perempuan

bekerja yang belum menikah memiliki tanggungjawab yang lebih sedikit

dibandingkan dengan perempuan bekerja yang sudah menikah, perempuan bekerja

(18)

9

sehingga ketika mereka pulang sehabis bekerja mereka bisa langsung beristirahat,

perempuan bekerja yang belum menikah pun akan kekurangan waktu bersama

keluarganya karena sebagian waktunya dihabiskan untuk bekerja dan apabila

perempuan bekerja yang belum menikah melakukan kesalahan dalam pekerjaan

maka responden akan merasa gagal dalam mengemban tanggungjawab.

Self-compassion akan melihat dirinya sebagai perempuan bekerja dan

membandingkan dengan perempuan lain yang mengalami hal serupa, sehingga

fenomena-fenomena itu dapat dimaklumi dan bukan sebagai dasar untuk

menyalahkan diri sendiri dan menganggap perempuan pekerja lain tidak pernah

mengalami fenomena-fenomena tersebut. Self-compassion juga membantu para

responden untuk menghargai dirinya sendiri, bukan berarti seorang perempuan

bekerja yang selalu menitipkan anaknya pada orang lain, tidak menyayangi

anak-anaknya, melainkan maksud dan tujuan pun untuk memenuhi semua kebutuhan

anaknya.

Self-compassion (Neff, 2003) didefinisikan sebagai keterbukaan dan

kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari

penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri

ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa

menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami

semua manusia. Self-compassion dapat membawa pengaruh yang positif dalam

kehidupan seseorang, antara lain akan meningkatkan indeks kepuasaan hidup,

emotional intelligence yang lebih baik, kebijaksanaan, kebahagiaan, rasa

(19)

10

kegagalan (Neff, 2009). Self-compassion memiliki tiga komponen yaitu

self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

Self-compassion mencakup memahami dan baik terhadap diri ketika sedang

mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghindar dan

menghakimi diri sendiri. Apabila responden sedang mengalami suatu penderitaan,

kegagalan atau ketidaksempurnaan terhadap diri, self-compassion akan membuat

responden bersikap menerima dan memahami penderitaan, kegagalan ataupun

ketidaksempurnaan tersebut tanpa harus menyalahkan diri sendiri, dan

self-compassion akan membuat responden dapat melihat bahwa penderitaan yang

dialaminya dapat pula dialami oleh orang lainnya.

Komponen yang pertama dari self-compassion adalah self-kindness, merujuk

pada seberapa besar kemampuan untuk bersikap baik dan memahami diri sendiri

tanpa melakukan penilaian atau self-criticisim terhadap kekurangan, kegagalan,

dan pengalaman yang menyakitkan (Neff, 2003). Self-kindness akan membuat

responden tidak mengeritiki diri pada saat menghadapi kekurangan, kegagalan

atau ketidaksempurnaan dan pengalaman yang menyakitkan, self-kindness juga

akan menuntun responden bersikap baik terhadap diri dan menyoba memahami

apa yang sedang dialaminya. Ketika aturan-aturan yang ketat di perusahaan

menimbulkan masalah tertentu, misalnya ketika responden perempuan bekerja

yang sudah menikah ataupun yang belum menikah membutuhkan izin untuk tidak

masuk kerja karena anak atau keluarga ada yang sakit namun ternyata dari pihak

perusahaan tidak mengizinkan, self-kindness juga akan membuat responden

(20)

11

baik terhadap diri sendiri dengan tidak mengeritik diri. Mungkin beberapa

perempuan bekerja yang sudah menikah akan bersikap lebih keras terhadap

dirinya karena tidak mendapatkan izin untuk menemani anak atau suami yang

sedang sakit dirumah, akan bersikap lebih mengeritiki diri dan merasa bersalah

karena tidak bisa menjadi ibu yang dapat menemani anaknya setiap saat.

Sedangkan untuk para perempuan bekerja yang belum menikah mungkin lebih

dapat bersikap baik terhadap dirinya, lebih bisa dapat menerima keputusan

perusahaan yang tidak mengizinkannya untuk tidak bekerja, sehingga tidak

mengeritiki diri sendiri, walaupun mungkin ada perasaan khawatir pada

keluarganya yang sedang sakit namun perempuan bekerja yang belum menikah

akan dapat bersikap baik terhadap dirinya dan lebih dapat memberikan pengertian

terhadap dirinya.

Komponen yang kedua adalah common humanity, merujuk pada seberapa

besar kemampuan untuk melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami

semua manusia, bukan hanya dialami oleh dirinya sendiri (Neff, 2003). Common

humanity akan membantu responden melihat suatu kejadian baik itu kegagalan

ataupun ketidaksempuraan yang dimiliki diri dapat juga dialami atau dimiliki oleh

orang lain. Misalnya ketika responden perempuan bekerja yang sudah menikah

dan yang belum menikah dihadapkan pada situasi kerja yang tidak boleh

membawa dan mempergunakan telepon genggam sehingga responden selama

bekerja tidak bisa mengetahui keadaan di rumah, baik itu dihubungi ataupun

menghubungi. Perempuan bekerja yang sudah menikah akan lebih khawatir

(21)

12

memikirkan keadaan rumah khususnya anak dibandingkan dengan perempuan

bekerja yang belum menikah.

Perempuan bekerja yang sudah menikah akan lebih sulit untuk melihat

keadaan sekitarnya karena terfokus pada kekhawatirannya terhadap anak dirumah

dan merasa lebih memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan sebagai ibu,

sehingga memunculkan rasa malu untuk berbagi kepada perempuan bekerja

lainnya di perusahaan karena merasa tidak berguna. Di perusahaan pun jumlah

pekerja perempuan yang sudah menikah lebih sedikit jumlahnya di bandingkan

dengan perempuan bekerja yang belum menikah. Hal ini pun membuat

perempuan bekerja yang sudah menikah tidak langsung dapat memaklumi hal

tersebut karena tidak dapat melihat bahwa teman-teman kerja yang lainnya pun

mengalami hal yang sama. Sedangkan di perusahaan jumlah perempuan bekerja

yang belum menikah lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan bekerja yang

sudah menikah, membuat para responden perempuan bekera yang belum menikah

lebih cepat dapat melihat keadaan sekitarnya bahwa aturan tidak boleh membawa

telepon genggam itu diberlakukan untuk seluruh pegawai, dan perempuan bekerja

yang belum menikah dapat melihat perempuan bekerja lainnya pun merasakan

yang sama.

Komponen yang ketiga adalah mindfulness, merujuk pada seberapa besar

kemampuan untuk menyadari dan menghadapi perasaan yang dirasakan saat

mengalami suatu kegagalan atau pengalaman yang menyakitkan, tanpa menekan

atau melebih-lebihkan perasaannya itu (Neff, 2003). Mindfulness akan membantu

(22)

13

mengalami kegagalan, ketidaksempurnaan atau penderitaan. Apabila pihak

perusahaan memberikan lembur pada saat hari libur responden perempuan bekerja

yang sudah menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah, maka waktu

untuk diri sendiri dan keluarga pun akan semakin berkurang karena bekerja dan

harus dituntut untuk lembur di hari libur. Hal ini membuat para responden

kecewa, kesal, sedih dan lain-lainnya karena waktunya untuk keluarga tersita lagi.

Perempuan bekerja yang sudah menikah mungkin akan lebih sulit menyadari dan

menghadapi perasaan ketika kebagian jadwal lembur dibandingkan dengan

perempuan bekerja yang belum menikah, karena perempuan bekerja yang sudah

menikah lebih memikirkan anak-anaknya yang ingin bercengkarama dengannya

pada saat libur namun tidak bisa karena ia harus tetap bekerja, sehingga

perempuan bekerja yang sudah menikah akan menekan atau melebih-lebihkan

perasaannya tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan juga para responden

perempuan bekerja yang sudah menikah dan yang belum menikah

mindfulness-nya akan tinggi karena dapat menerima dan menghadapi perasaanmindfulness-nya tersebut,

dan juga dapat berpikir bahwa mereka bekerja juga kan demi keluarganya juga.

Dalam kesehariannya perempuan bekerja yang sudah menikah menghadapi

tugas yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan bekerja yang belum

menikah, karena selain ada tugas pekerjaan yang harus dijalankan juga ada tugas

mengurus rumah tangga. Dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas,

peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran self-compassion pada perempuan

bekerja yang sudah menikah dan yang belum menikah di PT “X” Purwakarta.

(23)

14

logis, maka metode yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode riset

diferensial. Pada metode ini mensyaratkan sekurang-kurangnya memiliki dua

kelompok yang diteliti dengan variabel yang sama, lalu hasilnya akan

dibandingkan melalui uji beda.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana perbedaan self-compassion

perempuan bekerja yang sudah menikah dan perempuan yang belum menikah di

PT "X" Purwakarta.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran

perbedaan mengenai self-compassion perempuan bekerja yang sudah menikah

dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT "X" Purwakarta.

1.3.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui mengenai perbedaan

self-compassion berikut komponen-komponen yang mendukung yaitu

self-kindness, common humanity, dan mindfulness perempuan bekerja yang sudah

menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT "X" Purwakarta.

(24)

15

1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori-teori

Psikologi khususnya Psikologi Positif yang berkaitan dengan

pengetahuan tentang self-compassion.

• Memberikan masukan pada peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan mengenai self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberi informasi pada perempuan bekerja yang sudah menikah

dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT "X" Purwakarta

mengenai gambaran self-compassion yang dimiliki, sehingga

diharapkan dapat membantu mengembangkan diri dan

meningkatkan self-compassion yang dimiliki agar lebih sejahtera

dan dapat berpikir positif.

1.5 Kerangka Pemikiran

Individu dewasa dituntut hidup dengan mandiri dan tidak bergantung pada

orang lain. Pada awalnya, masa tersebut berarti waktu bagi laki-laki menetapkan

pekerjaannya sementara perempuan mengambil tanggung jawab sebagai seorang

ibu rumah tangga, peran yang akan sepanjang hidup dipegang. Sebagai

perempuan di zaman sekarang ini, tidak asing apabila melihat perempuan

memiliki peran sebagai ibu rumah tangga dan juga berperan sebagai pekerja di

(25)

16

kerja bagi perempuan. Perempuan bekerja yang sudah menikah harus siap

menghadapi tuntutan dan tanggung jawab seperti mendampingi suami, mengurus

anak, serta menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan juga harus siap

menghadapi tuntutan lain yaitu tuntutan dan tanggung jawab dari pekerjaan,

disamping tetap menghadapi urusan rumah tangga. Begitu juga dengan para

responden perempuan bekerja yang sudah menikah harus menjalankan peran istri,

ibu dan sekaligus pekerja. Waktu untuk melayani suami, waktu bersama keluarga,

anak dan juga waktu untuk dirinya sendiri pun harus dikorbankan.

Peran sebagai perempuan bekerja yang sudah menikah dan yang belum

menikah memiliki kompleksitas masing-masing yang dapat membuat perempuan

bekerja ini stres atau bisa sampai depresi. pada satu sisi, bekerja untuk perempuan

yang sudah menikah membuat perempuan ini lebih tertekan dibandingkan dengan

perempuan bekerja yang belum menikah. Menangani terlalu banyak peran dan

permintaan pada waktu yang bersamaan membuat mereka kewalahan atau

mengalami overload sehingga stres (Hall dan Hall, 1979, dalam Lamanna dan

Riedman, 1985). Banyak perempuan yang tertekan di tempat kerja dan cenderung

stres karena menyeimbanggkan tuntutan pekerjaan dan keluarganya (Papalia, dkk,

2007). Sebaliknya perempuan bekerja yang belum menikah mungkin akan lebih

jarang menunjukan gejala stres dibandingkan perempuan bekerja yang sudah

menikah, karena tanggung jawab yang diemban pun lebih sedikit.

Alasan utama para responden bekerja adalah untuk menyukupi kebutuhan

ekonomi keluarga. Para responden yang setiap bulannya harus lembur di hari

(26)

17

Selain itu menyerahkan pengasuhan anak kepada orang lain atau sanak

keluarganya ketika dirinya bekerja. Perempuan bekerja yang sudah menikah

maupun perempuan bekerja yang belum menikah membutuhkan suatu kesadaran

dan pandangan yang lebih jelas terhadap situasi dan kondisi dari posisi yang

sedang dijalankannya, serta penerimaan terhadap peran dan tuntutan yang ada

dengan kesulitannya masing-masing. Hal ini membantu para responden untuk

tidak menyalahkan dirinya atau merasa tidak mampu jika menghadapi kesulitan

dan hasil yang tidak sesuai dengan idealisme diri. Responden dapat merasa lebih

puas dalam menjalankan peran-perannya daripada menjadi stres, frustasi atau

depresi. Kekurangan atau ketidaksempurnaan responden dalam memenuhi

kebutuhan afeksi anak, pelayanan terhadap suami, waktu bersama dengan

keluarga, dan kurang dapatnya berpikir positif terhadap situasi yang menyita

waktu tersebut dapat memunculkan perasaan bersalah, khawatir, cemas dan

ketidakberdayaan pada diri responden, sehingga responden perlu mengembangkan

self-compassion.

Self-compassion mencakup berlaku hangat dan memiliki pemahaman

terhadap diri sendiri yang sedang menderita, gagal, dan merasa tidak mampu. Para

responden yang memiliki self-compassion akan mengakui bahwa menjadi tidak

sempurna, gagal dan mengalami kesulitan tidak bisa dihindari, serta memahami

bahwa ketidaksempurnaan, kegagalan dan kesulitan yang dialami juga bisa

dialami oleh yang lainnya. Responden cenderung akan bersikap baik pada dirinya

sendiri ketika dihadapkan pada pengalaman yang menyakitkan tanpa memberikan

(27)

18

timbul perasaan tidak menerima dan tidak bisa menghadapi kekurangan,

ketidaksempurnaan, kegagalan atau kesulitan yang sedang dialami. Responden

akan terus-menerus menyalahkan diri sendiri dan merasa diri paling menderita,

selain itu juga responden akan melebih-lebihkan atau menekan secara berlebihan

perasaannya.

Self-compassion memiliki komponen self-kindness, common humanity dan

mindfulness (Neff, 2009). Self-kindness adalah kemampuan untuk bersikap baik

dan memahami diri sendiri tanpa melakukan penilaian atau self criticisim terhadap

kekurangan, kegagalan, dan pengalaman yang menyakitkan (Neff, 2003).

Common humanity adalah kemampuan untuk melihat suatu kejadian sebagai

pengalaman yang dialami semua manusia, bukan hanya dialami oleh dirinya

sendiri (Neff, 2003). Mindfulness adalah kemampuan untuk menyadari dan

menghadapi perasaan yang dirasakan saat mengalami suatu kegagalan atau

pengalaman yang menyakitkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan

perasaannya itu (Neff, 2003). Menurut Curry & Barnard (2011), terdapat

keterkaitan antara ketiga komponen self-compassion, satu komponen dapat

memerkuat komponen lainnya.

Responden akan memberikan perhatian, kelembutan, pemahaman, dan

kesabaran terhadap kekurangan dirinya dalam hal pekerjaan atau waktu untuk

keluarga (self-kindness), akan melihat kegagalan atau kekurangan diri sebagai

pengalaman yang dapat dialami oleh setiap perempuan bekerja didunia ini

(28)

19

melakukan kesalahan dalam pekerjaan ataupun ketidaksempuraan diri dalam hal

pengasuhan anak dan tidak melebih-lebihkannya (mindfulness).

Self-compassion pada komponen self-kindness berbicara tentang kemampuan

untuk bersikap baik dan memahami diri sendiri tanpa melakukan penilaian atau

self-criticisim terhadap kekurangan, kegagalan, dan pengalaman yang

menyakitkan (Neff, 2003). Dengan self-kindness para responden tidak akan

menyalahkan diri sendirinya dan tidak menganggap dirinya tidak berguna, tetapi

dengan self-kindness tinggi akan lebih dapat menerima, memahami serta

memaklumi kekurangan atau keadaan yang dialami. Sebaliknya apabila

self-kindness dari responden rendah, maka responden akan terus-menerus mengkritik

dan menyalahkan dirinya pada saat menghadapi kegagalan, ketidaksempurnaan

atau pengalaman yang menyakitkan.

Ketika responden harus lembur kerja dihari libur, hal itu akan membuat

berkurangnya waktu baik untuk dirinya maupun waktu bersama keluarga dan

harus tetap memprioritaskan pekerjaan. Untuk perempuan bekerja yang sudah

menikah mungkin akan menyikapinya dengan menghukum diri secara berlebihan

atau dapat mengkritik diri dengan kata-kata kasar karena merasa belum bisa

berperan seutuhnya sebagai ibu karena tidak bisa mengurus rumah tangga serta

harus meninggalkan anaknya padahal hanya hari libur itulah yang bisa dipakai

perempuan bekerja yang sudah menikah untuk mengasuh anak dan mengurus

rumah tangga seharian, namun apabila ada kegiatan lembur hal tersebut tidak bisa

dilakukan. Keadaan tersebut membuat perempuan bekerja yang sudah menikah

(29)

20

perempuan bekerja yang belum menikah mungkin akan berbeda menyikapinya

karena perempuan bekerja yang belum menikah mungkin hanya memiliki sedikit

peran dibandingkan dengan peran perempuan bekerja yang sudah menikah. Maka

cara menyikapinya pun akan lebih dapat bersikap baik, dapat bersikap toleran dan

sabar terhadap dirinya walaupun pasti merasakan kesal, kecewa akan hal tersebut

karena waktu untuk dirinya tidak ada karena harus lembur.

Self-compassion pada komponen common humanity berbicara tentang

kemampuan untuk melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami

semua manusia, bukan hanya dialami oleh dirinya sendiri. Responden yang

mengalami self-compassion akan mengakui bahwa penderitaan dan

ketidakmampuan pribadi adalah bagian dari pengalaman hidup, baik itu frustasi

yang dikarena tidak memiliki apa yang diinginkan.

Misalnya ketika aturan-aturan perusahaan yang ketat mengenai adanya

pemotongan gaji, tidak diperbolehkannya membawa telepon genggam ketika

sedang bekerja, membuat para responden tidak bisa menghubungi maupun

dihubungi oleh keluarganya. Untuk perempuan bekerja yang sudah menikah hal

tersebut mungkin dapat menjadi suatu masalah tersendiri yang dapat

menyebabkan kurang fokus terhadap pekerjaan karena terus-menerus memikirkan

keadaan dirumah khususnya anak. Perempuan bekerja yang sudah menikah akan

fokus pada kekurangannya misalnya tidak bisa menemani anak atau suami setiap

saat, pandangan perempuan bekerja yang sudah menikah menjadi sempit dan

membuat mereka semakin kesulitan menghadapi kenyataan tentang kekurangan

(30)

21

terisolasi, merasa dirinya paling menderita dan hidupnya lebih sulit dibandingkan

dengan perempuan pekerja lainnya. Perempuan bekerja yang sudah menikah pun

tidak dapat melihat bahwa perempuan bekerja yang sudah menikah lainnya pun

pasti mengalami masalah yang sama juga. Sedangkan untuk perempuan bekerja

yang belum menikah dalam menyikapi masalah aturan-aturan perusahaan tersebut

mungkin dapat lebih bisa melihat bahwa teman-teman perempuan pekerja lainnya

pun sama mengalaminya, sehingga perempuan bekerja yang belum menikah dapat

lebih bisa bersimpati dan dapat cepat merasa menjadi bagian manusia secara

umum.

Self-compassion pada komponen mindfulness berbicara tentang kemampuan

untuk menyadari dan menghadapi perasaan yang dirasakan saat mengalami suatu

kegagalan atau pengalaman yang menyakitkan, tanpa menekan atau

melebih-lebihkan perasaannya itu (Neff, 2003), sikap ini berawal dari lebih mengambil

hikmah dari apa yang telah terjadi dan berbuat lebih baik. Responden yang

memiliki self-compassion akan menghadapi dan menyadari perasaannya ketika

sedang mengalami kegagalan tanpa melebih-lebihkan perasaan tersebut.

Ketika para responden harus mengorbankan sebagian besar waktunya demi

bekerja, perempuan bekerja yang sudah menikah akan merasa bersalah, sedih, dan

cenderung membesar-besarkan perasaannya karena harus menyerahkan

pengasuhan anaknya ke orang lain dan juga perempuan bekerja yang sudah

menikah kesulitan untuk dapat menyeimbangkan peran sebagai ibu dan istri

dengan peran sebagai pekerja, sehingga berlarut-larut dalam perasaannya sedih,

(31)

22

menghabiskan energinya untuk mengatasi dampak negatif atau pikiran-pikiran

negatif yang belum tentu terjadi. Sedangkan untuk perempuan bekerja yang belum

menikah akan mampu menerima dan menghadapi kenyataan dengan jelas dan apa

adanya, alasan utama perempuan yang belum menikah ini bekerja juga untuk

membantu perekonomian dirinya dan juga orang tua, sehingga dapat lebih

menerima dan menghadapi kenyataan waktu untuk dirinya dan keluarga

berkurang.

Perbedaan

Bagan 1.5 Kerangka Pikir

Pada Perempuan Bekerja Yang Sudah Menikah di PT

“X” Purwakarta Mindfulness

Common humanity Self-kindness

Self-Compassion

Pada Perempuan Bekerja Yang Belum Menikah di PT

“X” Purwakarta Perempuan

(32)

23

1.6 Asumsi

1. Self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah menikah dan

perempuan bekerja yang belum menikah di PT “X” Purwakarta dapat

dibentuk oleh ketiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity dan

mindfulness.

2. Ketiga komponen Self-compassion saling menguatkan satu sama lainnya,

sehingga apabila satu komponen yang dimiliki perempuan bekerja yang

sudah menikah dan perempuan yang belum menikah di PT "X" Purwakarta

rendah atau tinggi, maka akan memengaruhi juga pada kedua komponen

yang lainnya.

3. Perbedaan status yang sudah menikah dan yang belum menikah

menyebabkan perbedaan dalam menyikapi masalah aatau penderitaan,

kesulitan, ketidaksempurnaan yang dihadapi.

1.7 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan self-compassion yang signifikan antara perempuan

bekerja yang sudah menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT

(33)

69 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarakan hasil penelitian dan pembahasan mengenai self-compassion

pada 150 perempuan bekerja di PT “X” Purwakarta, dapat ditarik suatu gambaran

umum mengenai perbedaan self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah

menikah dan yang belum menikah di PT “X” Purwakarta, yaitu sebagai berikut:

1) Self-compassion antara perempuan bekerja yang sudah menikah dan

perempuan bekerja yang belum menikah Tidak terdapat perbedaan yang

signifikan. Artinya status menikah atau tidak menikah, tidak memberikan

pengaruh berbeda terhadap keadaan self-compassion responden.

2) Ke dua kelompok memiliki self-compassion yang berderajat tinggi, selaras

dengan komponen-komponen self-kindness, common humanity, dan

mindfulness-nya yang tinggi juga.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1) Berdasarkan hasil penelitian tidak ada perbedaan yang signifikan antara

self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah menikah dan

perempuan bekerja yang belum menikah, apabila peneliti lain ingin

melakukan penelitian lanjutan maka selain digunakan alat ukur

(34)

70

menunjang, misalnya mungkin bisa dengan mengidentifikasi sejauh mana

masalah-masalah yang terjadi di dalam kehidupan perempuan bekerja

yang sudah menikah dan kehidupan perempuan bekerja yang belum

menikah. Sehingga gambaran self-compassion-nya bisa lebih

komprehensif.

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi pihak perusahaan, dari hasil penelitian ini dapat memertahankan

porsi atau beban kerja yang sama pada perempuan bekerja yang sudah

menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah.

2) Bagi pihak keluarga, hasil penelitian ini memaparkan bahwa dukungan

yang diberikan oleh keluarga tetap dibutuhkan untuk perempuan bekerja

yang sudah menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah,

(35)

71

DAFTAR PUSTAKA

Coleman, James & Cressey, Donald, 1984. Social Problems. Second Edition. New York: Harper & Row, Publishers, Inc.

Bernard, Laura K dan John F. Curry. 2011. Self-Compassion: Conceptualization, Correlates, & Interventions. Amerika Psychological Assosiation.

Bowlby, J. (1969) Attachment and loss: Volume 1. Attachment, New York: Basic Books.

Crawford, M. & Unger, R. (2000). Women and Gender: A feminist psychology (3rd ed.). Boston, MA: McGraw-Hill Companies Inc.

Graziano, Anthony. M & Michael L. Raulin. (2000). Research Methods: A Process Of Inquiry (4th ed.). United State of America: Allyn & Bacon.

Hoffman, L. M & Nye F. I. 1984. Working Mothers. San Francisco: Jossey-Bass.

Hurlock, E. B. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Lamanna, Mary Ann dan Agnes Riedman. 1985. Marriages and Families:

Making Choices Throughout The Life Cycle. Second Edition. California:

Wadsworth Publishing Company.

Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological review, 98(2), 224-253. Neff, K. D. Self-Compasion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of

Individual Differences in Social Behaviour (pp.561-573). New York: Guilford Press.

(36)

72

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 85-101. Psychology Press.

Neff, Kristin D. 2003. Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250. Psychology Press: Taylor & Francis Group.

Neff, Kristin D., Kullaya Pisitsungkagarn dn Ya-Ping Hsieh, 2008. Compassion and Self-Construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology 2008; 39; 267 originally published online Mar 11, 2008. Sage Publications.

Neff, K. D. 2012. The Science Of Self-Compassion. In C. Grener & R. Siegel (Eds.), Compassion adn Wisdom in Psychotherapy, 79-92. New York: Guilford Press.

Neff, Kristin. 2011. Self-compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: Harper Collins Publishers.

Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., Camp, C. J. 2007. Adult Development and Aging. Third Edition. New York: McGraw-Hill.

(37)

73

DAFTAR RUJUKAN

Ariana, Emmanuela Halim. 2013. Studi Komparatif Mengenai Derajat Self-Compassion Pada Wanita Berkeluarga Yang Bekerja Dan Tidak Bekerja di Gereja “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Fakultas Psikologi. 2009, Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana, Edisi Revisi III, Bandung:, Universitas Kristen Maranatha.

http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/, diakses Desember 2013

http://www.self-compassion.org/, diakses Desember 2013

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menuntut atlet untuk menyeleksi informasi yang diterima untuk menentukan informasi tersebut relevan dan harus direspon atau informasi tersebut tidak relevan dan

Persaingan pasar shampo pada saat ini sangat kompetitif. Semua perusahaan mencoba untuk bersaing dalam menciptakan produk yang sesuai dengan keinginan

Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan konstanta laju reaksi dan energi aktivasi beberapa sistem vulkanisasi belerang berdasarkan karakteristik vulkanisasi

Pembangunan Rumah Susun Untuk Lokasi Binaan (Lokbin) Rawa Buaya (Struktur dan Arsitektur) - Multi Years Dinas Perumahan dan Gedung Pemda Pembangunan Rusun Pulo Gebang Blok 5

Desain Didaktis Konsep Faktorisasi Aljabar Pada Pembelajaran Matematika Smp Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu.. v

The results indicate that the majority of the parents highly expect that early English instruction will widen the children’s cultural perspectives of using more than

(2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan

tentang suatu obyek apakah disukai atau tidak, dan sikap konsumen juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari obyek