i
HUBUNGAN EFEK TERAPI FENOBARBITAL TERHADAP GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM
PADA ANAK DENGAN EPILEPSI
TESIS
Untuk memenuhi Sebagian persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Oleh :
Husnia Auliyatul Umma S 501002016
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2014
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’alaa atas berkat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul HUBUNGAN EFEK TERAPI
FENOBARBITAL TERHADAP GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PADA ANAK DENGAN EPILEPSI. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak dan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai derajat Magister kedokteran Keluarga.
Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga serta ilmu dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, Sp.A(K), selaku Ketua program studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM sekaligus sebagai pembimbing I, dan kepada dr. Sri lilijanti W, Sp. A (K) selaku pembimbing II.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. R. Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Zaenal Arifin Adnan, dr. SpPD-KR FINASISM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Studi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dr. dr. Hari Wujoso Sp.F, MM, selaku Ketua Minat Utama Ilmu Kedokteran Biomedik Program Studi Kedokteran Keluarga Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menempuh pendidikan Magister kedokteran Keluarga pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Terima kasih penulis sampaikan kepada drg. Basoeki Soetardjo, MMR selaku Direktur RSUD Dr. Moewardi atas ijin yang telah diberikan dalam pemakaian sarana dan prasarana selama menempuh pendidikan. Terima kasih
vi
yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dr. Endang Dewi Lestari, SpA(K), MPH selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan selama proses pendidikan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Mustarsid, Sp.A (K) dan dr Fadhilah TN, Sp.A. Mkes yang telah mengijinkan penulis dalam melakukan penelitian di Sub Divisi Neurologi Anak FK UNS/RSDM. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Prof. Bhisma Murti dr, MSc, MPH, PhD atas bimbingannya, dan kepada seluruh staf, petugas poliklinik dan laboratorium serta semua pihak di lingkungan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.
Kepada suamiku tercinta dr. Nugraha Afandi , penulis sampaikan terima kasih sebanyak banyaknya atas semangat, pengertian dan doa yang senantiasa diberikan. Dan untuk anakku tersayang Atiya Namilatul Umaiza, terima kasih ummi sampaikan karena telah menjadi anak yang manis yang selalu menjadi penyemangat ummi saat menempuh pendidikan. Kepada orang tuaku, terima kasih atas semangat, dukungan serta doa yang tulus yang senantiasa kalian berikan selama proses pendidikan. Kepada sahabatku, rekan-rekan peserta program pendidikan dokter spesialis anak, penulis sampaikan terima kasih telah membantu dan mendukung proses penyusunan makalah tesis ini.
vii
3. Manfaat bidang kedokteran keluarga...4
viii
B. Anatomi dan elektrofisiologi otot jantung...9
C. Hipokalsemia...16
D. Gambaran Interval corrected QT pada elektrokardiogram...20
ix
I. Izin subyek penelitian...31
J. Pengolahan data...31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...33
B. Pembahasan...36
BAB V PENUTUP A. Simpulan...40
B. Saran...40
C. Implikasi Penelitian...41
DAFTAR PUSTAKA...42
LAMPIRAN...47
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme obat anti epilepsi...9
Gambar 2. Gambar otot jantung...10
Gambar 3. Jaras eksitasi normal Jantung...12
Gambar 4. Aliran arus ion dan potensial pacu jantung...13
Gambar 5. Eksitasi jantung dan gambaran pada elektrokardiogram...15
Gambar 6. Respon membran sel jantung terhadap potensial aksi normal...15
Gambar 7. Patofisiologi respon terhadap hipokalsemia...17
Gambar 8. Mekanisme Antikonvulsi fenobarbital sehingga terjadi penurunan vitamin D...23
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Obat epilepsi pilihan pertama dan kedua sesuai sifat serangan
epilepsi…...7
Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian...33
Tabel 4.2. Hasil analisis bivariat antara efek terapi fenobarbital terhadap
gambaran QTc pada elektrokardiogram...34
Tabel 4.3. Hasil uji korelasi tentang hubungan efek lama pemberian terapi
fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram...35
Tabel 4.4. Hasil uji Mann Whitney tentang perbedaan rerata panjang QTc
pada elektrokardiogram pada subyek yang mendapat terapi
fenobarbital dan asam valproat...35
Tabel 4.5. Analisis bivariat hubungan antara fenobarbital terhadap
hipokalsemia pada anak dengan epilepsi...36
Tabel. 4.6. Hasil uji t tidak berpasangan rerata panjang QTc pada anak yang
mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia...36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearance...47
Lampiran 2. Penjelasan Penelitian...48
Lampiran 3. Formulir persetujuan Penelitian dan tindakan medis...49
Lampiran 4. Formulir Isian Penelitian…………...………..……….…...51
Lampiran 5. Data Dasar Penelitian...52
Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data...53
xiii
NMDA : N methyl-D-Aspartate
MDP : Maximal Diastolic Potential
OAE : Obat anti Epilepsi
PP : Prapotensial
PTH : parathyroid hormone
PXR : Pregnane X Reseptor
QTc : Corrected QT
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
xiv
ABSTRAK
Husnia Auliyatul Umma. Nim S 501002016. 2014. Hubungan Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran Elektrokardiogram Pada Anak Dengan Epilepsi. Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Harsono Salimo, Sp. A (K), II : dr Sri Lilijanti W, Sp.A(K). Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang : Epilepsi adalah suatu kelainan neurologi yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Penderitanya membutuhkan obat anti epilepsi (OAE) jangka panjang. Salah satu OAE lini pertama yaitu fenobarbital, menginduksi CYP 450 yang berdampak pada hipokalsemia dengan akibat lanjut dapat terjadi gangguan fungsi jantung. Langkah awal deteksi dini kelainan jantung dengan pemeriksaan EKG menjadi suatu hal yang utama untuk mendeteksi dampak tersebut.
Tujuan : untuk menganalisis hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardigram pada anak epilepsi.
Metode : Penelitian potong lintang ini diambil di poliklinik Sub Divisi Neurologi Anak RS Dr Moewardi Surakarta pada Februari-Juni 2014. Subyek sebanyak 24 diambil secara konsekutif dengan kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dan ion kalsium serum. Data diolah dengan SPSS 20.0. Analisis untuk menilai hubungan kedua variabel menggunakan Chi square
dan uji t.
Hasil : Didapatkan hubungan yang positif antara efek terapi fenobarbital dengan gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi meskipun secara statistik tidak signifikan ((OR 2,7; p=0,576). Terdapat hubungan antara efek terapi fenobarbital terhadap terjadinya hipokalsemia, namun tidak signifikan secara statistik (OR 1,4; p=0,682). Tidak didapatkan perbedaan rerata panjang QTc pada elektrokardiogram antara penderita epilepsi yang hipokalsemia dan tidak hipokalsemia (p=0,619).
Kesimpulan : Pada anak dengan epilepsi, fenobarbital mempunyai pengaruh terhadap gambaran QTc pada elektrokardiogram meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata Kunci : fenobarbital, elektrokardiogram, epilepsi,anak
xv
ABSTRACT
Husnia Auliyatul Umma. NIM S501002016. The Relationship between Phenobarbital Therapeutic Effect on Overview of electrocardiogram In Epileptic Children. Thesis. Supervisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. Sp. A (K), II: Sri Lilijanti W, dr, SpA (K). Medical Family Study Program Main Interest in Biomedical Sciences, Post Graduate Program, University of Sebelas Maret, Surakarta.
Background : Epilepsy is a neurological disorder that is the most common in children. The patient require anti-epileptic drugs (OAE) for long term used. One of the first line of the OAE Phenobarbital that induce CYP 450 may has effect hypocalcemia which influences the cardiac dysfunction. The initial step to early detection of abnormal electrocardiogram be a major thing to detect such effects.
Objective : To analyze the relationship between phenobarbital therapeutic effect on overview of electrocardiogram In epileptic children.
Methods: This cross sectional study was taken in the Sub Division of Neurology Dr. Moewardi Hospital Surakarta in February to June 2014. A total of 24 subjects were taken consecutively with the inclusion and exclusion criteria, obtained electrocardiographic examination and calcium serum. The data were processed with SPSS 20.0. Analysis to assess the relationship between the two variables using the Chi Square and t test.
Results: There is a positive relationship between the effects of phenobarbital therapy with an overview of the electrocardiogram in children with epilepsy although not statistically significant ((OR 2.7, p = 0.576). There is a relationship between the therapeutic effect of phenobarbital on the occurrence of hypocalcemia, but not statistically significant (OR 1.4, p = 0.682). There were no differences in the mean length of QTc on electrocardiogram among epileptic children who has hypocalcemia and normocalcemia (p = 0.619).
Conclusion: In children with epilepsy, phenobarbital has an influence on the QTc on electrocardiogram overview although not statistically significant.
Keywords: phenobarbital. electrocardiogram, epilepsy, child
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epilepsi merupakan suatu kelainan di bidang neurologi yang paling banyak dan
serius yang melibatkan 50 juta orang di seluruh dunia, dimana total insiden
epilepsi secara keseluruhan adalah 3%, dengan lebih dari separuhnya terjadi pada
masa anak-anak dengan prevalensi pertahun 0,5-1% (Scott, 2001; Mbuba 2009;
Mikati, 2011). Lebih dari empat perlima dari 50 juta penderita epilepsi terdapat di
Negara berkembang (Scott, 2001). Sebuah sistematik review yang dilakukan oleh
Mac dkk terhadap penderita epilepsi di Asia menyebutkan bahwa penyebab utama
dari epilepsi adalah cedera kepala, penyakit serebrovaskuler, infeksi susunan saraf
pusat dan trauma lahir (Mac dkk, 2007). Di RSUD Dr Moewardi Surakarta jumlah
pasien epilepsi yang berobat di poliklinik neurologi anak pada kurun waktu 6
bulan, antara Januari sampai Juni 2008 adalah sebanyak 86 pasien, dimana 55%
merupakan laki-laki dan 45% adalah perempuan(Riana, 2009).
Terapi penderita epilepsi dengan obat antiepilepsi(OAE) umumnya
membutuhkan waktu yang lama sehingga memberikan dampak pada mekanisme
katabolisme vitamin D dan gangguan metabolisme kalsium dalam hal ini adalah
hipokalsemia(Sheth, 2004; Pack, 2004). Fenobarbital termasuk salah satu OAE
yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) sebagai obat lini
pertama dalam banyak kejang dan epilepsi di negara yang sedang berkembang
(Banu, 2007). Obat ini juga mempunyai efek pada metabolisme kalsium sehingga
dapat menyebabkan hipokalsemia, yang apabila berlanjut dapat menyebabkan
gangguan kontraktilitas dan komplikasi jangka panjang kardiomiopati, dalam hal
ini kardiomiopati dilatasi,sehingga dapat terjadi penurunan fungsi miokardium
dan penurunan cardiac output (Fitzpatrick, 2002; Griffin et al, 2006;Shoback et
al, 2007;Myung 2008; Tomar et al, 2010;).
Di tengah tingginya teknologi imaging, elektrokardiografi masih memiliki
tempat sebagai alat diagnostik untuk gangguan konduksi jantung dan aritmia
(Here et al, 2008). Salah satu tanda pada elektrokardiografi akibat hipokalsemia
adalah dengan ditemukannya perpanjangan segmen ST sebagai hasilnya terjadi
perpanjangan QTc(Myung, 2008).
Terbatasnya penelitian yang menghubungkan antara terapi obat anti
epilepsi terhadap kerja jantung akibat kemungkinan terjadinya hipokalsemia pada
anak dengan terapi fenobarbital, dan untuk meningkatkan manajemen penderita
epilepsi dengan pencegahan dini akibat lebih lanjut dari hipokalsemia, peneliti
tertarik untuk menganalisis efek terapi fenobarbital terhadap gambaran
elektrokardiogram, sehingga diharapkan alat ini dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya kelainan jantung akibat hipokalsemia pada
anak dengan epilepsi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran
elektrokardiogram pada anak epilepsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran
elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis kadar kalsium serum pada anak epilepsi yang mendapat
terapi fenobarbital
b. Menganalisis hubungan kadar kalsium serum terhadap perubahan
gambaran elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bidang akademik untuk Ilmu Kesehatan Anak, khususnya
bagian neurologi dan kardiologi
Diharapkan mampu mengetahui hubungan antara efek terapi fenobarbital
terhadap gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi
2. Manfaat bidang pelayanan
Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara terapi
fenobarbital terhadap terjadinya hipokalsemia, dapat memberikan informasi
tentang perlunya skrining kemungkinan efek jangka panjang terapi
fenobarbital dan dapat mengetahui pengaruh kadar kalsium terhadap
gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi.
3. Manfaat bidang kedokteran keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memberikan edukasi
kepada keluarga penderita epilepsi anak, tentang pentingnya evaluasi teratur
untuk mengetahui kemungkinan efek jangka panjang dari penggunaan obat
antiepilepsi terhadap jantung dengan pemeriksaan elektrokardiogram yang
mudah dan murah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epilepsi
1. Definisi epilepsi
Epilepsi adalah suatu bangkitan kejang berulang tanpa diprofokasi akibat
pelepasan muatan listrik yang berlebihan, yang terjadi dua kali atau lebih dalam
kurun waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi diklasifikasikan menjadi kejang parsial
dan kejang umum (Mikati, 2011). Epilepsi merupakan suatu hasil dari bentukan
abnormal dari eksitasi dan sinkronisasi saraf di otak yang biasanya melibatkan
korteks (Engel, 2006).
2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan kelainan paling sering di bidang neurologi. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan delapan dari 1000 orang di dunia
menderita penyakit ini, dengan prevalensi penderita di negara berkembang lebih
tinggi dari pada di negara maju. Lebih dari separuh dari 50 juta orang dengan
epilepsi diperkirakan terdapat di Asia. Insiden epilepsi berubah-ubah menurut
umur, dimana insidensi tertinggi didapatkan saat usia anak-anak dini dengan
laki-laki jumlahnya sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan (Burneo, 2005;
Preux, 2005).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI- RS Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta tahun 1990, didapatkan insiden penderita epilepsi sebanyak 2 per
1000 pasien yang datang ke RSCM, sedangkan di tahun 1991 insidennya 3 per
1000 pasien (Prassat, 1999). Di RSUD Dr Moewardi Surakarta jumlah pasien
epilepsi yang berobat di poliklinik neurologi anak pada kurun waktu 6 bulan,
antara Januari sampai Juni 2008, didapatkan sebanyak 86 pasien merupakan
pasien epilepsi, dimana 55% merupakan laki-laki dan 45% sisanya adalah
perempuan (Riana, 2009).
3. Patogenesis
Serangan epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepas muatan listrik
yang berlebihan pada sel neuron. Setiap kelainan yang mengganggu faal normal
sel neuron di otak baik lokal maupun umum, dapat menyebabkan terjadinya
bangkitan epilepsi. Bangkitan kejang dapat dicetuskan akibat inaktivitas sinap
inhibitor atau stimulasi berlebihan pada eksitator (Lumbantobing, 1999).
Bukti klinis dan eksperimen menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam
inhibisi post sinap pada patogenesis epilepsi. Penurunan gamma amino butyric
acid (GABA) pada saraf terminal dilaporkan merupakan fokus epileptogenesis.
Disamping akibat dari tidak efektifnya mekanisme inhibisi post sinap, kenaikan
transmisi eksitasi juga merupakan penyebab dari serangan epilepsi. Beberapa
tahun terakhir, perhatian terfokus pada asam amino yang berfungsi sebagai
neurotransmitter eksitator, yaitu glutamat. Aktivasi dari salah satu sub tipe
reseptor glutamat, N methyl-D-Aspartate (NMDA), menyebabkan eksitasi kuat
sel, mengakibatkan perpanjangan depolarisasi neuron (Nordli dkk, 2002).
4. Obat anti epilepsi
Jenis OAE yang diberikan kepada penderita epilepsi, sangat tergantung
dari sifat atau tipe serangan epilepsi. Tabel 2.1 menjelaskan tentang obat pilihan
pada berbagai sifat serangan epilepsy (Lazuardi, 1999; Mikati, 2011).
Tabel 2.1. Obat epilepsi pilihan pertama dan kedua sesuai sifat serangan epilepsi
Serangan Epilepsi Parsial
OAE pilihan pertama
OAE pilihan kedua Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin Benzodiazepin, asam valproat
Serangaan Epilepsi Umum
Serangan Tonik Klonik OAE pilihan pertama
OAE pilihan kedua Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin Benzodiazepin, asam valproat Serangan Absens
OAE pilihan pertama
OAE pilihan kedua Etosuksimid, asam valproat Benzodiazepine Serangan mioklonik
OAE pilihan pertama
OAE pilihan kedua Benzodiazepine, asam valproat Etosuksimid Serangan tonik klonik atonik Semua OAE kecuali etosuksimid
Fenobarbital, karbamazepin, primidon, fenitoin, etosuksimid dan asam
valproat, dapat mengatasi sebagian besar jenis epilepsi sehingga obat ini
merupakan OAE pilihan pertama dalam terapi epilepsy (Lazuardi, 1999).
Mekanisme obat anti epilepsi pada dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi potensi post sinaptik (Mc Namara, 1996; Porter dkk,
2001). Meskipun mekanismenya belum semuanya jelas, tetapi dari sejumlah obat
terdapat indikasi mengenai mekanisme kerjanya.
Mekanisme umum obat antiepilepsi secara umum dapat dibagi menjadi :
1. Obat yang meningkatkan penghambatan neurotransmitter Gamma Amino
Butyric Acid (GABA). Mekanisme aksi obat ini dapat dibagi menjadi obat
seperti benzodiazepine, dan barbiturate; obat yang menghambat metabolisme
GABA seperti vigabatrin, dan asam valproat; dan obat yang menghambat
penghancuran GABA seperti gabapentin(Mc Namara 1996).
2. Obat yang mensupresi letupan serangan cepat, dalam hal ini termasuk
memperlama penutupan kanal Na+. Jenis obat yang bekerja disini adalah
adalah fenitoin, asam valproat, karbamazepin, lamotrigine.
3. Obat yang bekerja menurunkan respon kanal T type Ca.Jenis OAE yang
bekerja disini adalah ethosuximide, dimethadione, dan asam valproat.
4. Obat yang menurunkan efek neurotransmitter eksitator glutaminergik, dengan
cara memblokir reseptor AMPA seperti fenobarbital dan topiramate; dan
yang memblokir reseptor NMDA seperti felbamate, remacemide (Namara,
1996; Porter, 2001).Mekanisme kerja obat anti epilepsi dapat dijelaskan pada
Gambar 1.
Fenobarbital mempunyai mekanisme aksi dalam meningkatkan hambatan
GABA (Schacther, 2011). Kadar terapetik fenobarbital baru tercapai pada 2-3
minggu, tetapi dengan loading dose dua kali lipat dari dosis tersebut, dapat
dicapai kadar terapetik dalam 4 hari. Mekanisme aksi adalah melalui peningkatan
aksi inhibisi dari GABA (Mc Namara JO, 1996; Porter dkk, 2001, Lazuardi,
1999).
Gambar 1. Mekanisme obat anti epilepsi (Bialer, 2010)
B. Anatomi Dan Elektrofisiologi Jantung
Jantung terdiri dari 3 tipe otot jantung utama, yaitu otot atrium, ventrikel,
dan serat otot jantung khusus yang berperan dalam penghantar dan pencetus
impuls. Gambar 2 menunjukkan suatu histologi otot jantung, dimana tampak
adanya serat otot yang tersusun seperti suatu kisi yang seratnya terpisah kemudian
bersatu dan kemudian menyebar lagi.
Gambar 2. Gambar otot jantung
(Sumber: http://www.histology-world.com/factsheets/muscle1.htm).
Jantung manusia terdiri dari serabut saraf yang menghasilkan dan
menyebarkan impuls eksitasi dan otot jantung yang berespon terhadap eksitasi
tersebut bereaksi dengan berkontraksi. Eksitasi di dalam jantung disebabkan oleh
jantung itu sendiri/ autoritmisitas, yang berbeda dengan otot
rangka(Silbernagl,2007).
Setiap miokardium baik pada atrium maupun ventrikel secara fungsional
tersusun atas sinsitium, sehingga sel yang satu dan sel yang lain tidak terpisahkan.
Apabila terjadi rangsangan pada satu tempat baik di atrium maupun ventrikel,
secara normal akan menimbulkan kontraksi lengkap di kedua atrium dan
ventrikel(Silbernagl, 2007).
Sistem konduksi jantung merupakan suatu sistem yang kompleks yang
terdiri dari sel sel khusus yang berperan dalam meneruskan impuls listrik, dan
tidak berperan alam mekanisme kontraksi. Sitem konduksi ini terdiri atas :nodus
SA (sino-aurikular), jaras intermodal atrium, nodus AV (atrioventrikular), bundle
his, cabang bundle his kanan dan kiri dan sistem purkinye(Putra, 1994; Mirzoyev,
2010).
Eksitasi jantung normal, berasal dari sinus nodus (nodus SA), yang disebut
sebagai pacu jantung (pace-maker). Letak nodus SA berada didekat hubungan
antara vena kava superior dan atrium kanan. Nodus ini dipengaruhi oleh saraf
simpatis dan parasimpatis. Nodus SA mendapat vaskularisasi dari arteri
sirkumfleksa dekstra dan arteri sirkumfleksa sinistra (Putra, 1994; Sidharta, 2010).
Dari nodus SA eksitasi kemudian akan menyebar terlebih dahulu ke jaras
internodal atrium yang terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu jaras internodal
anterior, media dan posterior sebelum kemudian dari tempat tersebut ke nodus
AV. Melalui bundlehis dan kedua cabangnya, eksitasi dapat mencapai serabut
purkinje yang selanjutnya menghantarkan rangsangan ke miokardium ventrikel.
Di dalam miokardium, eksitasi menyebar dari dalam ke luar (endokardium ke
epikardium), dari apeks ke basal. Jaras eksitasi normal jantung ditunjukkan pada
Gambar 3(Silbernagl, 2007; Putra 1994).
Potensial di dalam sinus nodus tidak memiliki potensial istirahat yang
tetap, tetapi meningkat setiap repolariasi. Perubahan konduktansi ion di membran
plasma dan perubahan aliran arus ion menyebabkan terjadinya potensiasi ini. Nilai
potensial paling negatif disebut dengan potensial diastolik maksimal (MDP), yang
terus meningkat hingga mencapai potensial ambang (TP) yang kemudian memacu
potensial aksi (AP) (Gambar 4)(Silbernagl, 2007).
Gambar 3. Jaras eksitasi normal jantung (Sumber: http://www.yalemedicalgroup.org)
Konduksi dimulai dengan MDP, yang akan meningkat dan influks kation
ke dalam sel menyebabkan depolarisasi lambat (prapotensial=PP). Setelah TP
tercapai, konduktansi ion Ca meningkat dengan cepat, sehingga potensial
meningkat lebih tajam, sehingga peningkatan influksion Ca, yang menyebabkan
lonjakan AP. Ketika potensial melampaui nilai positifnya, menyebabkan pengeluaran ion K, sehingga sel paju jantung berepolarisai kembali ke
MDP(Silbernagl, 2007).
Normalnya setiap nodus sinus menimbulkan satu denyut jantung, yang
berarti frekuensi impuls nodus sinus menunjukkan frekuensi denyut jantung.
Frekuensi dapat menjadi lebih rendah apabila:
1. Peningkatan depolarisasi lambat menjadi kurang tajam
2. TP menjadi kurang negatif
3. MDP menjadi lebih negatif, sehingga depolarisasi spontan terjadi pada nilai
yang rendah.
4. Repolarisasi AP terjadi kemudian atau lebih lambat
Gambar4. Aliran arus ion dan potensial pacu jantung (Sumber: Silbernagl, Teks dan atlas berwarna patofisiologi)
Setiap bagian dari sistem konduksi memiliki kemampuan depolarisasi
spontan, akan tetapi nodus sinus memiliki peran utama dalam hal ini, karena
bagian lain memiliki frekuensi yang lebih rendah dari nodus sinus akibat dari
depolarisasi yang lebih lambat dan repolarisasi yang lebih datar(Silbernagl, 2007).
Eksitasi yang dimulai dari bagian nodus sinus akan tiba dibagian distal
sebelum depolarisasi spontan mencapai TP, tetapi jika konduksi ini terlambat
maka sistem konduksi sebelah distal akan mengambil alih sehingga terjadi irama
AV, atau apabila lebih lambat lagi akan terjadi irama yang muncul dari ventrikel.
AP menyebabkan pengambilan ion Ca dari ruang ekstraselular melalui kanal
ke sitosol menyebabkan rangkaian elektromekanis kontraksi
jantung(Silbernagl,2007).
Meskipun jantung berdenyut secara spontan, penyesuaian aktivitas jantung
untuk kebutuhan disampaikan melalui saraf eferen. Perubahan aktivitas jantung
ini disebabkan oleh serabut parasimpatis dari nervus vagus dan serabut simpatis.
Peningkatan frekuensi denyut jantung disebabkan oleh aktivitas serabut simpatis
ke nodus sinus (efek inotropik positif) dan penurunan disebabkan oleh adanya
serabut parasimpatis (efek kronotropik negatif). Peningkatan kontrakstilitas
jantung terjadi akibat influks Ca+2, yang diperantarai oleh reseptor beta
adrenergik, memungkinkan peningkatan konsentrasi Ca+2.Influx ion ini dapat
dihambat secara farmakologis dengan penghambatan terhadap kanal
Ca+2(Silbernagl, 2007).
Kontraktilitas juga dapat meningkat akibat pemanjangan AP
(menyebabkan pemanjangan refluks Ca+2, serta penghambatan Na-K-ATP ase,
misalnya dengan pemberian digoksin. Pada frekuensi denyut jantung yang lebih
rendah, influx Ca+2 juga rendah, sehingga aliran keluar Ca+2 berlangsung dalam
waktu yang relatif lama, menyebabkan Ca+2 terdapat dalam jumlah yang relatif
rendah dalam sitosol. Nervus vagus juga dapat bekerja melalui mekanisme ini.
Potensial aksi jantung dapat terdeteksi melalui hasil gambaran elektrokardiografi,
sebagaimana tampak pada Gambar 5.
Gambar 5. Eksitasi jantung dan gambaran pada elektrokardiogram (Sumber: Silbernagl S, Teks dan atlas berwarna patofisiologi)
Kontraksi jantung yang sinkron antara atrium dan ventrikel, memerlukan
suatu aksi cepat dari tiap kelompok sel jantung. Mekanisme aktivasi harus
mengaktifkan secara cepat perubahan denyut jantung dan juga merespon
perubahan otonom, sehingga potensial aksi jantung berperan disini. Gambar 6
merupakan 5 fase potensial aksi normal jantung normal (Myung, 2008; Grant,
2009).
Gambar 6. Respon membran sel jantung terhadap potensial aksi normal (Sumber: Griant O,Cardiac ion channel)
Dari Gambar 6 dijelaskan fase 4 merupakan fase istirahat, fase 0
merupakan fase depolarisasi cepat dimana potensial membran beralih ke dalam
kondisi dengan voltase positif dan pada fase ini terjadi impuls cepat jantung. Fase
1 merupakan fase repolarisasi cepat jantung. Fase 2 merupakan fase plateu, yaitu
fase terlama, dan merupakan petanda masuknya kalsium ke dalam sel. Fase 3
adalah fase repolarisasi cepat yang menyimpan kembali potensial
membran(Griant, 2009).
C. Hipokalsemia
Hipokalsemia merupakan kelainan elektrolit yang paling sering dijumpai pada
anak-anak. Hipokalsemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kalsium serum
dibawah 8,5 mg/dl atau kurang dari 2,1 mmol/L(Singhal, 2011; Ferry, 2011;
Boden, 1990; Shaw, 2009). Pada neonatus, hipokalsemia bila kadar kurang dari 2
mmol/l (8 mg/dl) yaitu pada bayi cukup bulan dan kurang dari 1,75 mmol/l (7
mg/dl) pada bayi premature. Bentuk ion kalsium mempunyai kadar normal antara
1,17-1,29 mmol/L(Ferry, 2011).
Hipokalsemia dapat berlangsung akut akibat penyakit seperti sepsis, bedah
jantung, rhabdomyolisis, metabolisme, hepatitis atau sindrom lisis tumor dan
dapat pula terjadi secara kronik akibat gangguan yang melibatkan metabolisme
paratiroid dan vitamin D. Gangguan metabolisme paratiroid dapat disebabkan
karena jumlah metabolisme yang kurang maupun karena kurangnya respon
metabolik paratiroid. Responsivitas paratiroid ini dapat kurang adekuat jika
ditemukan juga gangguan pada mekanisme vitamin D(Zhou, 2009).
Penyebab hipokalsemia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Ketidakmampuan mobilisasi kalsium yang tersimpan dalam tulang
Kemampuan mobilisasi kalsium dari tulang tergantung dari tingkat PTH.
Konsentrasi PTH dipengaruhi oleh magnesium serum dan kadar vitamin D.
Penurunan PTH dapat disebabkan oleh penurunan kadar magnesium dan
peningkatan vitamin D.
2. Kehilangan banyak kalsium melalui ginjal
3. Kenaikan ikatan protein sehingga jumlah kalsium terbesar adalah dalam
bentuk non ionisasi.
Turunnya kalsium plasma menimbulkan beberapa perubahan fisiologi,
yang memacu untuk mengembalikan kalsium serum kembali ke dalam kadar
normal. Organ tubuh yang ikut berperan dalam metabolisme kalsium ini meliputi
ginjal, tulang dan usus halus, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7.Patofisiologi respon terhadap hipokalsemia (Sumber : Boden, 1990)
Ketika terjadi penurunan kadar ion kalsium serum yang terdeteksi oleh
reseptor pada kelenjar paratiroid dan tubulus ginjal, mengakibatkan sekresi dari
hormon paratiroid (PTH) dan sekresi hormon paratiroid tambahan, yang kemudian
mengakibatkan tiga aksi yaitu :
1. Penyerapan kembali kalsium oleh ginjal
2. Menstimulasi osteoklas untuk meningkatkan resorpsi hormon sehingga terjadi
pelepasan kalsium tulang ke dalam sirkulasi
3. Menstimulasi aktivitas enzim 1 alfa hydroksilase, pada tubulus renal
proksimal menyebabkan peningkatan sekresi 1,25 (OH)2D yang menyebabkan
peningkatan absorbsi kalsium dalam usus.
Meskipun PTH berperan penting terhadap respon hipokalsemia, tetapi keadaan ini
juga memerlukan fungsi normal dari reseptor kalsium, sintesis 1,25(OH)2D dan
respon yang normal dari jaringan perifer terhadap sekresi PTH(Shaw, 2009).
Gejala adanya penurunan kadar kalsium serum, berhubungan dengan peran
kalsium dalam konduksi saraf dan fungsi otot, yaitu adanya peningkatan
eksitabilitas neuromuskular, menyebabkan gangguan kontraksi otot. Eksitasi
neuron terjadi baik pada saraf sensoris maupun motorik, sehingga apabila terjadi
hipokalsemia dapat berakibat luas diantaranya parestesia, tetani, kejang dan bisa
juga dijumpai perubahan psikologis anak(Ferry, 2011; Shaw 2009).
Hipokalsemia akut ditandai oleh adanya peningkatan ketegangan otot saraf
dan kardiovaskular. Kadar kalsium yang terionisasi menstabilkan ketegangan
saraf otot dan membuat sel saraf kurang sensitif terhadap rangsangan. Apabila
kadar kalsium yang terionisasi rendah, maka terjadi penurunan terhadap ambang
sensitasi saraf yang pada kasus ekstrim dapat menyebabkan aktifitas yang terus
menerus. Kenaikan ketegangan saraf dapat berupa gejala kesemutan/parestesia di
daerah mulut, tangan, dan kaki dan tetani otot muka, tangan dan kaki. Bila
hipokalsemia parah, dapat timbul gejala seperti kejang-kejang dan
kematian(Shaw, 2009; Juffrie, 2010).
Ada dua pemeriksaan yang dapat menunjukkan adanya hipokalsemia laten,
yaitu tanda chvostek dan Trousseau. Tanda chvostek, dilakukan dengan
pengetukan berulang dengan telunjuk pada pipi bagian lateral sepanjang
perjalanan nervus fasialis, 0,5-1 cm dibawah processus zygomaticus dan 2cm
anterior lobus telinga. Dinyatakan positif apabila ada gerakan bibir ipsilateral.
Hasil ini dapat negatif pada 29% pasien dengan hasil laboratorium menunjukkan
hipokalsemia(Shaw, 2009).
Manifestasi hipokalsemia terhadap sistem kardiovaskuler meliputi
hipotensi, penurunan isi sekuncup, aritmia kordis (blok kardial dan fibrilasi), dan
kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamine yang
mekanisme kerjanya diperantarai oleh kalsium. Manifestasi akibat hipokalsemia
kronis dapat berupa rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur.
Manifestasi yang lain dapat berupa kulit kering, bersisik, kuku menjadi pecah,
rambut kering, gangguan otak ringan yang menyerupai depresi, demensia atau
psikosis(Juffrie, 2010).
Kalsium merupakan ion terpenting ketiga di tubuh dan memegang peranan
penting dalam fungsi normal sel, transmisi neural, stabilitas membran, struktur
tulang, koagulasi darah dan sinyal intraseluler (Liamis dkk, 2009). Total kalsium
tubuh kurang lebih 99% terdapat dalam bentuk hydroxyapatite crystal yang
terdapat dalam tulang rangka, sementara 1 % beredar dalam cairan ekstraseluler.
50% dari kalsium yang bersirkulasi berupa bentuk ion kalsium bebas, 40% terikat
oleh protein (terutama albumin) dan 10% dalam bentuk kompleks dengan anion
(Zhou P, 2009; Singhal, 2011).
Hipokalsemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kalsium darah
kurang dari normal. Kadar normal kalsium darah bervariasi karena adanya
perbedaan metode laboratorium. Angka normal kalsium darah adalah 8,5-10,5
mg/dl atau 2,1 sampai 2,6 mmol/L. (Zhou et al,2009, Pratico et al,2009) sehingga
hipokalsemia pada anak diartikan sebagai kadar kalsium kurang dari 8,5 mg/dL
atau kurang dari 2,1 mmol/L (Boden, 1990; Singhal, 2010 ).
D. Gambaran Interval Corrected Qt Pada Elektrokardiogram
Elektrolit utama yang berpengaruh pada jantung dan dapat terdeteksi
melalui gambaran elektrokardiografi adalah kalium dan kalsium. Interval QT pada
elektrokardiogram menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk kedua ventrikel
jantung mengalami depolarisasi dan repolarisasi. Interval QT tidak bervariasi
menurut umur, melainkan bervariasi menurut laju jantung. Untuk itulah interval
QT harus diinterpretasikan sesuai dengan laju jantung atau disebut dengan
corrected QT (QTc). Ada cara untuk menilai corrected QT, yaitu dengan
menggunakan tabelatau menggunakan rumus Bazett yaitu interval QT/√interval
RR. Berdasarkan Bazett formula, normal corrected QT harus kurang dari 0,44
detik, kecuali pada bayi (Myung, 1992).
Kelainan interval QT dapat disebabkan oleh berbagai hal:
a. Perpanjangan interval QT, dapat terlihat pada kondisi hipokalsemia, Long QT
syndrome, cedera kepala, atau serebrovaskular, penyakit myokardial yang
difus, dan malnutrisi berat. Beberapa obat-obatan juga dapat menyebabkan
perpanjangan interval QT seperti anti aritmia (quinidine atau procainamide),
antipsikotik golongan fenotiazine, antidepresan trisiklik (Myung 1992, Myung
2008).
b. Perpendekan interval QT, dapat dilihat pada kondisi hiperkalsemia, efek
digitalis (Myung, 1992).
Penting bagi klinisi untuk mengetahui interval QT normal, mengingat
perpanjangan interval QT dapat menyebabkan gangguan aritmia jantung yang
dapat berakibat fatal (Rautaharju, 2008).
E. Hubungan Antara Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran
Interval Corrected Qt Elektrokardiogram
Beberapa teori menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan OAE dengan
penyakit tulang, melalui mekanisme kenaikan proses katabolisme vitamin D yang
menyebabkan penurunan kadar kalsium dalam serum sehingga terjadi
hipokalsemia (Pack, 2004). Tetapi tidak banyak yang meneliti akibat lebih lanjut
dari hipokalsemia karena OAE tersebut terhadap kerja sistem konduksi jantung.
Vitamin D merupakan suatu prohormon yang memiliki peran penting
dalam mengatur keseimbangan kalsium dalam tubuh. Vitamin ini memiliki dua
bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalsiferol) yang bisa didapat dari sumber makanan
nabati, dan vitamin D3 (cholecalsiferol) yang berasal dari sumber makanan
hewani seperti ikan, kuning telur dan sebagainya. Selain bersumber dari makanan
hewani, vitamin D3 bisa diproduksi oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar
ultraviolet B(UVB) yang berasal dari sinar matahari. Vitamin D. sesungguhnya
memiliki struktur yang menyerupai hormon steroid lain. Asalkan paparan sinar
matahari adekuat, maka tubuh tidak akan kekurangan vitamin D meskipun asupan
makanan atau suplementasi vitamin D kurang memadai. Produksi vitamin ini
dirangsang oleh hormon paratiroid, kadar serum kalsium atau fosfor. Apabila
kadar serum kalsium atau fosfor rendah, terjadi stimulasi terhadap hormon
paratiroid sehingga terjadi konversi 25(OH)-D menjadi 1,25 (OH)-D di ginjal
sehingga terjadi peningkatan resorpsi kalsium tulang, meningkatkan penyerapan
kalsium oleh usus dan peningkatan reabsorbsi kalsium di ginjal.
Defisiensi vitamin D dapat terjadi disamping karena kurangnya paparan
terhadap sinar ultraviolet, malabsorbsi lemak, obesitas dan penyakit hati, dapat
juga sebagai akibat penggunaan antikonvulsi jangka panjang seperti fenobarbital,
fenitoin, dan karbamazepin(Sidiartha, 2011). Mekanisme kerjanya adalah dengan
menginduksi katabolisme 1,25 (OH)2D, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 8.
Pada gambar dijelaskan bahwa defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan
penggunaan OAE sepertinya dimediasi oleh orphan nulear reseptor, pregnane X
reseptor (PXR). PXR ini tersebar 60% pada DNA yang berikatan dengan reseptor
vitamin D (VDR) yang diekspresikan pada usus, ginjal dan hati. PXR dapat
diaktivasi oleh berbagai obat termasuk antikonvulsan sehingga terjadi peningkatan
ekspresi CYP 24 suatu enzim yang secara langsung mempengaruhi oksidasi 25
(OH)2D3 dan 1,25 (OH)2 D3 sehingga terjadi penurunan vitamin D aktif yang
menyebabkan hipokalsemia (Pascussi, 2005; Hollic, 2005, Tekgul
2006,Nicolaidou,2006; Valsamis 2006; Kim,2007).
Gambar 8. Mekanisme antikonvulsi fenobarbital sehingga terjadi penurunan vitamin D yang aktif
(Sumber : Nutrition & Metabolism 2006, 3:36)
Akibat pemakaian OAE jangka panjang adalah terjadi gangguan
metabolisme kalsium adalah berupa terjadinya hipokalsemia, hipofosfatemia,
kenaikan serum alkali fosfatase dan serum hormon paratiroid, penurunan serum
metabolit aktif vitamin D, gambaran radiologi riketsia, dan terjadinya gambaran
osteomalasia secara histologis.
Vitamin D juga berpengaruh terhadap keseimbangan kadar kalsium darah.
Apabila terjadi defisiensi vitamin D, dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium, sehingga mempengaruhi kekuatan tulang yang komponen utamanya
terdiri dari kalsium. Beberapa teori menunjukkan adanya hubungan antara
penggunaan OAE dengan penyakit tulang, melalui mekanisme kenaikan proses
katabolisme vitamin D yang menyebabkan penurunan kadar kalsium dalam serum
Adanya hipokalsemia berhubungan dengan terapi jangka panjang obat
antikonvulsan, terdapat pada obat antiepilepsi (OAE) yang menginduksi enzim
hati sitokrom P450 (Pack, 2004;Fitzpatrick, 2004). Akibat tidak sempurnanya
metabolisme vitamin D sehingga menyebabkan penurunan metabolisme kalsium pada usus (seperti fenobarbital, fenytoine, karbamazepine, primidone). Penelitian
terakhir menunjukkan adanya keterlibatan antikonvulsan yang lain seperti asam
valproat, tetapi mekanismenya masih dalam perdebatan (Pack, 2004; Fitzpatrick,
2004).
Kadar ion kalsium, berpengaruh terhadap durasi segmen ST, yang secara
relatif merubah posisi gelombang T. Hipokalsemia dapat menyebabkan
perlambatan waktu repolarisasi, gangguan kontraktilitas otot jantung (Shoback,
2007). Pada kebanyakan pasien dengan hipokalsemia ringan seringkali tidak
menunjukkan gejala, tetapi bisa juga didapati adanya perpanjangan interval
corrected QT pada gambaran elektrokardiogram (Zhou et al, 2009).
Penjelasan Kerangka Konsep:
Terapi dengan fenobarbital dapat menyebabkan aktivasi pada PXR, yang
kemudian berikatan dengan VDR, sehingga terjadi peningkatan ekspresi CYP 24
suatu enzim yang secara langsung mempengaruhi oksidasi 25 (OH)2D dan 1,25
(OH)2 D, menyebabkan terjadinya penurunan vitamin D aktif yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan absorbsi kalsium oleh usus secara langsung. Intake
makanan, malabsorbsi lemak dan obesitas mempengaruhi jumlah pasokan vitamin
D ditubuh. Disamping itu karena metabolisme Vitamin D terjadi di hepar dan
ginjal maka penyakit hati dan ginjal seperti gagal ginjal dan sindrom nefrotik ikut
mempengaruhi terbentuknya vitamin D aktif dalam tubuh. Yang mempengaruhi
kadar kalsium adalah adanya kondisi hipoparatiroid dan intake kalsium.
Hipokalsemia dengan kadar tertentu dapat menyebabkan perubahan pada
gambaran corrected QT elektrokardiogram berupa perpanjangan nilai interval.
Tetapi perubahan gambaran EKG ini dapat dipengaruhi oleh myokarditis, cedera
kepala atau penyakit cerebrovaskular, pemakaian antiaritmia, antidepresan, anti
psikotik, Long QT syndrome, dan aritmia.
G. Hipotesis
Terapi fenobarbital jangka panjang menyebabkan perubahan gambaran
elektrokardiogram pada anak epilepsi.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Design Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk menganalisis hubungan
efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi.
B. Tempat Dan Waktu
Penelitian dilakukan di poliklinik rawat jalan neurologi anak RSUD Dr. Moewardi
Surakarta antara bulan Februari-Juni 2014.
C. Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita epilepsi anak, sedangkan
populasi terjangkau adalah penderita epilepsi anak yang berobat di poliklinik
rawat jalan neurologi anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Februari-
Juni 2014.
D. Subyek
Subyek pada penelitian ini adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara
konsekutif/non-probability sampling.
1. Kriteria Inklusi, meliputi :
a. Penderita epilepsi yangtelah mendapatkan terapi fenobarbital atau terapi
obat anti epilepsi lain (asam valproat) minimal selama 6 bulan
b. Orang tua menandatangani formulir inform consent
2. Kriteria Eksklusi, meliputi :
a. Menderita gagal ginjal, sindrom nefrotik, cedera kepala, penyakit hati,
malabsorbsi lemak, dan aritmia cordis, malnutrisi berat.
b. Menggunakan terapi digitalis, antiaritmia, antidepresan, antipsikotik
E. Besar Subyek
Besar subyek dihitung berdasarkan analisis multivariat. Jumlah subyek berkisar
antara 10-50 kali jumlah variabel bebas (Madiyono, 2007). Variabel bebas pada
penelitian ini adalah fenobarbital. Jumlah subyek yang diperlukan antara 1x10
sampai 1x 50, sehingga dibutuhkan subyek setidaknya 10-50 subyek.
F. Alur Penelitian
Setiap pasien anak yang datang ke poliklinik rawat jalan neurologi anak di RSUD
Dr Moewardi Surakarta, setelah dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi,
dilakukan pendataan awal berupa identitas penderita, pengukuran berat badan dan
tinggi badan, pancatatan jenis obat anti epilepsi yang diberikan sejak minimal 6
bulan yang lalu (fenobarbital atau asam valproat). Kemudian dilakukan
pengambilan serum kalsium dan selanjutnya pemeriksaan elektrokardiografi
(EKG) dalam posisi subjek terlentang. Perhitungan interval corrected QT (QTc)
pada elektrokardiogram dilakukan atas supervisi kardiolog anak. Hasil kemudian
ditampilkan dalam bentuk data kontinu.
Gambar 3.1. Alur penelitian
G. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi fenobarbital atau OAE lain
(kontrol), variabel tergantung pada penelitian ini adalah gambaran interval
corrected QT pada elektrokardiogram.
Penderita epilepsi anak yang datang ke poliklinik neurologi anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Inklusi Eksklusi
Analisis
Mendapat terapi fenobarbital Mendapat terapi OAE lain
(asam valproat) Pengambilan
serum ion Ca
Dilakukan pemeriksaan EKG (QTc)
H. Definisi Operasional
1. Epilepsi
Adalah bangkitan kejang berulang tanpa diprofokasi akibat pelepasan muatan
listrik yang berlebihan, yang terjadi dua kali atau lebih dalam kurun waktu lebih
dari 24 jam (Mikati, 2011). Diagnosis ditegakkan oleh ahli neurologi anak
berdasarkan gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan elektroensefalografi.
2. Terapi fenobarbital
Adalah pemberian terapi fenobarbital yang diberikan kepada penderita epilepsi
dengan dosis 3-25 mg/kgBB/hari (Lazuardi 1999). Dosis yang dipakai pada
penelitian ini sesuai dengan yang tercatat dalam catatan medis pasien. Skala
pengukuran yang digunakan adalah nominal dikotomi dan lama pemberian
fenobarbital menggunakan skala numerik.
3. OAE lain (Asam valproat)
Adalah OAE selain fenobarbital yaitu asam valproat, sebagai kontrol, yang
diberikan pada penderita epilepsi dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari. Dosis yang
diberikan oleh subyek penelitian ini sesuai dengan yang tercatat dalam catatan
rekam medis pasien. Skala pengukuran yang dipakai adalah nominal dikotomi.
4. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan pada semua subjek dengan posisi tidur
terlentang. Pemeriksaan elektrokardiografi dibawah pengawasan kardiolog dan
elektrokardiogram dianalisis oleh kardiolog anak. Mula-mula dilakukan
perhitungan RR dan QT interval pada lead II kemudian dilakukan perhitungan
corrected QT (QTc) berdasarkan rumus Bazett, QTc= QT/√RR. Dikatakan
memanjang apabila lebih dari 0,44 detik (Myung, 1981; Baik 2010). Skala yang
digunakan adalah skala numerik dan untuk perpanjangan QTc dalam skala
nominal dikotomi.
5. Kalsium Serum
Adalah jumlah kalsium didalam serum, dengan angka normal kalsium adalah
8,5-10,5 mg/dl(2,1 sampai 2,6 mmol/L). Dalam praktek klinik pemeriksaan kalsium
yang dinilai adalah dalam bentuk ion kalsium, dimana nilai normal 1,17-1,29
mmol/l. Pada penelitian ini dikatakan hipokalsemia bila kadar ion kalsium kurang
dari harga normal tersebut (Zhou et al,2009, Pratico et al,2009). Pengambilan dan
pemeriksaan serum kalsium dilakukan di laboratorium RSUD Dr. Moewardi
Surakarta oleh analis kesehatan, dalam pengawasan dokter spesialis patologi
klinik. Skala pengukuran adalah skala nominal dikotomi.
I. Izin Subyek Penelitian
Setelah sebelumnya mendapatkan penjelasan tentang tujuan dan manfaat
penelitian yang akan dilakukan, dilakukan penandatanganan informed consent
oleh orang tua subjek atau wali. Penelitian dapat dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan dari Komite Etik yang ada di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
J. Pengolahan Data
Data pada penelitian ini diolah menggunakan program SPSS 20.0. Data dasar
berupa karakteristik subyek (usia, jenis kelamin, status gizi berdasarkan berat
badan ideal menurut tinggi badan, jenis obat anti epilepsi yang didapat)
dideskripsikan dalam jumlah subyek. Hubungan antara variabel bebas dan
variabel tergantung dinilai dengan Chi square dan menggunakan uji t test.
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
Dari keseluruhan populasi yang dianalisis kemudian diseleksi dengan kriteria
inklusi dan eksklusi, didapatkan subyek penelitian sebanyak 24 anak. Subyek
tersebut memiliki karakteristik dasar seperti yang terdapat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian
Variabel Jumlah (n)
Jumlah subyek ini memenuhi persyaratan besar subyek yaitu antara 10-50
orang. Dari distribusi didapatkan jumlah subyek dengan usia kurang dari 5 tahun
sebanyak 8 anak, usia 5-10 tahun sebanyak 7 anak dan usia 10-15 tahun sebanyak
9 anak. Subyek dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki,
yaitu perempuan sebanyak 15 anak dan laki-laki sebanyak 9 anak. Subyek yang
mendapat terapi fenobarbital sebanyak 11 anak dan 13 anak mendapat terapi
selain fenobarbital yaitu asam valproat. Dari subyek yang didapat tidak satupun
yang menderita obesitas.
Dari hasil pemeriksaan kadar ion kalsium, didapatkan hipokalsemia (<1,17
mmol/l) terjadi pada 12 subyek dimana 6 subyek mendapat terapi fenobarbital,
dan 6 subyek mendapatkan asam valproat.
Pada hasil pemeriksaan QTc pada elektrokardigram hanya terdapat 3
subyek yang mengalami perpanjangan QTc, dimana subyek tersebut 2
mendapatkan terapi fenobarbital dan 1 asam valproat. Dari hasil analisis mengenai
hubungan antara efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram
pada anak dengan epilepsi dengan analisis bivariat chi square didapatkan hasil
sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil analisis bivariat antara efek terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc pada elektrokardiogram
QTc
OR p
Nomal Memanjang Total
n (%) n (%) n(%)
Jenis
terapi Asam valproat Fenobarbital 12 (92,3) 9 (81,8) 2 (18,2) 1 (7,7) 13(100) 2,7 0,576 11(100)
Total 21 (87,5) 3(12,5) 24 (100)
Nilai bemakna jika p <0,05
Dari Tabel 4.2 menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara efek
terapi fenobarbital terhadap terjadinya perpanjangan gambaran QTc meskipun
secara statistik tidak signifikan. Anak dengan epilepsi yang mendapat terapi
fenobarbital memiliki risiko sebesar 2,7 kali untuk mengalami perpanjangan QTc
pada gambaran elektrokardiogram (OR=2,7; CI 95% : 0,21-34,20; p=0,576).
Pada penelitian didapatkan jumlah subyek yang mendapatkan fenobarbital
12-24 bulan dan 1 subyek mendapat terapi fenobarbital lebih dari 24 bulan.Pada
analisis lebih lanjut mengenai hubungan lama pemberian terapi fenobarbital
terhadap perubahan gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi
menggunakan uji korelasi didapatkan hasil nilai koefisien korelasi sebesar 0,47
(kekuatan korelasi sedang) dengan p=0,02. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara lama pemberian terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc.
Hasil analisis uji korelasi tampak pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil uji korelasi tentang hubungan efek lama pemberian terapi Nilai bemakna jika p <0,05
Pada Tabel 4.4 disajikan hasil uji alternatif t test yaitu uji Mann Whitney. Dari
hasil uji tersebut didapatkan adanya perbedaan yang bermakna panjang QTc
antara kelompok yang mendapat terapi asam valproat dan fenobarbital (p=0,008)
Tabel 4.4. Hasil uji Mann Whitney tentang perbedaan rerata panjang QTc pada elektrokardiogram pada subyek yang mendapat terapi fenobarbital dan asam valproat
N Median
(minimum-maksimum) rerata±sb p
Asam valproat 13 0,36 (0,35-0,45) 0,37±0,03 0,008
Fenobarbital 11 0,41(0,37-0,44) 0,41±0,02
Nilai bermakna jika p<0,05
Pada analisis untuk mengetahui hubungan antara efek terapi fenobarbital
terhadap terjadinya hipokalsemia pada anak dengan epilepsi, didapatkan hasil Odd
Ratio sebesar 1,4 dengan CI 95%: 0,28-7,02, meskipun tidak signifikan secara
statistik (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Analisis bivariat hubungan antara fenobarbital terhadap hipokalsemia
Nilai bemakna jika p <0,05
Pada analisis komparatif tentang terjadinya perpanjangan QTc pada
elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi yang mendapat terapi fenobarbital
dan kontrol yaitu asam valproat, yang menderita hipokalsemia dan tidak
hipokalsemia, didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan rerata panjang QTc pada
kedua kelompok. (Tabel 4.6)
Tabel. 4.6. Hasil uji t tidak berpasangan rerata panjang QTc pada anak yang mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia
n rerata±sd p
Normal 12 0,39±0,04 0,619
Hipokalsemia 12 0,40±0,03
Nilai bemakna jika p <0,05
B. Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dengan mengambil subyek bulan Februari sampai Juni 2014.
Dari hasil penelitian didapatkan subyek sebanyak 24 anak, dengan rata-rata usia
7,9 tahun.
Pasien epilepsi didiagnosis berdasarkan hasil temuan secara klinis
ditunjang oleh hasil pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Jenis obat anti
epilepsi yang digunakan pada penelitian ini adalah fenobarbital yang mempunyai
hipokalsemia, dan kontrol yaitu asam valproat yang tidak mempunyai efek
tersebut. Pada penelitian ini didapatkan hasil anak dengan terapi fenobarbital
berisiko menderita hipokalsemia sebanyak 1,4 kali dibandingkan dengan kontrol
(p=0,682). Fenobarbital mempunyai juga mempunyai efek aktivasi PXR sehingga
menyebabkan ekspresi CYP 24 yang dapat mempengaruhi metabolisme kalsium
melalui penurunan vitamin D aktif yang selanjutnya menyebabkan terjadinya
hipokalsemia (Pascussi, 2005; Holick 2005; Valsamis 2006).
Pada penelitian ini juga didapatkan hasil tidak adanya hubungan yang
signifikan antara hipokalsemia untuk terjadinya perpanjangan QTc pada
elektrokardiogram. Menurut analisis dari peneliti hal ini disebabkan disamping
jumlah subyek yang terlalu sedikit juga karena kurang lebih 99% dari total
kalsium tubuh terdapat dalam bentuk kristal hidroksi apatit pada tulang rangka,
1% berada di cairan ekstraselular. 50% dari Ca yang bersirkulasi terdapat dalam
bentuk ion Ca, 40% berikatan dengan albumin dan 10% berada dalam kompleks
dengan anion (Brown, 2001, Zhou, 2009). Apabila terjadi penurunan kalsium
plasma menimbulkan beberapa perubahan fisiologi, yang melibatkan tulang, usus
dan ginjal yang memacu untuk mengembalikan kalsium serum kembali ke dalam
kadar normal (Boden, 1990).
Sebelumnya belum pernah ada penelitian yang menggambarkan hubungan
antara fenobarbital secara langsung dengan fungsi jantung, sampai kemudian di
tahun 2014, Marfuah meneliti tentang pengaruh fenobarbital terhadap fungsi
jantung sistolik dan diastolik meskipun secara statistik tidak signifikan (Marfuah,
2014). Beberapa penelitian lain meneliti hubungan antara OAE seperti
fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin dengan hipokalsemia atau densitas
tulang.
Pemakaian OAE (fenitoin, karbamazepin, fenobarbital) jangka panjang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme kalsium yaitu berupa
terjadinya hipokalsemia, hipofosfatemia, kenaikan serum alkali fosfatase dan
serum hormon paratiroid, penurunan serum metabolit aktif vitamin D, gambaran
radiologi riketsia, dan terjadinya gambaran osteomalasia secara histologist(Pack,
2007). Berdasarkan hasil pemeriksaan QTc pada elektrokardiogram, didapatkan
sebanyak 3 subyek mengalami perpanjangan QTc dimana 2 subyek mendapatkan
terapi fenobarbital. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan hubungan yang
signifikan antara lama pemberian fenobarbital terhadap terjadinya perpanjangan
QTc pada gambaran elektrokardiogram. Anak anak dengan terapi fenobarbital
mengalami risiko untuk terjadi perubahan gambaran QTc pada EKG sebesar 2,7
kali dibandingkan kontrol yang mendapat terapi asam valproat (p=0,576). Pada
penelitian juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan rerata panjang QTc
pada anak epilepsi yang mendapat terapi fenobarbital dan asam valproat
(p=0,008), anak dengan terapi fenobarbital memiliki rerata QTc lebih panjang
dibandingkan dengan yang mendapat terapi asam valproat. meskipun pada
penelitian ini tidak terdapat perbedaan rerata panjang QTc pada kelompok yang
mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia. Diduga ada mekanisme lain
yang ikut berperan dalam terjadinya perubahan gambaran EKG pada subyek yang
mendapat fenobarbital. Pada sebuah penelitian oleh Cheng dkk (2010) tentang
efek jangka panjang obat epilepsi seperti karbamazepin, fenobarbital, asam
valproat dan fenitoin, didapatkan adanya efek obat tersebut terhadap fungsi
kardiovaskular melalui mekanisme peningkatan homosistein dan serum
lipoprotein (Cheng, 2010).
Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kalsium dalam darah,
menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian. Meskipun pada penelitian ini
semua subyek tidak mengalami obesitas, akan tetapi tidak diketahui asupan nutrisi
yang didapat tiap subyek. Keterbatasan penelitian ini diantaranya adalah adanya
faktor seperti intake makanan, tidak adanya analisis dari total dosis OAE yang
didapat oleh subyek selama pengobatan, dan jumlah subyek yang terlalu kecil
sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi hasil
penelitian yang didapat.
40
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian ini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara
terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc pada penderita epilepsi. Dimana anak
dengan terapi fenobarbital berisiko mengalami perpanjangan QTc pada gambaran
elektrokardiogram sebanyak 2,7 kali dibandingkan kontrol yang mendapat terapi
asam valproat (p=0,576). Terdapat perbedaan yang bermakna rerata panjang QTc
pada gambaran elektrokardiogram antara subyek yang mendapat terapi
fenobarbital dan asam valproat (p=0,008). Terapi fenobarbital menyebabkan
hipokalsemia sebesar 1,4 kali (p=0,682), akan tetapi pada penelitian ini tidak
didapatkan perbedaaan rerata panjang Qtc pada gambaran EKG pada kelompok
hipokalsemia dan tidak hipokalsemia (p=0,619).
B. Saran
Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis diet dan penghitungan total dosis OAE
yang didapat serta sampel penelitian yang terlalu sedikit. Sehingga diharapkan
pada penelitian yang akan datang dapat dilakukan dengan mengambil subyek
yang lebih besar dengan menganalisis hal-hal tersebut serta mengambil jangka
waktu pengamatan efek terapi OAE yang lebih lama sehingga lebih dapat
menggambarkan efek jangka panjang pemberian OAE terhadap kadar kalsium
serum dan pada jantung.
C. Implikasi Penelitian
1. Efek bidang akademik
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat dipakai sebagai acuan
akan adanya kemungkinan gangguan jantung pada pasien epilepsi akibat
pemberian fenobarbital, yang dapat terdeteksi sejak dini dengan
pemeriksaan elektrokardiogram.
2. Efek bidang Kedokteran keluarga
Diharapkan para dokter dapat mengupayakan skrining kemungkinan
kelainan jantung pada pasien dengan terapi OAE, sehingga dapat
mengetahui lebih awal kelainan jantung yang mungkin terjadi dan
mengupayakan pencegahan atas dampak lebih lanjut dari kelainan jantung
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad S, Fowler LJ, Whitton PS. 2005. Lamotrigine, carbamazepine and Phenytoin differentially alter extracellular levels of 5-hydroxytryptamine, dopamine and amino acids. Epilepsy Res, 63 : 141-9
Marfuah. 2014. Pengaruh fenobarbital terhadap fungsi jantung diastolik dan sistolik.Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.Tesis.
Anmann B, Grünze H, Vieta E. et al. 2007. Antiepileptic drugs and mood stability.Clin. EEG Neurosci. 38:116–23.
Baik R, Chae JH, Lee YM, Kang CH, Lee JS, Kim HD. 2010. Electrocardiography as an Early Cardiac Screening Test in Children with Mitochondrial Disease. Korean J Pediatr 2010;53(5): 644-647
Bialer M. 2006. New antiepileptic drugs that are second generation to existingantiepileptic drugs.Expert Opin. Invest. Drugs, 15:637–47.
Bialer M, Johannessen SI, Kupferberg HJ, Levy RH et al. 2007. Progress report on new antiepileptic drugs: a summary of the Eighth Eilat conference (Eilat VIII). Epilepsy Res, 73:1–52.
Bialer M, White HS. 2010. Key Factors in the Discovery and Development of New Antiepileptic Drugs. Nature Reviews Drug Discovery 9, 68-82
Banu SH, Jahan M, Koli UK, Ferdousi S, Khan NZ, Neville B. 2007. Side Effects of Phenobarbital and Carbamazepine in childhood epilepsy: randomized controlled trial. BMJ,doi:10.1136
Boden SD, Kaplan FS, Calcium Homeostasis. Orthop Clin N Am 21.1990. 31-42 Christiansen C, Rodbro P, Lund M. Incidence of anticonvulsant osteomalacia and effect of vitamin D: controlled therapeutictrial. BMJ. 4:695–701.
Brown, 2001. Physiology of Calcium Metabolism. Dalam : Becker KL. Penyunting. Principles And Practice of Endocrinology and Metabolism. Edisi Ke 3. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2001.
Burneo JG, Tellez-Zenteno J, Weibe S. 2005. Understanding the burden of epilepsy in latin America: a systematic review of its prevalence and incidence. Epilepsy Res 2005; 66; 63-74
Cheng LS, Prasad AN, Rieder MJ. 2010. Relationship between antiepileptic drug and biological markers affecting long term cardiovascular function in children and adolescent. Can J Clin Pharmacol Vol 17 (1) January 2010; e1-42
Engel J, Chair. Report of the ILAE Classification Core Group.Dalam :Epilepsia. Vol 47 No. 9, 2006.Diakses : September 2011
Fitzpatrick LA, 2004 .Pathophysiology of bone loss in patients receiving anticonvulsant therapy. Epilepsy Behavioural, 5: S3-S15.
Fitzpatrick, L.A.2002. The hypocalcemic states. Dalam: M Fayus, penyunting. Disorders of Bone and Mineral Metabolism. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, , 568-588,
Griffin JE. Ojeda SR.1996. Textbook of Endocrine Physiology. New York. Oxford University Press.
Hare GE, Dubin AM, 2008, The Normal Elektrocardiogram. Dalam : Allen HD et al, penyunting. Moss and Adam’s Heart Disease in Infants, Children and Adolescents. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins. 253
Holick MF: Stay tuned to PXR: an orphan actor that may not be D-structive only to bone. J Clin Invest 2005, 115:32-34.
Kulak CA, Borba VZ, Bilezikian JP, Silvado CE, Paola L, Boguszewski CL. 2004. Bone mineral density and serum levels of 25 OH vitamin D in chronic users of antiepileptic drugs. Arq Neuropsiquiatr . 62:940-948.
Kuo, C.C., Lin, B.J., Chang, H.R. et al. 2004. Use-dependent inhibition ofthe N.-methyl-D-aspartate currents by felbamate: a gating modifi erwith selective binding to the desensitized channels. Mol. Pharmacol. 65:370–80
Kuo X. 1998. A common anticonvulsant binding site for phenytoin, Carbamazepine, and lamotrigine in neuronal Na+ channels.Mol. Pharmaco.,54:712–21
Landmark JC. 2007. Targets for antiepileptic drugs in the synapse. Med. Sci. Mon., 13(1):RA1–7
Lazuardi S. 1999. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta. BP IDAI.231-6
Liamis G, Milionis HJ. A Review of drug-induced hypocalcemia. J Bone Miner Metab, 2009. 635-642
Loiseau P. 2002. Carbamazepine: clinical efficacy and use in epilepsy. Dalam RH Levy, RH Mattsson, BS Meldrum & E Perucca, penyunting.In antiepileptic Drugs, edn 5, ch 23. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.262–272.
Lumbantobing. 1999. Etiologi dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta. BP IDAI.197-203
Mac TL, Tran D, Quet F, Odermatt P, Preux PM, Tan CT. 2007. Epidemiology, aetiology and clinical management of epilepsy in Asia: a systematic review. http://neurology.thelancet.com Vol 6. 533
Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto S, 2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta. Sagung Seto. 302-39
Mbuba CK, Newton CR. 2009.Packages of Care for Epilepsy in Low and Middle Income Countries.www.plosmedicine.org. Vol 6 Issue 10.e1000162.
Mc Namara JO. 1996. Drugs effective in the therapy of epilepsies. Dalam: Hardman dkk. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics edisi ke 9. New York. 461-86
Mikati MA. 2011. Seizures in childhood. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Berhman RE, penyunting. Nelson textbook of Pediatrics.Edisi ke 19. Philadelphia.Elsevier Saunders. 2013-33
Myung KP. 1992.How to read Pediatric ECGS Edisi ke tiga. Texas. Mosby. 54-5
Myung KP. 2008. Pediatric Cardiology for Practitioners 5th Edition.Philadelphia. Mosby Elsevier. 50
Nordli DR, Pedley TA, Vivo DC. 2002. Seizure disorders in Infants and Children. Dalam : Rudolph CD, Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s Pediatrics, 21st edition. USA. Mc Graw Hill2255
Pack AM, 2004, Bone disease in epilepsy. Curr Neurol Neurosci Rep, 4:329-334.
Pack AM, Gidal B, Vazquez B. 2004. Bone Disease Associated with Antiepileptic Drugs. Cleveland Clinic Journal of Medicine. Vol 71, supplement 2.
Pascussi JM, Robert A, Nguyen M, Walrant-Debray O, Garabedian M,Martin P, Pineau T, Saric J, Navarro F, Maurel P, Vilarem MJ: Possible involvement of pregnane X receptor-enhanced CYP24 expression in drug-induced osteomalacia. J Clin Invest 2005, 115:177-186.