(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI
JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)
TESIS
Oleh
Erus Rusmana
NIM 1303082
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
PEMBENTUKAN KARAKTER
(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI
JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING
Pembimbing
Dr. ELLY MALIHAH, M. Si
NIP. 19660425 199203 2 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi
Dra. Hj. SITI KOMARIAH, M. Si, Ph. D
NIP. 19680403 199103 2 002
DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
(Studi Kasus terhadap Peserta Didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi)
Oleh: Erus Rusmana
ABSTRAK
Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang menunjukkan bahwa kondisi karakter manusia dewasa ini, dilingkup internasional sampai personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan. Krisis karakter kemanusiaan terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi dan disorganisasi, sehingga berujung pada disintegrasi keluarga, bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional bangsa Indonesia. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam perspektif dekonstruksi dengan konsep keluarga yang bersifat konvensional menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki persepsi baru yang bersifat dekonstruktif. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis keadaan, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Fenomena krisis karakter kemanusiaan yang dialami beberapa peserta didik yang peneliti amati dan temukan telah terjadi pergeseran nilai yang ditunjukan adanya peserta didik beragam perilaku dan dekadensi moral, sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui keadaan karakter, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengan Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif verifikatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di SMA/MA Jampangtangah kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan secara empiris telah terjadi perubahan, pergeseran dan hilangnya peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Bersamaan dengan perubahan tersebut, telah mendorong pola baru tentang peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Pola baru tersebut dipandang sebagai alternatif makna lama yang konvensional. Ketika pola baru itu berfungsi secara sepadan atau lebih tinggi nilai peranannya, maka akan membentuk karakter baik. Akan tetapi, ketika pola baru itu berfungsi secara tidak sepadan atau lebih rendah nilai peranannya, maka akan membentuk karakter buruk.
THE SOCIAL DECONSTRUCTION OF ROLE OF THE FAMILY IN THE CHARACTER BUILDING
(Case Study on Students at SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi)
By: Erus Rusmana
ABSTRACT
This study is based on a phenomenon that indicates that the character of the human condition today, at the level of individual international until the personal character of the humanitarian crisis. Characters humanitarian crisis related to the increasing lack of harmony in the family. Many families experience the disorientation and disorganization, so that led to the disintegration of the family, not just because of the economic crisis, but also because of the invasion of the globalization of values and lifestyles that are not always compatible with the values and norms of religious, socio-cultural Indonesian national. The general objective of this study is to analyze the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi in perspective deconstruction of the concept of family which is conventional to the restructuring concept of the family that has a new perception that is deconstructive. The specific objective of this study is to analyze the situation, role and patterns of social deconstruction of the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi. This study used a qualitative descriptive approach to verification with the case study method. This research was conducted in SMA / MA Jampangtangah Sukabumi. The results showed empirically has been a change, shift and loss of family role in shaping the character of students. Along with these changes, has prompted a new pattern about the role of the family in shaping the character of students. The new pattern is seen as an alternative to the old conventional meaning. When a new pattern that function equivalent or higher value role, it will form a good character. How ever, when the new pattern of functioning disproportionate or lower the value of its role, it will form a bad character.
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ………..i
PERNYATAAN DAN KEASLIAN TESIS ……….ii
ABSTRAK ………iii
KATA PENGANTAR ………..iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……….v
DAFTAR ISI ……….vi
DAFTAR GAMBAR ……… ..vii
DAFTAR TABEL ………..viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………..1
1.2Rumusan Masalah ………...19
1.3Tujuan Penelitian ………20
1.4Manfaat Penelitian ………..20
1.5Struktur Organisasi Tesis ………21
BABII LANDASAN TEORITIS 2.1Teori Dekonstruksisosial ……….23
2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan ………...37
2.3Konsep Dasar Pendidikan Karakter ………....42
2.4Pendidikan Karakter dalam Keluargadan Masyarakat …………...63
2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah ………....72
2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan Karakter ………..76
BAB III METODE PENELITIAN
3.1Pendekatan Penelitian ……….83
3.2Metode Penelitian ………...85
3.3Subjek Penelitian ………86
3.4Jenis Data ………...87
3.5Alat Pengumpul Data ……….87
3.6Teknik Pengumpulan Data ……….88
3.7Teknik Analisis Data ………..91
3.8Waktu danTempat Penelitian ………...93
3.9Paradigma Penelitian ………..94
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….98
4.2Keadaan Karakter Peserta Didik ……….104
4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter ………136
4.4Dekonstruksi Sosial Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter………149
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1Kesimpulan ………...161
5.2Implikasi ………...163
5.3Rekomendasi ………164
DAFTAR PUSTAKA ………165
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………171
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Salah satu tema yang muncul begitu kuat ke permukaan dewasa ini dalam
diskursus tentang sosial-budaya adalah pendidikan karakter, baik di tingkat global
maupun di tingkat nasional. Banyak orang ramai membicarakan pendidikan
karakter, mulai dari para ilmuwan, budayawan, seniman, media masa, hingga para
pejabat dan politisi ikut ramai membicarakan tentang pendidikan karakter dalam
forum-forum ilmiah, seperti seminar, simposium dan sebagainya. Hal ini
menunjukkan munculnya kesadaran bahwa pendidikan karakter merupakan
keniscayaan.
Dalam konteks global, pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji
kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan
karakter dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan
masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Menurut Tilaar (2002,
hlm. 74) mengemukakan di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi
semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari
pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai diterlantarkan.
Majid dan Andayani, (2011, hlm. 2) Sejak tahun 1990-an terminologi
pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya melalui karyanya The Return of Character Education sebuah buku
yang menyadarkan dunia secara khusus di tempat Lickona hidup (Amerika
Serikat), dan seluruh dunia pendidikan secara umum menyadari bahwa pendidikan
karakter adalah sebuah keniscayaan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter.
Sesungguhnya tujuan utama dan mendasar dari proses pendidikan adalah
pembentukan karakter manusia. Sejalan dengan Majid dan Andayani, (2011, hlm.
2). sejak 2.500 tahun yang lalu Socrates telah mengatakan bahwa tujuan paling
mendasar pendidikan atau filosofi dasar pendidikan adalah menjadikan seseorang
good and smart. Good dalam aspek karakter dan smart dalam aspek intelektual.
Senada dengan filosofi dasar pendidikan tersebut, Lickona (2013, hlm. 7)
pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan moral ternyata sudah seumur
pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang
ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu
membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku
berbudi.
Perspektif sejarah pendidikan Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Nabi
Muhammad saw. juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik
manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak dan mengupayakan pembentukan
karakter yang baik (good character) atau keluhuran budi. Hal ini disabdakan dalam sebuah hadis Nabi saw. “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak (karakter).” (Madjid, 1995, hlm.
93).Ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap berada pada
wilayah serupa, yakni pembentukan karakter manusia yang baik.
Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona,
Brooks, dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan
Socrates dan Nabi Muhammad Saw. bahwa moral, akhlak atau karakter
merupakan tujuan mendasar dari dunia pendidikan. Demikian juga Marthin Luther
King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “intelligence plus
character, that is the true aim of education.” Kecerdasan plus karakter, itulah
tujuan yang benar dari pendidikan (Majid dan Andayani, 2011, hlm. 2).
Dalam konteks nasional, ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para
bapak pendiri bangsa (the founding father) menyadari bahwa paling tidak ada tiga
tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, mendirikan negara yang bersatu
dan berdaulat; kedua, adalah membangun bangsa; dan ketiga, membangun
karakter. Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa
(nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building).
Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih cepat jika
dibandingkan dengan upaya untuk membangun bangsa dan membangun karakter.
Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan terus menerus, tidak boleh putus
di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Presiden pertama Republik
bahkan menegaskan bahwa bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan
pembangunan karakter (character building) karena pembangunan karakter inilah
yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta
bermartabat.
Samani dan Hariyanto (2011, hlm. 2) mengemukakan bahwa pendidikan
karakter di Indonesia saat ini mendesak untuk dilaksanakan, mengingat makin
meningkatnya tawuran antar-pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja
lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying),
kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena supporter bonek,
penggunaan narkoba, dan lain-lain. Informasi dari Badan Narkotika Nasional
menyatakan ada 3,6 juta pecandu narkoba di Indonesia. Bahkan yang paling
memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui
Kantin Kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha Kantin
Kejujuran yang bangkrut karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak.
Tilaar (2002, hlm. 74-75) menjelaskan bahwa dalam masyarakat kita
dewasa ini munculnya kembali masalah perlunya pendidikan karakter disebabkan
tiga hal: Pertama, melemahnya ikatan keluarga. Secara tradisional keluarga
merupakan guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Dengan
demikian, terjadi kekosongan (vacuum) moral di dalam perkembangan hidup
anak. Terjadinya disintegrasi keluarga antara lain berupa perceraian yang
bermuara pada kehancuran keluarga menyebabkan hidup anak-anak menjadi
terlantar. Hal tersebut akan sangat memukul kehidupan emosional anak serta
menjadi perangsang bagi kelainan-kelainan kelakuan seperti berbagai jenis
kenakalan dan tawuran. Kedua, kecenderungan negatif di dalam kehidupan
pemuda. Dewasa ini kita melihat khususnya di kota-kota besar terjadi perkelahian
pelajar bahkan sampai perkelahian mahasiswa dan telah merembet menjadi
tawuran antar-kampung. Hal ini merupakan akibat dari disintegrasi keluarga
seperti poor-parenting. Kecenderunagn penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
penyelewengan seksual para pemuda menunjukkan kecenderungan yang sangat
mengkhawatirkan. Ketiga, suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai
menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya
suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam kelangsungan hidup masyarakat.
Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini
dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur,
berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Hasan, dkk.,
2010, hlm.3). Karenanya, karakter erat kaitannya dengan penerapan nilai-nilai
dalam tindakan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter terbentuk
dari hasil internalisasi nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran penting dan strategis dalam
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik agar mereka
berkarakter, bermoral dan beradab.
Durkheim (dalam Martono, 2010, hlm. 21) mengemukakan bahwa fungsi
utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat, tanpa adanya unsur kesamaan, kerja sama, solidaritas dan kehidupan
sosial tidaklah mungkin ada. Langgulung (2003, hlm. 1) mengemukakan bahwa
pendidikan dapat dipandang dari segi pandangan individu dan dari segi pandangan
sosial. Segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri manusia. Sedangkan dari segi
pandangan sosial bahwa pendidikan berarti pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang
dimiliki masyarakat dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut
tetap terpelihara dan berkelanjutan.
Di Indonesia, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan nasional
dapat dilihat dari segi yuridis-konstitusional sebagaimana tercantum dalam pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa :
Berdasarkan undang-undang tersebut bahwa pendidikan merupakan suatu upaya
sistematis dan terencana dalam mewujudkan suasana kondusif agar peserta didik
dapat mengembangkan segenap potensi dirinya secara integral, sehingga mereka
memiliki watak dan peradaban yang bermartabat. Hal tersebut secara lebih jelas
dan tegas dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam undang-undang tersebut perkataan “watak” dimaknai sebagai karakter,
kepribadian dan akhlak mulia atau budi pekerti. Hal ini sebagaimana dimaknai
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, hlm. 623 ) bahwa karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak mulia atau budi pekerti.
Profil karakter-karakter sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang di
atas, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan dapat
dilakukan secara formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal terjadi
dalam aturan dan sistem yang sudah dirancang secara baku, seperti yang tertera
dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan non formal terjadi dalam hidup di mana
individu mengamati apa yang dialaminya sehingga mendapatkan asumsi untuk
memecahkan persoalan hidup. Pendidikan informal berlangsung dalam keluarga
yang dilaksanakan oleh orang tua dan orang dewasa dalam keluarga terhadap
anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Secara sosiologis, manusia sebagai individu hidup dalam suatu dunia yang
bukan dirinya sendiri, tetapi membutuhkan adanya kehadiran orang lain dalam
hidupnya untuk berinteraksi. Karenanya, manusia selain sebagai makhluk
individual, juga sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan dunia luar untuk
tumbuh dan berkembang dalam mencapai kesempurnaannya baik jasmani maupun
rohaninya. Dalam kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari berbagai bentuk
didalam interaksi manusia bukan hanya hasil interaksi dengan alamnya dan dengan sesamanya, tetapi dia juga adalah pelaku aktif di dalam interaksi tersebut. Seorang individu tidak akan terlepas dari interaksi dengan keluarganya, karena itu peran keluarga sangat menentukan dalam membentuk kepribadian seseorang. Keluarga berkewajiban untuk memberikan pendidikan, perlindungan serta pembentukan kepribadian dan pembinaan sumber daya manusia (human resources).
Kata interaksi terkandung makna adanya hubungan timbal balik antar pendidik
dengan peserta didik dalam proses pendidikan sebagai proses pembentukan
karakter sekaligus sebagai proses sosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini pula
senada dengan pendapat Shipman (dalam Azra, 2006 hlm. 32) bahwa “salah satu
fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat adalah sosialisasi (socialization),
yaitu pendidikan sebagai wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai
kelompok atau nasional yang dominan”.
Merujuk pemaparan di atas, secara konseptual peneliti dapat
mendeskripsikan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia
secara integral, baik aspek fisik-biologis, maupun aspek ruhiyah-psikologis, baik
sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Hal ini didasarkan
pada pandangan umum tentang manusia bahwa manusia selain sebagai makhluk
individu, juga sekaligus sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk
individu mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses
pembentukan karakter peserta didik. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial
mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses sosialisasi
peserta didik yang dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang mampu
beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial-kultural maupun
lingkungan alam. Akan tetapi, dalam proses terbentuknya karakter sebagai aspek
kepribadian seseorang terjadi secara simultan dan integratif yang mencerminkan
perwujudan dari organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang
mendasari perilaku individu.
Pendidikan karakter pada ranah persekolahan telah menjadi polemik di
berbagai negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan
karakter sejak lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial
yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang menjadi perhatian. Lickona
minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya, pencapaian akademis dan pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter.
Terjadinya polemik, pandangan pro-kontra, dan semakin memudarnya
pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, sehingga pada gilirannya muncul
berbagai krisis moral yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan munculnya
berbagai krisis karakter kemanusiaan, mulai dari lingkup internasional sampai
lingkup individual personal sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya hal tersebut
tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berkaitan dengan krisis nilai yang dialami
oleh manusia dewasa ini. Proses terbentuknya karakter seseorang sebagaimana
telah dijelaskan di atas, terkait dengan nilai-nilai (values) yang ingin diwujudkan
pada diri seseorang itu. Ketika nilai-nilai dipandang bukan sebagai hal yang
penting dalam kehidupan manusia, maka secara otomatis pendidikan karakter
mengalami degradasi bahkan dimarginalkan atau disingkirkan dari kehidupan
manusia.
Fenomena tersebut terjadi, jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam sampai
ke akar masalahnya, merupakan konsekuensi dari berkembangnya dua golongan
besar gerakan filsafat yang menyebabkan tersingkirnya nilai-nilai dari kehidupan
dan memudarnya pelaksanaan pendidikan karakter, yaitu filsafat modernisme dan
filsafat posmodernisme yang berkembang melalui arus globalisasi. Paham atau
isme yang diajarkan dalam filsafat-filsafat tersebut tidak selalu kompatibel dengan
nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Zarkasy (dalam
Kamaluddin, 2010, hlm. 124) menjelaskan bahwa “pandangan hidup atau
pemikiran modernisme lebih menekankan kepada sains dan teknologi, ketimbang
agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific
worldview”.
Perlu menyadari bahwa setiap pemikiran tentu ada
konsekuensi-konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Konsekuensi negatif modernitaslah
yang menggelisahkan manusia, khususnya para pemikir di paro pertama abad
kalau tidak menyesali, dampak negatif itu masih terasa. Sejalan yang
dikemukakan Muzir dalam Norris, (2009, hlm.7). Krisis ekologi, karut- marut
ekonomi-politik global, imperialisme budaya, dan yang lainnya.
Dari sudut pandang teologis, bahwa pandangan modernitas dalam
mengakui keabsahan (validitas) ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada
kriteria paradigma ilmiah (scientific paradigm) semata, yaitu rasional, empiris,
dan positif telah mengarahkan manusia pada sikap atheistik. Kartanegara (2007,
hlm. 16) mengemukakan bahwa pembatasan bidang ilmu kepada objek-objek
indrawi dan metodenya hanya pada observasi oleh ilmuwan Barat, terbukti telah
menimbulkan berbagai masalah teologis yang serius, yang berakhir dengan
penolakan beberapa ilmuwan modern terhadap eksistensi Tuhan dan wahyu Ilahi.
Kemajuan yang dicapai saat ini, tidak bisa menutup mata terhadap dampak
positif modernitas, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia
dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasannya. Senada yang diungkapkan
Muzir dalam Norris, (2009, hlm. 8). Kemajuan melahirkan kesejahteraan; rasio
melahirkan sains dan teknologi; dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi “cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif yaitu eksploitasi, saintisme, serta imperialisme politik dan budaya.
Abad ke 19 adalah era di mana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu
gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas
memiliki struktur yang dapat dipahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran
terhadap absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap
salah satu disiplin pengetahuan filsafat yang terpenting, yaitu metafisika objektif.
Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan
yang sangat dominan pada waktu itu, merupakan produk akal posmodern.
Nietzsche sebagai pemikir awal posmodern dikenal dengan program penghapusan
nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas
merupakan karakteristik pandangan hidup posmodern. Makna nilai yang dijunjung
tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat direduksi. (Zarkasy
dalam Kamaluddin, 2010, hlm. 126-128). Doktrin penghapusan nilai yang
Konsekuensi dari berkembangnya pemikiran modernisme dan
posmodernisme adalah terhapusnya nilai-nilai dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Lickona
(2013, hlm. 9-11) bahwa hal-hal yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan
pendidikan karakter adalah:
(1) Darwinisme yang mengintroduksi metafora baru, evolusi, yang memandu orang untuk melihat segala-galanya hanya sebagai materi, sehingga moralitas semacam ini di masyarakat berubah secara berkelanjutan; (2) Relativisme Einstein meskipun lebih ditunjukkan untuk menjelaskan konsep fisika, ternyata juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan moral. Ketika suatu masalah muncul dengan jawaban benar atau salah, banyak orang kemudian berpikir, “Semua itu relatif, tergantung bagaimana Anda memandang masalah tersebut; (3) Filsafat positivisme logis (logical positivism) diajarkan di unversitas-universitas yang ada di Amerika Serikat dan Eropa, yang secara radikal membedakan antara fakta (yang dapat dibuktikan secara ilmiah) dengan nilai (yang oleh positivisme dipandang semata-mata sebagai ekspresi perasaan yang tidak merupakan kebenaran objektif). Sebagai dampak dari positivisme, moralitas menjadi relatif dan terprivatisasi semata-mata dan dianggap sebagai pertimbangan personal bukan subjek bagi perdebatan umum dan tidak perlu ditransmisikan melalui sekolah.
Sementara itu Tatman, Edmonson, dan Slate (Volume 4, Number 1,
January-March, 2009) di samping mengafirmasi Lickona juga menambahkan bahwa “penyebab memudarnya implementasi pendidikan karakter di Amerika Serikat pada tahun 1960-an adalah hadirnya tiga daya yang amat kuat, yaitu personalisme,
pluralisme dan sekularisme”. Mengutip Lickona (1993) Tatman, Edmonson, dan
Slate mengemukakan bahwa “personalisme menekankan pada pentingnya hak-hak
individu dan kebebasan dari pertanggungjawaban, sehingga mendelegitimasi
otoritas moral, menghapus kepercayaan terhadap norma-norma moral yang
objektif, memalingkan pandangan orang-orang ke arah pemenuhan kebutuhan diri, dan memperlemah komitmen sosial.” Sedangkan pluralisme mengedepankan pertanyaan nilai-nilai siapa (warga negara Amerika Serikat keturunan bangsa apa,
dari negara mana) yang harus diajarkan di sekolah-sekolah umum, sedangkan
sekularisasi mengobarkan debat apakah pendidikan moral hanya merupakan
tanggung jawab gereja atau tanggungjawab gereja bersama negara.
Menurut Tilaar (2002, hlm. 21) bahwa pendidikan sekular yang lahir di
secara berangsur-angsur menjadi pendidikan sekular. Pendidikan agama tinggal
menjadi mata pelajaran sedangkan yang diprioritaskan adalah mata pelajaran-mata
pelajaran sekular. Memang hasil dari pendidikan sekular telah membuahkan
kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin telah
meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian kemajuan ilmu
pengetahuan yang sekular tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral.
Jangan-jangan pendidikan sekular telah ikut memicu berbagai peperangan serta
kemunduran moral manusia dewasa ini.
Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan
pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, khususnya di ranah persekolahan,
baik faktor-faktor yang bersifat filosofis dan ideologis, maupun faktor-faktor yang
bersifat praksis.
Pendidikan sebagai proses pembentukan karakter dapat dilakukan dalam
semua lingkungan kehidupan peserta didik, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat, karena memang secara faktual kehidupan peserta
didik berada pada semua lingkungan tersebut. Lickona (2012, hlm. 4)
mengemukakan bahwa pendidikan karakter bukan hanya merupakan tanggung
jawab sekolah. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, berawal
dari keluarga, sekolah dan meluas hingga organisasi keagamaan, organisasi
pemuda, bisnis, pemerintahan, dan bahkan media. Tilaar (2004, hlm. 40)
mengemukakan bahwa “pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi
seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat, yang berbudaya kini dan masa
depan.” Hal senada dengan pendapat Lickona dan Tilaar, Azra (2006, hlm. 173)
juga mengemukakan bahwa “pendidikan karakter merupakan upaya yang harus
melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan
sekolah lebih luas (masyarakat).”
Secara sosiologis, keluarga dimaknai sebagai unit sosial terkecil dalam
struktur sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan Soelaeman (2006, hlm. 115)
bahwa “keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki
manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi.”
dalam masyarakat, pemuas kebutuhan perseorangan, dan kontrol sosial. Menurut
Soekanto (2009, hlm. 2) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah wadah tempat
berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat
yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan
menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai berlaku.”
Berdasarkan uraian tentang konsep keluarga yang dikemukakan oleh para
pakar di atas, dapat memahami peran dan fungsi keluarga dalam struktur sosial.
Para pakar sepakat bahwa di antara fungsi keluarga itu antara lain adalah sebagai
wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota
masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami,
mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku.
Namun, secara faktual empiris dalam keluarga seringkali mengalami
problem yang dalam sosiologi disebut dengan disorganisasi keluarga. Soekanto
(2009, hlm. 324) menjelaskan bahwa “disorganisasi keluarga adalah perpecahan
keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi
kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya.” Disorganisasi
keluarga mungkin terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami
sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer
keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah
tersebut disebabkan karena kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan kebudayaan.
Senada dengan pendapat Soekanto di atas, dalam konteks pendidikan
karakter, Azra (2006, hlm. 172) mengemukakan bahwa “meski terkesan sedikit
simplistis dan menyederhanakan masalah, krisis dalam karakter bangsa, agaknya
juga terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga.” Banyak keluarga
mengalami disorientasi bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena
serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan
nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia.
Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik dan permissif
sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai TV
di Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga. Akibatnya,
hampir tidak memiliki karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik
di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat
terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis
kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan
(righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami
kepribadian terbelah (split personality). Sekolah menjadi seolah tidak berdaya
menghadapi kenyataan ini. Menghadapi berbagai masalah berat menyangkut
kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan
tenaga kependidikan yang rendah, sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan
pembentukan karakter. Sekolah sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar
tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran
daripada pendidikan.
SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu
institusi pendidikan formal yang berada dalam struktur sosial secara imperatif
menjalankan dua misi integral sekaligus, yaitu menjadikan sekolah sebagai
tempat bagi transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya
pencapaian kecerdasan intelektual-akademik dan sebagai tempat internalisasi
nilai-nilai dan norma-norma agama, dan sosial-budaya nasional dan lokal
Indonesia dalam upaya pembentukan karakter peserta didik.
Konteks pendidikan karakter, SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten
Sukabumi mengembangkan nilai-nilai karakter dan budaya sebagai berikut:
religius, semangat belajar, kreatif, inovatif, dan berbudaya lingkungan. Hal
tersebut terlihat dari visi sekolah tersebut, yaitu terwujudnya sekolah yang unggul,
berprestasi dan berbudaya lingkungan dilandasi iman dan takwa. Sedangkan
misinya adalah: (1) mendidik siswa agar beriman, bertakwa dan berakhlak mulia;
(2) menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama; (3)
melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi semua guru dan siswa; (4)
menumbuhkan semangat keunggulan warga sekolah dalam berkarya; (5)
mengadakan inovasi pendidikan sesuai dengan perkembangan IPTEK; (6)
menjadikan sekolah sebagai pusat belajar yang berbudaya lingkungan. Selain itu,
juga terlihat dari tata tertib sekolah yang harus dipatuhi dan ditaati oleh seluruh
Namun dalam tataran implementasinya, berdasarkan hasil pengamatan
sementara peneliti pada objek penelitian bahwa akhir-akhir ini (periode
2012-2014) sekolah tersebut menghadapi tantangan dan problem yang tidak ringan,
antara lain: sering terjadi pelanggaran disiplin sekolah, pelanggaran tata tertib
sekolah, kebiasaan menyontek, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior,
kematangan seksual terlalu dini dan penyimpangannya, serta pelanggaran lainnya.
Keadaan ini sungguh bertentangan dengan visi dan misi sekolah yang telah
dirumuskan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kondisi ini tentunya
berpengaruh negatif terhadap proses pendidikan dan menghambat pembentukan
karakter dan penciptaan budaya sekolah yang kondusif. Jika kondisi ini dibiarkan,
maka akan menjadi penghambat dalam pencapaian tujuan pendidikan yang
diharapkan.
Fenomena tersebut di atas menunjukkan adanya ketidaksesuaian atau
kesenjangan antara teori, nilai, norma, visi dan misi pendidikan dengan realitas
fakta empiris yang terjadi dalam praksis pendidikan. Bertolak dari masalah inilah
penelitian ini dilakukan, untuk menganalisis masalah yang ada dalam ruang
lingkup kajian sosiologi pendidikan, yaitu hubungan pendidikan dengan pranata
sosial antar manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, yakni peranan
sekolah, keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan ahli sosiologi pendidikan, Idi (2011, hlm. 168) bahwa “pendidikan
merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan
fungsi pendidikan.”
Terjadinya krisis karakter yang dialami oleh peserta didik di sekolah
tersebut tentunya tidak muncul secara berdiri sendiri, hal tersebut terkait dengan
latar belakang kondisi keluarga mereka dan teman-temannya di mana mereka
bergaul dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Keluarga secara
konvensional melakukan peranan dan fungsi sebagai wadah tempat
berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat
yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan
menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku. Namun, belakangan ini
fungsi keluarga dalam pendidikan. Peranan dan fungsi tersebut digantikan oleh
nilai-nilai, norma-norma, dan sistem lain yang dipandang lebih relevan dengan
kondisi kehidupan dewasa ini. Di antara nilai-nilai, norma-norma dan sistem
tersebut tentunya mungkin ada yang kompatibel dan mungkin juga ada yang tidak
kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya bangsa
Indonesia.
Fakta empiris menunjukkan bahwa belakangan ini beberapa keluarga
peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi mengalami
disorientasi, disorganisasi dan disintegrasi dalam keluarga, antara lain orang tua
peserta didik tidak berfungsi atas pola -pola yang dianggap sudah mapan, hal
tersebut dimungkinkan bukan saja keberadaan faktor ekonomi yang tidak
mendukung untuk ketersediaan kebutuhan pokok keluarga tetapi adanya sikap
orangtua memiliki gaya hidup yang cenderung hedonistik, materialistik, permisif
dan over protektif.
Pola keluarga yang terjadi pada peserta didik di SMA/MA Jampngtengah
Kabupaten Sukabumi melahirkan corak baru sebagai alternatif yang dianggap
pemaknaan fungsi dan peran keluarga bukan satu-satunya yang menjadikan
peserta didik berkarakter baik dari keluarga yang utuh, tetapi ternyata dari
keluarga yang tidak mapan ( broken home ) menjadikan peserta didik bersikap
dan berkarakter baik.
Berdasarkan pemaparan di atas tampak jelas bahwa hal yang menjadi
problematika pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita, selain disebabkan
oleh faktor-faktor internal yang bersifat praktis dalam sistem pendidikan itu
sendiri, juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang bersifat filosofis dan
ideologis yang mengandung nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu
kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama dan sosial-budaya
Indonesia, yang secara terus menerus mengalir deras masuk ke dalam dunia
pendidikan kita, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat melalui arus gelombang
globalisasi, yang ditandai dengan adanya perkembangan pesat di bidang
teknologi, terutama teknologi informasi. Meski demikian, sesungguhnya dalam
perkembangan tersebut, selain mempunyai implikasi positif bagi manusia, tetapi
pribadi-pribadi yang miskin spiritual, materialistik, individualistik, konsumeristik,
hedonistik, dan mengalami frustasi eksistensial.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut tidak
boleh kita abaikan. Karena jika diabaikan, maka akan menjadi ancaman dan
hambatan bagi pencapaian cita-cita pembangunan bangsa, terutama pembangunan
karakter, budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.
Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka salah satu
cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah perlu adanya perubahan
besar dan mendasar, yaitu perubahan paradigma baru (new paradigm) dalam
pendidikan untuk melakukan “restrukturalisasi” peranan institusi pendidikan
secara sinergis antara keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan
karakter peserta didik. “Restrukturalisasi” dimaknai sebagai upaya melakukan
penyusunan kembali unsur-unsur yang telah terurai dalam sebuah sistem atau
konsep.
Upaya restrukturalisasi sebuah sistem atau konsep dapat dilakukan melalui
strategi “dekonstruksi” yang merupakan salah satu konsep yang lahir pada era
posmodernisme yang diperkenalkan oleh Derrida. Al-Fayyadl (2009, hlm. 8)
mengemukakan bahwa dekonstruksi merupakan strategi tekstual yang hanya bisa
diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu kita mempermainkannya dalam
parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat anti teori
atau bahkan anti metode, karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah
permainan (play) dan parodi. Menurut Johnsons (dalam al-Fayyadl, 2009, hlm. 8) bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian
etimologis kata “destruksi”. Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa
dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan
pemaknaan dalam teks ketimbang operasi yang merusak teks itu sendiri. Tujuan
dekonstruksi adalah mengungkai oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam
teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah
makna tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar
Merujuk pada konsep dekonstruksi di atas, peneliti akan mencoba
menggunakan pola dekonstruksi sebagai strategi membaca realitas kehidupan
keluarga, khususnya hal yang berhubungan dengan peranan dan fungsi keluarga
dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
Fenomena tersebutlah yang menjadi kegelisahan akademik peneliti,
sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah di SMA/MA
Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam bentuk tesis, sekaligus mencari solusi
alternatif untuk mengatasi krisis karakter peserta didik yang dihadapi oleh sekolah
tersebut. Hal ini pula yang mendorong rasa ingin tahu (curiosity) peneliti tentang
peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik pada lembaga
pendidikan tersebut melalui pendekatan strategi dekonstruksi. Atas dasar itulah,
judul tesis ini dirumuskan: Dekonstruksi Sosial Peranan Keluarga dalam
Pembentukan Karakter (Studi Kasus terhadap Peserta didik SMA/MA di
Jampangtengah Kabupaten Sukabumi).
Sejumlah penelitian terdahulu peneliti sajikan agar tidak terjadi
pengulangan, duplikasi dan plagiasi dalam penelitian ini, berikut ini akan
dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian
ini, baik aspek peranan keluarga dalam pendidikan dan aspek pendidikan karakter,
maupun aspek konsep dekonstruksi sosial. Dengan demikian, akan tampak
distingsi dan signifikansi penelitian ini.
Rusmana (2008) melakukan penelitian dengan judul tesis “Tugas-Tugas
Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Pendidikan Islami (Penelitian di Desa
Bantarsari Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa faktor pendukung keberhasilan pendidikan Islami dalam
keluarga antara lain adalah keharmonisan suami istri. Keluarga mempunyai
peranan penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebab dari keluarga yang
rukun dan sehat akan lahir anak-anak yang selalu rukun dan sehat pula, baik
jasmani maupun rohaninya. Dan dari anak-anak dan anggota keluarga yang sehat
akan terjadilah suatu bangsa yang sehat, kuat dan perkasa.
Syahroni (2005) melakukan penelitian dengan judul tesis “Hak dan
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: (1) orang tua memiliki hak dan
tanggung jawab terhadap anak-anaknya secara penuh, yang tidak bisa digantikan
perannya sebagai pendidik pertama dan utama oleh institusi dan lembaga apapun;
(2) tidak terpenuhinya hak dan tanggung jawab disebabkan: pertama, orang tua
lebih banyak waktu di luar rumah; kedua, menitipkan anak ke panti-panti asuhan;
ketiga, tidak harmonis dalam keluarga.
Sri N. R (2014) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pergeseran
Peran dan Fungsi Keluarga pada Perilaku Menyimpang Remaja di SMP Negri 1
Piyungan Bantul (dalam Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi.
Volume 2, No. 1). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pergaulan bebas
dapat terjadi pada dasarnya karena adanya sosialisasi yang tidak sempurna pada
diri remaja. Remaja cenderung berusaha mencari jati dirinya pada teman
sebayanya dan lingkungannya. Sehingga apabila salah dalam mencari teman dan
bersosialisasi pada lingkungan yang salah, mereka akan terjebak pada perilaku
yang menyimpang. Karena itu peran dan fungsi orang tua sangat menentukan
terhadap perilaku remaja pada saat ini.
Rustar (2010) melakukan penelitian tesis dengan judul “Pendidikan
Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara”. Dalam tesisnya bahwa karakter menurut
Ki Hadjar Dewantara adalah budi pekerti atau watak yang merupakan perpaduan
dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda khusus
untuk membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Karakter terjadi karena
perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar. Yang dinamakan dasar
adalah bekal hidup atau bakat anak yang berasal dari alam sebelum mereka lahir,
serta sudah menjadi satu dengan kodrat kehidupan anak. Sedang kata ajar
diartikan segala sifat pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil
baligh, yang dapat mewujudkan intellegible, yakni tabiat yang dipengaruhi oleh
kematangan berpikir.
Purwaningsih (2010) melakukan penelitian dengan judul “ Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral” (dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, vol. 1 no. 1 ). Penelitian ini
menyimpulkan bahwa keluarga merupakan lembaga masyarakat pertama dan
individu, keluarga mempunyai peranan amat penting dan strategis dalam
penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai moral social dan budaya.
Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua dengan anak yang
demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam
pembinaan nilai moral anak.
Idrus (2012) dengan penelitian berjudul “ Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa “ ( dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fenomena saat ini secara eksplisit
menunjukan terjadinya penurunan etika, moral, dan karakter bangsa, situasi
tersebut mengahruskan reformulasi pada proses pendidikan karakter agar setiap
individu memiliki karakter yang baik. Proses pendidikannya dilakukan oleh
tripusat pendidikan, yaitu sekolah, masyarakat dan keluarga. Dalam kontek
masyarakat Jawa, model dan pembentukan karakter tercermin dari model
pengasuhan yang dilakukan orang tua, berbagai model pengasuhan Jawa yang
sudah dilakukan ketika anak masih bayi.
Dari penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Rusmana, Syahroni dan Sri NR adalah sama-sama
meneliti tentang peranan dan fungsi orang tua dalam mendidik anak-anak. Dari
aspek peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan, penelitian-penelitian
tersebut juga ada persamaan dengan penelitian ini. Namun penelitian ini memiliki
perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut. Adapun penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu tersebut, kajiannya terfokus pada
rumusan konsep peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan anak-anak
berdasarkan paradigma konvensional. Sedangkan penelitian ini, kajiannya
difokuskan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik
berdasarkan paradigma dekonstruksi.
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian terdahulu
yang relevan dengan topik penelitian ini ternyata belum ada peneliti lain yang
melakukan penelitian secara spesifik dan mendalam terhadap masalah ini. Atas
dasar itulah, penelitian ini penting dilakukan untuk mengisi kekosongan,
dengan topik peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui analisis
strategi dekonstruksi.
1.2Rumusan Masalah Penelitian
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penelitian ini sebagai berikut: (1)
Kondisi karakter manusia dewasa ini, sejak dari lingkup internasional sampai
kepada lingkup personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan; (2)
Terjadi marginalisasi nilai-nilai agama, moral dan budaya pada berbagai aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, yang pada gilirannya
memunculkan berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Hal ini sebagai
konsekuensi dari berkembangnya pemikiran gerakan filsafat modernisme dan
posmodernisme; (3) Belakangan ini banyak keluarga mengalami disorientasi dan
disorganisasi yang bermuara pada terjadinya disintegrasi keluarga yang
menyebabkan terjadinya dekonstruksi peranan keluarga dalam pendidikan. Hal ini
disebabkan oleh tiadanya harmoni dalam keluarga dan kesulitan-kesulitan untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan.
Berdasarkan pada latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di
atas, maka secara umum masalah penelitian ini adalah bagaimanakah peranan
keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif
dekonstruksi?. Secara khusus masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah
Kabupaten Sukabumi ?
2. Bagaimanakah peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik
SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi?
3. Bagaimanakah corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam
pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka secara umum
tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam
pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif dekonstruksi dengan cara
mengungkai, mengurai dan membongkar konsep keluarga yang bersifat
konvensioanl menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki makna baru
yang bersifat dekonstruktif.
Adapun secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah
Kabupaten Sukabumi.
2. Menganalisis peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik
SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.
3. Menganalisis corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan
karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik segi
teoritis maupun segi praktis:
1. Segi teoritis dapat dijadikan sebagai masukan atau sumbangan keilmuan
bagi penambahan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
dalam sosiologi pendidikan, terutama mengenai dekonstruksi sosial
peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.
2. Segi praktis dapat dijadikan pedoman bagi guru dan orangtua mengenai
peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
mengenai permasalahan tentang karakter peserta didik yang berkaitan
dengan peranan keluarga.
4. Manfaat untuk pemerintah, dapat dijadikan sebagai masukan dalam
menyusun kebijakan agar menjadi pedoman bagi penyelenggara
1.5 Struktur Organisasi Tesis
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan Penelitian
1.4Manfaat Penelitian
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1Teori Dekonstruksi sosial
2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan
2.3Konsep dasar Pendidikan Karakter
2.4Pendidikan Karakter dalam Keluarga dan Masyarakat
2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah
2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan
Karakter
2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1Pendekatan Penelitian
3.2Metode Penelitian
3.3Subjek Penelitian
3.4Jenis Data
3.5Alat Pengumpul Data
3.6Teknik Pengumpulan Data
3.7Teknik Analisis Data
3.8Waktu dan Tempat Penelitian
3.9Paradigma Penelitian
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.2Keadaan Karakter Peserta Didik
4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
5.1Kesimpulan
5.2Implikasi
5.3Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
83 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis suatu bentuk dekonstruksi
sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui suatu kajian dan
pemahaman terhadap fenomena pendidikan SMA/MA di Jampangtengah
Kabupaten Sukabumi. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research), karena pendekatan
kualitatif sebagaimana pendapat Sukmadinata (2006, hlm. 94) “ditujukan untuk
memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan.”
Partisipan adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi, diminta
memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Menurut Sukmadinata
(2006, hlm. 60) bahwa “penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang
ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual
maupun kelompok.” Menurut Moleong (2006, hlm. 6) penelitian kualitatif adalah
“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.”
Menurut Nasution (2003, hlm. 5) bahwa penelitian kualitatif pada
hakikatnya ialah “mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi
dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya. Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik.” Disebut
kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif bukan
kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik,
karena situasi lapangan natural atau wajar, sebagaimana adanya tanpa
dimanipulasi diatur dengan eksperimen atau tes. Penelitian naturalistik bersifat
sekunder, sehingga tidak dipastikan kapan berakhir. Penelitian dapat berlangsung
pada suatu saat penelitian dihentikan karena pertimbangan waktu, biaya dan
tenaga.
Dalam penelitian ini, peneliti mengungkap fenomena tentang proses
pendidikan karakter SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Peneliti
yang bertindak sebagai instrumen penelitian, mengumpulkan, mendeskripsikan,
dan menganalisis data yang diperoleh mengenai peranan keluarga dalam
pembentukan karakter sesuai dengan langkah-langkah penelitian kualitatif.Hal ini
sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006, hlm. 4)
bahwa “pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.”
Merujuk pada prinsip-prinsip penelitian tersebut di atas, maka penelitian
ini tidak bermaksud menguji hipotesis, melainkan hendak mengkonstruksi suatu
konsep dari data-data yang diperoleh di lapangan, yaitu tentang fenomena
pendidikan karakter di SMA/MA Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis dekonstruksi sosial peranan keluarga
dalam pembentukan karakter, sehingga ditemukan suatu gambaran sistem dan
konsep yang dapat menjadi sumber dalam membuat konstruk bentuk dekonstruksi
sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, penelitian
ini lebih menekankan pada observasi dan deskripsi suasana alamiah (natural
setting) sebagaimana adanya.
Proses menemukan bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam
pembentukan karakter melalui penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada hasil
interpretasi terhadap data-data yang berhasil dideskripsikan. Oleh karena itu,
pendekatan kualitatif ini lebih berorientasi pada penelitian interpretatif. Dengan
pendekatan kualitatif verifikatif ini, peneliti berusaha memotret situasi
pendidikan yang terjadi SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi,
terutama yang menyangkut proses penanaman nilai-nilai dalam rangka
pembentukan karakter, kemudian menafsirkan fenomena pendidikan tersebut dari
sudut ilmu pendidikan untuk menggali makna di balik fenomena proses
pendidikan yang tampak. Dari hasil pemaknaan tersebut kemudian dirumuskan
konstruk bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan
karakter. Sukmadinata (2006, hlm. 94) mengemukakan bahwa “beberapa
penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekadar memahami fenomena, tetapi juga
mengembangkan teori (atau konsep).“
3.2Metode Penelitian
Ditinjau dari segi tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk kategori
jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode studi
kasus (case study). Sukmadinata (2006, hlm. 99) mengemukakan bahwa:
Penelitian kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainnya. Satu fenomena tersebut bisa berupa seorang pimpinan sekolah atau pimpinan pendidikan, sekelompok siswa, suatu program, suatu proses, suatu penerapan kebijakan, atau satu konsep.
Babbie (1998, hlm. 282) mengemukakan bahwa “studi kasus merupakan
pengamatan ideografis dari individu, kelompok, atau masyarakat.” Tujuan
utamanya adalah deskripsi dan usaha untuk menjelaskan. Contohnya meliputi
sebuah gambaran antropologis suatu suku tertentu yang belum melek huruf,
sebuah analisis sosiologis struktur organisasi kerjasama yang modern, dan
penelitian seorang ilmuwan politik dari gerakan politik tertentu. Menurut Robert
Yin (2014, hlm. 18), studi kasus adalah “suatu inkuiri empiris yang menyelidiki
fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara
fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan di mana multi sumber bukti
dimanfaatkan.” Selanjutnya Aziz (dalam Bungin, 2008, hlm. 20)menyatakan
bahwa “metode studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu
studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan
sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat
kontemporer, kekinian.” Basrowi dan Sukidin (2002, hlm. 30) mengemukakan
bahwa “penelitian studi kasus didasarkan pada filsafat fenomenologi.” Sebagai
aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode analisis berpikir, fenomenologi
diperkenalkan oleh Husserl, yang beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang
tampak apa adanya. Suatu fenomena yang tampak sebenarnya refleksi realitas
dengan makna yang transendental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat
kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.
Menurut Bungin (2011, hlm. 67) bahwa “berdasarkan pengalaman dalam
melakukan berbagai penelitian kualitatif, maka format desain penelitian kualitatif
terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikatif dan format
grounded theory.” Sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan format desain kualitatif verifikatif. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bungin (2011, hlm. 70) bahwa “desain kualitatif verifikatif merupakan
sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan
dilakukan karena itu format desain penelitiannya secara total berbeda dengan
format deskriptif kualitatif.” Format ini lebih banyak mengkonstruksi format
penelitian dan strategi memperoleh data di lapangan, sehingga format
penelitiannya menganut model induktif. Namun dalam hal memperlakukan teori,
format kualitatif verifikatif lebih longgar dalam arti tetap terbuka pada teori,
pengetahuan tentang data dan tidak mengharuskan peneliti menggunakan
“kacamata” kuda.
Bungin (2011, hlm. 71) menegaskan bahwa “keunggulan penelitian
kualitatif salah satunya ada pada metode ini, karena ia berupaya mengungkapkan
makna yang ada dibalik data yang tampak.” Hal-hal yang tak tampak itulah yang
menjadi sasaran metode kualitatif verifikatif dan menjadikannya sebagai kritik
tajam terhadap pendangan positivisme yang melahirkan pandangan kuantitatif.
3.3Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi
sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian.
Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sampel teoritis, karena tujuan
penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori.
Sesuai dengan hakekat kualitatif, subjek dalam penelitian ini ditentukan
secara purposive, artinya subjek penelitian sebagai sumber data dipilih dengan
pertimbangan tertentu. Menurut Faisal (dalam Sugiyono, 2006, hlm. 303) dengan
mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa situasi sosial untuk sampel
muara dari banyak domain lainnya. Menurutnya bahwa, sebagai sumber data atau
sebagai informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Informan yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses
enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga
dihayatinya;
b) Informan yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada
kegiatan yang tengah diteliti;
c) Informan yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai
informasi;
d) Informan yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil
“kemasannya” sendiri;
e) Informan yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti
sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara
sumber.
Berdasarkan kriteria di atas maka peneliti menentukan lokasi dalam
melakukan penelitian ini yaitu SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.
Sedangkan subjek dari penelitian ini terdiri dari peserta didik yang berperilaku
menyimpang, Guru BK, Wali Kelas, Kepala Sekolah, dan orang tua peserta didik
mengalami penyimpangan SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.
3.4Jenis Data
Dengan merujuk pada rumusan masalah penelitian ini, maka jenis data
dalam penelitian ini ada tiga, yaitu: (1) data-data mengenai keadaan karakter
peserta didik; (2) data-data mengenai peranan keluarga dalam pembentukan
karakter peserta didik; dan (3) data-data mengenai dekonstruksi sosial peranan
keluarga, terutama terkait dengan peran dalam pembentukan karakter peserta
didik.
3.5Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pedoman wawancara dan pedoman observasi, dengan langkah-langkah yang
a) Tahap Persiapan
Merumuskan masalah penelitian dengan aspek-aspek yang akan diteliti
disertai indikator-indikator dan sub indikatornya, kemudian mempersiapkan
pedoman wawancara yang akan ditanyakan kepada responden dan pedoman
observasi berdasarkan pada aspek-aspek yang akan diteliti agar proses wawancara
dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
b) Tahap Pelaksanaan
Tahap persiapan merupakan tahap penggalian data yang lebih spesifik
dengan melakukan wawancara, mengadakan observasi pada proses kegiatan
sekolah tentang kepribadian peserta didik. Kegiatan-kegiatan tersebut diatas
dimaksudkan untuk memudahkan dalam tahap pelaksanaannya, disamping agar
data yang dibutuhkan dapat terungkap sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
oleh peneliti.
3.6Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode yang tepat
diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat
pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun
teknik dan alat pengumpulan data ini sangat berpengaruh pada objektifitas hasil
penelitian. Tahap pengumpulan data dan teknik pengumpulan data merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian. Menurut Bungin (2011, hlm. 140)
mengungkapkan bahwa:
Pada tahap ini peneliti selalu mempertimbangkan hal-hal seperti penciptaan rapor, pemilihan sampel, pengumpulan data dengan wawancara, pengumpulan data dengan observasi, pengumpulan data dari sumber-sumber nonmanusia, dan pencatatan data atau informasi hasil pengumpulan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Sarana pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data ini
adalah buku catatan, balpoin dan kamera foto untuk mendokumentasikan
berlangsungnya kegiatan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter