• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI

JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)

TESIS

Oleh

Erus Rusmana

NIM 1303082

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015

(2)

PEMBENTUKAN KARAKTER

(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI

JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing

Dr. ELLY MALIHAH, M. Si

NIP. 19660425 199203 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi

Dra. Hj. SITI KOMARIAH, M. Si, Ph. D

NIP. 19680403 199103 2 002

(3)

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

(Studi Kasus terhadap Peserta Didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi)

Oleh: Erus Rusmana

ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang menunjukkan bahwa kondisi karakter manusia dewasa ini, dilingkup internasional sampai personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan. Krisis karakter kemanusiaan terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi dan disorganisasi, sehingga berujung pada disintegrasi keluarga, bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional bangsa Indonesia. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam perspektif dekonstruksi dengan konsep keluarga yang bersifat konvensional menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki persepsi baru yang bersifat dekonstruktif. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis keadaan, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Fenomena krisis karakter kemanusiaan yang dialami beberapa peserta didik yang peneliti amati dan temukan telah terjadi pergeseran nilai yang ditunjukan adanya peserta didik beragam perilaku dan dekadensi moral, sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui keadaan karakter, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengan Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif verifikatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di SMA/MA Jampangtangah kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan secara empiris telah terjadi perubahan, pergeseran dan hilangnya peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Bersamaan dengan perubahan tersebut, telah mendorong pola baru tentang peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Pola baru tersebut dipandang sebagai alternatif makna lama yang konvensional. Ketika pola baru itu berfungsi secara sepadan atau lebih tinggi nilai peranannya, maka akan membentuk karakter baik. Akan tetapi, ketika pola baru itu berfungsi secara tidak sepadan atau lebih rendah nilai peranannya, maka akan membentuk karakter buruk.

(4)

THE SOCIAL DECONSTRUCTION OF ROLE OF THE FAMILY IN THE CHARACTER BUILDING

(Case Study on Students at SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi)

By: Erus Rusmana

ABSTRACT

This study is based on a phenomenon that indicates that the character of the human condition today, at the level of individual international until the personal character of the humanitarian crisis. Characters humanitarian crisis related to the increasing lack of harmony in the family. Many families experience the disorientation and disorganization, so that led to the disintegration of the family, not just because of the economic crisis, but also because of the invasion of the globalization of values and lifestyles that are not always compatible with the values and norms of religious, socio-cultural Indonesian national. The general objective of this study is to analyze the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi in perspective deconstruction of the concept of family which is conventional to the restructuring concept of the family that has a new perception that is deconstructive. The specific objective of this study is to analyze the situation, role and patterns of social deconstruction of the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi. This study used a qualitative descriptive approach to verification with the case study method. This research was conducted in SMA / MA Jampangtangah Sukabumi. The results showed empirically has been a change, shift and loss of family role in shaping the character of students. Along with these changes, has prompted a new pattern about the role of the family in shaping the character of students. The new pattern is seen as an alternative to the old conventional meaning. When a new pattern that function equivalent or higher value role, it will form a good character. How ever, when the new pattern of functioning disproportionate or lower the value of its role, it will form a bad character.

(5)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ………..i

PERNYATAAN DAN KEASLIAN TESIS ……….ii

ABSTRAK ………iii

KATA PENGANTAR ………..iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….v

DAFTAR ISI ……….vi

DAFTAR GAMBAR ……… ..vii

DAFTAR TABEL ………..viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………..1

1.2Rumusan Masalah ………...19

1.3Tujuan Penelitian ………20

1.4Manfaat Penelitian ………..20

1.5Struktur Organisasi Tesis ………21

BABII LANDASAN TEORITIS 2.1Teori Dekonstruksisosial ……….23

2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan ………...37

2.3Konsep Dasar Pendidikan Karakter ………....42

2.4Pendidikan Karakter dalam Keluargadan Masyarakat …………...63

2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah ………....72

2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan Karakter ………..76

(6)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian ……….83

3.2Metode Penelitian ………...85

3.3Subjek Penelitian ………86

3.4Jenis Data ………...87

3.5Alat Pengumpul Data ……….87

3.6Teknik Pengumpulan Data ……….88

3.7Teknik Analisis Data ………..91

3.8Waktu danTempat Penelitian ………...93

3.9Paradigma Penelitian ………..94

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….98

4.2Keadaan Karakter Peserta Didik ……….104

4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter ………136

4.4Dekonstruksi Sosial Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter………149

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1Kesimpulan ………...161

5.2Implikasi ………...163

5.3Rekomendasi ………164

DAFTAR PUSTAKA ………165

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………171

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Salah satu tema yang muncul begitu kuat ke permukaan dewasa ini dalam

diskursus tentang sosial-budaya adalah pendidikan karakter, baik di tingkat global

maupun di tingkat nasional. Banyak orang ramai membicarakan pendidikan

karakter, mulai dari para ilmuwan, budayawan, seniman, media masa, hingga para

pejabat dan politisi ikut ramai membicarakan tentang pendidikan karakter dalam

forum-forum ilmiah, seperti seminar, simposium dan sebagainya. Hal ini

menunjukkan munculnya kesadaran bahwa pendidikan karakter merupakan

keniscayaan.

Dalam konteks global, pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji

kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan

karakter dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan

masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Menurut Tilaar (2002,

hlm. 74) mengemukakan di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi

semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari

pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai diterlantarkan.

Majid dan Andayani, (2011, hlm. 2) Sejak tahun 1990-an terminologi

pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai

pengusungnya melalui karyanya The Return of Character Education sebuah buku

yang menyadarkan dunia secara khusus di tempat Lickona hidup (Amerika

Serikat), dan seluruh dunia pendidikan secara umum menyadari bahwa pendidikan

karakter adalah sebuah keniscayaan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter.

Sesungguhnya tujuan utama dan mendasar dari proses pendidikan adalah

pembentukan karakter manusia. Sejalan dengan Majid dan Andayani, (2011, hlm.

2). sejak 2.500 tahun yang lalu Socrates telah mengatakan bahwa tujuan paling

mendasar pendidikan atau filosofi dasar pendidikan adalah menjadikan seseorang

good and smart. Good dalam aspek karakter dan smart dalam aspek intelektual.

Senada dengan filosofi dasar pendidikan tersebut, Lickona (2013, hlm. 7)

(8)

pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan moral ternyata sudah seumur

pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang

ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu

membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku

berbudi.

Perspektif sejarah pendidikan Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Nabi

Muhammad saw. juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik

manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak dan mengupayakan pembentukan

karakter yang baik (good character) atau keluhuran budi. Hal ini disabdakan dalam sebuah hadis Nabi saw. “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak (karakter).” (Madjid, 1995, hlm.

93).Ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap berada pada

wilayah serupa, yakni pembentukan karakter manusia yang baik.

Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona,

Brooks, dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan

Socrates dan Nabi Muhammad Saw. bahwa moral, akhlak atau karakter

merupakan tujuan mendasar dari dunia pendidikan. Demikian juga Marthin Luther

King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “intelligence plus

character, that is the true aim of education.” Kecerdasan plus karakter, itulah

tujuan yang benar dari pendidikan (Majid dan Andayani, 2011, hlm. 2).

Dalam konteks nasional, ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para

bapak pendiri bangsa (the founding father) menyadari bahwa paling tidak ada tiga

tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, mendirikan negara yang bersatu

dan berdaulat; kedua, adalah membangun bangsa; dan ketiga, membangun

karakter. Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa

(nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building).

Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih cepat jika

dibandingkan dengan upaya untuk membangun bangsa dan membangun karakter.

Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan terus menerus, tidak boleh putus

di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Presiden pertama Republik

(9)

bahkan menegaskan bahwa bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan

pembangunan karakter (character building) karena pembangunan karakter inilah

yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta

bermartabat.

Samani dan Hariyanto (2011, hlm. 2) mengemukakan bahwa pendidikan

karakter di Indonesia saat ini mendesak untuk dilaksanakan, mengingat makin

meningkatnya tawuran antar-pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja

lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying),

kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena supporter bonek,

penggunaan narkoba, dan lain-lain. Informasi dari Badan Narkotika Nasional

menyatakan ada 3,6 juta pecandu narkoba di Indonesia. Bahkan yang paling

memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui

Kantin Kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha Kantin

Kejujuran yang bangkrut karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak.

Tilaar (2002, hlm. 74-75) menjelaskan bahwa dalam masyarakat kita

dewasa ini munculnya kembali masalah perlunya pendidikan karakter disebabkan

tiga hal: Pertama, melemahnya ikatan keluarga. Secara tradisional keluarga

merupakan guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Dengan

demikian, terjadi kekosongan (vacuum) moral di dalam perkembangan hidup

anak. Terjadinya disintegrasi keluarga antara lain berupa perceraian yang

bermuara pada kehancuran keluarga menyebabkan hidup anak-anak menjadi

terlantar. Hal tersebut akan sangat memukul kehidupan emosional anak serta

menjadi perangsang bagi kelainan-kelainan kelakuan seperti berbagai jenis

kenakalan dan tawuran. Kedua, kecenderungan negatif di dalam kehidupan

pemuda. Dewasa ini kita melihat khususnya di kota-kota besar terjadi perkelahian

pelajar bahkan sampai perkelahian mahasiswa dan telah merembet menjadi

tawuran antar-kampung. Hal ini merupakan akibat dari disintegrasi keluarga

seperti poor-parenting. Kecenderunagn penyalahgunaan obat-obatan terlarang,

penyelewengan seksual para pemuda menunjukkan kecenderungan yang sangat

mengkhawatirkan. Ketiga, suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai

(10)

menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya

suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam kelangsungan hidup masyarakat.

Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang

yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini

dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan

bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur,

berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Hasan, dkk.,

2010, hlm.3). Karenanya, karakter erat kaitannya dengan penerapan nilai-nilai

dalam tindakan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter terbentuk

dari hasil internalisasi nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran, kebaikan dan

keindahan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran penting dan strategis dalam

menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik agar mereka

berkarakter, bermoral dan beradab.

Durkheim (dalam Martono, 2010, hlm. 21) mengemukakan bahwa fungsi

utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam

masyarakat, tanpa adanya unsur kesamaan, kerja sama, solidaritas dan kehidupan

sosial tidaklah mungkin ada. Langgulung (2003, hlm. 1) mengemukakan bahwa

pendidikan dapat dipandang dari segi pandangan individu dan dari segi pandangan

sosial. Segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan

potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri manusia. Sedangkan dari segi

pandangan sosial bahwa pendidikan berarti pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang

dimiliki masyarakat dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut

tetap terpelihara dan berkelanjutan.

Di Indonesia, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan nasional

dapat dilihat dari segi yuridis-konstitusional sebagaimana tercantum dalam pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional bahwa :

(11)

Berdasarkan undang-undang tersebut bahwa pendidikan merupakan suatu upaya

sistematis dan terencana dalam mewujudkan suasana kondusif agar peserta didik

dapat mengembangkan segenap potensi dirinya secara integral, sehingga mereka

memiliki watak dan peradaban yang bermartabat. Hal tersebut secara lebih jelas

dan tegas dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam undang-undang tersebut perkataan “watak” dimaknai sebagai karakter,

kepribadian dan akhlak mulia atau budi pekerti. Hal ini sebagaimana dimaknai

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, hlm. 623 ) bahwa karakter

merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak mulia atau budi pekerti.

Profil karakter-karakter sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang di

atas, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan dapat

dilakukan secara formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal terjadi

dalam aturan dan sistem yang sudah dirancang secara baku, seperti yang tertera

dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan non formal terjadi dalam hidup di mana

individu mengamati apa yang dialaminya sehingga mendapatkan asumsi untuk

memecahkan persoalan hidup. Pendidikan informal berlangsung dalam keluarga

yang dilaksanakan oleh orang tua dan orang dewasa dalam keluarga terhadap

anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Secara sosiologis, manusia sebagai individu hidup dalam suatu dunia yang

bukan dirinya sendiri, tetapi membutuhkan adanya kehadiran orang lain dalam

hidupnya untuk berinteraksi. Karenanya, manusia selain sebagai makhluk

individual, juga sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan dunia luar untuk

tumbuh dan berkembang dalam mencapai kesempurnaannya baik jasmani maupun

rohaninya. Dalam kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari berbagai bentuk

(12)

didalam interaksi manusia bukan hanya hasil interaksi dengan alamnya dan dengan sesamanya, tetapi dia juga adalah pelaku aktif di dalam interaksi tersebut. Seorang individu tidak akan terlepas dari interaksi dengan keluarganya, karena itu peran keluarga sangat menentukan dalam membentuk kepribadian seseorang. Keluarga berkewajiban untuk memberikan pendidikan, perlindungan serta pembentukan kepribadian dan pembinaan sumber daya manusia (human resources).

Kata interaksi terkandung makna adanya hubungan timbal balik antar pendidik

dengan peserta didik dalam proses pendidikan sebagai proses pembentukan

karakter sekaligus sebagai proses sosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini pula

senada dengan pendapat Shipman (dalam Azra, 2006 hlm. 32) bahwa “salah satu

fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat adalah sosialisasi (socialization),

yaitu pendidikan sebagai wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai

kelompok atau nasional yang dominan”.

Merujuk pemaparan di atas, secara konseptual peneliti dapat

mendeskripsikan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia

secara integral, baik aspek fisik-biologis, maupun aspek ruhiyah-psikologis, baik

sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Hal ini didasarkan

pada pandangan umum tentang manusia bahwa manusia selain sebagai makhluk

individu, juga sekaligus sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk

individu mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses

pembentukan karakter peserta didik. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial

mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses sosialisasi

peserta didik yang dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang mampu

beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial-kultural maupun

lingkungan alam. Akan tetapi, dalam proses terbentuknya karakter sebagai aspek

kepribadian seseorang terjadi secara simultan dan integratif yang mencerminkan

perwujudan dari organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang

mendasari perilaku individu.

Pendidikan karakter pada ranah persekolahan telah menjadi polemik di

berbagai negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan

karakter sejak lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial

yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang menjadi perhatian. Lickona

(13)

minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya, pencapaian akademis dan pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter.

Terjadinya polemik, pandangan pro-kontra, dan semakin memudarnya

pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, sehingga pada gilirannya muncul

berbagai krisis moral yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan munculnya

berbagai krisis karakter kemanusiaan, mulai dari lingkup internasional sampai

lingkup individual personal sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya hal tersebut

tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berkaitan dengan krisis nilai yang dialami

oleh manusia dewasa ini. Proses terbentuknya karakter seseorang sebagaimana

telah dijelaskan di atas, terkait dengan nilai-nilai (values) yang ingin diwujudkan

pada diri seseorang itu. Ketika nilai-nilai dipandang bukan sebagai hal yang

penting dalam kehidupan manusia, maka secara otomatis pendidikan karakter

mengalami degradasi bahkan dimarginalkan atau disingkirkan dari kehidupan

manusia.

Fenomena tersebut terjadi, jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam sampai

ke akar masalahnya, merupakan konsekuensi dari berkembangnya dua golongan

besar gerakan filsafat yang menyebabkan tersingkirnya nilai-nilai dari kehidupan

dan memudarnya pelaksanaan pendidikan karakter, yaitu filsafat modernisme dan

filsafat posmodernisme yang berkembang melalui arus globalisasi. Paham atau

isme yang diajarkan dalam filsafat-filsafat tersebut tidak selalu kompatibel dengan

nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Zarkasy (dalam

Kamaluddin, 2010, hlm. 124) menjelaskan bahwa “pandangan hidup atau

pemikiran modernisme lebih menekankan kepada sains dan teknologi, ketimbang

agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific

worldview”.

Perlu menyadari bahwa setiap pemikiran tentu ada

konsekuensi-konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Konsekuensi negatif modernitaslah

yang menggelisahkan manusia, khususnya para pemikir di paro pertama abad

(14)

kalau tidak menyesali, dampak negatif itu masih terasa. Sejalan yang

dikemukakan Muzir dalam Norris, (2009, hlm.7). Krisis ekologi, karut- marut

ekonomi-politik global, imperialisme budaya, dan yang lainnya.

Dari sudut pandang teologis, bahwa pandangan modernitas dalam

mengakui keabsahan (validitas) ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada

kriteria paradigma ilmiah (scientific paradigm) semata, yaitu rasional, empiris,

dan positif telah mengarahkan manusia pada sikap atheistik. Kartanegara (2007,

hlm. 16) mengemukakan bahwa pembatasan bidang ilmu kepada objek-objek

indrawi dan metodenya hanya pada observasi oleh ilmuwan Barat, terbukti telah

menimbulkan berbagai masalah teologis yang serius, yang berakhir dengan

penolakan beberapa ilmuwan modern terhadap eksistensi Tuhan dan wahyu Ilahi.

Kemajuan yang dicapai saat ini, tidak bisa menutup mata terhadap dampak

positif modernitas, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia

dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasannya. Senada yang diungkapkan

Muzir dalam Norris, (2009, hlm. 8). Kemajuan melahirkan kesejahteraan; rasio

melahirkan sains dan teknologi; dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi “cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif yaitu eksploitasi, saintisme, serta imperialisme politik dan budaya.

Abad ke 19 adalah era di mana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu

gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas

memiliki struktur yang dapat dipahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran

terhadap absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap

salah satu disiplin pengetahuan filsafat yang terpenting, yaitu metafisika objektif.

Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan

yang sangat dominan pada waktu itu, merupakan produk akal posmodern.

Nietzsche sebagai pemikir awal posmodern dikenal dengan program penghapusan

nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas

merupakan karakteristik pandangan hidup posmodern. Makna nilai yang dijunjung

tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat direduksi. (Zarkasy

dalam Kamaluddin, 2010, hlm. 126-128). Doktrin penghapusan nilai yang

(15)

Konsekuensi dari berkembangnya pemikiran modernisme dan

posmodernisme adalah terhapusnya nilai-nilai dalam berbagai aspek kehidupan,

termasuk dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Lickona

(2013, hlm. 9-11) bahwa hal-hal yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan

pendidikan karakter adalah:

(1) Darwinisme yang mengintroduksi metafora baru, evolusi, yang memandu orang untuk melihat segala-galanya hanya sebagai materi, sehingga moralitas semacam ini di masyarakat berubah secara berkelanjutan; (2) Relativisme Einstein meskipun lebih ditunjukkan untuk menjelaskan konsep fisika, ternyata juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan moral. Ketika suatu masalah muncul dengan jawaban benar atau salah, banyak orang kemudian berpikir, “Semua itu relatif, tergantung bagaimana Anda memandang masalah tersebut; (3) Filsafat positivisme logis (logical positivism) diajarkan di unversitas-universitas yang ada di Amerika Serikat dan Eropa, yang secara radikal membedakan antara fakta (yang dapat dibuktikan secara ilmiah) dengan nilai (yang oleh positivisme dipandang semata-mata sebagai ekspresi perasaan yang tidak merupakan kebenaran objektif). Sebagai dampak dari positivisme, moralitas menjadi relatif dan terprivatisasi semata-mata dan dianggap sebagai pertimbangan personal bukan subjek bagi perdebatan umum dan tidak perlu ditransmisikan melalui sekolah.

Sementara itu Tatman, Edmonson, dan Slate (Volume 4, Number 1,

January-March, 2009) di samping mengafirmasi Lickona juga menambahkan bahwa “penyebab memudarnya implementasi pendidikan karakter di Amerika Serikat pada tahun 1960-an adalah hadirnya tiga daya yang amat kuat, yaitu personalisme,

pluralisme dan sekularisme”. Mengutip Lickona (1993) Tatman, Edmonson, dan

Slate mengemukakan bahwa “personalisme menekankan pada pentingnya hak-hak

individu dan kebebasan dari pertanggungjawaban, sehingga mendelegitimasi

otoritas moral, menghapus kepercayaan terhadap norma-norma moral yang

objektif, memalingkan pandangan orang-orang ke arah pemenuhan kebutuhan diri, dan memperlemah komitmen sosial.” Sedangkan pluralisme mengedepankan pertanyaan nilai-nilai siapa (warga negara Amerika Serikat keturunan bangsa apa,

dari negara mana) yang harus diajarkan di sekolah-sekolah umum, sedangkan

sekularisasi mengobarkan debat apakah pendidikan moral hanya merupakan

tanggung jawab gereja atau tanggungjawab gereja bersama negara.

Menurut Tilaar (2002, hlm. 21) bahwa pendidikan sekular yang lahir di

(16)

secara berangsur-angsur menjadi pendidikan sekular. Pendidikan agama tinggal

menjadi mata pelajaran sedangkan yang diprioritaskan adalah mata pelajaran-mata

pelajaran sekular. Memang hasil dari pendidikan sekular telah membuahkan

kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin telah

meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian kemajuan ilmu

pengetahuan yang sekular tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral.

Jangan-jangan pendidikan sekular telah ikut memicu berbagai peperangan serta

kemunduran moral manusia dewasa ini.

Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan

pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, khususnya di ranah persekolahan,

baik faktor-faktor yang bersifat filosofis dan ideologis, maupun faktor-faktor yang

bersifat praksis.

Pendidikan sebagai proses pembentukan karakter dapat dilakukan dalam

semua lingkungan kehidupan peserta didik, baik dalam lingkungan keluarga,

sekolah, maupun masyarakat, karena memang secara faktual kehidupan peserta

didik berada pada semua lingkungan tersebut. Lickona (2012, hlm. 4)

mengemukakan bahwa pendidikan karakter bukan hanya merupakan tanggung

jawab sekolah. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, berawal

dari keluarga, sekolah dan meluas hingga organisasi keagamaan, organisasi

pemuda, bisnis, pemerintahan, dan bahkan media. Tilaar (2004, hlm. 40)

mengemukakan bahwa “pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi

seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat, yang berbudaya kini dan masa

depan.” Hal senada dengan pendapat Lickona dan Tilaar, Azra (2006, hlm. 173)

juga mengemukakan bahwa “pendidikan karakter merupakan upaya yang harus

melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan

sekolah lebih luas (masyarakat).”

Secara sosiologis, keluarga dimaknai sebagai unit sosial terkecil dalam

struktur sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan Soelaeman (2006, hlm. 115)

bahwa “keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki

manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi.”

(17)

dalam masyarakat, pemuas kebutuhan perseorangan, dan kontrol sosial. Menurut

Soekanto (2009, hlm. 2) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah wadah tempat

berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat

yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan

menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai berlaku.”

Berdasarkan uraian tentang konsep keluarga yang dikemukakan oleh para

pakar di atas, dapat memahami peran dan fungsi keluarga dalam struktur sosial.

Para pakar sepakat bahwa di antara fungsi keluarga itu antara lain adalah sebagai

wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota

masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami,

mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku.

Namun, secara faktual empiris dalam keluarga seringkali mengalami

problem yang dalam sosiologi disebut dengan disorganisasi keluarga. Soekanto

(2009, hlm. 324) menjelaskan bahwa “disorganisasi keluarga adalah perpecahan

keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi

kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya.” Disorganisasi

keluarga mungkin terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami

sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer

keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah

tersebut disebabkan karena kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan

tuntutan-tuntutan kebudayaan.

Senada dengan pendapat Soekanto di atas, dalam konteks pendidikan

karakter, Azra (2006, hlm. 172) mengemukakan bahwa “meski terkesan sedikit

simplistis dan menyederhanakan masalah, krisis dalam karakter bangsa, agaknya

juga terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga.” Banyak keluarga

mengalami disorientasi bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena

serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan

nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia.

Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik dan permissif

sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai TV

di Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga. Akibatnya,

(18)

hampir tidak memiliki karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik

di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat

terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis

kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan

(righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami

kepribadian terbelah (split personality). Sekolah menjadi seolah tidak berdaya

menghadapi kenyataan ini. Menghadapi berbagai masalah berat menyangkut

kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan

tenaga kependidikan yang rendah, sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan

pembentukan karakter. Sekolah sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar

tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran

daripada pendidikan.

SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu

institusi pendidikan formal yang berada dalam struktur sosial secara imperatif

menjalankan dua misi integral sekaligus, yaitu menjadikan sekolah sebagai

tempat bagi transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya

pencapaian kecerdasan intelektual-akademik dan sebagai tempat internalisasi

nilai-nilai dan norma-norma agama, dan sosial-budaya nasional dan lokal

Indonesia dalam upaya pembentukan karakter peserta didik.

Konteks pendidikan karakter, SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten

Sukabumi mengembangkan nilai-nilai karakter dan budaya sebagai berikut:

religius, semangat belajar, kreatif, inovatif, dan berbudaya lingkungan. Hal

tersebut terlihat dari visi sekolah tersebut, yaitu terwujudnya sekolah yang unggul,

berprestasi dan berbudaya lingkungan dilandasi iman dan takwa. Sedangkan

misinya adalah: (1) mendidik siswa agar beriman, bertakwa dan berakhlak mulia;

(2) menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama; (3)

melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi semua guru dan siswa; (4)

menumbuhkan semangat keunggulan warga sekolah dalam berkarya; (5)

mengadakan inovasi pendidikan sesuai dengan perkembangan IPTEK; (6)

menjadikan sekolah sebagai pusat belajar yang berbudaya lingkungan. Selain itu,

juga terlihat dari tata tertib sekolah yang harus dipatuhi dan ditaati oleh seluruh

(19)

Namun dalam tataran implementasinya, berdasarkan hasil pengamatan

sementara peneliti pada objek penelitian bahwa akhir-akhir ini (periode

2012-2014) sekolah tersebut menghadapi tantangan dan problem yang tidak ringan,

antara lain: sering terjadi pelanggaran disiplin sekolah, pelanggaran tata tertib

sekolah, kebiasaan menyontek, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior,

kematangan seksual terlalu dini dan penyimpangannya, serta pelanggaran lainnya.

Keadaan ini sungguh bertentangan dengan visi dan misi sekolah yang telah

dirumuskan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kondisi ini tentunya

berpengaruh negatif terhadap proses pendidikan dan menghambat pembentukan

karakter dan penciptaan budaya sekolah yang kondusif. Jika kondisi ini dibiarkan,

maka akan menjadi penghambat dalam pencapaian tujuan pendidikan yang

diharapkan.

Fenomena tersebut di atas menunjukkan adanya ketidaksesuaian atau

kesenjangan antara teori, nilai, norma, visi dan misi pendidikan dengan realitas

fakta empiris yang terjadi dalam praksis pendidikan. Bertolak dari masalah inilah

penelitian ini dilakukan, untuk menganalisis masalah yang ada dalam ruang

lingkup kajian sosiologi pendidikan, yaitu hubungan pendidikan dengan pranata

sosial antar manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, yakni peranan

sekolah, keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Hal ini sebagaimana

dikemukakan ahli sosiologi pendidikan, Idi (2011, hlm. 168) bahwa “pendidikan

merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh

keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan

fungsi pendidikan.”

Terjadinya krisis karakter yang dialami oleh peserta didik di sekolah

tersebut tentunya tidak muncul secara berdiri sendiri, hal tersebut terkait dengan

latar belakang kondisi keluarga mereka dan teman-temannya di mana mereka

bergaul dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Keluarga secara

konvensional melakukan peranan dan fungsi sebagai wadah tempat

berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat

yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan

menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku. Namun, belakangan ini

(20)

fungsi keluarga dalam pendidikan. Peranan dan fungsi tersebut digantikan oleh

nilai-nilai, norma-norma, dan sistem lain yang dipandang lebih relevan dengan

kondisi kehidupan dewasa ini. Di antara nilai-nilai, norma-norma dan sistem

tersebut tentunya mungkin ada yang kompatibel dan mungkin juga ada yang tidak

kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya bangsa

Indonesia.

Fakta empiris menunjukkan bahwa belakangan ini beberapa keluarga

peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi mengalami

disorientasi, disorganisasi dan disintegrasi dalam keluarga, antara lain orang tua

peserta didik tidak berfungsi atas pola -pola yang dianggap sudah mapan, hal

tersebut dimungkinkan bukan saja keberadaan faktor ekonomi yang tidak

mendukung untuk ketersediaan kebutuhan pokok keluarga tetapi adanya sikap

orangtua memiliki gaya hidup yang cenderung hedonistik, materialistik, permisif

dan over protektif.

Pola keluarga yang terjadi pada peserta didik di SMA/MA Jampngtengah

Kabupaten Sukabumi melahirkan corak baru sebagai alternatif yang dianggap

pemaknaan fungsi dan peran keluarga bukan satu-satunya yang menjadikan

peserta didik berkarakter baik dari keluarga yang utuh, tetapi ternyata dari

keluarga yang tidak mapan ( broken home ) menjadikan peserta didik bersikap

dan berkarakter baik.

Berdasarkan pemaparan di atas tampak jelas bahwa hal yang menjadi

problematika pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita, selain disebabkan

oleh faktor-faktor internal yang bersifat praktis dalam sistem pendidikan itu

sendiri, juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang bersifat filosofis dan

ideologis yang mengandung nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu

kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama dan sosial-budaya

Indonesia, yang secara terus menerus mengalir deras masuk ke dalam dunia

pendidikan kita, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat melalui arus gelombang

globalisasi, yang ditandai dengan adanya perkembangan pesat di bidang

teknologi, terutama teknologi informasi. Meski demikian, sesungguhnya dalam

perkembangan tersebut, selain mempunyai implikasi positif bagi manusia, tetapi

(21)

pribadi-pribadi yang miskin spiritual, materialistik, individualistik, konsumeristik,

hedonistik, dan mengalami frustasi eksistensial.

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut tidak

boleh kita abaikan. Karena jika diabaikan, maka akan menjadi ancaman dan

hambatan bagi pencapaian cita-cita pembangunan bangsa, terutama pembangunan

karakter, budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.

Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka salah satu

cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah perlu adanya perubahan

besar dan mendasar, yaitu perubahan paradigma baru (new paradigm) dalam

pendidikan untuk melakukan “restrukturalisasi” peranan institusi pendidikan

secara sinergis antara keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan

karakter peserta didik. “Restrukturalisasi” dimaknai sebagai upaya melakukan

penyusunan kembali unsur-unsur yang telah terurai dalam sebuah sistem atau

konsep.

Upaya restrukturalisasi sebuah sistem atau konsep dapat dilakukan melalui

strategi “dekonstruksi” yang merupakan salah satu konsep yang lahir pada era

posmodernisme yang diperkenalkan oleh Derrida. Al-Fayyadl (2009, hlm. 8)

mengemukakan bahwa dekonstruksi merupakan strategi tekstual yang hanya bisa

diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu kita mempermainkannya dalam

parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat anti teori

atau bahkan anti metode, karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah

permainan (play) dan parodi. Menurut Johnsons (dalam al-Fayyadl, 2009, hlm. 8) bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian

etimologis kata “destruksi”. Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa

dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan

pemaknaan dalam teks ketimbang operasi yang merusak teks itu sendiri. Tujuan

dekonstruksi adalah mengungkai oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam

teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah

makna tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar

(22)

Merujuk pada konsep dekonstruksi di atas, peneliti akan mencoba

menggunakan pola dekonstruksi sebagai strategi membaca realitas kehidupan

keluarga, khususnya hal yang berhubungan dengan peranan dan fungsi keluarga

dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah

Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Fenomena tersebutlah yang menjadi kegelisahan akademik peneliti,

sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah di SMA/MA

Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam bentuk tesis, sekaligus mencari solusi

alternatif untuk mengatasi krisis karakter peserta didik yang dihadapi oleh sekolah

tersebut. Hal ini pula yang mendorong rasa ingin tahu (curiosity) peneliti tentang

peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik pada lembaga

pendidikan tersebut melalui pendekatan strategi dekonstruksi. Atas dasar itulah,

judul tesis ini dirumuskan: Dekonstruksi Sosial Peranan Keluarga dalam

Pembentukan Karakter (Studi Kasus terhadap Peserta didik SMA/MA di

Jampangtengah Kabupaten Sukabumi).

Sejumlah penelitian terdahulu peneliti sajikan agar tidak terjadi

pengulangan, duplikasi dan plagiasi dalam penelitian ini, berikut ini akan

dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian

ini, baik aspek peranan keluarga dalam pendidikan dan aspek pendidikan karakter,

maupun aspek konsep dekonstruksi sosial. Dengan demikian, akan tampak

distingsi dan signifikansi penelitian ini.

Rusmana (2008) melakukan penelitian dengan judul tesis “Tugas-Tugas

Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Pendidikan Islami (Penelitian di Desa

Bantarsari Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa faktor pendukung keberhasilan pendidikan Islami dalam

keluarga antara lain adalah keharmonisan suami istri. Keluarga mempunyai

peranan penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebab dari keluarga yang

rukun dan sehat akan lahir anak-anak yang selalu rukun dan sehat pula, baik

jasmani maupun rohaninya. Dan dari anak-anak dan anggota keluarga yang sehat

akan terjadilah suatu bangsa yang sehat, kuat dan perkasa.

Syahroni (2005) melakukan penelitian dengan judul tesis “Hak dan

(23)

penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: (1) orang tua memiliki hak dan

tanggung jawab terhadap anak-anaknya secara penuh, yang tidak bisa digantikan

perannya sebagai pendidik pertama dan utama oleh institusi dan lembaga apapun;

(2) tidak terpenuhinya hak dan tanggung jawab disebabkan: pertama, orang tua

lebih banyak waktu di luar rumah; kedua, menitipkan anak ke panti-panti asuhan;

ketiga, tidak harmonis dalam keluarga.

Sri N. R (2014) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pergeseran

Peran dan Fungsi Keluarga pada Perilaku Menyimpang Remaja di SMP Negri 1

Piyungan Bantul (dalam Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi.

Volume 2, No. 1). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pergaulan bebas

dapat terjadi pada dasarnya karena adanya sosialisasi yang tidak sempurna pada

diri remaja. Remaja cenderung berusaha mencari jati dirinya pada teman

sebayanya dan lingkungannya. Sehingga apabila salah dalam mencari teman dan

bersosialisasi pada lingkungan yang salah, mereka akan terjebak pada perilaku

yang menyimpang. Karena itu peran dan fungsi orang tua sangat menentukan

terhadap perilaku remaja pada saat ini.

Rustar (2010) melakukan penelitian tesis dengan judul “Pendidikan

Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara”. Dalam tesisnya bahwa karakter menurut

Ki Hadjar Dewantara adalah budi pekerti atau watak yang merupakan perpaduan

dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda khusus

untuk membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Karakter terjadi karena

perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar. Yang dinamakan dasar

adalah bekal hidup atau bakat anak yang berasal dari alam sebelum mereka lahir,

serta sudah menjadi satu dengan kodrat kehidupan anak. Sedang kata ajar

diartikan segala sifat pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil

baligh, yang dapat mewujudkan intellegible, yakni tabiat yang dipengaruhi oleh

kematangan berpikir.

Purwaningsih (2010) melakukan penelitian dengan judul “ Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral” (dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, vol. 1 no. 1 ). Penelitian ini

menyimpulkan bahwa keluarga merupakan lembaga masyarakat pertama dan

(24)

individu, keluarga mempunyai peranan amat penting dan strategis dalam

penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai moral social dan budaya.

Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua dengan anak yang

demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam

pembinaan nilai moral anak.

Idrus (2012) dengan penelitian berjudul “ Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa “ ( dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2).

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fenomena saat ini secara eksplisit

menunjukan terjadinya penurunan etika, moral, dan karakter bangsa, situasi

tersebut mengahruskan reformulasi pada proses pendidikan karakter agar setiap

individu memiliki karakter yang baik. Proses pendidikannya dilakukan oleh

tripusat pendidikan, yaitu sekolah, masyarakat dan keluarga. Dalam kontek

masyarakat Jawa, model dan pembentukan karakter tercermin dari model

pengasuhan yang dilakukan orang tua, berbagai model pengasuhan Jawa yang

sudah dilakukan ketika anak masih bayi.

Dari penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang relevan dengan

penelitian ini sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa

penelitian yang dilakukan oleh Rusmana, Syahroni dan Sri NR adalah sama-sama

meneliti tentang peranan dan fungsi orang tua dalam mendidik anak-anak. Dari

aspek peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan, penelitian-penelitian

tersebut juga ada persamaan dengan penelitian ini. Namun penelitian ini memiliki

perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut. Adapun penelitian-penelitian

yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu tersebut, kajiannya terfokus pada

rumusan konsep peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan anak-anak

berdasarkan paradigma konvensional. Sedangkan penelitian ini, kajiannya

difokuskan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik

berdasarkan paradigma dekonstruksi.

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian terdahulu

yang relevan dengan topik penelitian ini ternyata belum ada peneliti lain yang

melakukan penelitian secara spesifik dan mendalam terhadap masalah ini. Atas

dasar itulah, penelitian ini penting dilakukan untuk mengisi kekosongan,

(25)

dengan topik peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui analisis

strategi dekonstruksi.

1.2Rumusan Masalah Penelitian

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi

permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penelitian ini sebagai berikut: (1)

Kondisi karakter manusia dewasa ini, sejak dari lingkup internasional sampai

kepada lingkup personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan; (2)

Terjadi marginalisasi nilai-nilai agama, moral dan budaya pada berbagai aspek

kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, yang pada gilirannya

memunculkan berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Hal ini sebagai

konsekuensi dari berkembangnya pemikiran gerakan filsafat modernisme dan

posmodernisme; (3) Belakangan ini banyak keluarga mengalami disorientasi dan

disorganisasi yang bermuara pada terjadinya disintegrasi keluarga yang

menyebabkan terjadinya dekonstruksi peranan keluarga dalam pendidikan. Hal ini

disebabkan oleh tiadanya harmoni dalam keluarga dan kesulitan-kesulitan untuk

menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan.

Berdasarkan pada latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di

atas, maka secara umum masalah penelitian ini adalah bagaimanakah peranan

keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif

dekonstruksi?. Secara khusus masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah

Kabupaten Sukabumi ?

2. Bagaimanakah peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik

SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi?

3. Bagaimanakah corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam

pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten

(26)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka secara umum

tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam

pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif dekonstruksi dengan cara

mengungkai, mengurai dan membongkar konsep keluarga yang bersifat

konvensioanl menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki makna baru

yang bersifat dekonstruktif.

Adapun secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah

Kabupaten Sukabumi.

2. Menganalisis peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik

SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

3. Menganalisis corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan

karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik segi

teoritis maupun segi praktis:

1. Segi teoritis dapat dijadikan sebagai masukan atau sumbangan keilmuan

bagi penambahan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya

dalam sosiologi pendidikan, terutama mengenai dekonstruksi sosial

peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.

2. Segi praktis dapat dijadikan pedoman bagi guru dan orangtua mengenai

peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan

mengenai permasalahan tentang karakter peserta didik yang berkaitan

dengan peranan keluarga.

4. Manfaat untuk pemerintah, dapat dijadikan sebagai masukan dalam

menyusun kebijakan agar menjadi pedoman bagi penyelenggara

(27)

1.5 Struktur Organisasi Tesis

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

1.2Rumusan Masalah

1.3Tujuan Penelitian

1.4Manfaat Penelitian

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.1Teori Dekonstruksi sosial

2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan

2.3Konsep dasar Pendidikan Karakter

2.4Pendidikan Karakter dalam Keluarga dan Masyarakat

2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah

2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan

Karakter

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian

3.2Metode Penelitian

3.3Subjek Penelitian

3.4Jenis Data

3.5Alat Pengumpul Data

3.6Teknik Pengumpulan Data

3.7Teknik Analisis Data

3.8Waktu dan Tempat Penelitian

3.9Paradigma Penelitian

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.2Keadaan Karakter Peserta Didik

4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter

(28)

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1Kesimpulan

5.2Implikasi

5.3Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(29)

83 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis suatu bentuk dekonstruksi

sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui suatu kajian dan

pemahaman terhadap fenomena pendidikan SMA/MA di Jampangtengah

Kabupaten Sukabumi. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research), karena pendekatan

kualitatif sebagaimana pendapat Sukmadinata (2006, hlm. 94) “ditujukan untuk

memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan.”

Partisipan adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi, diminta

memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Menurut Sukmadinata

(2006, hlm. 60) bahwa “penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang

ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa aktivitas

sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual

maupun kelompok.” Menurut Moleong (2006, hlm. 6) penelitian kualitatif adalah

“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,

pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.”

Menurut Nasution (2003, hlm. 5) bahwa penelitian kualitatif pada

hakikatnya ialah “mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi

dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia

sekitarnya. Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik.” Disebut

kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif bukan

kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik,

karena situasi lapangan natural atau wajar, sebagaimana adanya tanpa

dimanipulasi diatur dengan eksperimen atau tes. Penelitian naturalistik bersifat

sekunder, sehingga tidak dipastikan kapan berakhir. Penelitian dapat berlangsung

(30)

pada suatu saat penelitian dihentikan karena pertimbangan waktu, biaya dan

tenaga.

Dalam penelitian ini, peneliti mengungkap fenomena tentang proses

pendidikan karakter SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Peneliti

yang bertindak sebagai instrumen penelitian, mengumpulkan, mendeskripsikan,

dan menganalisis data yang diperoleh mengenai peranan keluarga dalam

pembentukan karakter sesuai dengan langkah-langkah penelitian kualitatif.Hal ini

sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006, hlm. 4)

bahwa “pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.”

Merujuk pada prinsip-prinsip penelitian tersebut di atas, maka penelitian

ini tidak bermaksud menguji hipotesis, melainkan hendak mengkonstruksi suatu

konsep dari data-data yang diperoleh di lapangan, yaitu tentang fenomena

pendidikan karakter di SMA/MA Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

Penelitian dilakukan dengan menganalisis dekonstruksi sosial peranan keluarga

dalam pembentukan karakter, sehingga ditemukan suatu gambaran sistem dan

konsep yang dapat menjadi sumber dalam membuat konstruk bentuk dekonstruksi

sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, penelitian

ini lebih menekankan pada observasi dan deskripsi suasana alamiah (natural

setting) sebagaimana adanya.

Proses menemukan bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam

pembentukan karakter melalui penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada hasil

interpretasi terhadap data-data yang berhasil dideskripsikan. Oleh karena itu,

pendekatan kualitatif ini lebih berorientasi pada penelitian interpretatif. Dengan

pendekatan kualitatif verifikatif ini, peneliti berusaha memotret situasi

pendidikan yang terjadi SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi,

terutama yang menyangkut proses penanaman nilai-nilai dalam rangka

pembentukan karakter, kemudian menafsirkan fenomena pendidikan tersebut dari

sudut ilmu pendidikan untuk menggali makna di balik fenomena proses

pendidikan yang tampak. Dari hasil pemaknaan tersebut kemudian dirumuskan

(31)

konstruk bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan

karakter. Sukmadinata (2006, hlm. 94) mengemukakan bahwa “beberapa

penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekadar memahami fenomena, tetapi juga

mengembangkan teori (atau konsep).“

3.2Metode Penelitian

Ditinjau dari segi tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk kategori

jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode studi

kasus (case study). Sukmadinata (2006, hlm. 99) mengemukakan bahwa:

Penelitian kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainnya. Satu fenomena tersebut bisa berupa seorang pimpinan sekolah atau pimpinan pendidikan, sekelompok siswa, suatu program, suatu proses, suatu penerapan kebijakan, atau satu konsep.

Babbie (1998, hlm. 282) mengemukakan bahwa “studi kasus merupakan

pengamatan ideografis dari individu, kelompok, atau masyarakat.” Tujuan

utamanya adalah deskripsi dan usaha untuk menjelaskan. Contohnya meliputi

sebuah gambaran antropologis suatu suku tertentu yang belum melek huruf,

sebuah analisis sosiologis struktur organisasi kerjasama yang modern, dan

penelitian seorang ilmuwan politik dari gerakan politik tertentu. Menurut Robert

Yin (2014, hlm. 18), studi kasus adalah “suatu inkuiri empiris yang menyelidiki

fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara

fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan di mana multi sumber bukti

dimanfaatkan.” Selanjutnya Aziz (dalam Bungin, 2008, hlm. 20)menyatakan

bahwa “metode studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu

studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan

sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat

kontemporer, kekinian.” Basrowi dan Sukidin (2002, hlm. 30) mengemukakan

bahwa “penelitian studi kasus didasarkan pada filsafat fenomenologi.” Sebagai

aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode analisis berpikir, fenomenologi

diperkenalkan oleh Husserl, yang beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang

tampak apa adanya. Suatu fenomena yang tampak sebenarnya refleksi realitas

(32)

dengan makna yang transendental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat

kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.

Menurut Bungin (2011, hlm. 67) bahwa “berdasarkan pengalaman dalam

melakukan berbagai penelitian kualitatif, maka format desain penelitian kualitatif

terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikatif dan format

grounded theory.” Sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini, maka

peneliti menggunakan format desain kualitatif verifikatif. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bungin (2011, hlm. 70) bahwa “desain kualitatif verifikatif merupakan

sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan

dilakukan karena itu format desain penelitiannya secara total berbeda dengan

format deskriptif kualitatif.” Format ini lebih banyak mengkonstruksi format

penelitian dan strategi memperoleh data di lapangan, sehingga format

penelitiannya menganut model induktif. Namun dalam hal memperlakukan teori,

format kualitatif verifikatif lebih longgar dalam arti tetap terbuka pada teori,

pengetahuan tentang data dan tidak mengharuskan peneliti menggunakan

“kacamata” kuda.

Bungin (2011, hlm. 71) menegaskan bahwa “keunggulan penelitian

kualitatif salah satunya ada pada metode ini, karena ia berupaya mengungkapkan

makna yang ada dibalik data yang tampak.” Hal-hal yang tak tampak itulah yang

menjadi sasaran metode kualitatif verifikatif dan menjadikannya sebagai kritik

tajam terhadap pendangan positivisme yang melahirkan pandangan kuantitatif.

3.3Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi

sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian.

Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sampel teoritis, karena tujuan

penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori.

Sesuai dengan hakekat kualitatif, subjek dalam penelitian ini ditentukan

secara purposive, artinya subjek penelitian sebagai sumber data dipilih dengan

pertimbangan tertentu. Menurut Faisal (dalam Sugiyono, 2006, hlm. 303) dengan

mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa situasi sosial untuk sampel

(33)

muara dari banyak domain lainnya. Menurutnya bahwa, sebagai sumber data atau

sebagai informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Informan yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses

enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga

dihayatinya;

b) Informan yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada

kegiatan yang tengah diteliti;

c) Informan yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai

informasi;

d) Informan yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil

“kemasannya” sendiri;

e) Informan yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti

sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara

sumber.

Berdasarkan kriteria di atas maka peneliti menentukan lokasi dalam

melakukan penelitian ini yaitu SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

Sedangkan subjek dari penelitian ini terdiri dari peserta didik yang berperilaku

menyimpang, Guru BK, Wali Kelas, Kepala Sekolah, dan orang tua peserta didik

mengalami penyimpangan SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

3.4Jenis Data

Dengan merujuk pada rumusan masalah penelitian ini, maka jenis data

dalam penelitian ini ada tiga, yaitu: (1) data-data mengenai keadaan karakter

peserta didik; (2) data-data mengenai peranan keluarga dalam pembentukan

karakter peserta didik; dan (3) data-data mengenai dekonstruksi sosial peranan

keluarga, terutama terkait dengan peran dalam pembentukan karakter peserta

didik.

3.5Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pedoman wawancara dan pedoman observasi, dengan langkah-langkah yang

(34)

a) Tahap Persiapan

Merumuskan masalah penelitian dengan aspek-aspek yang akan diteliti

disertai indikator-indikator dan sub indikatornya, kemudian mempersiapkan

pedoman wawancara yang akan ditanyakan kepada responden dan pedoman

observasi berdasarkan pada aspek-aspek yang akan diteliti agar proses wawancara

dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

b) Tahap Pelaksanaan

Tahap persiapan merupakan tahap penggalian data yang lebih spesifik

dengan melakukan wawancara, mengadakan observasi pada proses kegiatan

sekolah tentang kepribadian peserta didik. Kegiatan-kegiatan tersebut diatas

dimaksudkan untuk memudahkan dalam tahap pelaksanaannya, disamping agar

data yang dibutuhkan dapat terungkap sesuai dengan tujuan yang akan dicapai

oleh peneliti.

3.6Teknik Pengumpulan Data

Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode yang tepat

diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat

pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun

teknik dan alat pengumpulan data ini sangat berpengaruh pada objektifitas hasil

penelitian. Tahap pengumpulan data dan teknik pengumpulan data merupakan

langkah yang paling strategis dalam penelitian. Menurut Bungin (2011, hlm. 140)

mengungkapkan bahwa:

Pada tahap ini peneliti selalu mempertimbangkan hal-hal seperti penciptaan rapor, pemilihan sampel, pengumpulan data dengan wawancara, pengumpulan data dengan observasi, pengumpulan data dari sumber-sumber nonmanusia, dan pencatatan data atau informasi hasil pengumpulan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Sarana pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data ini

adalah buku catatan, balpoin dan kamera foto untuk mendokumentasikan

berlangsungnya kegiatan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter

Gambar

Gambar 3.1
Tabel 3.1
Gambar 3.2

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 11, pengujian mesin pengkondisian udara hibrida dengan penambahan kondensor dummy dan beban pendingin 3000 Watt, temperatur refrigeran maksimum yang

Adanya teori harapan, teori emosi, dan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh para tokoh psikologi, terbukti bahwa aspek-aspek kejiwaan seperti perasaan dan emosi memegang

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang (2010) dimana pengaruh transaparansi negatif terhadap hubungan antara tax avoidance

dalam penelitian tersebut menunjukkan sebuah temuan bahwa mahasiswa dengan harapan tinggi cenderung kurang sering menggunakan active coping strategies, hal ini ini

4 و اذى في ثحبلا ت و ثحبت سرد ةبتاكلا نع صن مظنلا يودنسلا في ةديقعلا ةعوملر باتك يذلا ردصي نا زويج صوصنلا نم لأا ك ,ىرخ :ىلي ام ناقتسبا وللاا ةفرعم ج الله اك ةفرعم

4.4.4 Grafik Hubungan Antara Putaran Poros dan Daya Mekanis Untuk Tiga Variasi Kecepatan Angin Data dari Tabel 4.4, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 yang sudah diperoleh pada

Dalam Pasal 1150 KUHPerdata pengertian dari gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur pemerintahan desa, berfungsi