REFERAT METABOLIK-ENDOKRIN
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN GRAVES DISEASE
Oleh : Abdul Rasyid Sari Dewi Apriana
Sarah Attauhidah
Pembimbing :
dr. N Soebijanto, Sp.PD-KEMD,MM,FINASIM
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah referat ini dengan judul Diagnosis dan Penatalaksanaan Graves Diease telah diterima dan disetujui pada tanggal 17 Februari 2016 sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepanitraan klinik stase Ilmu Penyakit Dalam di RSUP Fatmawati, Jakarta.
Jakarta, 17 Februari 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kami dapat menyelesaikan makalah referat ini. Terimakasih banyak kepada pembimbing kami dr. N Soebijanto, Sp.PD KEMD atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami, serta dukungan orangtua dan teman-teman yang turut mensupport sehingga referat ini dapat kami selesaikan. Besar harapan kami mudah-mudahan makalah referat ini dapat bermanfaat bagi kita untuk memahami dan dapat menerapkannya dalam kehidupan kita sebagai seorang tenaga medis dalam mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan kepada pasien Graves disease sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masayarakat Indonesia dimasa yang akan datang.
Jika dalam penulisan makalah referat ini terdapat hal-hal yang kurang, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Jakarta,17 Februari 2016
DAFTAR ISI
Lembar pengesahan...2
Kata Pengantar...3
Daftar Isi...4
BAB I. Pendahuluan...5
BAB II. Tinjauan Pustaka...9
BAB I PENDAHULUAN
Graves Disease berasal dari dari nama Robert J. Graves, MD tahun 1830, adalah penyakit autoimun yng ditandai dengan hipertiroid yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazimnya juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam.1
Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksiosis (hipertiroid) yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis dan serin disertai oftalmopati, serta dermopati, meskipun jarang dijumpai.2
Faktor resiko terjadinya penyakit Graves disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya resiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya penyakit Graves dikelompokkan kedalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar yang bervariasi.2,3
Diantara pasien yang hipertiroid ditemukan sekitar 60% - 80% merupakan penyakit Graves, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insiden tiap tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7 % per 1000. Tertinggi pada usia 40-60 tahun. Angka kejadian penyakit Graves 1/5-1/10 pada lelaki maupun perempuan, dan tidak umum didapatkan pada anak-anak. Prevalensi penyakit Graves sama pada orang kulit putih dan Asia dan lebih rendah pada orang kulit hitam.4
1.1 Defenisi Graves Disease
Penyakit Graves (goiter difusa toksik) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftalmopati (eksoftalmus) dan kadan kadanng dengan dermopati.5
Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid ( menyebabkan gondok membesar difus).3
Saat ini identifikasi adanya antibodi IgG sebagai thyroid stimulating antibodies pada penderita penyakit Graves yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid yang menginduksi sintesa dan peleasan hormon tiroid. Penyakit inimempunyai predisposisi geneti yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yag sama. Sekittar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi didalamnya. 3,5
Faktor-faktor resiko antara lain: faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor trauma psikis, radiasi tiroid eksternal, Chorionic Gonadothropin Hormon.5
1.3 Patofisiogi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.3
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.3
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.3
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblas, otot-otot bola mata, dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblas dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.3,5
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikan.3
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.3
Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer.3
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan peningkatan proses-proses intraseluler.3,5
Gambar 2 . TSH dan kelenjar tiroid orang sehat dan penderita Graves Disease
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diagnosis Graves Disease
Graves Disease adalah penyakit autoimun yag ditandai dengan hipertiroid, difus goiter, opthalmopathy, dan dermopathy. Hipertiroid karena Graves Disease bisa ditegakkan diagnosis melalui manifestasi klinis dan laboraturium.6
Gejala dan tanda
Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gabaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keluhan mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus, dan eksoftalmus.7,8
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
Tidak ada gejala dan tanda
Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare , lid lag)
Perubahan jaringan lunak orbita
Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel Exophthalmometer)
Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
Perubahan pada kornea (keratitis)
Kebutaan (kerusakan nervus optikus
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol, yaitu: nervositas, kelelahan atau kelemahan otot-otot, penurunan berat badan sedangkan nafsu makan baik, diare atau sering buang air besar, intoleransi terhadap udara panas, keringat berlebihan, perubahan pola menstruasi, tremor, berdebar-debar, penonjolan mata dan leher.9
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu: seorang penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks achilles.9
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perhatikan beberapa komponen berikut:
– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus – Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler – Jumlah: uninodusa atau multinodusa
– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal – Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak
– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
Palpasi
Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi: – Perluasan dan tepi
– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba trakea dan kelenjarnya
– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan – Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus
Auskultasi Tes Khusus
– Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah – Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan
– Oftalmopati
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new castle sangat
membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila hasil BMR ≥30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.3
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid (thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index. Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi antitiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.3
2.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboraturium
Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.3
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.3
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH dimembran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).2,3
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.
2. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium 4. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi).
5. MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid) 6. Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.
Pemeriksaan Jarum Halus
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus. Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun keganasan.
2.1 Penatalaksanaan Graves Disease 2.1.1 Tatalaksana Farmakologi
Adapun antithyroid drugs (ATDs) disarankan pada pasien dengan kondisi di bawah ini:
Pasien yang memiliki kemungkinan besar remisi pada penyakitnya (terutama pasien wanita dengan penyakit yang masih ringan, pembesaran tiroid yang masih kecil, dan memiliki TRAb yang negatif/bertiter rendah)
Pasien manula yang memiliki resiko tinggi untuk menjalankan operasi atau memiliki keterbatasan
Pasien di rumah perawatan atau fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki keterbatasan untuk mengikuti pengobatan radiasi
Pasien dengan riwayat operasi atau radiasi di leher
Pasien dengan moderate-severe Graves’s Ophtalmopathy (GO)
Kontraindikasi pemakaian obat antitiroid ialah pemakaian obat antitiroid jangka panjang dan adanya reaksi berlebih pada obat antitiroid. Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang tersedia, yaitu thiouracil (propilthiouracil/PTU) dan imidazole (methimazole/MMI, carbimazole, dan thiamazole).
PTU sangat disarankan sebagai obat pilihan antitiroid pada kehamilan trimester pertama, thyroid crisis, dan pasien dengan riwayat alergi atau intoleransi terhadap obat antitiroid, serta pasien hipertiroid yang tidak dapat melakukan terapi radioaktif atau operasi.
Kombinasi obat antitiroid dengan dosis rendah levotiroksin (hormone replacement therapy) kini sudah tidak direkomendasikan. Adapun dosis PTU ialah cukup tinggi, dimulai dari 100-200 mg sebanyak 3 kali sehari, tergantung dari keparahan penyakitnya. Setelah melihat klinisnya kembali, serta menunjukkan fungsi tiroid yang kembali normal, dosis maintenance PTU menjadi 50 mg sebanyak 2-3x sehari, bahkan memungkinkan untuk 1 kali sehari.
Sama seperti PTU, dosis MMI juga cukup tinggi, dimulai dari 10-20 mg per hari dan dosis maintenance 5-10 mg per hari.
Penilaian serum T4 bebas sebaiknya di observasi selama 4 minggu setelah inisiasi terapi hingga level eutiroid dapat tercapai dengan dosis minimal. Sekali pasien menjadi eutiroid, observasi laboratorium dan evaluasi klinis tetap berjalan selama interval 2-3 bulan.
Sebelum menginisasi terapi antitiroid juga sebaiknya melakukan pemeriksaan darah lengkap, termasuk hitung jenis sel darah putih, bilirubin, dan transaminase.
Pada kehamilan, PTU dan MMI merupakan terapi antitiroid pilihan. PTU sebaikanya dimulai ketika kehamilan memasuki trimester pertama. Sedangkan MMI sebaiknya diberikan setelah trimester pertama. Dosis yang direkomendasikan untuk PTU ialah 100-450 mg sebanyak 3 kali sehari, tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Dosis MMU dapat diberikan sebanyak 10-20 mg per hari. Dosis keduanya sebaiknya diberikan serendah mungkin.
Terapi kombinasi antitiroid dan levotiroksin (hormone replacement therapy) sebaiknya tidak diberikan pada saat kehamilan. Namun jika pasien sebelum hamil mendapatkan terapi tersebut, maka saat hamil terapi yang diberikan cukup obat antitiroid saja.
Pemakaian β-adrenergik bloker, seperti propranolol sebanyak 10-40 mg sebanyak 4 kali sehari juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala hiperadrenergik yang muncul pada hipertiroid, tetapi sebaiknya langsung dihentikan ketika gejala membaik atau satu minggu awal terapi.
Monitoring terapi antitiroid pada kehamilan sebaiknya dilakukan setiap 2 minggu. Dosis mulai diturunkan jika terdapat perbaikan dari gejala dan tanda-tanda hipertiroid (berat badan naik dan frekuensi nadi normal) dan T4 bebas. Sekali target remisi T4 bebas tercapai, tes fungsi tiroid tetap dilakukan setiap 2-4 minggu untuk benar-benar memastikannya.
Pasien yang sudah terdeteksi eutiroid dengan dosis obat antitiroid yang minimal, memiliki penurunan gejala, rendah/tidak terdeteksinya titer TRAb, dan mengecilnya goiter memungkinkan untuk dihentikannya obat antitiroid saat 4-8 minggu akhir kehamilan. Penghentian pengobatan sebelum minggu ke-32 kehamilan tidak direkomendasikan karena memiliki kemungkinan tinggi hipertiroid yang berulang.
Pada pasien yang menyusui, penggunaan PTU ataupun MMU keduanya diekskresi di air susu dengan konsentrasi yang sedikit. Namun karena PTU lebih berpotensial menyebabkan nekrosis hepatik baik pada ibu atau anaknya, terapi MMI lebih dipilih pada ibu menyusui.10
Mekanisme Kerja
Pertama, propiltiourasil bekerja dengan cara menghambat proses inkorporasi yodium pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu iodotirosil menjadi iodotironin. Cara kerjanya dengan menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi ion yodida dan gugus iodotirosil terganggu.
Propiltiourasil (PTU) juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin di jaringan perifer, sedangkan metimazol (MMI) tidak memiliki efek ini.
Kedua, pada pasien yang mengkonsumsi obat antitiroid, konsentrasi dari serum antibody antitirotropin-reseptor akan menurun sepanjang waktu pengobatan, termasuk beberapa molekul imunologi yang penting, seperti intracellular adhesion molecule 1, soluble interleukin-2, dan interleukin-6 receptors. Pada beberapa referensi, terdapat bukti bahwa obat antitiroid juga menstimulasi apoptosis dari intrathroidal lymphocytes, seperti penurunan ekspresi HLA kelas II. Selain itu, obat antitiroid juga meningkatkan jumlah suppressor T cells di sirkulasi, natural killer cells, dan activated intrathyroidal T cells.11
Farmakokinetik
Propiltiourasil dan metimazol dibedakan dari ikatannya dengan serum protein. Di dalam tubuh, metimazol dapat bebas di serum, sedangkan 80-90% dari PTU berikatan dengan albumin.12 Keduanya juga didistribusi ke seluruh jaringan tubuh dan diekskresi melalui urin dan air susu ibu, tetapi tidak melalui tinja. PTU pada dosis 100 mg mempunyai masa kerja 6-8 jam, sedangkan MMI pada dosis 30-40 mg bekerja selama kira-kira 24 jam. Dengan dosis di atas, keadaan eutiroid biasanya tercapai dalam waktu 12 minggu. Setelah ini tercapai, dosis perlu dikurangi, tetapi terapi sebaiknya jangan dihentikan. Perbedaan farmakokinetik PTU dan MMI sebagai berikut:
Efek Samping
Propiltiourasil dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping dan bila timbul biasanya mempunyai gambaran yang sama. Frekuensi keduanya rata-rata 3% untuk PTU dan 7% untuk MMI. Agranulositosis akibat PTU hanya timbul dengan frekuensi 0,44% dan dengan MMI hanya 0,12%. Meski jarang, agranulositosis merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini bersifat tergantung dosis (dose-dependent), sedangkan untuk PTU tidak tergantung dosis. Reaksi yang paling sering timbul antara lain purpura dan papular rash yang terkadang hilang sendiri. Gejala lain yang jarang sekali timbul antara lain nyeri dan kaku sendi, terutama pada tangan dan pergelangan. Reaksi demam obat, hepatitis, dan nefritis dapat terjadi pada penggunaan PTU dosis tinggi.13
Berikut adalah tabel kesimpulan obat yang biasa digunakan pada pasien hipertiroid14
Farmakokinetik Propiltiourasil
(PTU)
Metimazol
Ikatan protein plasma 75%
-Waktu paruh 75 menit 4-6 jam
Volume distribusi 20 L 40 L Metabolisme pada gangguan hati Normal Menurun Metabolisme pada gangguan ginjal Normal Normal
Dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari
Daya tembus sawar plasenta
Rendah Rendah
Jumlah yang disekresikan dalam ASI
2.1.1 Tatalaksana Non Farmakologi
Selain pemberian obat anti-tiroid, Graves Disease juga dapat ditangani secara non-farmakologi, tentunya dengan indikasi tertentu. Penatalaksanaanya yaitu melalui terapi radioiodin dan bedah dengan perubahan diet dan gaya hidup.
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk mengancurkan sel-sel tiroid secara progresif . Dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama atau kedua, terutama pada pasien yang mengalami relapse setelah pengobatan dengan obat anti-tiroid. Terapi ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
1. Terkontraindikasi pemberian obat anti tiroid 2. Pasien dengan komorbiditas untuk terapi operatif 3. Pasien dengan riwayat operasi pada leher sebelumnya 1. Wanita hamil dan menyusui 2. Kecurigaan atau ditemukannya kanker tiroid 3. Pasien yang tidak mampu mematuhi aturan radiation safety 4. Wanita dengan rencana kehamilan 46 bulan kemudian 5. Severe Graves Ophtalmopathy 1. Posttreatment hypothyroid 2. Nyeri pada leher yang transien 3. Ruam kemerahan pada leher 4. Radiation thyroiditis (1%) 5. Kemungkinan eksaserbasi Graves Ophtalmopathy
Sebelum melalui terapi radioiodin, pasien harus melalui tahap persiapan terlebih dahulu, terutama pada pasien yang memiliki gajala tirotoksikosis yang belum tertangani dan masih memiliki kadar FT4 yang meningkat 2-3 kali lipat dari nilai normal. Persiapan yang dilakukan adalah :
Premedikasi dengan obat golongan Beta-blocker, yaitu propranolol
Premedikasi dengan obat anti-tiroid (metimazol) : premedikasi dihentikan 3-5 hari sebelum terapi radioiodin, dan dimulai lagi 3-7 hari setelahnya. Dosis diturukan perlahan dalam 4-6 minggu seiring dengan normalisasi fungsi tiroid.
Terapi lain untuk menangani komorbiditas/penyulit yang ada
Tes kehamilan jika diperlukan
sebelum memulai terapi.
Setelah terapi selesai, perlu dilakukan Follow up pada 1-2 bulan pasca terapi dengan memeriksa kadar FT4 dan TSH. Jika pasien masih mengalami tirotoksikosis, perlu dilakukan pemeriksaan berkala setiap 4-6 bulan. Sebagian besar pasien menunjukan normalisasi pada pemeriksaan fungsi tiroid dan penurunan gejala pada 4-8 minggu setelah terapi. Terdapat kemungkinan terjadi hipotiroid pada 1-6 bulan kemudian dan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid, gejala, dan pemeriksaan fisik untuk menentukan waktu untuk memulai terapi pengganti hormon tiroid. Pemberian obat dimulai dari dosis terkecil dan dapat ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai eutiroid dan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid secara berkala dalam jangka panjang. Pada pemeriksaan laboratorium, kadar TSH biasanya masih rendah pada beberapa bulan pertama sehingga perlu diperiksa kadar FT4 dan T3. Jika dalam 6 bulan pasien masih hipertiroid, maka disarankan untuk terapi radioiodin ulang.
2. Bedah (Tiroidektomi)
Tindakan bedah dapat juga dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan setelah pengobatan dengan obat anti tiroid.
Indikasi Kontraindikasi Efek Samping
1. Pasien dengan gejala kompresi 2. Pembesaran tiroid yang masif 3. Kecurigaan atau ditemukannya keganasan pada tiroid
4. Pasien dengan kadar TRAb yang tinggi 5. Graves
Ophtalmopathy yang parah
6. Wanita dengan rencana hamil lebih dari 4-6 bulan kemudian. 1. Pasien dengan komorbid : seperti penyakit kardiopulmonal, dankanker stadium akhir. 2. Kehamilan trimester 1 dan 3 1. Hipotiroid pasca operasi 2. Paralisis laring (<1%, sementara atau permanen) 3. Hipokalemia (<2%, sementara atau permanen)
Beberapa persiapan pra-operasi perlu dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya krisis tiroid saat dilakukan operasi, seperti akibat stress saat operasi dan anastesi.
1. Premedikasi dengan metimazol hingga tercapai eutiroid
2. Premedikasi dengan Beta-blocker unutk mengurangi gejala tirotoksikosis
3. Premedikasi dengan Potassium iodide 5–7 tetes (0.25–0.35 mL) melalui solusio lugol (8 mg iodide/ drop) tiga kali sehari, dengan dicamur air minum 10 hari sebelum operasi untuk mengurangi aliran darah pada tiroid dan perdarahan saat tiroidektomi
Tiroidektomi memiliki tingkat keberhasilan dalam oengibatan yang tinggi dengan kemungkinan resiko efek samping yang kecil. Tiroidektomi sebagian dan tiroidektomi total memiliki kemungkinan rekurensi hipertiroid yang berbenda. Pada tiroidektomi total, kemugkinan rekurensi 0%. Sedangkan pada tiroidektomi sebagian, kemungkinan rekurensi mencapai 8%. Rekurensi hipertiroid dapat terjadi dalam 5 tahun setelahnya. Setelah tiroidektomi selesai, disarankan unutk memeriksa kadar kalsium dan hormon paratiroid 6 dan 12 jam pasca operasi untuk mengatahui kemungkinan terjadinya hipokalsemia. Pada pasien dengan kadar kalsium serum 7,8 mg/dL atau lebih dan asimptomatik, pasien dapat pulang tanpa terapi tambahan. Jika kadar PTH < 10-15, dengan atau tanpa gejala hipokalsemia, maka pasien membutuhkan suplemen kalsium dan kalsitriol.
Pasien yang mengalami gejala hipokalsemia yang berat dan tidak respon terhadap terapi oral, dapat diberikan kalsium glukonas intravena. Selama penanganan hipokalsemia, kadar PTH serum untuk mengevaluasi adanya hipokalsemia persisten dan hipoparatiroid permanen. Suplemen yang bisa digunakan adalah kalsium karbonat dengan dosis 1250-2500/hari, 4 kali sehari. Dosis dikurangi 1000 mg tiap 4 hari. Kalsitriol dapat dimulai dengan dosis 0,5 mcg/hari selama 1-2 minggu dan dapat disesuaikan dengan kadar kalsium serum. Pasien disarankan kontrol kembali 1-2 minggu setelah pasien dipulangkan. Selain itu, pasien perlu diberi L-thyroxine 1,7 mcg/Kg dan pemeriksaan kadar TSH pada 6-8 minggu pasca-operasi.
3. Diet dan perubahan gaya hidup
dampak penyakit terhadap nutrisi pasien, yaitu memperbanyak makanan yang mengandung kalsium, dan sayuran yang bersifat goitrogen seperti brokoli. Makanan yang mengandung vitamin D, seperti salmon, telur, dan jamur. Makanan yang tinggi protein juga dibutuhkan jika terdapat penurunan berat badan dan masa otot. Konsumsi lemak juga diperluka secukupnya, yaitu asam lemak omega 3 seperti pada ikan. Hindari makanan yang mengandung kafein karena dapat memperberat gejala hipertiroid. Pasien tidak dianjurkan melakukan aktivitas fisik yang sangat berat seperti olahraga dengan intensitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
2. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18.
4. Weetman P. A., Graves’s Disease. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2000.
5. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
6. Yeung, Sai Ching Jim. 2014. Graves Diseases. http://emedicine.medscape.com/ article/120619-overview#showall Diunduh pada 28 januari 2016.
7. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630
8. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 1080
9. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007: Hal 220-281
10. The Indonesian Society of Endocrinology, Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. 2012.
11. Cooper, David. Antithyroid Drugs. N Engl J Med 2005;352:905-17.
12. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
13. Reid, Jeri & Wheeler, Stephen. Hyperthyroidsm: Diagnosis and Treatment. Kentucky: American Academy of Family Physician; 2005.
14. Stockigt, Jim. Assessment of Thyroid Function: Towards an Integrated Laboratory -Clinical Approach. Australia: Clin Biochem; 2003.
15. Rebecca SB et al. Hyperthyroidism And Other Causes Of Thyrotoxicosis : Management Guideline Of The American Thyroid Association and American Association Of Clinical Endocrinologist. 2011
16.Graves Disease. National Endocrine and Metabolic Diseases. http://endocrine.niddk.nih.gov/pubs/Graves. May 2008