• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis Ekologis Pengembangan Tambak Udang Analisis Vegetasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis Ekologis Pengembangan Tambak Udang Analisis Vegetasi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis Ekologis Pengembangan Tambak Udang

Analisis ekologi produksi tambak udang mencakup kegiatan analisis vegetasi,

kualitas tanah, biota perairan, sumber air dan kualitas air, pasang surut air laut, agroklimat dan topografi.

6.1.1 Analisis Vegetasi

Pada lima lokasi pengamatan, vegetasi mangrove tingkat semai mendominasi

dengan tingkat kerapatan lebih dari 5%. Jenis yang ditemukan antara lain Hibiscus tilliaceus, Aegiceras corniculatum, Heritiera littoralis, Xylocarpus granatum dan Rhizopora mucronata. Luas areal mangrove untuk masing-masing desa yaitu

Karanganyar 550 m2, Gedangan 350 m2, Jatikontal 500 m2, Jatimalang 300 m2 dan Jogoboyo tidak ditemukan vegetasi mangrove. Ditinjau luas mangrove kelima desa kurang dari 20% luas areal tambak 78 ha. Di luar lokasi pengamatan yaitu Desa Pasir Mendit (DIY) 1 km ke arah timur Jogoboyo ditemukan Green Belt (Jalur hijau) di

sempadan Sungai Lereng Pantai seluas 83 ha dan Desa Keburuhan (Kecamatan Ngombol) 1,5 km ke arah barat dari Desa Jatimalang seluas 51 ha. Untuk memelihara kesuburan tambak diperlukan luas mangrove (Rhizopora) dua kali luas tambak

(Chowdhury et al. 2000). Indeks Shanon semua tingkatan pohon pada semua lokasi

di bawah 1, kecuali tingkat pancang pantai Desa Jatikontal mempunyai nilai 1,09 artinya tingkat keragaman rendah.

Jenis mangrove tingkat pancang, tiang dan pohon di lima lokasi mengalami kerusakan karena pengetahuan penduduk masih rendah mengenai fungsi mangrove. Jenis mangrove banyak ditebang untuk kayu bakar, dan penanaman di sekitar tambak digantikan palawija dan kelapa. Pada semua lokasi ditemukan Rhizopora mucronata,

mengindikasikan bahwa jenis mangrove ini sesuai dengan kondisi tanah pada lokasi pengamatan.

Di desa Karanganyar dan Jatimalang ditemukan jenis jeruju (Acanthus illicifolius). Bengen (2004) mengemukakan bahwa jeruju tumbuh di substrat lunak

(2)

6.1.2 Kualitas Tanah

Afrianto (1991) mengemukakan bahwa untuk menentukan jenis atau kualitas tanah untuk tambak, minimal diperlukan tujuh contoh tanah untuk setiap hektar lahan yang diambil dari kedalaman 50 cm, sedangkan untuk menentukan jenis dan kualitas tanah pada tambak yang sudah jadi, diperlukan 12 contoh tanah per hektar yang diambil dari kedalaman 5 cm.

Area dataran alluvial yang diamati umumnya bertekstur lempungan (clay),

sebagian bertekstur lempung debuan atau lempung liat (silty clay) dan lempung

berpasir. Tanah tersebut mempunyai pH agak asam-netral (5,2-7,7), daya hantar listrik/DHL rendah sampai sedang (26,3-290 µmhos/cm). Kadar C antara 0,51-2,48% kurang memenuhi standar baku (4-20%), kadar N antara 0,04-0,19% juga kurang memenuhi standar baku (4-7%) dan didapatkan tingkat rasio C/N kurang dari 20 (11-14). Kandungan Sulfur (S) 0,04-0,78% memenuhi standar baku (<2%), kandungan Fe 5,98-8,37 mg/l dan kandungan pirit 0,1-1,46% memenuhi standar baku (<2%). Kondisi tanah agak salin. Tanah lempungan sangat sesuai untuk dibuat pematang dan baik untuk tambak penampung air. Pematang mudah dibuat dan air tidak mudah merembes ke samping atau ke bawah. Kenyataan di lapangan, pematang tambak mudah bocor karena tanah pematang digunakan untuk sarang hama (kepiting dan sidat).

6.1.3 Biota Perairan 6.1.3.1 Phytoplankton

Berdasar hasil identifikasi, kondisi perairan laut di Desa Jatikontal mempunyai kelimpahan phytoplankton tertinggi, kemudian berturut-turut Desa Gedangan, Jogoboyo, Jatimalang dan Karanganyar. Sedang kondisi perairan sungai di Desa Jatikontal mempunyai kelimpahan phytoplankton tertinggi, kemudian berturut-turut Desa Jatimalang, Gedangan, Jogoboyo dan Karanganyar.

Phytoplankton dari kelas Bacillariophyceae ditemukan dalam jumlah banyak. Plankton dari kelas ini sangat baik untuk pakan udang baik udang windu maupun vannamei karena mengandung β-carotene, diadinoxanthin, fucosanthin, vitamin B12;

(3)

B6; B1; Biotin; Folat; Ribovlavin dan Panthothenat (Borowitzka and Borowitzka 1992).

Kondisi perairan di semua stasiun memiliki kualitas air yang baik. Penilaian berdasar indeks diatom sebesar 0,4–2,3. Tapi perlu diwaspadai kelimpahan beberapa jenis Dinoflagellata di beberapa stasiun, karena kelompok ini berpotensi untuk mengeluarkan substansi toksik (Pratiwi 2000).

Di semua stasiun ditemukan Dinoflagellata jenis Peridinium dengan laju reproduksi tinggi yaitu dengan pembelahan sel. Masa penggandaan (doubling time)

Peridinium berkisar 10 sampai 50 jam dan untuk Ceratium sp. maksimum 48 jam.

Jenis Dinoflagellata ini mempunyai arti penting bagi perikanan sebagai sumber makanan ( Basmi 2000)

Secara umum semua stasiun baik perairan sungai maupun laut mempunyai indeks keanekaragaman dalam kategori sedang (H1 antara 1-3) yaitu berkisar antara 0,66–1,60. Pada perairan laut Desa Jatimalang mempunyai nilai H1 =0,77 dan perairan laut Desa Karanganyar mempunyai nilai H1 = 0,66. Kondisi ini merupakan indikator komunitas rentan terhadap pengaruh lingkungan yang relatif kecil.

Nilai indeks keseragaman (eveness) secara umum untuk semua stasiun baik perairan laut dan sungai agak mendekati 0, berkisar antara 0,24-0,82. Hal ini menunjukkan keseragaman antar spesies di dalam komunitas agak rendah, dan megindikasikan komunitas kurang stabil.

Nilai indeks dominansi secara umum untuk semua stasiun baik perairan laut maupun sungai berkisar antara 0,23-0,66 (kurang mendekati 0). Hal ini menunjukkan strutur komunitas yang agak labil.

Asterionella sp. ditemukan pada semua stasiun merupakan organisme β

-mesosaprobik dengan nilai indikator 2 (indikator perairan terpolusi sedang). Berdasar parameter fitoplankton dominan Dinophyceae dan Bacillariophyceae, secara umum perairan pada lokasi studi termasuk kelompok mesotrofik (tingkat kesuburan sedang). Pada perairan sungai Desa Jogoboyo dan Desa Karanganyar ditemukan

Trichodesmodium sp. Peranan penting pada ekosistem perairan tidak saja berfungsi

(4)

mampu mengikat gas Nitrogen (N2) langsung dari atmosfir membentuk zat dapat

digunakan organisme perairan, sehingga merupakan masukan nitrogen yang bermakna dalam daur hara (nutrien cycle) di perairan (Nontji 2006). Tetapi pada saat

tertentu tumbuh meledak (blooming) hingga mengubah warna permukaan air menjadi kecoklatan, kuning hingga merah. Hal ini dikendalikan oleh cuaca atau musim, yang menunjukkan kombinasi peran kekuatan angin yang rendah, tutupan awan minimal dan suhu lingkungan hangat. Di Indonesia terjadi pada musim pancaroba atau musim peralihan dimana angin lemah dan perairan tenang.

6.1.3.2 Zooplankton

Berdasar hasil identifikasi, kondisi perairan laut di Desa Jatikontal mempunyai kelimpahan zooplankton tertinggi, kemudian berturut-turut Gedangan, Jogoboyo, Jatimalang dan Karanganyar. Sedang kondisi perairan sungai Desa Jatikontal mempunyai kelimpahan tertinggi, kemudian berturut-turut Desa Jogoboyo, Jatimalang, Gedangan dan Karanganyar.

Secara umum semua stasiun baik perairan sungai maupun laut mempunyai indeks keanekaragaman kategori sedang (H1 antara 1-3) yaitu berkisar antara 1,08– 1,59 kecuali perairan sungai Desa Jogoboyo H1 mendekati 1 (0,9) dan perairan di sungai di Desa Karanganyar 0,56. Basmi (2000) mengemukakan bahwa kondisi komunitas moderat (sedang) adalah kondisi komunitas mudah berubah hanya dengan mengalami pengaruh lingkungan relatif kecil. Misalkan saat komunitas biota pada konsentrasi aman maksimum dengan meningkat sedikit saja konsentrasi polutan, maka terjadi perubahan struktur komunitas yang ekstrim mengarah kepada indeks keanekaragaman tidak stabil (H1<1). Sebaliknya, bila ada hujan sehingga terjadi pengenceran media, maka komunitas biota lebih harmonis berkembang biak normal dan akan menghasilkan perubahan struktur komunitas ke arah indeks keanekaragaman lebih tinggi dari semula. Jika dihubungkan dengan tingkat kesuburan perairan kondisi tersebut kategori perairan mesotrofik (kesuburan sedang). Nilai indeks keseragaman (eveness) secara umum untuk semua stasiun baik perairan laut dan sungai mendekati 1, yaitu berkisar antara 0,81–1,0. Pada kisaran ini

(5)

menunjukkan keseragaman antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama, perbedaan tidak menyolok (Bengen 2000). Bila dihubungkan dengan kondisi komunitas dan lingkungan menunjukkan bahwa komunitas keadaan stabil, jumlah individu antar spesies relatif sama. Hal ini menunjukkan kondisi habitat dihuni relatif serasi (baik) untuk pertumbuhan dan perkembangan masing-masing spesies.

Nilai indeks dominansi secara umum untuk semua stasiun baik perairan laut maupun sungai mendekati 0, berkisar antara 0,19–0,62. Hal ini menunjukkan struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies ekstrim mendominasi spesies lain berarti komunitas stabil, kondisi lingkungan prima, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di habitat bersangkutan.

Spesies Branchionus sp. ditemukan di Gedangan pada perairan sungai. Branchionus sp. merupakan anggota rotifera indikator tingkat kesuburan (trophic level) alami, merupakan spesies di perairan bersih. Brachionus sp. mempuyai nilai

ekonomi. Zooplankton jenis ini biasa digunakan sebagai pakan larva udang tawar dan

laut, larva dan post larva Bivalvia, serta Artemia (Liao et al. dalam Vey 2000).

6.1.4 Sumber Air

Laut sumber utama pemasok air bagi tambak air payau. Meskipun beberapa jenis

udang tumbuh normal di air laut (bersalinitas tinggi), tetapi jenis tertentu seperti udang windu dan udang vanname menunjukkan pertumbuhan lebih baik di air payau. Hal ini menyebabkan pertambakan dibangun di kawasan pantai dekat sungai yang dapat memasok air tawar sepanjang tahun, untuk mengendalikan salinitas diperlukan. Gambar 18 merupakan unit pertambakan lokasi pengamatan.

(6)

Gambar 18 Unit pertambakan pada lokasi pengamatan Keterangan :

= Arah aliran air

= Area pertambakan Daerah Istimewa Yogyakarta = Area pertambakan Jogoboyo, belum ada tambak

= Area pertambakan Karanganyar = Area pertambakan Gedangan = Area pertambakan Jatikontal = Area Pertambakan Jatimalang

Sungai Bogowonto

Sungai Jali

Saluran pembuangan

Muara Sungai Jali (Cokroyasan)

Laut

(Samudra Indonesia)

Muara Sungai Bogowonto (Pantai Congot DIY) Sungai Lereng Pantai

Anak Sungai Lereng Pantai

U

= Green Belt (Jalur Hijau) desa Pasir Mendit (Daerah Istimewa Yogyakarta

(7)

. Sumber air tawar berasal dari Sungai Bogowonto, dari muara sungai mengalir sejajar sepanjang pantai yaitu Sungai Lereng Pantai yang berakhir pada Sungai Jali (Cokroyasan). Lebar Sungai Lereng Pantai rata-rata 21 meter, kedalaman rata-rata 3 meter dan debit air rata-rata 0,83 meter3/detik. Kedalaman sungai/dasar saluran lebih rendah dari garis surut pantai sehingga saluran selalu terisi air dan pengambilan air bisa dilakukan setiap saat. Debit air sungai memenuhi standar diantara 0,6-1 meter3/detik. Kebutuhan air dipasok secara langsung dari muara sungai, kemudian untuk ke lokasi tambak melalui Sungai Lereng Pantai memanjang sejajar garis pantai untuk desa Karanganyar, Gedangan, Jatikontal dan Jatimalang. Untuk desa Jogoboyo sumber air diperoleh dari Sungai Lereng Pantai sejajar laut atau Sungai Lereng Pantai sejajar Sungai Bogowonto. Air Sungai Lereng Pantai bersifat payau. Saluran air di Desa Gedangan belum ada pemisahan antara air yang masuk dan keluar tambak. Curah hujan menentukan bulan basah dan kering. Suseno (1988) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup baik untuk tambak antara 2000-3000 mm/th dengan bulan kering 2-3 bulan. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk tambak karena pengelolaan tambak memerlukan pengeringan dasar tambak secara berkala untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik dan menghilangkan bahan beracun seperti H2S.

Sebaliknya curah hujan terlalu rendah dan bulan kering terlalu panjang kurang baik untuk pertambakan.

Keadaan curah hujan di Kabupaten Purworejo tertinggi pada bulan Oktober mencapai 1.007 mm/bulan. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli s/d bulan September. Variasi curah hujan rata-rata di Kabupaten Purworejo antara 1400 s/d 3600 mm/tahun. Curah hujan di kawasan pesisir rata-rata sebanyak 1382 milimeter dengan 16 hari hujan pada bulan Desember. Untuk budidaya tambak curah hujan tersebut termasuk rendah sehingga kondisi perairan di daerah studi ketersediaan air tawar relatif kurang. Bulan kering dengan curah hujan kurang 60 mm cukup singkat yaitu pada bulan Juli dan Agustus. Kondisi curah hujan tersebut sangat berpengaruh dengan kebutuhan air tawar yang dimasukkan ke tambak. Kondisi curah hujan demikian, petani tambak harus mengatur pola tanam (masa tanam dan panen), yaitu

(8)

musim tanam I pada bulan Maret s/d Juni dan musim tanam II pada bulan Nopember s/d Pebruari. Pengeringan tambak dilakukan pada bulan Juli s/d Oktober.

Terjadi luapan air (bembeng) selama 3 bulan ( bulan Juli s/d Oktober) pada muara Sungai Bogowonto diatasi dengan pemasangan plat dari batu untuk memperlancar lalu lintas air, sehingga luapan air pada pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi. Musim tanam tahap II bisa dimulai bulan September.

6.1.5 Kualitas Air

Desa Jogoboyo, salinitas rendah pada stasiun II (anak Sungai Lereng Pantai) berkisar 5-8‰ menunjukkan bahwa anak Sungai Lereng Pantai dominan dipengaruhi ekosistem air tawar, demikian juga air tanah (sumur) berkisar antara 11–16‰. Kadar nitrit stasiun III (air sumur) di atas nilai ambang batas. Park (2002) menyatakan bahwa kadar nitrit yang tinggi disebabkan rasio C/N rendah sehingga tidak ideal untuk dekomposisi maksimum dan terjadi pembebasan nitrogen mineral dari sisa organik di atas jumlah dibutuhkan untuk sintesis mikroba. Pada kondisi demikian mineralisasi jauh melampui immobilisasi cenderung menuju akumulasi nitrogen dalam bentuk amonium, nitrit dan nitrat. Kadar NH3 0,1 mg/l–0,52 mg/l, di atas nilai

ambang batas kehidupan udang. Menurut Muthuvan dalam Thakur (2003) menyatakan bahwa nitogen berlebihan menyebabkan ammonia dan nitrit tinggi merupakan racun pada udang. pH air sumur 6,4-7,8 sedikit dibawah nilai ambang batas (7,5-8,7). Kecerahan tinggi pada stasiun I (air laut) diatas nilai ambang batas (30–40 cm), dipengaruhi tingkat kekeruhan rendah. Kandungan H2S pada semua

stasiun mendominasi, sedikit di atas nilai ambang batas (> 0,1) terutama stasiun II (anak Sungai Lereng Pantai) dan stasiun III (air sumur). Hal ini dipengaruhi kapasitas penyangga (alkalinitas) rendah. Faktor lain disebabkan kadar nitrit di atas ambang batas sebagai faktor pembentuk H2S. Akalinitas stasiun II (anak Sungai Lereng

Pantai) rendah yaitu berkisar 2.494–6.384 di bawah nilai ambang baku (80–120), hal ini dipengaruhi sumber air sungai merupakan anak cabang Sungai Lereng Pantai yang lebih dekat ke darat, sehingga pengaruh ekosistem darat lebih besar daripada

(9)

ekosisitem laut yang mempunyai alkalinitas lebih tinggi. Disamping itu letak desa Jogoboyo lebih jauh dari bibir pantai dibanding keempat desa lain.

Kualitas sumber air di Desa Karanganyar, Gedangan dan Jatikontal diketahui dari 3 titik, yaitu air laut, anak Sungai Lereng Pantai dan sumber air tanah (sumur). Secara umum, kualitas air di daerah studi memenuhi standar baku mutu budidaya udang.

Kualitas sumber air di Desa Jatimalang diketahui dari 2 titik, yaitu air laut dan Sungai Lereng Pantai. Kecerahan stasiun I (air laut) berkisar antara 84–91 cm, lebih tinggi dari nilai ambang batas (30–40cm), hal ini berkaitan kadar nitrit rendah. Salinitas pada stasiun II (Sungai Lereng Pantai) berkisar antara 7–13‰, lebih rendah dari nilai ambang batas (15–25‰), hal ini menunjukkan air sungai banyak dipengaruhi ekosistem darat. Nilai pH pada stasiun II (Sungai Lereng Pantai) berkisar 4,2 – 6,2 lebih rendah dari nilai ambang batas (7,5–8,5), dipengaruhi kondisi perairan stasiun II (Sungai Lereng Pantai) dengan kadar H2S berkisar antara 0,153– 0,444 mg/l

dan pada stasiun I (air laut) berkisar antara 0,086–0,392 mg/l, di atas nilai ambang batas (<0,1). Di lokasi studi ditemukan nipah (Nypa fruticans) sebagai indikator

lingkungan pH rendah, kadar Fe tinggi. Pada Stasiun I (air laut) kadar Fe berkisar 0,003–0,05 mg/l dan pada II (Sungai Lereng Pantai) kadar Fe 1,01 mg/l–1,07 mg/l, lebih tinggi dari nilai ambang batas (0-0,03 mg/l). Kadar Fe tinggi dipengaruhi kadar besi pantai yang tinggi (pasir besi). Kadar NH3 0,02 mg/l–0,34 mg/l di atas nilai

ambang batas (0,3 mg /l).

6.1.6 Pasang Surut Air Laut

Pasang surut air laut muara Sungai Bogowonto pada musim kemarau diketahui rata-rata elevasi muka air tinggi 136 cm, rata-rata elevasi muka air laut 70,31 cm dan rata-rata elevasi muka air rendah adalah 6,15 cm. Pada musim penghujan diketahui rata-rata elevasi muka air tinggi 137,12 cm, rata-rata elevasi muka air laut 68,18 cm dan rata-rata elevasi muka air rendah adalah 5 cm. Pada Muara Sungai Jali (Cokroyasan) musim kemarau diketahui rata-rata elevasi muka air tinggi 173,54 cm, rata-rata elevasi muka air laut 88,04 cm dan rata-rata elevasi muka air rendah 8,37

(10)

cm. Pada musim penghujan diketahui rata-rata elevasi muka air tinggi 193,89 cm, rata-rata elevasi muka air laut 118,96 cm dan rata-rata elevasi muka air rendah 53,11 cm. Afrianto (1991) mengemukakan bahwa fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi syarat pembuatan tambak adalah antara 2-3 meter. Bila fluktuasi pasang surut air di suatu tempat berkisar antara 3-4 meter atau 1-2 meter, lahan tersebut masih cukup baik untuk dijadikan tambak. Dengan fluktuasi pasang surut demikian, pengisian dan pengeringan tambak harus dilakukan dengan pompa untuk membantu mengalirkan air dari dan ke dalam tambak. Pada lokasi pengamatan ketinggian air dalam kolam tambak antara 50-80 cm dan ketinggian tanggul 1,5 meter.

Pasang surut air laut menentukan pasang surut air Sungai Bogowonto, Cokroyasan, Wawar dan Sungai Lereng Pantai. Data pasang surut air laut atau air sungai menentukan potensi sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya tambak.

Fluktuasi pasang surut pada kedua stasiun pengamatan relatif rendah, menyebabkan daerah genangan terbatas dan salinitas rendah. Pasang surut di pesisir Purworejo umumnya bersifat diurnal.

6.1.7 Agroklimat dan Topografi

Letak Kabupaten Purworejo di selatan garis katulistiwa sehingga memiliki

iklim tropis dimana terjadi musim kemarau dan penghujan sepanjang tahun. Kabupaten Purworejo beriklim tropis basah dengan suhu antara 19oC-28oC, temperatur rata-rata tertinggi 27,7oC, kelembaban udara antara 60-75%. Kelembaban tertinggi bulan Oktober-Nopember, kelembaban terendah terjadi bulan Desember. Pada musim barat yaitu bulan Desember sampai bulan Maret suhu muka laut berkisar 28oC-30oC, pada musim timur bulan Juni sampai Oktober suhu muka air laut berkisar antara 26oC-28oC. Pada musim peralihan timur ke barat yaitu bulan Oktober suhu muka air laut berkisar 28oC dan musim peralihan barat ke timur pada bulan Maret suhu muka laut berkisar 29,5oC.

(11)

Afrianto (1991) mengemukakan bahwa suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan udang. Perubahan temperatur lingkungan sebesar 5oC terjadi tiba-tiba menimbulkan stres dan kematian udang. Disamping itu perbedaan suhu udara dan air terlalu tinggi mengakibatkan stratifikasi suhu di dalam air, terutama di bagian dalam, sehingga menghambat distribusi oksigen ke seluruh bagian tambak. Udang tumbuh baik pada suhu lingkungan 25 s/d 32oC. Suhu udara baik pada lingkungan maupun pada muka air laut berkisar sesuai kebutuhan udang.

Angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 11 knot terjadi bulan April sampai Nopember, sedang kecepatan rata-rata bulanan 300-400 mil per hari. Evaporasi bulanan di Kabupaten Purworejo berkisar 61,3 mm per bulan terjadi pada bulan Desember hingga 115,0 mm per bulan terjadi pada bulan Juni. Afrianto (1991) mengemukakan bahwa data angin untuk menentukan bentuk dan arah petakan tambak. Jika keadaan memungkinkan, petakan tambak dibangun sejajar arah angin.

Topografi lahan pasang surut pada lokasi pengamatan rata, tidak bergelombang dan berbukit sehingga tidak memerlukan pemapasan dan penimbunan tanah. Elevasi tanah termasuk landai memenuhi syarat bagi pembangunan tambak.

Ketinggian atau elevasi pada lokasi pengamatan antara 70-90 cm berada diantara MHWL dan LLWL. Menurut Purnomo (1997) lokasi tambak dengan elevasi diantara MHWL dan LLWL merupakan kawasan intertidal dengan tipe lahan mangrove dan rawa, tipe tanah berpotensi asam sulfat (pirit tinggi) kadang-kadang bergambut, biaya kontruksi tambak ekstensif rendah. Karena elevasi lahan intertidal masih lebih rendah dari rataan pasang tertinggi, maka air mudah dipasok ke tambak secara gravitasi selama waktu pasang tinggi tanpa atau menggunakan pompa minimal bila diperlukan. Hal ini perlu diperhatikan untuk penerapan teknologi budidaya ekstensif atau semi intensif.

6.2 Prakiraan Luasan Tambak

Hasil analisis ekologi menunjukkan lokasi yang layak untuk budidaya tambak udang windu maupun vannamei yaitu desa Karanganyar, Gedangan dan Jatikontal.

(12)

Desa Karanganyar dan Gedangan mendapatkan suplai air dari anak Sungai Lereng, sedangkan desa Jatikontal mendapatkan suplai air dari Sungai Lereng secara langsung. Prakiraan luasan tambak untuk ketiga desa 78 hektar, untuk desa Karanganyar 22,5 hektar (50% dari luas lahan 45 hektar), Gedangan 18 hektar (50% dari luas lahan 36 hektar) dan Jatikontal 37 hektar (50% dari luas lahan 74 hektar). Rencana pengembangan tambak ekstensif dan semi intensif seluas 197 hektar di kecamatan Purwodadi, berdasar kesesuaian dalam prakiraan di atas dapat terpenuhi 39,5%.

6.3 Analisis Produksi Udang

6.3.1 Analisis Produksi Udang Windu

Tabel 23 adalah hasil analisis budidaya udang windu dengan teknologi semi

intensif berdasarkan penelitian Kamiso (2004) di tambak Desa Karanganyar.

Tabel 23 Analisis usaha budidaya udang windu dalam tambak dengan teknologi semi intensif.

No. Uraian Biaya

1 Biaya Tetap

a. Sewa tambak/ha/musim b. Kontruksi

- Pintu air 1 buah - Pematang 400 m - Tenaga Jumlah Rp 2.500.000,00 Rp 200.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 250.000,00 Rp 1.950.000,00 Umur kontruksi diperkirakan 5 musim, sehingga

Biaya per musim

Jumlah biaya tetap Rp 390.000,00 Rp. 2.890.000,00

2 Biaya Variabel

a. Bibit udang 6 ekor / m2, @ Rp 40

b. Pakan pelet 768 Kg, @ Rp 5.000 c. Tenaga (perawatan) 3 bulan d. Pupuk / obat-obatan Jumlah Rp. 2.400.000,00 Rp. 3.840.000,00 Rp. 450.000,00 Rp. 6.890.000,00

3 Jumlah modal usaha Rp. 9.780.000,00

4 Penerimaan

Produksi udang (size 50) 480 Kg, @ Rp 40.000 Rp.19.200.000,00

5 Keuntungan (Penerimaan-Modal Usaha) Rp. 9.420.000,00

6 B-C Ratio 1,96 %

7 ROI (Return on invesment) 96.32 %

8 BEP (Break event point) Rp.6.940.699,00

(13)

6.3.2 Analisis Produksi Udang Vannamei Sistem Intensif

Usaha budidaya udang vanname dalam analisis usaha ini dilakukan di Desa Karanganyar Kecamatan Purwodadi, kerjasama Kelompok Pembudidaya Ikan Windu Mukti dengan SMK Kelautan Purworejo.

1). Luas lahan : 3.000 m2 2). Padat penebaran : 150 ekor / m2

3). Jumlah benur : 450.000 ekor @ Rp.33

4). SR : 85%

5). Hasil panen : 382.500 eko

6). Ukuran : 70 g

7). Tonase : 5.465 kg

8). FCR : 1,5

9). Kebutuhan pakan : 8.198 kg@ Rp 8.000 10). Harga jual udang : Rp. 27.000 / kg

A Biaya

1.Modal investasi (3.000 m2) : sewa tanah (per tahun),

pembuatan kolam, rumah jaga, instalasi air, saluran, pompa,

dan prasarana lain... Rp. 2.000.000,00 2. Penyusutan modal investasi (10%x modal investasi)... Rp. 3. 800.000,00 3. Biaya operasional (benur, pakan, tenaga kerja, listrik dll)...Rp 92.134.000,00 4. Biaya total (biaya tetap+biaya operasional)... Rp.133.934.000,00

B Penerimaan dan Laba

1. Penerimaan (volume produksi x harga jual)...Rp.147.555.000,00 2. Laba :

- laba operasional (penerimaan-biaya operasional)...Rp. 55.421.000,00 - laba per siklus (penerimaan-biaya total)...Rp. 13.621.000,00 - laba per tahun (laba per siklus x 3 periode)...Rp. 40.863.000,00

(14)

C Analisis Kelayakan Usaha

1. Cash flow (laba bersih per tahun + modal investasi)...Rp. 78.863.000,00 2. Rentabilitas ekonomi (laba operasional / modal investasi +

biaya biaya operasional)………... 42,58 % (>24 %) 3. B/C ratio (penerimaam / biaya total)………... Rp.133.934.000,00 4. Payback period (modal investasi + biaya operasional /

cash flow)………. 1,65 tahun 5. Break event point (biaya total / jumlah produksi) ………Rp. 24.507,00 (Sumber : Sutoyo 2004)

Berdasarkan analisis usaha tambak udang windu dan vannamei layak untuk

dibudidayakan sehingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Purworejo.

6.4 Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir

Rencana pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Purworejo untuk sub

Kawasan Bahari Terpadu Pasar Anom di Kecamatan Grabag adalah pengembangan agromarin dan konservasi jalur hijau (Green Belt). Berdasarkan analisis kelayakan

ekologi, tiga desa yaitu Karanganyar, Gedangan dan Jatikontal di Kecamatan Purwodadi memenuhi standar kehidupan udang windu maupun vannamei untuk tambak ekstensif dan semi intensif. Berdasarkan hasil analisis maka prioritas konservasi jalur hijau di sempadan pantai mulai dari muara sungai Bogowonto sampai dengan muara Sungai Jali dan di sempadan Sungai Lereng Pantai. Penanaman pohon mangrove yang adaptif yaitu Rhizopora mucronata dan jenis lain yang

memungkinkan. Jeruju (Acanthus illicifolius) banyak ditemukan di Karanganyar dan

Jatimalang. Jenis ini merupakan tanaman obat dengan dibuat teh, bermanfaat sebagai obat cacing dan sakit perut. Daun, akar dan biji Acanthus mengandung saponin, flavonoida, alkaloid dan polifenot, sehingga masyarakat dapat membudidayakan dan memanfaatkan untuk meningkatkan penghasilan.

Gambar

Gambar 18 Unit pertambakan pada lokasi pengamatan   Keterangan :

Referensi

Dokumen terkait

Namun, karena tahapan dan kondisi pengujian untuk media kontrol dan perlakuan dibuat sama, kolesterol yang terbuang pada keduanya diasumsikan sama, sehingga

Faktor fisik-kimia perairan juga sangat berpengaruh terhadap indeks keanekaragaman (H’), dimana pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol sehingga kondisi fisik-kimia

Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Peradilan Agama Di Indonesia&#34;, Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 2017.. &#34;NILAI BUDAYA PADA LIRIK LAGU BERBAHASA REJANG

Comparative Study of a Pre and Post Clinical Pathway based on Activity based. Costing for Cesarean Section Undata Hospital

Buku ini berisi prosedur-prosedur ketrampilan yang harus dilakukan dan dicapai pada kegiatan Praktek Klinik Keperawatan Gerontik yang nantinya juga dapat digunakan sebagai bahan

&#34;Optimalisasi Kapasitas Produksi Tepung Kelapa dengan Metode Rough-Cut Capacity Planning&#34;, Jurnal Teknologi Pertanian Gorontalo (JTPG),

MAHASISWA PADA MATA KULIAH KAPITA SELEKTA MELALUI PENERAPAN MODEL. PEMBELAJARAN MIND MAPPING (Studi Kuasi Eksperimen terhadap

Variabel-variabel yang digunakan untuk pemberian kode dalam memperoleh informasi mengenai0besar pengaruh (effect size) pada penelitian0meta-analisis sebagaimana