• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran Elektrokardiogram Pada Anak Dengan Epilepsi Husnia Auliya Full

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran Elektrokardiogram Pada Anak Dengan Epilepsi Husnia Auliya Full"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN EFEK TERAPI FENOBARBITAL TERHADAP GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM

PADA ANAK DENGAN EPILEPSI

TESIS

Untuk memenuhi Sebagian persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Oleh :

Husnia Auliyatul Umma S 501002016

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2014

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’alaa atas berkat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul HUBUNGAN EFEK TERAPI

FENOBARBITAL TERHADAP GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PADA ANAK DENGAN EPILEPSI. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak dan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai derajat Magister kedokteran Keluarga.

Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga serta ilmu dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, Sp.A(K), selaku Ketua program studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM sekaligus sebagai pembimbing I, dan kepada dr. Sri lilijanti W, Sp. A (K) selaku pembimbing II.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. R. Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Zaenal Arifin Adnan, dr. SpPD-KR FINASISM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Studi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dr. dr. Hari Wujoso Sp.F, MM, selaku Ketua Minat Utama Ilmu Kedokteran Biomedik Program Studi Kedokteran Keluarga Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menempuh pendidikan Magister kedokteran Keluarga pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Terima kasih penulis sampaikan kepada drg. Basoeki Soetardjo, MMR selaku Direktur RSUD Dr. Moewardi atas ijin yang telah diberikan dalam pemakaian sarana dan prasarana selama menempuh pendidikan. Terima kasih

(6)

vi

yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dr. Endang Dewi Lestari, SpA(K), MPH selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan selama proses pendidikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Mustarsid, Sp.A (K) dan dr Fadhilah TN, Sp.A. Mkes yang telah mengijinkan penulis dalam melakukan penelitian di Sub Divisi Neurologi Anak FK UNS/RSDM. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Prof. Bhisma Murti dr, MSc, MPH, PhD atas bimbingannya, dan kepada seluruh staf, petugas poliklinik dan laboratorium serta semua pihak di lingkungan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.

Kepada suamiku tercinta dr. Nugraha Afandi , penulis sampaikan terima kasih sebanyak banyaknya atas semangat, pengertian dan doa yang senantiasa diberikan. Dan untuk anakku tersayang Atiya Namilatul Umaiza, terima kasih ummi sampaikan karena telah menjadi anak yang manis yang selalu menjadi penyemangat ummi saat menempuh pendidikan. Kepada orang tuaku, terima kasih atas semangat, dukungan serta doa yang tulus yang senantiasa kalian berikan selama proses pendidikan. Kepada sahabatku, rekan-rekan peserta program pendidikan dokter spesialis anak, penulis sampaikan terima kasih telah membantu dan mendukung proses penyusunan makalah tesis ini.

(7)

vii

3. Manfaat bidang kedokteran keluarga...4

(8)

viii

B. Anatomi dan elektrofisiologi otot jantung...9

C. Hipokalsemia...16

D. Gambaran Interval corrected QT pada elektrokardiogram...20

(9)

ix

I. Izin subyek penelitian...31

J. Pengolahan data...31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...33

B. Pembahasan...36

BAB V PENUTUP A. Simpulan...40

B. Saran...40

C. Implikasi Penelitian...41

DAFTAR PUSTAKA...42

LAMPIRAN...47

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme obat anti epilepsi...9

Gambar 2. Gambar otot jantung...10

Gambar 3. Jaras eksitasi normal Jantung...12

Gambar 4. Aliran arus ion dan potensial pacu jantung...13

Gambar 5. Eksitasi jantung dan gambaran pada elektrokardiogram...15

Gambar 6. Respon membran sel jantung terhadap potensial aksi normal...15

Gambar 7. Patofisiologi respon terhadap hipokalsemia...17

Gambar 8. Mekanisme Antikonvulsi fenobarbital sehingga terjadi penurunan vitamin D...23

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Obat epilepsi pilihan pertama dan kedua sesuai sifat serangan

epilepsi…...7

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian...33

Tabel 4.2. Hasil analisis bivariat antara efek terapi fenobarbital terhadap

gambaran QTc pada elektrokardiogram...34

Tabel 4.3. Hasil uji korelasi tentang hubungan efek lama pemberian terapi

fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram...35

Tabel 4.4. Hasil uji Mann Whitney tentang perbedaan rerata panjang QTc

pada elektrokardiogram pada subyek yang mendapat terapi

fenobarbital dan asam valproat...35

Tabel 4.5. Analisis bivariat hubungan antara fenobarbital terhadap

hipokalsemia pada anak dengan epilepsi...36

Tabel. 4.6. Hasil uji t tidak berpasangan rerata panjang QTc pada anak yang

mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia...36

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance...47

Lampiran 2. Penjelasan Penelitian...48

Lampiran 3. Formulir persetujuan Penelitian dan tindakan medis...49

Lampiran 4. Formulir Isian Penelitian…………...………..……….…...51

Lampiran 5. Data Dasar Penelitian...52

Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data...53

(13)

xiii

NMDA : N methyl-D-Aspartate

MDP : Maximal Diastolic Potential

OAE : Obat anti Epilepsi

PP : Prapotensial

PTH : parathyroid hormone

PXR : Pregnane X Reseptor

QTc : Corrected QT

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

(14)

xiv

ABSTRAK

Husnia Auliyatul Umma. Nim S 501002016. 2014. Hubungan Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran Elektrokardiogram Pada Anak Dengan Epilepsi. Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Harsono Salimo, Sp. A (K), II : dr Sri Lilijanti W, Sp.A(K). Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang : Epilepsi adalah suatu kelainan neurologi yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Penderitanya membutuhkan obat anti epilepsi (OAE) jangka panjang. Salah satu OAE lini pertama yaitu fenobarbital, menginduksi CYP 450 yang berdampak pada hipokalsemia dengan akibat lanjut dapat terjadi gangguan fungsi jantung. Langkah awal deteksi dini kelainan jantung dengan pemeriksaan EKG menjadi suatu hal yang utama untuk mendeteksi dampak tersebut.

Tujuan : untuk menganalisis hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardigram pada anak epilepsi.

Metode : Penelitian potong lintang ini diambil di poliklinik Sub Divisi Neurologi Anak RS Dr Moewardi Surakarta pada Februari-Juni 2014. Subyek sebanyak 24 diambil secara konsekutif dengan kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dan ion kalsium serum. Data diolah dengan SPSS 20.0. Analisis untuk menilai hubungan kedua variabel menggunakan Chi square

dan uji t.

Hasil : Didapatkan hubungan yang positif antara efek terapi fenobarbital dengan gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi meskipun secara statistik tidak signifikan ((OR 2,7; p=0,576). Terdapat hubungan antara efek terapi fenobarbital terhadap terjadinya hipokalsemia, namun tidak signifikan secara statistik (OR 1,4; p=0,682). Tidak didapatkan perbedaan rerata panjang QTc pada elektrokardiogram antara penderita epilepsi yang hipokalsemia dan tidak hipokalsemia (p=0,619).

Kesimpulan : Pada anak dengan epilepsi, fenobarbital mempunyai pengaruh terhadap gambaran QTc pada elektrokardiogram meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata Kunci : fenobarbital, elektrokardiogram, epilepsi,anak

(15)

xv

ABSTRACT

Husnia Auliyatul Umma. NIM S501002016. The Relationship between Phenobarbital Therapeutic Effect on Overview of electrocardiogram In Epileptic Children. Thesis. Supervisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. Sp. A (K), II: Sri Lilijanti W, dr, SpA (K). Medical Family Study Program Main Interest in Biomedical Sciences, Post Graduate Program, University of Sebelas Maret, Surakarta.

Background : Epilepsy is a neurological disorder that is the most common in children. The patient require anti-epileptic drugs (OAE) for long term used. One of the first line of the OAE Phenobarbital that induce CYP 450 may has effect hypocalcemia which influences the cardiac dysfunction. The initial step to early detection of abnormal electrocardiogram be a major thing to detect such effects.

Objective : To analyze the relationship between phenobarbital therapeutic effect on overview of electrocardiogram In epileptic children.

Methods: This cross sectional study was taken in the Sub Division of Neurology Dr. Moewardi Hospital Surakarta in February to June 2014. A total of 24 subjects were taken consecutively with the inclusion and exclusion criteria, obtained electrocardiographic examination and calcium serum. The data were processed with SPSS 20.0. Analysis to assess the relationship between the two variables using the Chi Square and t test.

Results: There is a positive relationship between the effects of phenobarbital therapy with an overview of the electrocardiogram in children with epilepsy although not statistically significant ((OR 2.7, p = 0.576). There is a relationship between the therapeutic effect of phenobarbital on the occurrence of hypocalcemia, but not statistically significant (OR 1.4, p = 0.682). There were no differences in the mean length of QTc on electrocardiogram among epileptic children who has hypocalcemia and normocalcemia (p = 0.619).

Conclusion: In children with epilepsy, phenobarbital has an influence on the QTc on electrocardiogram overview although not statistically significant.

Keywords: phenobarbital. electrocardiogram, epilepsy, child

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi merupakan suatu kelainan di bidang neurologi yang paling banyak dan

serius yang melibatkan 50 juta orang di seluruh dunia, dimana total insiden

epilepsi secara keseluruhan adalah 3%, dengan lebih dari separuhnya terjadi pada

masa anak-anak dengan prevalensi pertahun 0,5-1% (Scott, 2001; Mbuba 2009;

Mikati, 2011). Lebih dari empat perlima dari 50 juta penderita epilepsi terdapat di

Negara berkembang (Scott, 2001). Sebuah sistematik review yang dilakukan oleh

Mac dkk terhadap penderita epilepsi di Asia menyebutkan bahwa penyebab utama

dari epilepsi adalah cedera kepala, penyakit serebrovaskuler, infeksi susunan saraf

pusat dan trauma lahir (Mac dkk, 2007). Di RSUD Dr Moewardi Surakarta jumlah

pasien epilepsi yang berobat di poliklinik neurologi anak pada kurun waktu 6

bulan, antara Januari sampai Juni 2008 adalah sebanyak 86 pasien, dimana 55%

merupakan laki-laki dan 45% adalah perempuan(Riana, 2009).

Terapi penderita epilepsi dengan obat antiepilepsi(OAE) umumnya

membutuhkan waktu yang lama sehingga memberikan dampak pada mekanisme

katabolisme vitamin D dan gangguan metabolisme kalsium dalam hal ini adalah

hipokalsemia(Sheth, 2004; Pack, 2004). Fenobarbital termasuk salah satu OAE

yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) sebagai obat lini

pertama dalam banyak kejang dan epilepsi di negara yang sedang berkembang

(Banu, 2007). Obat ini juga mempunyai efek pada metabolisme kalsium sehingga

(17)

dapat menyebabkan hipokalsemia, yang apabila berlanjut dapat menyebabkan

gangguan kontraktilitas dan komplikasi jangka panjang kardiomiopati, dalam hal

ini kardiomiopati dilatasi,sehingga dapat terjadi penurunan fungsi miokardium

dan penurunan cardiac output (Fitzpatrick, 2002; Griffin et al, 2006;Shoback et

al, 2007;Myung 2008; Tomar et al, 2010;).

Di tengah tingginya teknologi imaging, elektrokardiografi masih memiliki

tempat sebagai alat diagnostik untuk gangguan konduksi jantung dan aritmia

(Here et al, 2008). Salah satu tanda pada elektrokardiografi akibat hipokalsemia

adalah dengan ditemukannya perpanjangan segmen ST sebagai hasilnya terjadi

perpanjangan QTc(Myung, 2008).

Terbatasnya penelitian yang menghubungkan antara terapi obat anti

epilepsi terhadap kerja jantung akibat kemungkinan terjadinya hipokalsemia pada

anak dengan terapi fenobarbital, dan untuk meningkatkan manajemen penderita

epilepsi dengan pencegahan dini akibat lebih lanjut dari hipokalsemia, peneliti

tertarik untuk menganalisis efek terapi fenobarbital terhadap gambaran

elektrokardiogram, sehingga diharapkan alat ini dapat digunakan untuk

mendeteksi kemungkinan terjadinya kelainan jantung akibat hipokalsemia pada

anak dengan epilepsi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran

elektrokardiogram pada anak epilepsi?

(18)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan efek terapi fenobarbital terhadap gambaran

elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis kadar kalsium serum pada anak epilepsi yang mendapat

terapi fenobarbital

b. Menganalisis hubungan kadar kalsium serum terhadap perubahan

gambaran elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bidang akademik untuk Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

bagian neurologi dan kardiologi

Diharapkan mampu mengetahui hubungan antara efek terapi fenobarbital

terhadap gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi

2. Manfaat bidang pelayanan

Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara terapi

fenobarbital terhadap terjadinya hipokalsemia, dapat memberikan informasi

tentang perlunya skrining kemungkinan efek jangka panjang terapi

fenobarbital dan dapat mengetahui pengaruh kadar kalsium terhadap

gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi.

(19)

3. Manfaat bidang kedokteran keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memberikan edukasi

kepada keluarga penderita epilepsi anak, tentang pentingnya evaluasi teratur

untuk mengetahui kemungkinan efek jangka panjang dari penggunaan obat

antiepilepsi terhadap jantung dengan pemeriksaan elektrokardiogram yang

mudah dan murah.

(20)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi

1. Definisi epilepsi

Epilepsi adalah suatu bangkitan kejang berulang tanpa diprofokasi akibat

pelepasan muatan listrik yang berlebihan, yang terjadi dua kali atau lebih dalam

kurun waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi diklasifikasikan menjadi kejang parsial

dan kejang umum (Mikati, 2011). Epilepsi merupakan suatu hasil dari bentukan

abnormal dari eksitasi dan sinkronisasi saraf di otak yang biasanya melibatkan

korteks (Engel, 2006).

2. Epidemiologi

Epilepsi merupakan kelainan paling sering di bidang neurologi. Organisasi

kesehatan dunia (WHO) memperkirakan delapan dari 1000 orang di dunia

menderita penyakit ini, dengan prevalensi penderita di negara berkembang lebih

tinggi dari pada di negara maju. Lebih dari separuh dari 50 juta orang dengan

epilepsi diperkirakan terdapat di Asia. Insiden epilepsi berubah-ubah menurut

umur, dimana insidensi tertinggi didapatkan saat usia anak-anak dini dengan

laki-laki jumlahnya sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan (Burneo, 2005;

Preux, 2005).

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI- RS Cipto Mangunkusumo

(RSCM) Jakarta tahun 1990, didapatkan insiden penderita epilepsi sebanyak 2 per

(21)

1000 pasien yang datang ke RSCM, sedangkan di tahun 1991 insidennya 3 per

1000 pasien (Prassat, 1999). Di RSUD Dr Moewardi Surakarta jumlah pasien

epilepsi yang berobat di poliklinik neurologi anak pada kurun waktu 6 bulan,

antara Januari sampai Juni 2008, didapatkan sebanyak 86 pasien merupakan

pasien epilepsi, dimana 55% merupakan laki-laki dan 45% sisanya adalah

perempuan (Riana, 2009).

3. Patogenesis

Serangan epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepas muatan listrik

yang berlebihan pada sel neuron. Setiap kelainan yang mengganggu faal normal

sel neuron di otak baik lokal maupun umum, dapat menyebabkan terjadinya

bangkitan epilepsi. Bangkitan kejang dapat dicetuskan akibat inaktivitas sinap

inhibitor atau stimulasi berlebihan pada eksitator (Lumbantobing, 1999).

Bukti klinis dan eksperimen menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam

inhibisi post sinap pada patogenesis epilepsi. Penurunan gamma amino butyric

acid (GABA) pada saraf terminal dilaporkan merupakan fokus epileptogenesis.

Disamping akibat dari tidak efektifnya mekanisme inhibisi post sinap, kenaikan

transmisi eksitasi juga merupakan penyebab dari serangan epilepsi. Beberapa

tahun terakhir, perhatian terfokus pada asam amino yang berfungsi sebagai

neurotransmitter eksitator, yaitu glutamat. Aktivasi dari salah satu sub tipe

reseptor glutamat, N methyl-D-Aspartate (NMDA), menyebabkan eksitasi kuat

sel, mengakibatkan perpanjangan depolarisasi neuron (Nordli dkk, 2002).

(22)

4. Obat anti epilepsi

Jenis OAE yang diberikan kepada penderita epilepsi, sangat tergantung

dari sifat atau tipe serangan epilepsi. Tabel 2.1 menjelaskan tentang obat pilihan

pada berbagai sifat serangan epilepsy (Lazuardi, 1999; Mikati, 2011).

Tabel 2.1. Obat epilepsi pilihan pertama dan kedua sesuai sifat serangan epilepsi

Serangan Epilepsi Parsial

OAE pilihan pertama

OAE pilihan kedua Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin Benzodiazepin, asam valproat

Serangaan Epilepsi Umum

Serangan Tonik Klonik OAE pilihan pertama

OAE pilihan kedua Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin Benzodiazepin, asam valproat Serangan Absens

OAE pilihan pertama

OAE pilihan kedua Etosuksimid, asam valproat Benzodiazepine Serangan mioklonik

OAE pilihan pertama

OAE pilihan kedua Benzodiazepine, asam valproat Etosuksimid Serangan tonik klonik atonik Semua OAE kecuali etosuksimid

Fenobarbital, karbamazepin, primidon, fenitoin, etosuksimid dan asam

valproat, dapat mengatasi sebagian besar jenis epilepsi sehingga obat ini

merupakan OAE pilihan pertama dalam terapi epilepsy (Lazuardi, 1999).

Mekanisme obat anti epilepsi pada dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan

antara eksitasi dan inhibisi potensi post sinaptik (Mc Namara, 1996; Porter dkk,

2001). Meskipun mekanismenya belum semuanya jelas, tetapi dari sejumlah obat

terdapat indikasi mengenai mekanisme kerjanya.

Mekanisme umum obat antiepilepsi secara umum dapat dibagi menjadi :

1. Obat yang meningkatkan penghambatan neurotransmitter Gamma Amino

Butyric Acid (GABA). Mekanisme aksi obat ini dapat dibagi menjadi obat

(23)

seperti benzodiazepine, dan barbiturate; obat yang menghambat metabolisme

GABA seperti vigabatrin, dan asam valproat; dan obat yang menghambat

penghancuran GABA seperti gabapentin(Mc Namara 1996).

2. Obat yang mensupresi letupan serangan cepat, dalam hal ini termasuk

memperlama penutupan kanal Na+. Jenis obat yang bekerja disini adalah

adalah fenitoin, asam valproat, karbamazepin, lamotrigine.

3. Obat yang bekerja menurunkan respon kanal T type Ca.Jenis OAE yang

bekerja disini adalah ethosuximide, dimethadione, dan asam valproat.

4. Obat yang menurunkan efek neurotransmitter eksitator glutaminergik, dengan

cara memblokir reseptor AMPA seperti fenobarbital dan topiramate; dan

yang memblokir reseptor NMDA seperti felbamate, remacemide (Namara,

1996; Porter, 2001).Mekanisme kerja obat anti epilepsi dapat dijelaskan pada

Gambar 1.

Fenobarbital mempunyai mekanisme aksi dalam meningkatkan hambatan

GABA (Schacther, 2011). Kadar terapetik fenobarbital baru tercapai pada 2-3

minggu, tetapi dengan loading dose dua kali lipat dari dosis tersebut, dapat

dicapai kadar terapetik dalam 4 hari. Mekanisme aksi adalah melalui peningkatan

aksi inhibisi dari GABA (Mc Namara JO, 1996; Porter dkk, 2001, Lazuardi,

1999).

(24)

Gambar 1. Mekanisme obat anti epilepsi (Bialer, 2010)

B. Anatomi Dan Elektrofisiologi Jantung

Jantung terdiri dari 3 tipe otot jantung utama, yaitu otot atrium, ventrikel,

dan serat otot jantung khusus yang berperan dalam penghantar dan pencetus

impuls. Gambar 2 menunjukkan suatu histologi otot jantung, dimana tampak

adanya serat otot yang tersusun seperti suatu kisi yang seratnya terpisah kemudian

bersatu dan kemudian menyebar lagi.

(25)

Gambar 2. Gambar otot jantung

(Sumber: http://www.histology-world.com/factsheets/muscle1.htm).

Jantung manusia terdiri dari serabut saraf yang menghasilkan dan

menyebarkan impuls eksitasi dan otot jantung yang berespon terhadap eksitasi

tersebut bereaksi dengan berkontraksi. Eksitasi di dalam jantung disebabkan oleh

jantung itu sendiri/ autoritmisitas, yang berbeda dengan otot

rangka(Silbernagl,2007).

Setiap miokardium baik pada atrium maupun ventrikel secara fungsional

tersusun atas sinsitium, sehingga sel yang satu dan sel yang lain tidak terpisahkan.

Apabila terjadi rangsangan pada satu tempat baik di atrium maupun ventrikel,

secara normal akan menimbulkan kontraksi lengkap di kedua atrium dan

ventrikel(Silbernagl, 2007).

Sistem konduksi jantung merupakan suatu sistem yang kompleks yang

terdiri dari sel sel khusus yang berperan dalam meneruskan impuls listrik, dan

tidak berperan alam mekanisme kontraksi. Sitem konduksi ini terdiri atas :nodus

SA (sino-aurikular), jaras intermodal atrium, nodus AV (atrioventrikular), bundle

(26)

his, cabang bundle his kanan dan kiri dan sistem purkinye(Putra, 1994; Mirzoyev,

2010).

Eksitasi jantung normal, berasal dari sinus nodus (nodus SA), yang disebut

sebagai pacu jantung (pace-maker). Letak nodus SA berada didekat hubungan

antara vena kava superior dan atrium kanan. Nodus ini dipengaruhi oleh saraf

simpatis dan parasimpatis. Nodus SA mendapat vaskularisasi dari arteri

sirkumfleksa dekstra dan arteri sirkumfleksa sinistra (Putra, 1994; Sidharta, 2010).

Dari nodus SA eksitasi kemudian akan menyebar terlebih dahulu ke jaras

internodal atrium yang terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu jaras internodal

anterior, media dan posterior sebelum kemudian dari tempat tersebut ke nodus

AV. Melalui bundlehis dan kedua cabangnya, eksitasi dapat mencapai serabut

purkinje yang selanjutnya menghantarkan rangsangan ke miokardium ventrikel.

Di dalam miokardium, eksitasi menyebar dari dalam ke luar (endokardium ke

epikardium), dari apeks ke basal. Jaras eksitasi normal jantung ditunjukkan pada

Gambar 3(Silbernagl, 2007; Putra 1994).

Potensial di dalam sinus nodus tidak memiliki potensial istirahat yang

tetap, tetapi meningkat setiap repolariasi. Perubahan konduktansi ion di membran

plasma dan perubahan aliran arus ion menyebabkan terjadinya potensiasi ini. Nilai

potensial paling negatif disebut dengan potensial diastolik maksimal (MDP), yang

terus meningkat hingga mencapai potensial ambang (TP) yang kemudian memacu

potensial aksi (AP) (Gambar 4)(Silbernagl, 2007).

(27)

Gambar 3. Jaras eksitasi normal jantung (Sumber: http://www.yalemedicalgroup.org)

Konduksi dimulai dengan MDP, yang akan meningkat dan influks kation

ke dalam sel menyebabkan depolarisasi lambat (prapotensial=PP). Setelah TP

tercapai, konduktansi ion Ca meningkat dengan cepat, sehingga potensial

meningkat lebih tajam, sehingga peningkatan influksion Ca, yang menyebabkan

lonjakan AP. Ketika potensial melampaui nilai positifnya, menyebabkan pengeluaran ion K, sehingga sel paju jantung berepolarisai kembali ke

MDP(Silbernagl, 2007).

Normalnya setiap nodus sinus menimbulkan satu denyut jantung, yang

berarti frekuensi impuls nodus sinus menunjukkan frekuensi denyut jantung.

Frekuensi dapat menjadi lebih rendah apabila:

1. Peningkatan depolarisasi lambat menjadi kurang tajam

2. TP menjadi kurang negatif

(28)

3. MDP menjadi lebih negatif, sehingga depolarisasi spontan terjadi pada nilai

yang rendah.

4. Repolarisasi AP terjadi kemudian atau lebih lambat

Gambar4. Aliran arus ion dan potensial pacu jantung (Sumber: Silbernagl, Teks dan atlas berwarna patofisiologi)

Setiap bagian dari sistem konduksi memiliki kemampuan depolarisasi

spontan, akan tetapi nodus sinus memiliki peran utama dalam hal ini, karena

bagian lain memiliki frekuensi yang lebih rendah dari nodus sinus akibat dari

depolarisasi yang lebih lambat dan repolarisasi yang lebih datar(Silbernagl, 2007).

Eksitasi yang dimulai dari bagian nodus sinus akan tiba dibagian distal

sebelum depolarisasi spontan mencapai TP, tetapi jika konduksi ini terlambat

maka sistem konduksi sebelah distal akan mengambil alih sehingga terjadi irama

AV, atau apabila lebih lambat lagi akan terjadi irama yang muncul dari ventrikel.

AP menyebabkan pengambilan ion Ca dari ruang ekstraselular melalui kanal

(29)

ke sitosol menyebabkan rangkaian elektromekanis kontraksi

jantung(Silbernagl,2007).

Meskipun jantung berdenyut secara spontan, penyesuaian aktivitas jantung

untuk kebutuhan disampaikan melalui saraf eferen. Perubahan aktivitas jantung

ini disebabkan oleh serabut parasimpatis dari nervus vagus dan serabut simpatis.

Peningkatan frekuensi denyut jantung disebabkan oleh aktivitas serabut simpatis

ke nodus sinus (efek inotropik positif) dan penurunan disebabkan oleh adanya

serabut parasimpatis (efek kronotropik negatif). Peningkatan kontrakstilitas

jantung terjadi akibat influks Ca+2, yang diperantarai oleh reseptor beta

adrenergik, memungkinkan peningkatan konsentrasi Ca+2.Influx ion ini dapat

dihambat secara farmakologis dengan penghambatan terhadap kanal

Ca+2(Silbernagl, 2007).

Kontraktilitas juga dapat meningkat akibat pemanjangan AP

(menyebabkan pemanjangan refluks Ca+2, serta penghambatan Na-K-ATP ase,

misalnya dengan pemberian digoksin. Pada frekuensi denyut jantung yang lebih

rendah, influx Ca+2 juga rendah, sehingga aliran keluar Ca+2 berlangsung dalam

waktu yang relatif lama, menyebabkan Ca+2 terdapat dalam jumlah yang relatif

rendah dalam sitosol. Nervus vagus juga dapat bekerja melalui mekanisme ini.

Potensial aksi jantung dapat terdeteksi melalui hasil gambaran elektrokardiografi,

sebagaimana tampak pada Gambar 5.

(30)

Gambar 5. Eksitasi jantung dan gambaran pada elektrokardiogram (Sumber: Silbernagl S, Teks dan atlas berwarna patofisiologi)

Kontraksi jantung yang sinkron antara atrium dan ventrikel, memerlukan

suatu aksi cepat dari tiap kelompok sel jantung. Mekanisme aktivasi harus

mengaktifkan secara cepat perubahan denyut jantung dan juga merespon

perubahan otonom, sehingga potensial aksi jantung berperan disini. Gambar 6

merupakan 5 fase potensial aksi normal jantung normal (Myung, 2008; Grant,

2009).

Gambar 6. Respon membran sel jantung terhadap potensial aksi normal (Sumber: Griant O,Cardiac ion channel)

(31)

Dari Gambar 6 dijelaskan fase 4 merupakan fase istirahat, fase 0

merupakan fase depolarisasi cepat dimana potensial membran beralih ke dalam

kondisi dengan voltase positif dan pada fase ini terjadi impuls cepat jantung. Fase

1 merupakan fase repolarisasi cepat jantung. Fase 2 merupakan fase plateu, yaitu

fase terlama, dan merupakan petanda masuknya kalsium ke dalam sel. Fase 3

adalah fase repolarisasi cepat yang menyimpan kembali potensial

membran(Griant, 2009).

C. Hipokalsemia

Hipokalsemia merupakan kelainan elektrolit yang paling sering dijumpai pada

anak-anak. Hipokalsemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kalsium serum

dibawah 8,5 mg/dl atau kurang dari 2,1 mmol/L(Singhal, 2011; Ferry, 2011;

Boden, 1990; Shaw, 2009). Pada neonatus, hipokalsemia bila kadar kurang dari 2

mmol/l (8 mg/dl) yaitu pada bayi cukup bulan dan kurang dari 1,75 mmol/l (7

mg/dl) pada bayi premature. Bentuk ion kalsium mempunyai kadar normal antara

1,17-1,29 mmol/L(Ferry, 2011).

Hipokalsemia dapat berlangsung akut akibat penyakit seperti sepsis, bedah

jantung, rhabdomyolisis, metabolisme, hepatitis atau sindrom lisis tumor dan

dapat pula terjadi secara kronik akibat gangguan yang melibatkan metabolisme

paratiroid dan vitamin D. Gangguan metabolisme paratiroid dapat disebabkan

karena jumlah metabolisme yang kurang maupun karena kurangnya respon

metabolik paratiroid. Responsivitas paratiroid ini dapat kurang adekuat jika

ditemukan juga gangguan pada mekanisme vitamin D(Zhou, 2009).

(32)

Penyebab hipokalsemia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Ketidakmampuan mobilisasi kalsium yang tersimpan dalam tulang

Kemampuan mobilisasi kalsium dari tulang tergantung dari tingkat PTH.

Konsentrasi PTH dipengaruhi oleh magnesium serum dan kadar vitamin D.

Penurunan PTH dapat disebabkan oleh penurunan kadar magnesium dan

peningkatan vitamin D.

2. Kehilangan banyak kalsium melalui ginjal

3. Kenaikan ikatan protein sehingga jumlah kalsium terbesar adalah dalam

bentuk non ionisasi.

Turunnya kalsium plasma menimbulkan beberapa perubahan fisiologi,

yang memacu untuk mengembalikan kalsium serum kembali ke dalam kadar

normal. Organ tubuh yang ikut berperan dalam metabolisme kalsium ini meliputi

ginjal, tulang dan usus halus, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7.Patofisiologi respon terhadap hipokalsemia (Sumber : Boden, 1990)

(33)

Ketika terjadi penurunan kadar ion kalsium serum yang terdeteksi oleh

reseptor pada kelenjar paratiroid dan tubulus ginjal, mengakibatkan sekresi dari

hormon paratiroid (PTH) dan sekresi hormon paratiroid tambahan, yang kemudian

mengakibatkan tiga aksi yaitu :

1. Penyerapan kembali kalsium oleh ginjal

2. Menstimulasi osteoklas untuk meningkatkan resorpsi hormon sehingga terjadi

pelepasan kalsium tulang ke dalam sirkulasi

3. Menstimulasi aktivitas enzim 1 alfa hydroksilase, pada tubulus renal

proksimal menyebabkan peningkatan sekresi 1,25 (OH)2D yang menyebabkan

peningkatan absorbsi kalsium dalam usus.

Meskipun PTH berperan penting terhadap respon hipokalsemia, tetapi keadaan ini

juga memerlukan fungsi normal dari reseptor kalsium, sintesis 1,25(OH)2D dan

respon yang normal dari jaringan perifer terhadap sekresi PTH(Shaw, 2009).

Gejala adanya penurunan kadar kalsium serum, berhubungan dengan peran

kalsium dalam konduksi saraf dan fungsi otot, yaitu adanya peningkatan

eksitabilitas neuromuskular, menyebabkan gangguan kontraksi otot. Eksitasi

neuron terjadi baik pada saraf sensoris maupun motorik, sehingga apabila terjadi

hipokalsemia dapat berakibat luas diantaranya parestesia, tetani, kejang dan bisa

juga dijumpai perubahan psikologis anak(Ferry, 2011; Shaw 2009).

Hipokalsemia akut ditandai oleh adanya peningkatan ketegangan otot saraf

dan kardiovaskular. Kadar kalsium yang terionisasi menstabilkan ketegangan

saraf otot dan membuat sel saraf kurang sensitif terhadap rangsangan. Apabila

kadar kalsium yang terionisasi rendah, maka terjadi penurunan terhadap ambang

(34)

sensitasi saraf yang pada kasus ekstrim dapat menyebabkan aktifitas yang terus

menerus. Kenaikan ketegangan saraf dapat berupa gejala kesemutan/parestesia di

daerah mulut, tangan, dan kaki dan tetani otot muka, tangan dan kaki. Bila

hipokalsemia parah, dapat timbul gejala seperti kejang-kejang dan

kematian(Shaw, 2009; Juffrie, 2010).

Ada dua pemeriksaan yang dapat menunjukkan adanya hipokalsemia laten,

yaitu tanda chvostek dan Trousseau. Tanda chvostek, dilakukan dengan

pengetukan berulang dengan telunjuk pada pipi bagian lateral sepanjang

perjalanan nervus fasialis, 0,5-1 cm dibawah processus zygomaticus dan 2cm

anterior lobus telinga. Dinyatakan positif apabila ada gerakan bibir ipsilateral.

Hasil ini dapat negatif pada 29% pasien dengan hasil laboratorium menunjukkan

hipokalsemia(Shaw, 2009).

Manifestasi hipokalsemia terhadap sistem kardiovaskuler meliputi

hipotensi, penurunan isi sekuncup, aritmia kordis (blok kardial dan fibrilasi), dan

kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamine yang

mekanisme kerjanya diperantarai oleh kalsium. Manifestasi akibat hipokalsemia

kronis dapat berupa rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur.

Manifestasi yang lain dapat berupa kulit kering, bersisik, kuku menjadi pecah,

rambut kering, gangguan otak ringan yang menyerupai depresi, demensia atau

psikosis(Juffrie, 2010).

Kalsium merupakan ion terpenting ketiga di tubuh dan memegang peranan

penting dalam fungsi normal sel, transmisi neural, stabilitas membran, struktur

tulang, koagulasi darah dan sinyal intraseluler (Liamis dkk, 2009). Total kalsium

(35)

tubuh kurang lebih 99% terdapat dalam bentuk hydroxyapatite crystal yang

terdapat dalam tulang rangka, sementara 1 % beredar dalam cairan ekstraseluler.

50% dari kalsium yang bersirkulasi berupa bentuk ion kalsium bebas, 40% terikat

oleh protein (terutama albumin) dan 10% dalam bentuk kompleks dengan anion

(Zhou P, 2009; Singhal, 2011).

Hipokalsemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kalsium darah

kurang dari normal. Kadar normal kalsium darah bervariasi karena adanya

perbedaan metode laboratorium. Angka normal kalsium darah adalah 8,5-10,5

mg/dl atau 2,1 sampai 2,6 mmol/L. (Zhou et al,2009, Pratico et al,2009) sehingga

hipokalsemia pada anak diartikan sebagai kadar kalsium kurang dari 8,5 mg/dL

atau kurang dari 2,1 mmol/L (Boden, 1990; Singhal, 2010 ).

D. Gambaran Interval Corrected Qt Pada Elektrokardiogram

Elektrolit utama yang berpengaruh pada jantung dan dapat terdeteksi

melalui gambaran elektrokardiografi adalah kalium dan kalsium. Interval QT pada

elektrokardiogram menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk kedua ventrikel

jantung mengalami depolarisasi dan repolarisasi. Interval QT tidak bervariasi

menurut umur, melainkan bervariasi menurut laju jantung. Untuk itulah interval

QT harus diinterpretasikan sesuai dengan laju jantung atau disebut dengan

corrected QT (QTc). Ada cara untuk menilai corrected QT, yaitu dengan

menggunakan tabelatau menggunakan rumus Bazett yaitu interval QT/√interval

RR. Berdasarkan Bazett formula, normal corrected QT harus kurang dari 0,44

detik, kecuali pada bayi (Myung, 1992).

(36)

Kelainan interval QT dapat disebabkan oleh berbagai hal:

a. Perpanjangan interval QT, dapat terlihat pada kondisi hipokalsemia, Long QT

syndrome, cedera kepala, atau serebrovaskular, penyakit myokardial yang

difus, dan malnutrisi berat. Beberapa obat-obatan juga dapat menyebabkan

perpanjangan interval QT seperti anti aritmia (quinidine atau procainamide),

antipsikotik golongan fenotiazine, antidepresan trisiklik (Myung 1992, Myung

2008).

b. Perpendekan interval QT, dapat dilihat pada kondisi hiperkalsemia, efek

digitalis (Myung, 1992).

Penting bagi klinisi untuk mengetahui interval QT normal, mengingat

perpanjangan interval QT dapat menyebabkan gangguan aritmia jantung yang

dapat berakibat fatal (Rautaharju, 2008).

E. Hubungan Antara Efek Terapi Fenobarbital Terhadap Gambaran

Interval Corrected Qt Elektrokardiogram

Beberapa teori menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan OAE dengan

penyakit tulang, melalui mekanisme kenaikan proses katabolisme vitamin D yang

menyebabkan penurunan kadar kalsium dalam serum sehingga terjadi

hipokalsemia (Pack, 2004). Tetapi tidak banyak yang meneliti akibat lebih lanjut

dari hipokalsemia karena OAE tersebut terhadap kerja sistem konduksi jantung.

Vitamin D merupakan suatu prohormon yang memiliki peran penting

dalam mengatur keseimbangan kalsium dalam tubuh. Vitamin ini memiliki dua

bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalsiferol) yang bisa didapat dari sumber makanan

(37)

nabati, dan vitamin D3 (cholecalsiferol) yang berasal dari sumber makanan

hewani seperti ikan, kuning telur dan sebagainya. Selain bersumber dari makanan

hewani, vitamin D3 bisa diproduksi oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar

ultraviolet B(UVB) yang berasal dari sinar matahari. Vitamin D. sesungguhnya

memiliki struktur yang menyerupai hormon steroid lain. Asalkan paparan sinar

matahari adekuat, maka tubuh tidak akan kekurangan vitamin D meskipun asupan

makanan atau suplementasi vitamin D kurang memadai. Produksi vitamin ini

dirangsang oleh hormon paratiroid, kadar serum kalsium atau fosfor. Apabila

kadar serum kalsium atau fosfor rendah, terjadi stimulasi terhadap hormon

paratiroid sehingga terjadi konversi 25(OH)-D menjadi 1,25 (OH)-D di ginjal

sehingga terjadi peningkatan resorpsi kalsium tulang, meningkatkan penyerapan

kalsium oleh usus dan peningkatan reabsorbsi kalsium di ginjal.

Defisiensi vitamin D dapat terjadi disamping karena kurangnya paparan

terhadap sinar ultraviolet, malabsorbsi lemak, obesitas dan penyakit hati, dapat

juga sebagai akibat penggunaan antikonvulsi jangka panjang seperti fenobarbital,

fenitoin, dan karbamazepin(Sidiartha, 2011). Mekanisme kerjanya adalah dengan

menginduksi katabolisme 1,25 (OH)2D, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 8.

Pada gambar dijelaskan bahwa defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan

penggunaan OAE sepertinya dimediasi oleh orphan nulear reseptor, pregnane X

reseptor (PXR). PXR ini tersebar 60% pada DNA yang berikatan dengan reseptor

vitamin D (VDR) yang diekspresikan pada usus, ginjal dan hati. PXR dapat

diaktivasi oleh berbagai obat termasuk antikonvulsan sehingga terjadi peningkatan

ekspresi CYP 24 suatu enzim yang secara langsung mempengaruhi oksidasi 25

(38)

(OH)2D3 dan 1,25 (OH)2 D3 sehingga terjadi penurunan vitamin D aktif yang

menyebabkan hipokalsemia (Pascussi, 2005; Hollic, 2005, Tekgul

2006,Nicolaidou,2006; Valsamis 2006; Kim,2007).

Gambar 8. Mekanisme antikonvulsi fenobarbital sehingga terjadi penurunan vitamin D yang aktif

(Sumber : Nutrition & Metabolism 2006, 3:36)

Akibat pemakaian OAE jangka panjang adalah terjadi gangguan

metabolisme kalsium adalah berupa terjadinya hipokalsemia, hipofosfatemia,

kenaikan serum alkali fosfatase dan serum hormon paratiroid, penurunan serum

metabolit aktif vitamin D, gambaran radiologi riketsia, dan terjadinya gambaran

osteomalasia secara histologis.

Vitamin D juga berpengaruh terhadap keseimbangan kadar kalsium darah.

Apabila terjadi defisiensi vitamin D, dapat menyebabkan penurunan kadar

kalsium, sehingga mempengaruhi kekuatan tulang yang komponen utamanya

terdiri dari kalsium. Beberapa teori menunjukkan adanya hubungan antara

penggunaan OAE dengan penyakit tulang, melalui mekanisme kenaikan proses

katabolisme vitamin D yang menyebabkan penurunan kadar kalsium dalam serum

(39)

Adanya hipokalsemia berhubungan dengan terapi jangka panjang obat

antikonvulsan, terdapat pada obat antiepilepsi (OAE) yang menginduksi enzim

hati sitokrom P450 (Pack, 2004;Fitzpatrick, 2004). Akibat tidak sempurnanya

metabolisme vitamin D sehingga menyebabkan penurunan metabolisme kalsium pada usus (seperti fenobarbital, fenytoine, karbamazepine, primidone). Penelitian

terakhir menunjukkan adanya keterlibatan antikonvulsan yang lain seperti asam

valproat, tetapi mekanismenya masih dalam perdebatan (Pack, 2004; Fitzpatrick,

2004).

Kadar ion kalsium, berpengaruh terhadap durasi segmen ST, yang secara

relatif merubah posisi gelombang T. Hipokalsemia dapat menyebabkan

perlambatan waktu repolarisasi, gangguan kontraktilitas otot jantung (Shoback,

2007). Pada kebanyakan pasien dengan hipokalsemia ringan seringkali tidak

menunjukkan gejala, tetapi bisa juga didapati adanya perpanjangan interval

corrected QT pada gambaran elektrokardiogram (Zhou et al, 2009).

(40)
(41)

Penjelasan Kerangka Konsep:

Terapi dengan fenobarbital dapat menyebabkan aktivasi pada PXR, yang

kemudian berikatan dengan VDR, sehingga terjadi peningkatan ekspresi CYP 24

suatu enzim yang secara langsung mempengaruhi oksidasi 25 (OH)2D dan 1,25

(OH)2 D, menyebabkan terjadinya penurunan vitamin D aktif yang selanjutnya

mengakibatkan penurunan absorbsi kalsium oleh usus secara langsung. Intake

makanan, malabsorbsi lemak dan obesitas mempengaruhi jumlah pasokan vitamin

D ditubuh. Disamping itu karena metabolisme Vitamin D terjadi di hepar dan

ginjal maka penyakit hati dan ginjal seperti gagal ginjal dan sindrom nefrotik ikut

mempengaruhi terbentuknya vitamin D aktif dalam tubuh. Yang mempengaruhi

kadar kalsium adalah adanya kondisi hipoparatiroid dan intake kalsium.

Hipokalsemia dengan kadar tertentu dapat menyebabkan perubahan pada

gambaran corrected QT elektrokardiogram berupa perpanjangan nilai interval.

Tetapi perubahan gambaran EKG ini dapat dipengaruhi oleh myokarditis, cedera

kepala atau penyakit cerebrovaskular, pemakaian antiaritmia, antidepresan, anti

psikotik, Long QT syndrome, dan aritmia.

G. Hipotesis

Terapi fenobarbital jangka panjang menyebabkan perubahan gambaran

elektrokardiogram pada anak epilepsi.

(42)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Design Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk menganalisis hubungan

efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi.

B. Tempat Dan Waktu

Penelitian dilakukan di poliklinik rawat jalan neurologi anak RSUD Dr. Moewardi

Surakarta antara bulan Februari-Juni 2014.

C. Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita epilepsi anak, sedangkan

populasi terjangkau adalah penderita epilepsi anak yang berobat di poliklinik

rawat jalan neurologi anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Februari-

Juni 2014.

D. Subyek

Subyek pada penelitian ini adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara

konsekutif/non-probability sampling.

(43)

1. Kriteria Inklusi, meliputi :

a. Penderita epilepsi yangtelah mendapatkan terapi fenobarbital atau terapi

obat anti epilepsi lain (asam valproat) minimal selama 6 bulan

b. Orang tua menandatangani formulir inform consent

2. Kriteria Eksklusi, meliputi :

a. Menderita gagal ginjal, sindrom nefrotik, cedera kepala, penyakit hati,

malabsorbsi lemak, dan aritmia cordis, malnutrisi berat.

b. Menggunakan terapi digitalis, antiaritmia, antidepresan, antipsikotik

E. Besar Subyek

Besar subyek dihitung berdasarkan analisis multivariat. Jumlah subyek berkisar

antara 10-50 kali jumlah variabel bebas (Madiyono, 2007). Variabel bebas pada

penelitian ini adalah fenobarbital. Jumlah subyek yang diperlukan antara 1x10

sampai 1x 50, sehingga dibutuhkan subyek setidaknya 10-50 subyek.

F. Alur Penelitian

Setiap pasien anak yang datang ke poliklinik rawat jalan neurologi anak di RSUD

Dr Moewardi Surakarta, setelah dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi,

dilakukan pendataan awal berupa identitas penderita, pengukuran berat badan dan

tinggi badan, pancatatan jenis obat anti epilepsi yang diberikan sejak minimal 6

bulan yang lalu (fenobarbital atau asam valproat). Kemudian dilakukan

pengambilan serum kalsium dan selanjutnya pemeriksaan elektrokardiografi

(EKG) dalam posisi subjek terlentang. Perhitungan interval corrected QT (QTc)

(44)

pada elektrokardiogram dilakukan atas supervisi kardiolog anak. Hasil kemudian

ditampilkan dalam bentuk data kontinu.

Gambar 3.1. Alur penelitian

G. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi fenobarbital atau OAE lain

(kontrol), variabel tergantung pada penelitian ini adalah gambaran interval

corrected QT pada elektrokardiogram.

Penderita epilepsi anak yang datang ke poliklinik neurologi anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Inklusi Eksklusi

Analisis

Mendapat terapi fenobarbital Mendapat terapi OAE lain

(asam valproat) Pengambilan

serum ion Ca

Dilakukan pemeriksaan EKG (QTc)

(45)

H. Definisi Operasional

1. Epilepsi

Adalah bangkitan kejang berulang tanpa diprofokasi akibat pelepasan muatan

listrik yang berlebihan, yang terjadi dua kali atau lebih dalam kurun waktu lebih

dari 24 jam (Mikati, 2011). Diagnosis ditegakkan oleh ahli neurologi anak

berdasarkan gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan elektroensefalografi.

2. Terapi fenobarbital

Adalah pemberian terapi fenobarbital yang diberikan kepada penderita epilepsi

dengan dosis 3-25 mg/kgBB/hari (Lazuardi 1999). Dosis yang dipakai pada

penelitian ini sesuai dengan yang tercatat dalam catatan medis pasien. Skala

pengukuran yang digunakan adalah nominal dikotomi dan lama pemberian

fenobarbital menggunakan skala numerik.

3. OAE lain (Asam valproat)

Adalah OAE selain fenobarbital yaitu asam valproat, sebagai kontrol, yang

diberikan pada penderita epilepsi dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari. Dosis yang

diberikan oleh subyek penelitian ini sesuai dengan yang tercatat dalam catatan

rekam medis pasien. Skala pengukuran yang dipakai adalah nominal dikotomi.

4. Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan pada semua subjek dengan posisi tidur

terlentang. Pemeriksaan elektrokardiografi dibawah pengawasan kardiolog dan

elektrokardiogram dianalisis oleh kardiolog anak. Mula-mula dilakukan

perhitungan RR dan QT interval pada lead II kemudian dilakukan perhitungan

corrected QT (QTc) berdasarkan rumus Bazett, QTc= QT/√RR. Dikatakan

(46)

memanjang apabila lebih dari 0,44 detik (Myung, 1981; Baik 2010). Skala yang

digunakan adalah skala numerik dan untuk perpanjangan QTc dalam skala

nominal dikotomi.

5. Kalsium Serum

Adalah jumlah kalsium didalam serum, dengan angka normal kalsium adalah

8,5-10,5 mg/dl(2,1 sampai 2,6 mmol/L). Dalam praktek klinik pemeriksaan kalsium

yang dinilai adalah dalam bentuk ion kalsium, dimana nilai normal 1,17-1,29

mmol/l. Pada penelitian ini dikatakan hipokalsemia bila kadar ion kalsium kurang

dari harga normal tersebut (Zhou et al,2009, Pratico et al,2009). Pengambilan dan

pemeriksaan serum kalsium dilakukan di laboratorium RSUD Dr. Moewardi

Surakarta oleh analis kesehatan, dalam pengawasan dokter spesialis patologi

klinik. Skala pengukuran adalah skala nominal dikotomi.

I. Izin Subyek Penelitian

Setelah sebelumnya mendapatkan penjelasan tentang tujuan dan manfaat

penelitian yang akan dilakukan, dilakukan penandatanganan informed consent

oleh orang tua subjek atau wali. Penelitian dapat dilaksanakan setelah mendapat

persetujuan dari Komite Etik yang ada di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

J. Pengolahan Data

Data pada penelitian ini diolah menggunakan program SPSS 20.0. Data dasar

berupa karakteristik subyek (usia, jenis kelamin, status gizi berdasarkan berat

badan ideal menurut tinggi badan, jenis obat anti epilepsi yang didapat)

(47)

dideskripsikan dalam jumlah subyek. Hubungan antara variabel bebas dan

variabel tergantung dinilai dengan Chi square dan menggunakan uji t test.

(48)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

Dari keseluruhan populasi yang dianalisis kemudian diseleksi dengan kriteria

inklusi dan eksklusi, didapatkan subyek penelitian sebanyak 24 anak. Subyek

tersebut memiliki karakteristik dasar seperti yang terdapat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik dasar subyek penelitian

Variabel Jumlah (n)

Jumlah subyek ini memenuhi persyaratan besar subyek yaitu antara 10-50

orang. Dari distribusi didapatkan jumlah subyek dengan usia kurang dari 5 tahun

sebanyak 8 anak, usia 5-10 tahun sebanyak 7 anak dan usia 10-15 tahun sebanyak

9 anak. Subyek dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki,

yaitu perempuan sebanyak 15 anak dan laki-laki sebanyak 9 anak. Subyek yang

mendapat terapi fenobarbital sebanyak 11 anak dan 13 anak mendapat terapi

(49)

selain fenobarbital yaitu asam valproat. Dari subyek yang didapat tidak satupun

yang menderita obesitas.

Dari hasil pemeriksaan kadar ion kalsium, didapatkan hipokalsemia (<1,17

mmol/l) terjadi pada 12 subyek dimana 6 subyek mendapat terapi fenobarbital,

dan 6 subyek mendapatkan asam valproat.

Pada hasil pemeriksaan QTc pada elektrokardigram hanya terdapat 3

subyek yang mengalami perpanjangan QTc, dimana subyek tersebut 2

mendapatkan terapi fenobarbital dan 1 asam valproat. Dari hasil analisis mengenai

hubungan antara efek terapi fenobarbital terhadap gambaran elektrokardiogram

pada anak dengan epilepsi dengan analisis bivariat chi square didapatkan hasil

sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Hasil analisis bivariat antara efek terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc pada elektrokardiogram

QTc

OR p

Nomal Memanjang Total

n (%) n (%) n(%)

Jenis

terapi Asam valproat Fenobarbital 12 (92,3) 9 (81,8) 2 (18,2) 1 (7,7) 13(100) 2,7 0,576 11(100)

Total 21 (87,5) 3(12,5) 24 (100)

Nilai bemakna jika p <0,05

Dari Tabel 4.2 menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara efek

terapi fenobarbital terhadap terjadinya perpanjangan gambaran QTc meskipun

secara statistik tidak signifikan. Anak dengan epilepsi yang mendapat terapi

fenobarbital memiliki risiko sebesar 2,7 kali untuk mengalami perpanjangan QTc

pada gambaran elektrokardiogram (OR=2,7; CI 95% : 0,21-34,20; p=0,576).

Pada penelitian didapatkan jumlah subyek yang mendapatkan fenobarbital

(50)

12-24 bulan dan 1 subyek mendapat terapi fenobarbital lebih dari 24 bulan.Pada

analisis lebih lanjut mengenai hubungan lama pemberian terapi fenobarbital

terhadap perubahan gambaran elektrokardiogram pada anak epilepsi

menggunakan uji korelasi didapatkan hasil nilai koefisien korelasi sebesar 0,47

(kekuatan korelasi sedang) dengan p=0,02. Hal ini menunjukkan adanya

hubungan antara lama pemberian terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc.

Hasil analisis uji korelasi tampak pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil uji korelasi tentang hubungan efek lama pemberian terapi Nilai bemakna jika p <0,05

Pada Tabel 4.4 disajikan hasil uji alternatif t test yaitu uji Mann Whitney. Dari

hasil uji tersebut didapatkan adanya perbedaan yang bermakna panjang QTc

antara kelompok yang mendapat terapi asam valproat dan fenobarbital (p=0,008)

Tabel 4.4. Hasil uji Mann Whitney tentang perbedaan rerata panjang QTc pada elektrokardiogram pada subyek yang mendapat terapi fenobarbital dan asam valproat

N Median

(minimum-maksimum) rerata±sb p

Asam valproat 13 0,36 (0,35-0,45) 0,37±0,03 0,008

Fenobarbital 11 0,41(0,37-0,44) 0,41±0,02

Nilai bermakna jika p<0,05

Pada analisis untuk mengetahui hubungan antara efek terapi fenobarbital

terhadap terjadinya hipokalsemia pada anak dengan epilepsi, didapatkan hasil Odd

Ratio sebesar 1,4 dengan CI 95%: 0,28-7,02, meskipun tidak signifikan secara

statistik (Tabel 4.5).

(51)

Tabel 4.5. Analisis bivariat hubungan antara fenobarbital terhadap hipokalsemia

Nilai bemakna jika p <0,05

Pada analisis komparatif tentang terjadinya perpanjangan QTc pada

elektrokardiogram pada anak dengan epilepsi yang mendapat terapi fenobarbital

dan kontrol yaitu asam valproat, yang menderita hipokalsemia dan tidak

hipokalsemia, didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan rerata panjang QTc pada

kedua kelompok. (Tabel 4.6)

Tabel. 4.6. Hasil uji t tidak berpasangan rerata panjang QTc pada anak yang mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia

n rerata±sd p

Normal 12 0,39±0,04 0,619

Hipokalsemia 12 0,40±0,03

Nilai bemakna jika p <0,05

B. Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dengan mengambil subyek bulan Februari sampai Juni 2014.

Dari hasil penelitian didapatkan subyek sebanyak 24 anak, dengan rata-rata usia

7,9 tahun.

Pasien epilepsi didiagnosis berdasarkan hasil temuan secara klinis

ditunjang oleh hasil pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Jenis obat anti

epilepsi yang digunakan pada penelitian ini adalah fenobarbital yang mempunyai

(52)

hipokalsemia, dan kontrol yaitu asam valproat yang tidak mempunyai efek

tersebut. Pada penelitian ini didapatkan hasil anak dengan terapi fenobarbital

berisiko menderita hipokalsemia sebanyak 1,4 kali dibandingkan dengan kontrol

(p=0,682). Fenobarbital mempunyai juga mempunyai efek aktivasi PXR sehingga

menyebabkan ekspresi CYP 24 yang dapat mempengaruhi metabolisme kalsium

melalui penurunan vitamin D aktif yang selanjutnya menyebabkan terjadinya

hipokalsemia (Pascussi, 2005; Holick 2005; Valsamis 2006).

Pada penelitian ini juga didapatkan hasil tidak adanya hubungan yang

signifikan antara hipokalsemia untuk terjadinya perpanjangan QTc pada

elektrokardiogram. Menurut analisis dari peneliti hal ini disebabkan disamping

jumlah subyek yang terlalu sedikit juga karena kurang lebih 99% dari total

kalsium tubuh terdapat dalam bentuk kristal hidroksi apatit pada tulang rangka,

1% berada di cairan ekstraselular. 50% dari Ca yang bersirkulasi terdapat dalam

bentuk ion Ca, 40% berikatan dengan albumin dan 10% berada dalam kompleks

dengan anion (Brown, 2001, Zhou, 2009). Apabila terjadi penurunan kalsium

plasma menimbulkan beberapa perubahan fisiologi, yang melibatkan tulang, usus

dan ginjal yang memacu untuk mengembalikan kalsium serum kembali ke dalam

kadar normal (Boden, 1990).

Sebelumnya belum pernah ada penelitian yang menggambarkan hubungan

antara fenobarbital secara langsung dengan fungsi jantung, sampai kemudian di

tahun 2014, Marfuah meneliti tentang pengaruh fenobarbital terhadap fungsi

jantung sistolik dan diastolik meskipun secara statistik tidak signifikan (Marfuah,

2014). Beberapa penelitian lain meneliti hubungan antara OAE seperti

(53)

fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin dengan hipokalsemia atau densitas

tulang.

Pemakaian OAE (fenitoin, karbamazepin, fenobarbital) jangka panjang

dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme kalsium yaitu berupa

terjadinya hipokalsemia, hipofosfatemia, kenaikan serum alkali fosfatase dan

serum hormon paratiroid, penurunan serum metabolit aktif vitamin D, gambaran

radiologi riketsia, dan terjadinya gambaran osteomalasia secara histologist(Pack,

2007). Berdasarkan hasil pemeriksaan QTc pada elektrokardiogram, didapatkan

sebanyak 3 subyek mengalami perpanjangan QTc dimana 2 subyek mendapatkan

terapi fenobarbital. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan hubungan yang

signifikan antara lama pemberian fenobarbital terhadap terjadinya perpanjangan

QTc pada gambaran elektrokardiogram. Anak anak dengan terapi fenobarbital

mengalami risiko untuk terjadi perubahan gambaran QTc pada EKG sebesar 2,7

kali dibandingkan kontrol yang mendapat terapi asam valproat (p=0,576). Pada

penelitian juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan rerata panjang QTc

pada anak epilepsi yang mendapat terapi fenobarbital dan asam valproat

(p=0,008), anak dengan terapi fenobarbital memiliki rerata QTc lebih panjang

dibandingkan dengan yang mendapat terapi asam valproat. meskipun pada

penelitian ini tidak terdapat perbedaan rerata panjang QTc pada kelompok yang

mengalami hipokalsemia dan tidak hipokalsemia. Diduga ada mekanisme lain

yang ikut berperan dalam terjadinya perubahan gambaran EKG pada subyek yang

mendapat fenobarbital. Pada sebuah penelitian oleh Cheng dkk (2010) tentang

efek jangka panjang obat epilepsi seperti karbamazepin, fenobarbital, asam

(54)

valproat dan fenitoin, didapatkan adanya efek obat tersebut terhadap fungsi

kardiovaskular melalui mekanisme peningkatan homosistein dan serum

lipoprotein (Cheng, 2010).

Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kalsium dalam darah,

menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian. Meskipun pada penelitian ini

semua subyek tidak mengalami obesitas, akan tetapi tidak diketahui asupan nutrisi

yang didapat tiap subyek. Keterbatasan penelitian ini diantaranya adalah adanya

faktor seperti intake makanan, tidak adanya analisis dari total dosis OAE yang

didapat oleh subyek selama pengobatan, dan jumlah subyek yang terlalu kecil

sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi hasil

penelitian yang didapat.

(55)

40

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian ini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara

terapi fenobarbital terhadap gambaran QTc pada penderita epilepsi. Dimana anak

dengan terapi fenobarbital berisiko mengalami perpanjangan QTc pada gambaran

elektrokardiogram sebanyak 2,7 kali dibandingkan kontrol yang mendapat terapi

asam valproat (p=0,576). Terdapat perbedaan yang bermakna rerata panjang QTc

pada gambaran elektrokardiogram antara subyek yang mendapat terapi

fenobarbital dan asam valproat (p=0,008). Terapi fenobarbital menyebabkan

hipokalsemia sebesar 1,4 kali (p=0,682), akan tetapi pada penelitian ini tidak

didapatkan perbedaaan rerata panjang Qtc pada gambaran EKG pada kelompok

hipokalsemia dan tidak hipokalsemia (p=0,619).

B. Saran

Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis diet dan penghitungan total dosis OAE

yang didapat serta sampel penelitian yang terlalu sedikit. Sehingga diharapkan

pada penelitian yang akan datang dapat dilakukan dengan mengambil subyek

yang lebih besar dengan menganalisis hal-hal tersebut serta mengambil jangka

waktu pengamatan efek terapi OAE yang lebih lama sehingga lebih dapat

menggambarkan efek jangka panjang pemberian OAE terhadap kadar kalsium

serum dan pada jantung.

(56)

C. Implikasi Penelitian

1. Efek bidang akademik

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat dipakai sebagai acuan

akan adanya kemungkinan gangguan jantung pada pasien epilepsi akibat

pemberian fenobarbital, yang dapat terdeteksi sejak dini dengan

pemeriksaan elektrokardiogram.

2. Efek bidang Kedokteran keluarga

Diharapkan para dokter dapat mengupayakan skrining kemungkinan

kelainan jantung pada pasien dengan terapi OAE, sehingga dapat

mengetahui lebih awal kelainan jantung yang mungkin terjadi dan

mengupayakan pencegahan atas dampak lebih lanjut dari kelainan jantung

tersebut.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad S, Fowler LJ, Whitton PS. 2005. Lamotrigine, carbamazepine and Phenytoin differentially alter extracellular levels of 5-hydroxytryptamine, dopamine and amino acids. Epilepsy Res, 63 : 141-9

Marfuah. 2014. Pengaruh fenobarbital terhadap fungsi jantung diastolik dan sistolik.Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.Tesis.

Anmann B, Grünze H, Vieta E. et al. 2007. Antiepileptic drugs and mood stability.Clin. EEG Neurosci. 38:116–23.

Baik R, Chae JH, Lee YM, Kang CH, Lee JS, Kim HD. 2010. Electrocardiography as an Early Cardiac Screening Test in Children with Mitochondrial Disease. Korean J Pediatr 2010;53(5): 644-647

Bialer M. 2006. New antiepileptic drugs that are second generation to existingantiepileptic drugs.Expert Opin. Invest. Drugs, 15:637–47.

Bialer M, Johannessen SI, Kupferberg HJ, Levy RH et al. 2007. Progress report on new antiepileptic drugs: a summary of the Eighth Eilat conference (Eilat VIII). Epilepsy Res, 73:1–52.

Bialer M, White HS. 2010. Key Factors in the Discovery and Development of New Antiepileptic Drugs. Nature Reviews Drug Discovery 9, 68-82

Banu SH, Jahan M, Koli UK, Ferdousi S, Khan NZ, Neville B. 2007. Side Effects of Phenobarbital and Carbamazepine in childhood epilepsy: randomized controlled trial. BMJ,doi:10.1136

Boden SD, Kaplan FS, Calcium Homeostasis. Orthop Clin N Am 21.1990. 31-42 Christiansen C, Rodbro P, Lund M. Incidence of anticonvulsant osteomalacia and effect of vitamin D: controlled therapeutictrial. BMJ. 4:695–701.

Brown, 2001. Physiology of Calcium Metabolism. Dalam : Becker KL. Penyunting. Principles And Practice of Endocrinology and Metabolism. Edisi Ke 3. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2001.

Burneo JG, Tellez-Zenteno J, Weibe S. 2005. Understanding the burden of epilepsy in latin America: a systematic review of its prevalence and incidence. Epilepsy Res 2005; 66; 63-74

(58)

Cheng LS, Prasad AN, Rieder MJ. 2010. Relationship between antiepileptic drug and biological markers affecting long term cardiovascular function in children and adolescent. Can J Clin Pharmacol Vol 17 (1) January 2010; e1-42

Engel J, Chair. Report of the ILAE Classification Core Group.Dalam :Epilepsia. Vol 47 No. 9, 2006.Diakses : September 2011

Fitzpatrick LA, 2004 .Pathophysiology of bone loss in patients receiving anticonvulsant therapy. Epilepsy Behavioural, 5: S3-S15.

Fitzpatrick, L.A.2002. The hypocalcemic states. Dalam: M Fayus, penyunting. Disorders of Bone and Mineral Metabolism. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, , 568-588,

Griffin JE. Ojeda SR.1996. Textbook of Endocrine Physiology. New York. Oxford University Press.

Hare GE, Dubin AM, 2008, The Normal Elektrocardiogram. Dalam : Allen HD et al, penyunting. Moss and Adam’s Heart Disease in Infants, Children and Adolescents. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins. 253

Holick MF: Stay tuned to PXR: an orphan actor that may not be D-structive only to bone. J Clin Invest 2005, 115:32-34.

Kulak CA, Borba VZ, Bilezikian JP, Silvado CE, Paola L, Boguszewski CL. 2004. Bone mineral density and serum levels of 25 OH vitamin D in chronic users of antiepileptic drugs. Arq Neuropsiquiatr . 62:940-948.

Kuo, C.C., Lin, B.J., Chang, H.R. et al. 2004. Use-dependent inhibition ofthe N.-methyl-D-aspartate currents by felbamate: a gating modifi erwith selective binding to the desensitized channels. Mol. Pharmacol. 65:370–80

Kuo X. 1998. A common anticonvulsant binding site for phenytoin, Carbamazepine, and lamotrigine in neuronal Na+ channels.Mol. Pharmaco.,54:712–21

Landmark JC. 2007. Targets for antiepileptic drugs in the synapse. Med. Sci. Mon., 13(1):RA1–7

Lazuardi S. 1999. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta. BP IDAI.231-6

Liamis G, Milionis HJ. A Review of drug-induced hypocalcemia. J Bone Miner Metab, 2009. 635-642

(59)

Loiseau P. 2002. Carbamazepine: clinical efficacy and use in epilepsy. Dalam RH Levy, RH Mattsson, BS Meldrum & E Perucca, penyunting.In antiepileptic Drugs, edn 5, ch 23. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.262–272.

Lumbantobing. 1999. Etiologi dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta. BP IDAI.197-203

Mac TL, Tran D, Quet F, Odermatt P, Preux PM, Tan CT. 2007. Epidemiology, aetiology and clinical management of epilepsy in Asia: a systematic review. http://neurology.thelancet.com Vol 6. 533

Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto S, 2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta. Sagung Seto. 302-39

Mbuba CK, Newton CR. 2009.Packages of Care for Epilepsy in Low and Middle Income Countries.www.plosmedicine.org. Vol 6 Issue 10.e1000162.

Mc Namara JO. 1996. Drugs effective in the therapy of epilepsies. Dalam: Hardman dkk. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics edisi ke 9. New York. 461-86

Mikati MA. 2011. Seizures in childhood. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Berhman RE, penyunting. Nelson textbook of Pediatrics.Edisi ke 19. Philadelphia.Elsevier Saunders. 2013-33

Myung KP. 1992.How to read Pediatric ECGS Edisi ke tiga. Texas. Mosby. 54-5

Myung KP. 2008. Pediatric Cardiology for Practitioners 5th Edition.Philadelphia. Mosby Elsevier. 50

Nordli DR, Pedley TA, Vivo DC. 2002. Seizure disorders in Infants and Children. Dalam : Rudolph CD, Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s Pediatrics, 21st edition. USA. Mc Graw Hill2255

Pack AM, 2004, Bone disease in epilepsy. Curr Neurol Neurosci Rep, 4:329-334.

Pack AM, Gidal B, Vazquez B. 2004. Bone Disease Associated with Antiepileptic Drugs. Cleveland Clinic Journal of Medicine. Vol 71, supplement 2.

Pascussi JM, Robert A, Nguyen M, Walrant-Debray O, Garabedian M,Martin P, Pineau T, Saric J, Navarro F, Maurel P, Vilarem MJ: Possible involvement of pregnane X receptor-enhanced CYP24 expression in drug-induced osteomalacia. J Clin Invest 2005, 115:177-186.

Gambar

Gambar 1.  Mekanisme obat anti epilepsi...........................................................9
Tabel 4.1
Tabel 2.1. Obat epilepsi pilihan pertama dan kedua sesuai sifat serangan epilepsi
Gambar 1. Fenobarbital mempunyai mekanisme aksi dalam meningkatkan hambatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari nilai signifikansi yang diperoleh yaitu sebesar 0,000 &lt; 0,05 dengan demikian dapat disimpulkan Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan

..., ... Sesuai ketentuan Petunjuk Teknis Bantuan Bibit Rumput Laut oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Nomor ..., tanggal ... …………20…, bersama ini terlampir

Kemampuan siswa dalam memanfaatkan media sosial yang mereka miliki untuk menjalin relasi sosial dilihat dari jumlah pertemanan yang mereka miliki, frekuensi mereka dalam

Berdasarkan percobaan 'ang tela# dilakukan, untuk Berdasarkan percobaan 'ang tela# dilakukan, untuk mengata#ui kadar karbo#idrat dalam ba#an pangan melalui mengata#ui kadar

Kung ibig nating malaman kung magkaibang ponema ang [b] at [v] sa Pilipino, hindi nating maaaring kuning pares minimalang tulad ng ‘bisa’ [bi:sa?] ‘effect’ at visa

Strategi promosi yang dilakukan oleh BPRS HIK insan Cita telah mengikuti semua promosi yang terdiri dari periklanan (Advertising), penjualan pribadi (personal

Seberapa kuatnya budaya yang telah terbentuk di dalam perusahaan dapat dilihat dari keberhasilan penerapan budaya organisasi yang diikuti dengan proses sosialisasi

Menurut Jacoby dan Kaplan (1972 disitasi dari Lee 2008) perceived risk dibagi menjadi lima kategori yaitu : (1) performance risk merupakan kerugian yang ditanggung