(Studi Kasus: Pada Sanggar Ukir Di Jepara)
TESIS
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi
Managemen Pendidikan
Oleh
SUHALI
NIM: Q.100050051
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sejarah peradaban manusia, telah melahirkan berbagai produk budaya, baik
yang berupa gagasan, aktivitas ataupun artifak. Artifak budaya merupakan salah
satu produk manusia dalam mengembangkan peradabannya, yang berkaitan
dengan keinginan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Artifak
diciptakan dengan beragam jenis, menyesuaikan dengan keperluan yang ada. Hal
tersebut termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terjadi pada
masa lalu maupun pada masa sekarang, dapat dikatakan bahwa artifak tersebut
ada dikarenakan adanya keinginan atau kemauan manusia untuk meningkatkan
kehidupannya agar lebih baik. (Sudharto, 2006: 1).
Pembuatan artifak budaya sebagai aktivitas yang berkaitan erat dengan
kesenirupaan merupakan salah satu aktivitas kebudayaan yang memiliki peran
penting bagi peradaban manusia. Salah satu bukti adanya perkembangan tersebut
adalah dengan semakin beragamnya artifak budaya, baik bila dilihat dari jenis,
bahan ataupun teknik pembuatannya. Perkembangan tersebut tidak dapat lepas
dari tuntutan teknologi dan citarasa manusia yang selalu berubah menyesuaikan
dengan tuntutan zaman yang ada. ( Triyanto, 1993: 70 )
Dalam perkembangannya, artifak budaya buatan manusia tidak hanya
mendasari dalam perwujudan, misalnya nilai keindahan dan nilai simbolis,
sebagai nilai yang melibatkan cita rasa dan pengalaman estetis yang dimiliki
pembuatnya dan tervisualisasikan dalam sebuah artifak. Aspek-aspek tersebut
berpengaruh terhadap perwujudan sebuah artifak. Sebagai salah satu wujud
kebudayaan, keberadaan artifak memang tidak dapat diabaikan perannya, karena
bagaimanapun juga aktivitas manusia saling berinteraksi tidak dapat lepas dari
penggunaan berbagai peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai
tujuannya. ( Sudharto, 2006: 1 ).
Manusia dalam hidupnya senantiasa berupaya untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan. Dalam setiap kebudayaan senantiasa terdapat nilai-nilai yang
dijadikan pedoman manusia untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak selalu sama baik kualitas
maupun kuantitasnya. Perhatian yang berbeda, memungkinkan ditemukan
tindakan atau anggapan yang berbeda antara pribadi dengan pribadi lainnya dalam
satu kelompok masyarakat sekalipun. Tantangan–tantangan yang dihadapi oleh
manusia secara pribadi telah mendorong manusia untuk melakukan antisipasi,
yaitu suatu proses kognisi seseorang untuk mempersepsi, merumuskan atau
mencari alternatif–alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Rohidi.
1993: 4).
Berbagai macam kebutuhan yang selalu diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia adalah kebutuhan primer, sekunder dan integratif.
Dalam penggolongan kebutuhan itu kebutuhan primer adalah yang bersumber
adalah kebutuhan yang berkaitan erat dengan manusia sebagai makhluk sosial,
yaitu kebutuhan yang di dalam pemenuhannya tidak dapat dilakukan sendiri tanpa
melibatkan orang lain. Kebutuhan integratif adalah kebutuhan yang berkenaan
dengan hakekat manusia yang berfikir, bermoral serta bercita-cita. Kebutuhan
integratif antara lain mencakup kebutuhan yang memantapkan diri dan
keberadaan dalam mengungkapkan perasaan estetika atau keindahan (Suparlan
dalam Triyanto, 1994:170 ).
Kesenian merupakan salah satu unsur yang senantiasa ada pada setiap
kebudayaan ( Rohidi, 2000: 93). Sebagai unsur kebudayaan, kesenian adalah
sebuah sistem simbol yang perwujudannya terungkap dalam bentuk yang
memiliki cita rasa keindahan. Dengan demikian kesenian menjadi sebuah simbol
ekspresif kebudayaan dalam bentuk yang secara estetis mengungkapkan berbagai
makna yang dapat dipahami bersama (Triyanto, 1993: 70).
Salah satu jenis artefak budaya yang bermanfaat bagi kelangsungan
hidup
sebagian masyarakat Jepara adalah seni ukir dan mebel ukir. Seni ukir yang ada
pada tiap kurun waktu memiliki kecenderungan gaya yang berbeda-beda.
Keberagaman bentuk seni ukir yang ada, merupakan ekspresi manusia dalam
kehidupannya, sehingga bentuk karya ukir tersebut merupakan hasil yang objektif
yang telah diperoleh manusia dalam sejarah perkembangan dari generasi ke
generasi. Seni ukir pada jaman kolonial cenderung menekankan pada nilai guna
perdagangan sehingga harus mampu memenuhi tuntutan selera konsumen yang
menjadi sasarannya. ( Sugiyanto, 2005: 3 ).
Seni ukir adalah bagian cabang seni rupa yang proses pembuatannya dengan
cara mengurangi bagian-perbagian dengan pola atau gambar yang sudah
ditentukan terikat dengan pola-pola budaya masyarakat yang bersangkutan.
Keberadaan seni ukir yang hidup dan berkembang di masyarakat Jepara
merupakan salah satu produk budaya yang mengandung nilai-nilai yang tinggi.
Produk budaya tersebut mengandung berbagai keragaman yang dipengaruhi oleh
sistem nilai yang dianut dimana artifak tersebut diciptakan atau dihasilkan.
Produk ukir sebagai salah satu produk budaya tidak akan terlepas dari proses
perjalanan sejarah yang panjang. Jepara adalah sebuah daerah yang terletak di
pantai utara Jawa Tengah. Jepara menurut sejarah merupakan kota pelabuhan
Kerajaan Demak yang pada saat itu, sehingga banyak peninggalan-peninggalan
yang terletak di Jepara misalnya, Masjid Mantingan yang merupakan salah satu
peninggalan awal masuknya Islam di Jepara ( Graaf, 1984:124).
Keberadaan Jepara sebagai kota ukir tidak dapat lepas dari cerita-cerita yang
berkembang di Jepara, dalam cerita rakyat Jepara dikisahkan bahwa, seorang
pelukis bernama Prabangkara atau Ki Sungging Adi Luwih dari kerajaan
Majapahait, mendapat perintah dari Prabu Brawijaya untuk melukis
permaisurinya. Namun sang Raja memberi persyaratan bahwa Ki Sungging tidak
boleh terlebih dahulu melihat rupa permaisurinya. Alangkah terkejut hati sang
Raja ketika melihat hasil lukisannya, ternyata tidak berbeda sedikitpun dengan
diperbolehkan melihatnya, Ki Sungging berhasil melukisnya. Maka timbul niat
jahat untuk menyingkirkan Ki Sungging Adi Luwih dari bumi Majapahit, maka
dipesanlah patung yang harus dibuat Ki Sungging di atas angkasa, dengan
perantara layang-layang yang kemudian diputus talinya oleh sang Raja. ( Cerita
Rakyat Jawa Tengah, 1974: 32 ).
Pada akhir cerita Ki Sungging Adi luwih naik layang-layang menuju ke timur
berserta peralatan dan pelengkapan memahatnya, Ki Sungging tetap mengejakan
pekerjaannya. Ada perubahan arah angin kembali ke barat, hal ini mengejutkan Ki
Sungging sehingga patung yang dibuat dalam kondisi setengah jadi tersebut jatuh
di sebuah pulau yang kemudian dikenal dengan pulau Bali. Ki Sungging tetap
memegangi layang-layang sesuai arah angin yang membawanya, namun terjadi
pula angin ribut sehingga alat-alat pahatnya berjatuhan tepat di desa Belakang
Gunung. Oleh karena itu sampai sekarang Jepara dikenal ukirannya. ( Cerita
Rakyat Jawa Tengah, 1974: 33-34 ).
Jepara yang dikenal sebagai kota ukir, pada perkembangannya tidak dapat
terlepas peran dari R.A Kartini yang memberikan perhatian lebih kepada perajin
ukir khususnya yang bekerja di bidang mebel ukir. Kepedulian RA Kartini yang
besar telah membangkitkan semangat para perajin untuk bekerja keras, meskipun
perjuangan itu baru berhasil dan bisa dinikmati oleh para perajin setelah melewati
proses perrtumbuhan yang panjang. Dewasa ini, Jepara lebih dikenal sebagai
pusat industri mebel ukir di Indonesia. Popularitas pusat industri mebel ukir ini
telah menjangkau tingkat nasional maupun internasional. Produk industri mebel
internasional dan global. Kehadiran produk seni tersebut mendapat tanggapan
positif dari konsumen mancanagara, terutama di Asia, Eropa Barat, dan Amerika.
Lebih dari itu, unit usaha industri mebel ukir Jepara mampu menarik banyak
investor asing untuk menanamkan modal di daerah ini. ( Gustami, 2000: 4 )
Sikap dan perhatian R.A Kartini terhadap kegiatan mengukir yang dilakukan
sebagian masyarakat Jepara talah memberikan jalan bagi Jepara pada pergaulan
dunia yang lebih luas. R.A Kartini pernah mengujungi desa Belakang Gunung
untuk melihat para perajin ukiran bekerja, membuat kursi dengan hiasan ukiran.
Mengenai kunjungan tersebut Ibu Kardinah Reksonegoro menuturkan, bahwa
Kartini sangat tertarik dengan pekerjaan para perajin dan berharap para perajin
dapat penghasilan yang lebih baik. Para perajin ukiran tersebut kemudian
dipanggil bekerja di halaman Kabupaten untuk membuat barang-barang kecil,
seperti peti jahitan, peti rokok, meja-meja kecil, semua dengan hiasan ukiran.
Semua barang tersebut laku dijual di Semarang dan Jakarta dengan harga yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan penjualan di Jepara ( Pemda Tingkat II Kab.
Jepara, 1979: 48 ).
Bersama kerajinan tangan lainnya, mengukir kayu saat ini telah mendapat
perhatian khusus dari pemerintah, hal ini sesuai dengan tujuan GBHN, bahwa
kegiatan kerajinan tangan yang memiliki nilai budaya yang luhur perlu ditumbuh
kembangkan kemampuannya sehingga mengalami peningkatan. ( GBHN,
1993-1998: 88 ). Selaras dengan program tersebut, Jepara sebagai salah satu daerah
perajin ukir kayu, telah menunjukan peningkatan dalam jumlah produksinya. Hal
kerajinan tangan seperti kerajinan mengukir kayu di Jepara menjadi media
pelestarian dan peningkatan mutu nilai budaya daerah, serta penghidupan
masyarakat perajin, ( Dekranas dalam Koswara,1992: 22 ).
Ketika itu perajin dan pengusaha pribumi dari berbagai lapisan masyarakat
mengembangkan produk industrinya berdasar pada budaya tradisi. Pelaksanaan
produksinya didukung oleh tenaga-tenaga terampil yang diperoleh melalui
pelatihan keluarga, seperti pembuatan seni batik, tenun, keris, wayang dan
gamelan. Kemampuan untuk membuat mebel ukir juga diperoleh melalui
pelatihan informal, yang pelaksanaannya dilakukan secara turun-temurun
merupakan sistem pewarisan yang unik. Sistem pewarisan ketrampilan seperti itu
mempunyai arti sangat penting bagi kelangsungan dan perkembangan industri
seni mebel ukir, meskipun mereka mendapat pengaruh dari berbagai unsur
budaya asing, namun perkembangan yang terjadi tetap mencerminkan tradisi
budaya bangsa. ( Gustami, 2000: 132 ).
Kegiatan mengukir kayu di Jepara telah dilakukan selama bertahun-tahun
secara turun-temurun, jika dilihat dari peninggalan ukiran yang masih ada, maka
kegiatan mengukir tersebut telah mulai dimanfaatkan dalam menghias dinding
masjid Mantingan yang didirikan pada 1559 ( Pemda Tingkat II Jepara, 1970: 40 )
Aktivitas pembuatan mebel ukir di Jepara tetap berjalan secara
berkesinambungan melalui beberapa proses pendidikan, baik secara formal
maupun informal. Belajar pada pendidikan formal dilakukan pada sekolah yang
bertujuan ingin menumbuhkan atau menyempurnakan perilaku dan membina
Dalam proses belajar guru berperan sebagai panutan dan suri tauladan yang
perlu dicontoh oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Guru bertugas sebagai
pembina dan pembimbing siswa dalam mancapai tujuan belajar. Hal ini
diupayakan dalam proses belajar mengajar memerlukan pola atau rancangan
tersturktur dalam memberikan materi pada siswa.
Sedangkan pada pendidikan informal dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga
kursus atau sanggar-sanggar ukir yang ada di masayarakat. Pada pendidikan
informal pola pembelajarannya tidak terstruktur dan pemberian materi pada
siswa atau peserta didik langsung masuk dalam lingkungan kerja ( nyantrik :
Jawa). Peserta didik diharapkan dapat melihat, memperhatikan, menyerap segala
aktivitas yang dilakukan oleh para perajin. Dalam proses belajar mengajar di
Sanggar tidak adanya batas antara guru dan siswa, suasana pembelajaran
berlangsung sangat akrab dan nyaman.
B. Fokus Penelitian
Aktivitas pembuatan seni ukir di Indonesia telah lama dikenal oleh manusia
khususnya di wilayah kabupaten Jepara. Aktivitas itu sejalan dengan
perkembangan kebutuhan hidup, kemajuan tingkat hunian, dan kebutuhan
keindahan. Kehadiran produk ukir dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi
kebutuhan pada benda-benda fungsional juga untuk memenuhi kebutuhan
keindahan. Oleh karena itu produknya bervariasi dari perabot rumah tangga,
perangkat peribadatan, sampai dengan alat untuk keperluan yang ada
Seni ukir kayu dilihat secara visual bentuknya sangat bervareasi yang
merupakan gabungan antara unsur–unsur lokal dan unsur lainnya sesuai dengan
permintaan pasar. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan akurat,
perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik siswa, karakteristik pengelolaam
pembelajaran, dan karakteristik sanggar ukir kayu di Jepara.
Pengkajian ini merupakan salah satu upaya mengunkap berbagai informasi
dari salah satu dari sekian banyak bentuk belajar ukir kayu pada sanggar ukir di
wilayah Jepara. Pertimbangan penulis memfokuskan pada faktor-faktor strategik
dalam peningkatan belajar ukir kayu karena kenyataan sekarang tampak adanya
perkembangan dan pengembangan desain yang berkaitan erat dengan tuntutan
pasar, sekaligus banyak bermunculan lembaga diklat yang bergerak pada
pendidikan seni ukir. Sehingga dari sudut pandang pendidikan hal ini sangat perlu
dan menarik untuk dikaji.
Berdasarkan hasil pemikiran di atas dapat dirumuskan fokus utama penelitian
sebagai berikut: Bagaimanakah karakteristik pengelolaan pembelajaran ukir kayu
pada sanggar ukir di Jepara? Dan fokus tersebut dapat dipecahkan menjadi
beberapa sub:
1. Bagaimanakah karakteristik siswa yang belajar ukir kayu?
2. Bagaimanakah karakteristik pengelolaan pembelajaran ukir kayu?
C. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji tentang faktor-faktor strategik
dalam peningkatkan belajar ukir kayu pada sanggar ukir di Jepara. Secara khusus,
penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Karakteristik siswa yang belajar ukir kayu.
2. Karakteristik pengelolaan pembelajaran ukir kayu.
3. Karateristik sanggar yang menangani pembelajaran ukir kayu.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
konseptual teoritis maupun praktis di lapangan.
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
tentang karakteristik siswa yang belajar ukir kayu pada sanggar ukir.
b. Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang
karakteristik pengelolaan pembelajarn ukir kayu pada sanggar ukir.
c. Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tantang
karakteristik sanggar ukir yang menangani pembelajaran ukir kayu.
d. Sebagai bahan referensi bagi penelitian sejenis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat Jepara khususnya tenaga kependidikan, perajin,
pengusaha dan asosiasi agar dapat menghargai budaya yang dimiliki
b. Bagi Dinas Pendidkan dan kebudayaan Kabupaten Jepara khususnya
Pendidikan Menengah Kejuruan, hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan dalam rangka pengembangan pola pembelajaran ukir kayu di
sekolah formal.
c. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara, hasil penelitian ini dapat
memberikan gambaran tentang pola pembelajaran ukir kayu pada sanggar
ukir yang merupakan hasil seni budaya lokal.