• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS WTP, WTA DAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI ANALISIS WTP, WTA DAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

6.1. Kemauan Masyarakat untuk Membayar Jasa Lingkungan Pertanian Kajian mengenai kemauan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan pertanian (WTP) mencakup lima aspek, yakni (1) pendapat responden mengenai penyebab banjir, (2) persepsi responden mengenai multifungsi pertanian, (3) besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (4) model persamaan regresi WTP, dan (5) mekanisme dan alat pembayaran WTP.

6.1.1. Pendapat responden mengenai penyebab banjir

Menurut responden penyebab banjir yang selalu melanda lokasi perumahan mereka cukup beragam. Sebagian besar responden (57%) menyatakan penyebab banjir adalah pendangkalan Sungai Citarum dan anak-anak sungainya. Pendangkalan sungai tersebut diyakini sebagai penyebab utama banjir karena adanya penumpukan atau pembuangan sampah oleh penduduk (52%) dan adanya lumpur atau erosi tanah (48%). Banjir juga terjadi karena wilayah resapan air hujan di wilayah bagian hulu sungai sudah berkurang atau rusak, sebagaimana dinyatakan oleh 26% responden. Penyebab banjir lainnya adalah penyempitan badan sungai (12%) dan pengelolaan sungai yang kurang tepat (5%) (Gambar 34). Penyempitan badan sungai terjadi akibat tumbuh dan berkembangnya bangunan di sepanjang sepadan sungai, sedangkan pengelolaan sungai dinilai kurang tepat oleh responden karena kegiatan pelurusan badan sungai yang mengakibatkan debit dan arus air sungai mengalir semakin cepat dan melebihi kapasitas daya tampung Sungai Citarum.

Saat diminta pendapatnya mengenai cara penanggulangan banjir di wilayah tersebut para responden mengajukan berbagai alternatif penanggulangan banjir sebagaimana disajikan pada Gambar 35. Sebagian

(2)

besar responden (59%) menyatakan bahwa pengerukan sungai merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan bahaya banjir Sungai Citarum. Cara pengendalian banjir tersebut sudah menjadi salah satu pilihan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Kegiatan pengerukan Sungai Citarum telah dilakukan sejak tahun 1994 oleh Proyek Pengembangan Wilayah Sungai (PPWS) Citarum, Bandung. 57 26 12 5 0 10 20 30 40 50 60 Pend angk alan sun gai Res apan air berk uran g Peny emp itan sung ai Mana geme n su ngai % R e s p o n d e n

Gambar 34. Penyebab utama banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 59 24 18 12 7 0 10 20 30 40 50 60 70 Peng eruk an s unga i Peny uluh an Peng hija uan Pena taan sun gai Pem buat an d am % Re s p o n d e n

Gambar 35. Alternatif penanggulangan banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005

Selama periode tahun 1994-2002 PPWS Citarum telah melakukan pengerukan Sungai Citarum sepanjang 29 km dari Sapan ke Nanjung dan telah

(3)

mengeruk sedimen sebanyak 6,6 juta m3 dengan menghabiskan dana sekitar Rp 35,6 milyar. Namun demikian banjir di Bandung Selatan akibat meluapnya air Sungai Citarum tetap saja terjadi, termasuk kejadian banjir yang cukup parah pada Januari - Februari 2005. Penanggulangan banjir dengan cara pengerukan sungai diyakini bukan pemecahan masalah banjir secara tuntas dan sistematis, tetapi lebih bersifat "kuratif" dan reaktif terhadap permasalahan banjir. Kegiatan pengerukan sungai tersebut perlu diimbangi dengan cara-cara lain yang bersifat pencegahan lebih dini, seperti halnya penghijauan, konservasi tanah dan air, penataan ruang dan lahan, dan penegakkan hukum. Sebanyak 24% responden juga mengajukan perlunya penyuluhan yang di dalamnya termasuk aspek penegakkan hukum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah ke badan sungai. Pembuangan sampah ke badan sungai juga dipercayai responden sebagai penyebab utama terjadinya pendangkalan sungai. Kemudian penanggulangan banjir melalui kegiatan penghijauan yang di dalamnya termasuk aspek konservasi tanah dan air diajukan oleh 18% responden. Bagi masyarakat perkotaan atau hilir kegiatan penghijauan tidak termasuk alternatif pengendalian banjir yang utama, hal itu karena efektifvitasnya dinilai kurang baik, yakni dampak jangka pendeknya tidak efektif. Selain itu berbagai program penghijauan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah, seperti GNRHL masih belum dirasakan manfaatnya dalam pengendalian banjir oleh masyarakat wilayah hilir.

Alternatif pengendalian banjir lainnya yang diajukan oleh responden adalah penataan sungai (12%) dan pembuatan dam atau bendungan (7%). Penataan sungai termasuk pelebaran sungai dengan cara membongkar bangunan liar di sepanjang sepadan sungai, pelurusan sungai, sedangkan pembuatan dam atau bendungan dimaksudkan sebagai penampung air berlebih pada musim hujan dan sebagai tandon air pada musim kemarau.

(4)

6.1.2. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian

Guna mengetahui persepsi responden mengenai multifungsi lahan pertanian, khususnya sawah diajukan empat butir pernyataan berikut:

P1: Lahan sawah mempunyai kapasitas untuk menahan atau menampung air hujan sementara waktu, sekaligus menyaring air aliran permukaan sebelum air itu mengalir ke hilir melalui sungai, sehingga dapat mengurangi bahaya banjir dan pendangkalan (sedimentasi) di wilayah hilir. Jika di suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) banyak areal persawahan yang dikonversi maka bahaya banjir di wilayah hilirnya akan semakin besar. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).

P2:Kemampuan lahan sawah untuk mengendalikan banjir dan erosi merupakan salah

satu bentuk jasa lingkungan yang dihasilkan oleh para petani. Oleh karena itu adalah pantas jika para petani mendapat imbalan (insentif) atas jasa lingkungan yang dihasilkan tersebut. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).

P3: Manfaat jasa lingkungan lahan sawah berupa pengendalian banjir dan erosi yang dihasilkan oleh para petani dirasakan pula oleh masyarakat luas yang ada di wilayah hilir (perkotaan). Oleh karena itu masyarakat hilir suatu DAS seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).

P4: Luas lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah Sub DAS Citarik, seperti di Kecamatan Cikancung, Cicalengka, Cileunyi, Cimenyan, dan Rancaekek terus berkurang karena dikonversi menjadi lahan non pertanian. Kegiatan konversi lahan sawah tersebut mengakibatkan hilang atau berkurangnya wilayah resapan air sehingga frekuensi dan intensitas banjir di bagian hilir, seperti di Kecamatan Bale Endah dan Dayeuhkolot terus meningkat. Mengingat hal itu kegiatan konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik seharusnya dicegah atau dilarang melalui kebijakan

(5)

pemerintah, bahkan dijadikan lahan sawah abadi. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).

Pendapat responden atas ke-empat pernyataan tersebut diberi nilai satu jika sependapat ("ya") dan nol jika tidak sependapat, dengan interpretasi sebagai berikut:

P1=1 atau "ya", artinyai responden setuju bahwa lahan pertanian khususnya sawah mempunyai fungsi lingkungan dalam pengendalian banjir dan erosi, P1=0 jika sebaliknya.

P2=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, khususnya lahan sawah, P2=0 jika sebaliknya.

P3=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa masyarakat perkotaan merasakan manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dan oleh karena itu mereka seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut, P3=0 jika sebaliknya.

P4=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik seharusnya dilarang dan areal persawahan yang ada dijadikan areal sawah abadi, P4=0 jika sebaliknya.

Rangkuman pendapat responden terhadap ke-empat pernyataan tersebut disajikan pada Gambar 36. Sebanyak 90% responden sependapat dan memahami bahwa lahan sawah mempunyai jasa lingkungan sebagai pengendali banjir dan erosi. Ilustrasi bagaimana petakan sawah dapat menahan dan menampung air hujan sementara waktu sebelum mengalir ke bagian hilir, dan peran petakan sawah dalam menyaring tanah yang terbawa erosi dari wilayah hulunya dapat dengan mudah dimengerti oleh sebagian besar responden. Namun demikian sebagian responden (10%) tidak sependapat mengenai hal tersebut dengan bererapa alasan, diantaranya : kejadian banjir di wilayah perumahan responden tidak selalu ada kaitannya dengan keberadaan sawah di

(6)

wilayah hulu Sub DAS Citarik, kejadian banjir di lokasi mereka lebih banyak disebabkan oleh pembuangan sampah oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kejadian banjir juga akibat penggundulan hutan dan kesalahan bertani di wilayah hulu, banjir juga terjadi akibat curah hujan yang terlalu lebat, dan adanya bangunan liar di sepanjang sepadan atau bantaran sungai. Terkait dengan pendapat responden tersebut sebenarnya ada benang merah antara kejadian banjir dengan aspek yang dikaji. Perubahan penggunaan lahan termasuk di dalamnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri di wilayah Bandung Bagian Selatan, seperti Cikancung, Rancaekek, Cicalengka, Majalaya, Solokan Jeruk, dan Banjaran yang merupakan bagian hulu dari daerah-daerah rawan banjir seperti Bale Endah dan Dayeuh Kolot telah mengurangi wilayah resapan air sehingga daya sangga air secara keseluruhan di wilayah tersebut berkurang; sementara intensitas curah hujan tahunan relatif tidak berubah.

Sebagian besar responden (88%) sependapat bahwa petani pantas memperoleh imbalan atas jasa lingkungan yang dihasilkannya. Sebanyak 12% responden menolak pernyataan P2 tersebut dengan dua alasan, yakni para petani sudah memperoleh keuntungan dari usahataninya dan jasa lingkungan tersebut bersifat alami yang sudah ada sejak dahulu kala. Selanjutnya pernyataan P3 ditolak oleh 26% responden. Beragam alasan penolakan yang dikemukakan responden adalah pembayaran jasa lingkungan tersebut harus menjadi tanggungjawab pemerintah karena masyarakat sudah dibebani pajak dan pungutan, keterbatasan sumberdana atau pendapatan, dan petani sudah memperoleh keuntungan dari usahataninya. Namun demikian proporsi responden yang mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian cukup besar (74%) dan responden yang bersedia membayar jasa lingkungan lahan sawah ada 66%. Para responden tersebut pada umumnya mensyaratkan

(7)

agar kewajiban pembayaran jasa lingkungan pertanian tersebut diimbangi oleh adanya jaminan pengendalian banjir yang paripurna. Selanjutnya terkait dengan kemungkinan adanya kebijakan pemerintah yang melarang atau membatasi konversi lahan sawah untuk tujuan penetapan kawasan sawah abadi didukung oleh mayoritas responden (96%). Besarnya proporsi responden yang mendukung upaya ke arah tersebut setidaknya mencerminkan pentingnya pengendalian konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik. Sementara itu alasan penolakan yang dikemukakan oleh sebagian responden (4%) terkait dengan aspek kebebasan hak pemilik lahan yang dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, termasuk menjual atau mengkonversinya.

90 86 74 96 10 14 26 4 0 20 40 60 80 100 120 P1 P2 P3 P4

Aspek yang ditanyakan

% R e s p o n d e n Ya Tidak

Gambar 36. Persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005

6.1.3. Besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Kisaran nilai WTP antara nol sampai Rp 80.000 dengan rata-rata dan mediannya Rp 15.819 dan Rp 12.000/KK. Sekalipun sudah ada nilai batas atas dan proses penawaran (bidding) secara berjenjang (Lampiran 11) variasi atau keragaman nilai WTP tersebut cukup tinggi.

Dikaitkan dengan kajian persepsi mengenai multifungsi pertanian sebagian responden berubah sikap atau tidak konsisten dalam hal kemauan untuk

(8)

membayar jasa lingkungan. Responden yang pada awalnya mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian (setuju terhadap pernyataan P3) ternyata tidak bersedia untuk membayar jasa lingkungan tersebut. Proporsi responden yang WTP-nya lebih besar dari nol ada 66,3% atau menurun 7,8% dari proporsi responden yang mendukung pernyataan P3 tersebut. Responden yang semula mendukung pernyataan P3 tetapi tidak bersedia membayar mengajukan alasan karena keterbatasan kemampuan atau pendapatannya. Alasan tersebut dapat dimengerti mengingat sebagian responden mempunyai sumber mata pencaharian tidak tetap, bahkan menganggur. Apabila yang diperhatikan hanya responden yang bersedia membayar (WTP>0) maka kisaran nilai WTP Rp 5.000 - Rp 80.000 dengan rata-rata, median, dan modusnya secara berurutan Rp 23.877,- Rp 17.000,- dan Rp 12.000/KK. Tingkat keragaman datanya (CV) juga menurun dari 116% menjadi 69,8%.

Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP dilakukan analisis korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 28. Pada taraf α =10% dapat diketahui bahwa variabel dummy P1 - P4 (persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah), tingkat pendapatan, jarak rumah ke sungai, dan nilai kerugian akibat banjir berkorelasi nyata dengan nilai WTP.

Nilai WTP dipengaruhi nyata positif oleh persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, khususnya dalam hal pengendalian banjir dan erosi. Pernyataan P1 sampai P4 dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui pemahaman responden mengenai multifungsi lahan sawah. Apabila responden menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan P1 maka besar kemungkinan ia akan menolak pernyataan-pernyataan berikutnya (P2 sampai P4). Sebaliknya jika responden menyatakan sependapat dengan pernyataan P1 atau P2 maka ada kecenderungan ia akan merespon pernyataan berikutnya secara positif juga. Konsisten atau tidaknya tanggapan kualitatif responden terhadap pernyataan P1

(9)

sampai P4 pada akhirnya teruji saat ditanya apakah ia bersedia membayar jasa lingkungan lahan sawah secara kuantitatif dengan sejumlah uang tertentu. Ada konsistensi antara respon positif responden terhadap pernyataan P1, P2, dan P3 dengan nilai WTP, sedangkan respon positif terhadap pernyataan P4 diikuti oleh penurunan nilai WTP-nya (Gambar 37).

Tabel 28. Koefisien korelasi (

ρ

) WTP dengan beberapa variabel yang dianalisis

Variabel

ρ

T_hitung/

p_value Keterangan

P1 (dummy) 0,3909 3,751 *) Korelasi Spearman

P2 (dummy) 0,4531 4,489 *) Korelasi Spearman

P2 (dummy) 0,2577 2,356 *) Korelasi Spearman

P4 (dummy) 0,3056 2,835 *) Korelasi Spearman

Umur -0,1548 0,1703 +) Korelasi Pearson

Pendapatan 0,4679 0,0001 +) Korelasi Pearson

Jarak rumah ke sungai -0,2720 0,0147 +) Korelasi Pearson Nilai kerugian 0,4955 0,0001 +) Korelasi Pearson Keterangan : *) Nyata pada taraf α=10%, +) p_value

Sumber: data primer

17576 18341 19364 16435 14000 15000 16000 17000 18000 19000 20000 P1=1 P2=1 P3=1 P4=1

Persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian

W T P ( R p )

Gambar 37. Hubungan antara nilai WTP dan persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung, 2005

Tingkat pendapatan dan nilai kerugian akibat banjir berpengaruh nyata positif terhadap nilai WTP. Kecenderungan hubungan antara pendapatan dengan nilai WTP seperti model kuadratik (Gambar 38). Hal itu dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang akan semakin tinggi pula besaran

(10)

WTP-nya tetapi dengan peningkatan kenaikannya yang semakin berkurang. Sementara itu hubungan antara nilai kerugian akibat banjir dengan besaran WTP cenderung bersifat eksponensial positif (Gambar 39). Hal ini menunjukkan responden sangat responsif untuk meningkatkan nilai WTP manakala perkiraan nilai kerugian akibat banjir akan semakin besar.

3188 10833 18667 26154 25400 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 < 6 6 - 12 12 - 18 18 - 24 > 24 Pendapatan keluarga (Rp juta/th)

W T P ( R p )

Gambar 38. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendapatan responden, Kabupaten Bandung 2005

10500 13983 15318 31000 31167 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 < 0,5 0,5 - 1,0 1 - 1,5 1,5 - 2,0 > 2,0 Nilai kerugian (Rp juta)

W T P ( R p )

Gambar 39. Hubungan antara nilai WTP dengan kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005

Selanjutnya secara grafis dapat ditunjukkan bahwa nilai WTP mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat pendidikan responden dimana semakin tinggi pendidikan responden nilai WTP-nya cenderung meningkat (Gambar 40).

(11)

Hal ini dapat dimengerti karena tingkat pendidikan mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat pendapatan, yakni responden yang pendidikannya tinggi cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang relatif besar juga.

Gambar 40. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendidikan responden, Kabupaten Bandung 2005

Sementara itu variabel jarak rumah dengan sungai berkorelasi negatif terhadap nilai WTP. Hal itu berarti nilai WTP responden yang jarak rumahnya dengan sungai relatif jauh maka nilai WTP-nya cenderung lebih rendah.

6.1.4. Model persamaan regresi fungsi WTP

Analisis regresi untuk menduga fungsi WTP menggunakan model regresi berganda sebagaimana Rumus Persamaan 10. Guna melihat keeratan hubungan antar berbagai variabel penjelas WTP dilakukan analisis korelasi yang hasilnya disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan matriks korelasi tersebut dapat diketahui bahwa variabel dummy mengenai persepsi responden (P1, P2, P3, dan P4) ada yang saling berkorelasi nyata (α=10%), yakni antara P1 dengan P2 dan P4. Keterkaitan antara variabel P1, P2 dan P4 tersebut adalah suatu hal yang perlu terjadi secara konsepsional, karena menunjukkan responden yang sudah memahami adanya jasa lingkungan lahan sawah, maka ia akan berpendapat bahwa petani lahan sawah pantas atau wajar untuk memperoleh imbalan atas jasa lingkungan yang dihasilkannya karena jasa lingkungan

10560 13650 18818 20333 0 5000 10000 15000 20000 25000 SD-6 SLTP-9 SLTA-12 PT-16 Tingkat pendidikan W T P ( R p )

(12)

tersebut dinikmati juga oleh masyarakat luas. Kemudian pada tahap pemikiran lebih lanjut responden tersebut akan mendukung terhadap adanya gagasan pelarangan konversi lahan sawah atau gagasan pembuatan (pencanangan) sawah abadi. Selanjutnya variabel umur berkorelasi nyata dengan tingkat pendidikan, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Korelasi antar variabel kharakteristik responden tersebut dapat dimengerti karena fenomena tersebut sudah umum terjadi.

Sebelum variabel P1 dan umur tersebut dipertimbangkan untuk tidak dianalisis dalam model regresi WTP terlebih dahulu dilakukan analisis regresi berganda berdasarkan hasil kajian korelasi dan kecenderungan hubungan parsial antara WTP dengan beberapa variabel penjelasnya (seperti pada Gambar 38, 39, dan 40). Hasil analisis regresi berganda tersebut disajikan pada Lampiran 13.

Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 13) dapat diketahui bahwa model dugaan fungsi WTP tersebut dicirikan oleh nilai R2 sebesar 59,8% yang berarti secara bersama-sama variabel bebas model regresi dapat menjelaskan keragaman nilai WTP sebanyak 59,8%. Mengingat adanya gejala multikoliniariti maka variabel P1 atau P4, umur, dan pendidikan dikeluarkan dari model.Selain itu model regresi dugaan tersebut mempunyai intercep yang tidak berbeda nyata dengan nol. Oleh karena itu model regresi dugaan WTP perlu dilakukan dengan

setting intercep sama dengan nol (melalui titik awal).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan analisis dugaan model WTP yang hasilnya disajikan pada Tabel 29. Hasil analisis tersebut memberikan model regresi dugaan fungsi WTP yang lebih baik daripada hasil sebelumnya. Tujuh dari sepuluh (70%) variabel bebas dalam model mempunyai koefisien regresi yang nyata berbeda dengan nol (α=10%). Secara bersama-sama variabel bebas dalam model dapat menjelaskan variasi nilai WTP sebesar 76,2%.

(13)

Tabel 29. Hasil analisis regresi berganda model dugaan fungsi WTP Analisis Sidik Ragam

Sumber Jumlah Kuadrat

Keragaman DB Kuadrat Tengah F_Value Prob>F

Model 10 34025818005 3402581800 22,36 0,0001 Galat 70 10650431995 152149028

Total/UC 80 44676250000

Root MSE 12334,87 R-square 0,7616 Dep Mean 15818,75 Adj R-sq 0,7276 C.V. 77,98

Nilai parameter dugaan

Koefisien Galat T_Value Prob > |T| Variabel DB dugaan Baku

P2 1 11427 4741,765 2,410 0,0186 P3 1 8826,954 3356,980 2,629 0,0105 P4 1 -11999 6054,220 -1,982 0,0514 PNS_D 1 7323,009 4973,543 1,472 0,1454 SWASTA_D 1 6898,914 5331,423 1,294 0,1999 WRSWTA_D 1 5209,321 4683,396 1,112 0,2698 INCOME 1 1056,968 230,783 4,580 0,0001 JARAK 1 -32,823 10,424 -3,149 0,0024 EXPLOSS 1 -19273 6985,960 -2,759 0,0074 EXPLOSS2 1 12022 2914,268 4,125 0,0001 Catatan : EXPLOSS = nilai harapan kerugian akibat banjir (peluang banjir x nilai kerugian)

Ada tiga variabel bebas yang bertanda negatif dalam model yang berarti bersifat menurunkan nilai WTP, yakni jarak rumah ke sungai, persepsi responden mengenai pentingnya pelarangan konversi lahan sawah, dan pengaruh linear kerugian akibat banjir. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang rumahnya jauh dari sungai cenderung tidak akan mau membayar jasa lingkungan pertanian terkait dengan pengendalian banjir (WTP=0), atau nilai WTP kelompok masyarakat yang tinggal jauh dari badan sungai relatif akan kecil. Demikian pula responden yang berpandangan (mempunyai persepsi) bahwa pentingnya pelarangan atau pengaturan konversi lahan sawah melalui kebijakan pemerintah maka masalah pembayaran jasa lingkungan menjadi kurang relevan karena sepenuhnya akan ditanggulangi oleh pemerintah.

(14)

Hubungan antara nilai kerugian dengan nilai WTP bersifat kuadratik dengan koefisien linearnya bernilai negatif dan koefisien kuadratiknya bernilai positif. Koefisien linear bernilai negatif dapat diartikan bahwa nilai WTP akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai kerugian akibat banjir yang diderita responden. Sebaliknya koefisien kuadratik bernilai positif dapat diartikan bahwa pada tingkat kerugian besar tertentu nilai WTP cenderung

akan meningkat, sebagaimana disajikan pada Gambar 41. Berdasarkan

gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai kerugian yang sensitif adalah sebesar Rp 0,75 juta dimana mulai dari nilai kerugian tersebut besaran WTP responden meningkat. Selanjutnya, kecenderungan proporsi besaran WTP terhadap nilai kerugian akibat banjir menurun dari 14,3% ke 1,2% sejalan dengan peningkatan kerugian akibat banjir sampai nilai Rp 1,5 juta. Pada tingkat kerugian yang lebih besar dari Rp 1,5 juta proporsi besaran WTP tersebut akan meningkat lagi dari 1,3% menjadi 2,3%. Secara umum rata-rata proporsi besaran WTP terhadap nilai kerugian adalah 3%.

Perbedaan relatif antara nilai WTP kelompok responden pendapatan tinggi (rata-rata Rp 17,0 juta/tahun) dengan pendapatan rendah (rata-rata Rp 7,7 juta/tahun) berdasarkan nilai kerugian banjir menyerupai fungsi parabola (Gambar 42). Makna gambaran tersebut adalah pada tingkat kerugian akibat banjir yang besar tertentu kedua kelompok responden yang beda pendapatnnya cenderung akan "berkorban" relatif sama, dicirikan oleh rendahnya perbedaan nilai WTP tersebut (kurang dari 20%).

(15)

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 0.1 3 0.5 0 1.00 1.5 0 2.00 2.5 0 3.0 0

Ke rugian akibat banjir (Rp juta)

R p 0 2 4 6 8 10 12 14 16 % WTP_T WTP_R Proporsi (%)

Gambar 41. Dugaan fungsi WTP pada kelompok responden pendapatan tinggi (WTP_T) dan rendah (WTP_R) serta proporsi WTP terhadap

kerugian banjir 0 20 40 60 80 100 120 140 0.13 0.25 0.50 0.75 1.00 1.25 1.50 1.75 2.00 2.25 2.50 2.75 3.00

Kerugian akibat banjir (Rp juta)

Be d a W T P T -R ( % )

Gambar 42. Perbedaan nilai WTP kelompok pendapatan tinggi dan rendah berdasarkan nilai kerugian banjir (%)

6.1.5. Mekanisme dan alat pembayaran WTP

Mekanisme pembayaran WTP yang umum dipilih oleh responden (karakteristik responden disajikan pada Bagian 4.4.2. hal 77-79) adalah melalui tagihan pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB) dan harga gabah atau beras (Gambar 43). Sebanyak 37% responden yang bersedia membayar jasa lingkungan pertanian memilih SPPT-PBB sebagai alat untuk pembayarannya. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan melalui PBB dipandang sederhana dan mudah. Selain itu pembayarannya dilakukan setahun sekali. Apabila suatu saat

(16)

pemerintah memberlakukan kebijakan pembayaran jasa lingkungan pertanian, khususnya sawah maka variasi pembayaran dapat disesuaikan dengan nilai kekayaan (luas tanah, kualitas bangunan, dan jenis perumahan) yang dikuasai masyarakat hilir.

Nilai SPPT-PBB rumah dan pekarangan yang dibayar oleh penduduk di lokasi penelitian berkisar antara Rp 15 - Rp 340/m2. Sebidang lahan kering seluas 250 m2 (Kelas A36) yang belum ada bangunan di atasnya tetapi hanya ditanami pisang dan ubikayu mempunyai nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp 15.000/m2 atau nilai keseluruhannya Rp 3.750.000,-. Besaran nilai jual kena pajak (NJKP) adalah 20% dan nilai PBB atas lahan tersebut adalah 0,5% dari NJKP atau Rp 3.750,- (Rp 15/m2). Tarif PBB lahan kering akan meningkat sesuai dengan kelas lahannya. Misalnya lahan kering Kelas A26 (dekat dengan prasarana jalan atau aksesibilitasnya baik) dengan luas yang sama (250 m2) mempunyai NJOP Rp 50 juta sehingga tarif PBB-nya menjadi Rp 50.000 atau Rp 200/m2. Apabila pada lahan kering tersebut terdapat bangunan permanen (Kelas A09) seluas 100 m2 maka tarif PBB-nya akan bertambah sebesar Rp 35.000,- atau total tarif PBB (bumi dan bangunannya) menjadi Rp 85.000,- (Rp 340/m2). Pada tingkat pemilikan lahan untuk bangunan dan pekarangan sekitar 120 m2

dan luas bangunannya 60 m2 dengan kualitas bangunan setengah permanen nilai PBB yang menjadi tanggungan warga setempat sekitar Rp 32.200,-/KK/tahun. Dengan demikian rata-rata nilai WTP responden untuk jasa lingkungan pertanian berdasarkan hasil penelitian ini sekitar 49,1% dari tarif PBB yang berlaku saat ini.

Mekanisme pembayaran WTP jasa lingkungan pertanian melalui harga gabah/beras dipilih oleh 35% responden. Mekanisme ini sulit dilakukan mengingat tidak mungkin melakukan disparitas harga gabah/beras antar masyarakat perkotaan dan pedesaan atau antar daerah tanpa melihat kualitas

(17)

atau faktor lainnya. Namun demikian pilihan responden terhadap mekanisme pembayaran cara ini mempunyai makna bahwa harga gabah/beras seharusnya mampu memberikan insentif yang menarik bagi para petani dan responden (masyarakat perkotaan) bersedia membayar harga beras relatif lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku dengan tujuan untuk membayar jasa lingkungan pertanian. 37% 35% 18% 10% Tarif PBB Harga gabah/beras Rekening PLN/PAM Donasi/Sosial

Gambar 43. Cara pembayaran WTP yang dipilih oleh responden, Kabupaten Bandung 2005

Mekanisme lain yang mendapat perhatian 18% responden adalah melalui rekening listrik (PLN) atau air bersih (PAM/PDAM). Cara ini dipilih responden karena sifat pembayarannya bulanan sehingga relatif tidak akan memberatkan masyarakat. Kemudian pilihan terakhir cara pembayaran WTP dapat dilakukan secara tidak berkala, seperti halnya sistem bantuan sosial atau bencana alam (donasi) khusus untuk membantu para petani selama belum mandiri untuk mengelola lahan pertaniannya.

Terkait dengan pengelolaan dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, khususnya sawah sebagian besar responden (39%) sangat mempercayai Pemerintah Daerah (Pemda), termasuk di dalamnya Dinas Pertanian yang bertanggungjawab terhadap kemajuan sektor pertanian (Gambar 44). Kemudian 31% responden menyarankan agar dibentuk badan khusus yang

(18)

menangani masalah pengembangan sawah abadi, sejenis Badan Otorita Sawah Abadi. Dana yang berasal dari masyarakat perkotaan sebagai WTP jasa lingkungan lahan pertanian, baik melalui rekening PBB, PLN, PAM/PDAM atau cara lainnya dihimpun dalam rekening khusus yang dikelola oleh Badan Otorita dan kemudian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani.

39% 31% 12% 11% 7% Pemda Badan khusus Pem. Pusat LSM Lainnya

Gambar 44. Institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian yang disarankan responden, Kabupaten Bandung 2005

Pendapat responden mengenai institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan pertanian mengisyaratkan peran Pemerintah Pusat termasuk di dalamnya Departemen Pertanian dan LSM kurang dipercaya. Hal ini dapat dimaknai bahwa saat ini masyarakat juga sudah memahami iklim otonomi daerah dimana pembangunan pertanian harus dicanangkan oleh Pemda setempat, bukan oleh Pemerintah Pusat, apalagi LSM.

6.2. Kemauan Petani untuk Menerima (WTA) Pembayaran Jasa Lingkungan Pertanian

Analisis mengenai kemauan petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian mencakup empat aspek, yakni (1) persepsi responden mengenai multifungsi pertanian, (2) besaran nilai WTA dan faktor-faktor yang

(19)

mempengaruhinya, (3) persamaan regresi fungsi WTA petani padi sawah dan petani lahan kering, dan (4) mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diharapkan petani. Karakteristik responden WTA dijelaskan pada Bagian 4.4.3 mulai hal 79.

6.2.1. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian

Guna mengetahui persepsi petani dan sekaligus untuk menyampaikan informasi mengenai jasa lingkungan lahan pertanian kepada petani padi sawah disampaikan tiga buah pernyataan berikut:

P1: Lahan pertanian, khususnya sawah mempunyai fungsi dalam mengendalikan banjir dan erosi tanah. Petakan-petakan sawah dapat berfungsi sebagai dam-dam kecil yang menahan dan menampung air hujan sebelum mengalir ke hilir, dan sekaligus menjadi penyaring air aliran permukaan dari wilayah yang berada di atasnya sehingga butiran-butiran tanah yang terbawa erosi dapat mengendap pada petakan-petakan sawah. Oleh karena itu jika areal sawah dalam suatu wilayah semakin sempit maka cenderung akan menimbulkan banjir dan erosi tanah (pendangkalan sungai) di bagian hilirnya. Dengan demikian manfaat adanya usahatani padi sawah akan dirasakan oleh masyarakat yang ada di bagian hilir atau penduduk di perkotaan. Apakah Bapak/Saudara setuju dengan pernyataan tersebut?

P2: Selama ini hasil pertanian lahan sawah yang dinilai oleh masyarakat melalui mekanisme pasar terbatas pada bentuk produksi, seperti beras atau palawija, sementara jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti untuk mengendalikan banjir dan erosi tanah belum atau tidak diperhitungkan. Mengingat adanya jasa lingkungan lahan sawah tersebut, maka para petani padi sawah pantas mendapatkan imbalan jasa lingkungan tersebut. Apakah

(20)

Bapak/Saudara menginginkan pembayaran jasa lingkungan lahan sawah tersebut?

P3: Menurut Bapak/Saudara apakah berusahatani padi sawah di daerah ini masih menguntungkan? Jika "Ya", mengapa cukup banyak sawah yang dialihfungsikan ke bentuk penggunaan lain?

Rangkuman persepsi responden atas ketiga pernyataan tersebut disajikan pada Gambar 45. Sebagian besar responden (97%) menyatakan sependapat bahwa lahan sawah mempunyai manfaat lingkungan dalam pengendalian banjir dan erosi (P1), sedangkan 3% responden tidak menyampaikan pendapatnya karena belum memahami terhadap apa yang ada di dalam pernyataan maupun ilustrasi yang disampaikan. Setelah responden mengerti atas penjelasan mengenai manfaat lingkungan lahan sawah dalam mengendalikan banjir dan erosi, ada beberapa responden yang serta merta mengajukan dua fungsi lingkungan lahan sawah, yakni sebagai sumber air tanah dan pemberi kenyamanan atau keindahan lingkungan.

Mengenai pembayaran jasa lingkungan lahan sawah (P2) ternyata tidak semua petani mengharapkannya, setidaknya bagi 27% responden. Alasan utamanya adalah hal itu sebagai ibadah dan amal baik bagi kepentingan masyarakat dengan mengharap balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Ada nuansa kebanggaan dan kebahagiaan yang terbersit dari para responden manakala mereka mengetahui dan menyadari bahwa berusahatani padi sawah bukan hanya bermanfaat bagi penghidupan diri dan keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat luas.

(21)

97 73 78 3 27 22 0 20 40 60 80 100 120 P1 P2 P3 Pernyataan % R e s p o n d e n Ya Tidak

Gambar 45. Persepsi petani mengenai jasa lingkungan lahan sawah, Kabupaten Bandung, 2005

Berusahatani padi sawah ternyata masih menguntungkan. Pendapat tersebut dinyatakan oleh 78% responden. Kriteria menguntungkan bagi petani tidak selalu terkait dengan aspek analisis finansial (nilai hasil usahatani lebih besar daripada biayanya), tetapi dikaitkan juga dengan cukup-tidaknya hasil usahatani tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun secara finansial usahatani padi sawah menguntungkan tetapi jika hasilnya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga maka usahatani tersebut dianggap tidak menguntungkan. Faktor-faktor yang menyebabkan usahatani padi merugi adalah karena mahalnya harga sarana produksi padi seperti pupuk dan obat-obatan (30%), upah kerja mahal (16,3%), lahan sawah sempit (20%), dan sebaliknya harga gabah yang rendah (20%). Sementara alasan produktivitas padi sawah rendah dinyatakan oleh 13,7% responden.

Kecukupan hasil usahatani padi sawah untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani dinyatakan oleh 73,2% responden, sedangkan 26,8% lainnya menyatakan usahatani padi sawah tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Kelompok petani yang disebutkan terakhir masih tetap bertahan mengusahakan padi sawahnya karena ada sumber pendapatan lain

(22)

(60%) seperti menjadi buruh tani, anggota keluarga menjadi buruh pabrik, atau ada bantuan keuangan dari sanak-keluarga. Alasanya lainnya adalah karena tidak ada alternatif lain (40%). Dalam kondisi seperti itu ternyata tidak serta merta petani berniat akan menjual lahan sawahnya. Mayoritas petani (82,9%) menyatakan tidak berniat akan menjual lahan sawahnya, setidak-tidaknya dalam waktu dekat. Alasannya adalah karena sawah sebagai sumber utama penghidupan (55,3%), petani tidak mempunyai keahlian lain (18,4%), sawah untuk warisan anak (15,8%), dan petani merasa tenang (10,5%). Sementara itu 17,1% petani yang berniat akan menjual sawahnya dilatarbelakangi oleh kerugian bertani, harga tanah meningkat, dan keinginan untuk alih profesi.

Secara finansial usahatani padi menguntungkan, baik pada lahan sawah sempit (< 0,5 ha) maupun sawah luas (>1,0 ha), sebagaimana disajikan pada Tabel 30. Hanya saja jika dikaitkan dengan penguasaan lahan sawah sebagian besar responden kurang dari 0,5 ha maka hasil usahatani padi tersebut relatif kecil, yakni sekitar Rp 295.000/bulan. Apabila biaya tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan maka pendapatan usahatani padi tersebut meningkat menjadi Rp 450.000/bulan. Nilai tersebut masih lebih kecil daripada upah minimum Kabupaten Bandung.

Menurut responden usahatani padi sawah dengan status hak milik dan luasnya tidak kurang dari 0,75 ha sudah menguntungkan. Status penguasaan sawah oleh responden terdiri atas pemilik (90%) dan penggarap (10%), sedangkan berdasarkan luasannya 20% responden menguasai sawah kurang dari 0,250 ha, 58,3% responden menguasai sawah kurang dari 0,5 ha, 86,7% responden menguasai sawah kurang dari 1,0 ha, dan 13,3% responden menguasai sawah antara 1,0 - 3,0 ha.

(23)

Tabel 30. Analisis finansial usahatani padi sawah (dua musim tanam), Kabupaten Bandung, 2005

Komponen biaya Satuan Kelompok A Kelompok B Rata-rata Biaya tenaga kerja (TK) Rp/ha/th 7.062.044

8.788.556 7.925.300 - TK keluarga Rp/ha/th 1.977.372 2.812.338 2.394.855 - TK upah Rp/ha/th 5.084.671 5.976.218 5.530.445 Biaya saprodi Rp/ha/th 2.241.388

2.961.614

2.601.501 Total biaya (C) Rp/ha/th 9.303.431 11.750.170

10.526.801 Hasil padi (GKG) Kg/ha/th 9.220

9.453 9.337 Nilai jual padi (R) Rp/ha/th 17.471.900

17.062.665 17.267.283 Pendapatan Rp/ha/th 8.168.469 5.312.495 6.740.482 Rasio R/C 1,88 1,45 1,64

Keterangan : Kelompok A berdasarkan rata-rata luas sawah 1,600ha Kelompok B berdasarkan rata-rata luas sawah 0,300 ha Sumber: data primer

Usahatani padi pada sawah yang sempit relatif kurang efisien dibanding dengan usahatani padi pada sawah yang lebih luas. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan tenaga kerja (TK) dan sarana produksinya (saprodi). Sebagaimana disajikan pada Tabel 30 (di atas) perbedaan efisiensi penggunaan TK dan saprodi masing-masing mencapai 24,4% dan 32,1%. Sedangkan produktivitas padi pada sawah sempit hanya 2,5% lebih tinggi daripada produktivitas padi pada sawah luas. Selain itu para petani yang menguasai lahan sawah sempit cenderung memperoleh harga jual padi yang relatif lebih rendah. Salah satu penyebabnya petani tersebut memerlukan uang tunai dalam waktu segera sehingga posisi tawarnya lemah.

Para responden tidak memungkiri adanya kenyataan bahwa cukup luas areal sawah yang sudah beralihfungsi menjadi pabrik dan perumahan. Berbagai penyebab utama konversi lahan sawah menurut responden adalah desakan aspek sosial-ekonomi (34,8%), kebijakan pemerintah daerah (26,1%), alih profesi (15,2%), tanah guntai atau absentia (10,9), dan lain-lain (13,0%). Desakan

(24)

sosial-ekonomi yang mendorong petani menjual lahan sawahnya adalah adanya kebutuhan uang tunai yang cukup besar untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, melamar pekerjaan bagi anak, dan bagi umat Muslim menunaikan ibadah haji. Fenomena konversi lahan sawah di lokasi penelitian dipercepat juga oleh kebijakan pemerintah setempat yang mengijinkan berbagai pihak melakukan pembangunan kawasan pabrik atau perumahan pada areal persawahan. Demikian juga pembangunan perkantoran dan utilitas di wilayah Bandung Selatan banyak mengkonversi lahan sawah produktif.

Kegiatan pembangunan fisik yang mengkonversi lahan sawah tersebut telah meningkatkan harga pasar tanah sawah sehingga semakin merangsang petani pemilik sawah untuk menjual sawahnya. Kondisi tersebut memunculkan pula minat alih profesi sebagian petani responden (15,2%) ke sektor lain, seperti menjadi pedagang. Beberapa kasus yang ditemukan di lapangan ternyata alih profesi petani tersebut tidak selalu berhasil dan sebagian mereka kembali menjadi buruh tani atau penggarap lahan sawah milik orang lain. Motivasi lain petani menjual sawah adalah untuk memperoleh lahan sawah yang lebih luas di tempat lain. Hasil penjualan sawah yang terletak di pinggir jalan raya dapat dibelikan pada lahan sawah yang lebih luas di tempat lain (lebih ke arah pedesaan) dengan rasio mencapai 1:2 atau lebih.

Dalam situasi dimana lahan sawah sudah dikelilingi bangunan pabrik, perumahan, jaringan jalan, dan bangunan perkantoran, serta suasana bertani sudah kurang kondusif yang dicirikan oleh meningkatnya harga pupuk dan obat-obatan, serta upah tenaga kerja maka para petani padi sawah dihadapkan pada beberapa pilihan, seperti tetap bertahan bertani padi sawah di lokasi tersebut, menjual sawahnya kemudian membeli lahan pertanian di tempat lain, atau menjual sawahnya dan beralih profesi. Berdasarkan fenomena tersebut dan informasi besaran biaya usahatani padi yang telah diketahui dilakukan simulasi

(25)

WTA kepada para petani. Unsur biaya usahatani yang dijadikan sebagai bahan penawaran (bidding) kepada petani adalah biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan). Hasil kajian WTA disajikan pada Butir 6.2.3.

Pernyataan yang serupa dengan P1 dan P2 di atas dikemukakan juga kepada responden petani lahan kering. Redaksi pernyataan untuk petani lahan kering adalah sebagai berikut:

P1: Lahan pertanian mempunyai fungsi dalam mengendalikan banjir dan erosi tanah. Petakan-petakan sawah dapat berfungsi sebagai dam-dam kecil yang menampung dan menahan air hujan sebelum mengalir ke hilir. Demikian juga lahan kering yang dikelola dengan baik, melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang tepat dan selalu ada tanamannya (tidak bera) dapat meresapkan air hujan sebelum mengalir ke hilir, sekaligus menekan erosi tanah. Oleh karena itu jika areal sawah dalam suatu wilayah semakin sempit atau lahan keringnya tidak dikelola dengan baik maka cenderung akan menimbulkan banjir dan erosi tanah (pendangkalan sungai) di bagian hilirnya. Dengan demikian apabila para petani menerapkan teknik konservasi tanah dan air maka manfaatnya akan dirasakan pula oleh masyarakat yang ada di bagian hilir atau penduduk di perkotaan. Apakah Saudara setuju dengan pernyataan tersebut?

P2: Selama ini hasil pertanian yang dinilai oleh masyarakat melalui mekanisme pasar terbatas pada bentuk produksi, seperti beras, jagung, kacang-kacangan, buah-buahan dan lain-lain; sementara jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti untuk mengendalikan banjir dan erosi tanah belum atau tidak diperhitungkan. Mengingat adanya jasa lingkungan lahan pertanian, maka para petani yang menerapkan teknik KTA dengan benar

(26)

dan mengelola usahataninya dengan baik layak untuk mendapatkan imbalan jasa lingkungan pertanian tersebut. Apakah Saudara setuju dengan pernyataan tersebut?

Rangkuman pendapat responden lahan kering terhadap kedua pernyataan di atas disajikan pada Gambar 46. Seluruh responden, baik petani lahan kering berbasis tanaman tahunan atau agroforestri (AG) maupun petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (LP) sependapat dengan pernyataan P1. Selain memahami bahwa usahatani lahan kering yang dikelola dengan baik dapat mengendalikan banjir dan erosi, para responden juga menyebutkan beberapa fungsi lingkungan lahan pertanian, seperti pencegah longsor, penyegar udara (mitigasi suhu udara), sumber air bersih, dan penyedia lapangan pekerjaan.

Gambar 46. Persepsi petani lahan kering mengenai jasa lingkungan lahan pertanian, Kabupaten Bandung 2005

Demikian halnya dengan masalah pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, seluruh responden petani lahan kering menginginkan adanya imbalan atas jasa lingkungan pertanian tersebut. Para petani memahami bahwa dampak positif penerapan terasering dan penghijauan pada lahan kering akan dirasakan juga oleh masyarakat hilir (perkotaan).

0 20 40 60 80 100 120 P1 P2 P1 P2 AG AG LP LP

Pernyataan dan Jenis responden

% R es p on d en Ya Tidak

(27)

6.2.2. Besaran nilai WTA dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya

Guna mengetahui hubungan atau keterkaitan antara kharakteristik responden dengan kemauan untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan pertanian digunakan analisis korelasi. Hasil analisis korelasi untuk petani padi sawah dan lahan kering masing-masing disajikan pada Tabel 31 dan Tabel 32. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah mempunyai hubungan yang erat dengan luas sawah, pendapatan, pendidikan dan untung-tidaknya berusahatani. Tanda koefisien korelasi yang negatif untuk peubah luas sawah, pendapatan dan kondisi menguntungkan

(dummy) dapat diartikan bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah akan

semakin kecil apabila sawah garapannya relatif luas, pendapatannya tinggi atau usahatani padi tersebut menguntungkan petani. Dengan perkataan lain petani padi sawah tidak akan menuntut atau mengharapkan pembayaran jasa lingkungan apabila lahannya cukup luas, pendapatannya tinggi dan usahatani padi tersebut menguntungkan.

Sebaran nilai WTA petani lahan kering mempunyai korelasi yang erat dengan luas lahan kering, jumlah anggota keluarga dan penerapan teknik KTA teras bangku (dummy). Semua tanda koefisien korelasi tersebut negatif yang dapat diartikan bahwa besaran nilai WTA petani lahan kering akan menurun apabila lahan kering garapannya luas, jumlah anggota keluarganya banyak, dan petani sudah menerapkan tekni KTA berupa teras bangku. Kelangkaan tenaga kerja pada usahatani lahan kering sangat dirasakan oleh petani sehingga keberadaan tenaga kerja keluarga sangat diperlukan. Petani lahan kering yang sudah menerapkan teras bangku mempunyai persepsi tidak akan memperoleh bantuan lagi, itulah yang menyebabkan nilai WTA mereka relatif lebih kecil dibanding WTA petani lainnya.

(28)

Tabel 31. Koefisien korelasi besaran WTA petani padi sawah dengan beberapa variabel yang dianalisis

Variabel ρ

t-Hitung/

p_value Keterangan 1. P1 (Persepsi) -0,0378 -0,288 Korelasi Spearman

2. P2 (Persepsi) -0,0263 -0,200 Korelasi Spearman

3. P3 (Persepsi) 0,0338 0,258 Korelasi Spearman

4. Untung (dummy) -0,3475 -2,822 *) Korelasi Spearman

5. Ada pekerjaan lain 0,0951 0,728

6. Umur -0,0202 0,8783 Korelasi Pearson 7. Tingkat pendidikan 0,0105 0,0800 +) Korelasi Pearson 8. Luas sawah -0,4511 0,0003 +) Korelasi Pearson 9. Luas sawah2 -0,3814 0,0025 +) Korelasi Pearson 10. Pendapatan -0,5964 0,0001 +) Korelasi Pearson Catatan : *) nyata pada taraf α 10%, +) p_value

Tabel 32. Koefisien korelasi antara besaran WTA petani lahan kering dengan beberapa variabel yang dianalisis

Variabel ρ

t-Hitung/

p_value Keterangan

1. D_TP (dummy ) 0,1059 0,910 Korelasi Spearman

2. D_TB (dummy ) -0,1712 -1,484 *) Korelasi Spearman

3. Untung (dummy) -0,0803 -0,688 Korelasi Spearman

4. Ada pekerjaan lain 0,0369 0,316 Korelasi Spearman

5. Luas lahan kering -0,4321 0,0001 +) Korelasi Pearson 6. Luas lahan2 -0,3213 0,0049 +) Korelasi Pearson 7. Umur 0,0084 0,9427 Korelasi Pearson 7. Pendidikan -0,0558 0,6339 +) Korelasi Pearson 8. Jumlah anggota keluarga -0,3451 0,0026 +) Korelasi Pearson 9. Pendapatan -0,1488 0,2075 +) Korelasi Pearson

Catatan : *) nyata pada taraf α 10%, +) p_value 6.2.3. Persamaan regresi fungsi WTA

Secara parsial telah diketahui bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah berkorelasi nyata dengan luas sawah garapan, pendapatan dan keuntungan usahatani padi tersebut. Kemudian WTA petani lahan kering berkorelasi nyata dengan luas lahan garapan, dummy penerapan teras bangku, dan ukuran

(29)

keluarga. Selanjutnya untuk mengetahui model dugaan fungsi WTA atas beberapa kharakteristik petani tersebut dilakukan analisis regresi berganda secara terpisah antara petani padi sawah dan petani lahan kering. Analisis regresi berganda didahului dengan eksplorasi data melalui pendekatan diagram sebaran data.

Petani padi sawah

Diagram sebaran data WTA berdasarkan luas sawah dan pendapataan disajikan masing-masing pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Berdasarkan diagram tersebut dapat diperkirakan bahwa hubungan antara WTA dengan luas sawah bersifat linear negatif. Selanjutnya untuk menduga fungsi hubungan tersebut dibuat diagram sebaran data WTA berdasarkan kelas luas sawah (Gambar 47). Pengelompokkan luas sawah dilakukan dengan mempertimbangkan nilai statistik deskriptifnya (kisaran, standar deviasi, rata-rata). Berdasarkan diagram tersebut ada kecenderungan bahwa hubungan antara nilai WTA petani padi sawah dengan luas sawah garapannya menyerupai garis lurus dengan arah negatif. Apabila pengaruh faktor-faktor lain dianggap konstan maka sawah garapan seluas 1,5 ha sudah cukup bagi petani untuk berusahatani padi tanpa perlu memperhitungkan atau menuntut pembayaran jasa lingkungan.

Demikian halnya hubungan antara nilai WTA dengan tingkat pendapatan sebagaimana disajikan pada Gambar 48 menunujkkan petani yang berpenghasilan tinggi nilai WTA-nya rendah. Dengan asumsi pengaruh faktor-faktor lain bersifat konstan nilai WTA akan rendah dan menurun apabila pendapatan petani cukup tinggi, yakni lebih dari Rp 12,5 juta/tahun

(30)

2.8 2.8 1.7 0.2 0.3 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 < 0,25 0,25-0,50 0,50 - 0,75 1,0 - 1,5 > 1,5

Luas saw ah (ha)

W T A ( R p ju ta /h a )

Gambar 47. Hubungan antara luas sawah dengan WTA petani

Sesuai dengan hasil analisis korelasi, petani yang usahatani padi sawahnya menguntungkan nilai WTA-nya lebih rendah daripada petani yang usahatani padi sawahnya tidak menguntungkan (merugi). Perbedaan nilai tengah WTA antara kedua kelompok usahatani padi sawah tersebut disajikan pada Gambar 49. Secara statistik perbedaan nilai WTA petani yang usahatani padinya menguntungkan (Rp 1,8 juta/ha) berbeda nyata dengan WTA petani yang usahatani padinya tidak menguntungkan (Rp 3,1 juta/ha) (taraf α 10%).

3.4 1.8 1.5 0.7 0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 < 5 5 - 7,5 7,5 - 10,0 10 - 12,5 > 12,5 Pendapatan (Rp juta/th) W T A ( R p ju ta /h a )

Gambar 48. Hubungan antara pendapatan dengan WTA petani padi sawah Hasil pendugaan model WTA dilakukan dengan analisis regresi berganda (Rumus Persamaan 11) dan hasilnya disajikan pada Lampiran 16. Berdasarkan lampiran tersebut dapat diketahui bahwa pada Model 1 terdapat beberapa

(31)

variabel bebas yang koefisien regresinya tidak berbeda nyata dengan nol, seperti luas lahan, tingkat pendidikan, umur dan jumlah anggota keluarga; padahal beberapa variabel lainnya ada yang sangat nyata, seperti pendapatan dan dummy adanya pekerjaan lain. Demikian juga pada Model 2 dan Model 3 masih ada indikasi yang serupa sebagai akibat gejala multikoliniaritas antar beberapa variabel bebas. 1.8 3.1 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

Menguntungkan Tidak menguntungkan Usahatani Padi W T A ( R p jut a/h a )

Gambar 49. Perbedaan WTA petani padi sawah yang untung dan tidak untung

Berdasarkan hasil regresi Model 3 dan sesuai dengan analisis korelasi maka pendugaan fungsi WTA petani padi sawah hanya terdiri atas empat variabel termasuk intercep, sebagaimana disajikan pada Tabel 33. Keragaman nilai WTA petani padi sawah dapat dijelaskan oleh model kuadratik terhadap luas sawah garapan pada taraf α = 0,0001 dengan R2 sebesar 32,17%. Dalam model tersebut kelima variabel bebas seluruhnya mempunyai kontribusi yang nyata dalam menjelaskan keragaman nilai WTA.

Berdasarkan tanda koefisien regresi variabel luas sawah dapat dinyatakan bahwa besaran WTA akan menurun secara nyata apabila luas sawah garapannya meningkat, kemudian penurunan WTA tersebut akan terkoreksi semakin kecil apabila peningkatan luas sawah semakin besar. Besaran WTA petani juga akan menurun atau rendah apabila usahatani padi sawah itu

(32)

menguntungkan. Kedua hal tersebut masuk akal karena petani dengan lahan garapan sempit relatif lebih sulit memenuhi kebutuhan hidup keluarganya walaupun secara finansial usahatani padi tersebut menguntungkan. Di sisi lain tidak jarang petani padi sawah menghadapi kerugian, baik karena faktor alam, budidaya maupun harga; tetapi kriteria rugi bagi petani juga adalah hasil usahatani tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya karena lahan garapan sempit dan kesempatan kerja terbatas.

Secara diagram model penduga nilai WTA petani padi sawah disajikan pada Gambar 50. Berdasarkan gambar tersebut WTA petani yang usahatani padinya menguntungkan (WTA_U) lebih rendah daripada WTA petani yang usahatani padinya merugi (WTA_R). Arah kurva WTA yang negatif terhadap luas sawah mengindikasikan bahwa jumlah pembayaran jasa lingkungan yang diminta petani akan semakin rendah per satuan luasnya apabila petani menggarap sawah yang relatif luas.

Selanjutnya pada Gambar 51 disajikan proporsi rata-rata besaran WTA petani padi sawah terhadap biaya usahataninya. Biaya usahatani per satuan luas bervariasi sesuai dengan luas sawahnya (Tabel 30). Pada sawah yang relatif sempit biaya usahatani padi sekitar Rp 12,2 juta/ha/th (IP 200%), tetapi biaya usahatani tersebut menurun sampai sekitar Rp 9,1 - Rp 9,6 juta/ha pada lahan sawah yang lebih luas. Biaya usahatani tersebut belum termasuk sewa lahan dan bunga modal. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa besaran WTA petani padi sawah relatif kecil, yakni sekitar 5,5%-24,8% dari total biaya usahataninya.

(33)

Tabel 33. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani padi sawah Analisis sidik ragam

Sumber Jumlah Kuadrat

Keragaman DB Kuadrat Tengah F-value Prob > F

Model 3 47,6856 15,8952 8,852 0,0001 Error 56 100,5527 1,7956

Total terkoreksi 59 148,2383

R2 = 0,3217; Adj. R2 = 0,2853; C.V. = 62,73

Dugaan Galat

Variabel DB parameter baku T-value Prob > |T| INTERSEP 1 4,1556 0,5030 8,262 0,0001 LUAS 1 -3,1199 1,1068 -2,819 0,0067 LUAS2 1 0,7354 0,3661 2,009 0,0494 D_UNTUNG 1 -0,9417 0,4081 -2,308 0,0247

Catatan : Variabel tak bebas adalah WTA

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 0.25 0.50 0.75 1.00 1.25 1.50 1.75 2.00 2.25 2.50 2.75 3.00

Luas saw ah (ha)

R p ju ta /h a WTA_R WTA_U

Gambar 50. Hubungan antara luas sawah (ha) dengan WTA petani yang usahataninya menguntungkan (WTA_R) dan merugikan (WTA_R)

(34)

0 2 4 6 8 10 12 14 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5 1.75 2 2.25 2.5 2.75 3 Luas saw ah (ha)

R p ju ta /h a 0 5 10 15 20 25 30 % Biaya_UST WTA Proporsi (%)

Gambar 51. Proporsi WTA petani padi sawah terhadap biaya usahataninya

Petani lahan kering

Berbeda dengan petani padi sawah, seluruh responden petani lahan kering menginginkan adanya pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian (WTA>0). Hal tersebut terutama apabila mereka diminta untuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahataninya. Teknik konservasi tanah dan air pada lahan kering dapat berupa sistem terasering seperti teras bangku dan teras gulud atau sistem vegetatif, seperti strip rumput.

Berdasarkan pengalaman petani yang sudah menerapkan dan perkiraan petani yang bersedia akan menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada usahatani lahan kering, diperoleh informasi bahwa penerapan sistem teras bangku memerlukan biaya investasi sekitar Rp 4,9 juta/ha pada lahan kering tanaman pangan dan Rp 5,2 juta/ha pada lahan kering tanaman tahunan (Tabel 34). Penerapan teras gulud memerlukan biaya sekitar Rp 4,0 - 4,2 juta/ha dan teknik vegetatif sekitar Rp 2,0 - 3,5 juta/ha. Perbedaan biaya penerapan sistem terasering sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, terutama kemiringan lereng dan kedalaman solum tanah.

(35)

Biaya penerapan teknik konservasi tanah dan air meliputi upah tenaga kerja dan bahan/material. Proporsi biaya upah tenaga kerja sekitar 73%-94% untuk sistem terasering dan 51%-79% untuk sistem vegetatif. Proporsi biaya bahan/material mencapai 6%-27% untuk sistem terasering dan 21%-49% untuk sistem vegetatif. Bahan atau material penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa bambu, kayu, batu, bibit rumput, dan bibit tanaman konservasi. Besaran biaya investasi tersebut menjadi salah satu kendala utama sebagian besar petani untuk menerapkan teknik KTA pada lahan kering.

Selain memerlukan biaya investasi penerapan teknik KTA juga memerlukan biaya pemeliharaan, seperti memperbaiki teras atau guludan dan bangunan terjunan yang rusak, mengembalikan tanah yang terperangkap pada saluran teras, menyulam rumput penguat teras, dan lain-lainnya. Biaya pemeliharaan teknik KTA sekitar Rp 345.000/ha untuk sistem terasering dan Rp 210.000/ha untuk sistem vegetatif. Biaya pemeliharaan tersebut pada umumnya untuk biaya upah tenaga kerja. Sekalipun biaya pemeliharaan tersebut relatif kecil tetapi bagi petani menjadi kendala untuk memelihara komponen teknik KTA, khususnya teras dan rumput penguat teras.

Kedua tolok ukur biaya yang diperlukan dalam penerapan teknik KTA pada lahan kering menjadi acuan untuk melakukan simulasi WTA seandainya para petani tersebut diminta untuk menerapkan teknik KTA, baik sistem terasering maupun vegetatif. Pendugaan WTA petani lahan kering diawali dengan analisis korelasi dan diagram sebaran data.

Sebagaimana hasil analisis korelasi di atas besaran nilai WTA berbanding terbalik dengan luas lahan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang berarti semakin luas lahan garapan, semakin besar pendapatan petani dan semakin banyak anggota keluarga maka besaran nilai WTA akan semakin kecil. Demikian pula petani yang saat ini sudah menerapkan teras bangku besaran

(36)

WTA-nya akan lebih rendah daripada mereka yang belum menerapkannya. Maknanya semakin mandiri petani maka semakin kecil tuntutan imbalan pembayaran jasa lingkungannya.

Tabel 34. Biaya investasi penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan kering berbasis tanaman tahunan dan tanaman pangan semusim, Sub DAS Citarik 2003

Keterangan : HOK = hari orang kerja Sumber: data primer

Sebagai langkah diagnosa gejala multikoliniaritas pada Lampiran 17 dapat diketahui bahwa variabel luas lahan berkorelasi nyata dengan status responden (D_TP atau D-KC), jumlah anggota keluarga, proporsi pendapatan luar usahatani, dan pendapatan. Oleh karena itu dalam pendugaan model WTA petani lahan kering variabel-variabel yang disebutkan terakhir dikeluarkan dari model persamaan regresi.

Berdasarkan diagram data WTA dan luas lahan garapan (Gambar 52) ada kecenderungan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat non-linear,

Tenaga Kerja (TK) Nilai Upah TK Alat & Material Total Biaya Usahatani lahan kering

HOK Rp juta Rp juta Rp juta

A. Agroforestri/kebun campuran 1. Teras bangku 274,6 4,9 0,3 5,2 (%) (94) (6) (100) 2. Teras gulud 187.0 3.1 1.2 4.2 (%) (73) (27) (100) 3. Vegetatif 120,0 1,8 1,7 3,5 (%) (51) (49) (100)

B.Tanaman Pangan Semusim

1. Teras bangku 223,3 4,4 0,5 4,9 ( %) (90) (10) (100) 2. Teras gulud 179.0 3.3 0.7 4.0 (%) (82) (18) (100) 3. Vegetatif 75,0 1,6 0,4 2,0 (%) (79) (21) (100)

(37)

yakni kuadratik. Kemudian berdasarkan tanda dan besaran absolut koefisien regresinya dapat diketahui bahwa besaran nilai WTA akan semakin kecil apabila luas lahan garapan meningkat dan pada luasan lahan tinggi tertentu akan dicapai WTA minimum tetapi kemudian WTA tersebut akan meningkat lagi seiring dengan peningkatan luas lahan garapan.

Demikian juga hubungan antara besaran nilai WTA dengan jumlah anggota keluarga sebagaimana disajikan pada Gambar 53 bersifat tidak linear. Berdasarkan tanda dan besaran koefisien regresinya dapat dinyatakan bahwa nilai WTA pada mulanya meningkat sampai dicapai nilai WTA maksimum pada ukuran keluarga tertentu dan kemudian nilai WTA tersebut menurun kembali seiring dengan peningkatan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan uji nilai tengah besaran nilai WTA petani lahan kering dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 6 berbeda nyata dengan WTA petani yang jumlah keluarganya hanya 2 orang. Hal ini menunjukkan keberadaan tenaga kerja keluarga sangat diperlukan untuk mengelola usahatani lahan kering. Kondisi tersebut ada kaitannya dengan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya lahan kering.

5.4 2.7 3.6 2.8 2.8 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 < 0,50 0,50 - 0,75 0,75 - 1,00 1,00-1,50 >=1,50 Luas garapan (ha/KK)

W T A ( R p ju ta /h a )

Gambar 52. Diagram sebaran data WTA petani lahan kering berdasarkan luas lahan garapannya

(38)

Hasil analisis model regresi berganda fungsi WTA petani lahan kering atas beberapa variabel yang dianalisis disajikan pada Lampiran 18. Model tersebut dapat menjelaskan 43,6% variasi besaran nilai WTA Petani lahan kering. Namun demikian tanda koefisien regresi variabel dumy keuntungan usahatani tidak relevan dan tidak signifikan maka variabel tersebut dikeluarkan dari model.

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 2 3 4 5 6 >6

Ukuran keluarga (orang/KK)

W T A ( R p ju ta /h a )

Gambar 53. Hubungan antara ukuran keluarga dan WTA petani lahan kering Atas dasar pertimbangan itu model dugaan fungsi WTA petani lahan kering dimodifikasi dan hasilnya disajikan pada Tabel 35. Model dugaan tersebut nyata pada α 0,0001 dengan R2 sebesar 43,6%. Pada taraf α 10% ada beberapa variabel dengan koefisien regresi yang nyata atau berpengaruh terhadap variasi model. Variabel-variabel tersebut adalah jenis tanaman (dummy D_TP=1 tanaman pangan dan 0 untuk tanaman perkebunan atau agroforestri), penerapan teras bangku (dummy D_TB=1 untuk yang sudah menerapkan dan 0 untuk lainnya), jumlah anggota keluarga, pendapatan dan luas lahan garapan. Berdasarkan tanda koefisien regresi variabel D_TP yang positif dapat dinyatakan bahwa WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim, -citeris

paribus lebih tinggi daripada petani kebun campuran. Hal itu dapat dikaitkan

dengan intensitas pengelolaan lahan kering tanaman pangan semusim yang relatif lebih tinggi daripada usahatani kebun campuran. Nilai WTA petani yang

(39)

sudah menerapkan teras bangku lebih rendah daripada petani yang belum menerapkannya. Hal ini ada kaitannya dengan harapan petani untuk memperoleh bantuan finansial untuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air, termasuk teras bangku. Tingkat pendidikan petani lahan kering cenderung berpengaruh negatif terhadap besaran WTA (α 15%). Hal ini sangat menarik karena dapat dijadikan indikator bahwa peningkatan pendidikan petani lahan kering akan berperan terhadap perkembangan penerapan teknik konservasi tanah dan air tanpa harus ada bantuan finansial secara penuh dari pemerintah atau pihak lain.

Tabel 35. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani lahan kering Sumber Jumlah Kuadrat

Keragaman DB Kuadrat Tengah F_value Prob > F

Model 10 151,012 15,101 4,947 0,0001 Error 64 195,378 3,053 C Total 74 346,391 R2 = 0,436; C.V. = 40,31 Koefisien Standard

Variable DB Regresi Error T_value Prob > T INTERCEP 1 7,594 1,1799 6,436 0,0001 D_TP 1 1,108 0,4375 2,534 0,0137 D_TB 1 -0,765 0,4577 -1,673 0,0992 PDK 1 -0,135 0,0867 -1,564 0,1228 JML_AK 1 -0,357 0,1418 -2,519 0,0142 D_PKEL 1 -0,552 0,5735 -0,964 0,3386 INCOME 1 0,239 0,1445 1,660 0,1017 INCOME2 1 -0,007 0,0057 -1,295 0,1999 LUAS 1 -4,968 1,2087 -4,110 0,0001 LUAS2 1 1,372 0,4663 2,943 0,0045 Catatan : variabel tak bebas = WTA

Hal yang menarik juga pengaruh luas lahan garapan terhadap nilai WTA petani lahan kering. Tanda negatif koefisien linear variabel luas lahan dengan nilai absolutnya lebih besar daripada koefisien kuadratiknya menunjukkan bahwa

(40)

besaran WTA bergerak menurun dengan cepat sejalan dengan peningkatan luas lahan, tetapi kemudian meningkat kembali pada besaran luas lahan tinggi tertentu. Secara diagram model penduga kuadratik nilai WTA atas variabel luas lahan dengan mengasumsikan pengaruh variabel lain bersifat konstan (citeris

paribus) disajikan pada Gambar 54.

Gambar 54. Hubungan antara luas lahan dan WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (WTA_TP) dan tanaman tahunan (WTA_AG)

WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (WTA_TP) lebih tinggi daripada petani lahan kering berbasis tanaman tahunan (WTA_AG). Pada luas lahan garapan sekitar 1,5 ha nilai WTA petani agroforestri sekitar Rp 1,4 juta/ha dan petani tanaman pangan semusim Rp 2,1 juta/ha. Dikaitkan dengan biaya investasi yang diperlukan untuk menerapkan teknik KTA pada lahan kering nilai WTA petani tersebut sekitar 44%-132% bagi penerapan sistem terasering atau 74%-220% bagi penerapan sistem vegetatif dan kisaran rata-ratanya 56%-165% tergantung pada luas lahannya (Gambar 55). Pada luas lahan garapan antara 1,75-2,0 ha/petani insentif minimal yang dapat menggerakkan petani untuk menerapkan teknik KTA adalah sekitar 45% dan 74% dari kebutuhan biaya investasinya masing-masing dengan sistem terasering (teras bangku atau teras gulud) dan sistem vegetatif. Relatif tingginya proporsi

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 0.1 0.5 0.9 1.3 1.6 1.8 2.0 2.2 2.5 Luas lahan (ha)

R p ju ta /h a WTA_TP WTA_AG

(41)

insentif minimal untuk menerapkan sistem vegetatif ada kaitannya dengan relatif rendahnya investasi untuk penerapan teknik KTA tersebut dan kurang diminati petani karena menanam rumput, sebagai contoh- belum tentu memberikan manfaat langsung bagi petani karena mereka tidak memiliki ternak.

Gambar 55. Nilai WTA petani lahan kering dan biaya investasi penerapan teknik KTA sistem terasering (Biaya_T) dan vegetatif (Biaya_V)

6.2.4. Bentuk dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani

Bentuk insentif yang diharapkan petani sebagai pembayaran jasa lingkunan pertanian cukup beragam. Dalam simulasi WTA ada delapan jenis pembayaran jasa lingkungan pertanian yang sangat diharapkan petani padi sawah agar mereka tetap bertahan sebagai petani (Tabel 36). Empat jenis pembayaran jasa lingkungan yang dominan diharapkan oleh petani adalah berupa bantuan saprodi, jaminan harga gabah, perbaikan sarana irigasi, dan tunjangan khusus bagi petani.

Sarana produksi usahatani padi (saprodi) yang dapat dijadikan sebagai bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian adalah pupuk, obat-obatan, dan benih padi. Mekanismenya dapat berupa penurunan harga beli khusus bagi

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 0.1 0.5 0.9 1.3 1.6 1.8 2 2.2 2.5 Lua lahan (ha)

R p ju ta /h a WTA Biaya_T Biaya_V

(42)

petani sekitar 25-45% dari harga pasar, sedangkan benih padi dapat berupa natura sebanyak 20 kg/ha.

Jaminan harga hasil pertanian, khususnya gabah sangat diharapkan oleh sekitar 30% responden. Para petani mengetahui adanya harga dasar gabah tetapi harga pembelian oleh pedagang gabah selalu lebih rendah daripada harga dasar tersebut. Menurut petani jaminan harga gabah sebaiknya bersifat perbandingan terhadap harga pupuk (misalnya urea) dengan kisaran antara 1,5-2,0 artinya harga 1 kg gabah setara dengan harga 1,5 - 2 kg pupuk urea. Bantuan yang terkait dengan sarana irigasi adalah pengerukan saluran irigasi sekunder dan terssier. Sedangkan tunjangan khusus yang dimaksud petani adalah seperti gaji bagi pegawai. Analogi para petani adalah mereka membantu pemerintah dalam menyediakan bahan makanan bagi masyarakat luas atau penduduk, apalagi usahatani padi juga bermanfaat bagi kelestarian kualitas lingkungan hidup.

Tabel 36. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas pertama yang diharapkan petani padi sawah, Kabupaten Bandung

Bentuk pembayaran jasa lingkungan

Jumlah

responden %

1. Berupa sarana produksi padi 29 48,3

2. Berupa jaminan harga gabah 18 30,0

3. Berupa perbaikan saluran irigasi 3 5,0

4. Berupa tunjangan khusus 3 5,0

5. Berupa alat-mesin pertanian 2 3,3

6. Berupa penghapusan PBB 2 3,3

7. Berupa penyuluhan pertanian 1 1,7

8. Lain-lain 2 3,3

Jumlah 60 100

Sumber : data primer

Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas berikutnya yang diharapkan petani padi sawah ada delapan jenis (Tabel 37). Empat jenis pembayaran jasa lingkungan yang paling umum berupa pelayanan sosial

Gambar

Tabel 28. Koefisien korelasi ( ρ ) WTP dengan beberapa variabel yang dianalisis
Gambar 39. Hubungan antara nilai WTP dengan kerugian   akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005
Gambar 40. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendidikan   responden, Kabupaten Bandung 2005
Gambar 42. Perbedaan nilai WTP kelompok pendapatan tinggi dan rendah   berdasarkan nilai kerugian banjir (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Garvin (Nasution, 2001 : 16) mengemukakan pengertian kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta

Tim peneliti melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus kedua dan menganalisis untuk membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan bantuan media gambar

Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden yang merupakan guru SD di Jakarta menunjukkan bahwa informasi mengenai pencegahan cacingan yang benar belum dimiliki

Pembentukan akar pada tanaman tidak lebih besar dari tajuk, dengan perbandingan akar yang cenderung lebih kecil daripada tajuk dapat memberikan pengaruh yang baik

Ketika peneliti melakukan undian, kertas pertama yang jatuh adalah kelas XI IA 4, dari kelas XI IA 4 jumlah siswanya ada 33 siswa yang beragama Islam, dari 33 siswa tersebut ada 4

Seperti yang dikemukakan oleh calon (dlm monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh

Jika ternyata perolehan nilai swelling dari hasil pengolahan data agregat tempurung kelapa lebih kecil dari rata-rata nilai swelling lempung pada umumnya, maka dapat

Gambar 4.8 menampilkan multi point video conference yang sedang berjalan di Ruangan Jakarta, gambar ini menampilkan bahwa multi point video conference sedang berlangsung pada 3