• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANDI KRISHNA KELAS MASA DEPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANDI KRISHNA KELAS MASA DEPAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANDI KRISHNA

(2)

KELAS MASA DEPAN Oleh: Andi Krishna Copyright © 2011 by Andi Krishna

Penerbit (fazil.publishing@yahoo.com) Cover Design by Sarwan Arifin Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com Cetakan 1, September 2011

Perpustakaan nasional; Katalog Dalam Terbitan (KDT) KRISNA, Andi

Kelas Masa Depan/Andi Krisna - Tangerang: Fazil Publishing, 2011.

253 Halaman ; 13 x 19 cm ISBN :978-602-99887-0-3

(3)

Ucapan Terimakasih:

Rasa terima kasih saya berikan kepada istri saya

tercinta, Ayunda, atas semua dukungan dan

pengertiannya selama mengerjakan cerita ini

Kepada kedua anak saya, Daffa dan Biel, semua

kegiatan bersama mereka membuat selesainya

penulisan novel ini menjadi lebih lama, namun lebih

bermakna. You both are my inspiration.

Teman-teman kerja saya, Adit, Beni dan Iqbal yang

sudah banyak sekali memberikan masukan terhadap

isi cerita.

Adik saya, Ricky, orang pertama yang menyebutkan

cerita ini layak untuk diterbitkan, serta pihak-pihak

lain yang sulit disebutkan satu per satu.

(4)

BAB 1 SEBUAH KISAH

”Terima kasih atas waktunya Ibu, saya bisa mengajukan beberapa pertanyaan? Tanya seorang murid yang tidak lain adalah seorang reporter majalah sekolah. Tangannya memegang sebuah buku catatan kecil. Di atas meja tergeletak sebuah alat perekam dalam posisi menyala.

Di hadapan murid tadi duduk seorang Ibu berusia tidak kurang dari 40 Tahun, sebuah usia yang cukup muda mengingat posisi sebagai kepala sekolah saat ini. Rambutnya sudah agak memutih, beberapa kerutan yang mewakili umurnya sudah tammpak di wajah, namun pancaran matanya masih menunjukan semangat yang demikian menyala.

”Silahkan.. Silahkan..” Jawabnya sambil tersenyum. Ini tidak lain adalah sebuah wawancara untuk sebuah artikel majalah sekolah.

Sebagai Kepala Sekolah Ibu bisa dikatakan sangat sukses, sudah beberapa penghargaan yang sekolah terima di bawah kepemimpinan Bapak. Nah, bisa diceritakan sedikit rahasianya?” Tanya murid tadi. Dia bertanya dengan sikap santai namun tetap dalam koridor kesopanan.

”Kisah yah?” Ucap Ibu tadi dalam satu helaan nafas. Sekolah yang dipimpinnya memang mengalami peningkatan prestasi yang signifikan. Beberapa metode yang mereka terapkan bisa dikatakan revolusioner bagi dunia pendidikan saat itu. Secara kontroversial mendobrak patron-patron kegiatan belajar mengajar yang umum dilakukan, namun hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

”Tunggu biar Ibu ingat-ingat...” Ujarnya perlahan dengan suaranya yang berat dan penuh wibawa. Sang reporter mengangguk sambil menunggu.

(5)

”Ah, kisah ini dimulai saat Ibu masih seusia kamu.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum.

”Seusia saya?” Murid tadi kaget, namun segera menguasai diri, ”Maksudnya, sampai sejauh itu kisahnya?” Tanyanya dengan kalimat yang lebih formal.

Sang Ibu Kepala Sekolah tertawa, ”Ya, semua perjalan ini dimulai saat itu, Ibu punya cerita yang sangat inspiratif. Ini tentang bagaimana hidup kami bisa berubah hingga akhirnya bisa menempuh perjalanan sampai di sini.

”Kami?” Lagi-lagi murid tadi tidak mengerti.

”Ya, ini bukan hanya kisah saya...” Timpalnya sambil tersenyum, ”Kamu punya waktu mendengarkan?” Tanyanya lagi.

”Dengan senang hati bu.” Jawab murid tadi dengan mata berbinar.

(6)

BAB 2 DAFFA ARGYA FAZIL

“Kamu maju!” Sebuah perintah melayang lewat nada suara yang dingin, tenang, namun penuh ketegasan sekaligus intimidasi. Daffa agak tertegun ketika telunjuk sang pemberi perintah seakan mengarah padanya.

“Saya pak?” Tanyanya ragu-ragu.

”Iya, kamu Daffa.” Konfirmasi itu sontak membuat jantungnya berdebar, kenapa justru saat seperti ini harus dia yang ditunjuk. “Ayo Bapak mau lihat, kamu coba kerjakan soal ini, sekalian jadi contoh buat yang lain!” Ujar Pak Sarwan di depan kelas. ‘Mati gue’ Pikir Daffa dalam hati, nafasnya bagaikan tercekat di tenggorokan. Soal yang dimaksud Pak Sarwan tadi adalah soal persamaan matematika yang telah dia tulis di papan tulis. Pak Sarwan adalah seorang guru matematika di SMU Bina Harapan, tempat Daffa bersekolah. Dengan jenggot tipisnya yang khas serta logat Jawanya yang kental, beliau terkenal ‘galak’ di kalangan para murid. Marah, membentak, menghukum, adalah tindakan yang biasa dilakukannya. Sesungguhnya bukan hanya Pak Sarwan, sebagian besar guru di sekolah ini rata-rata sangat tegas terhadap para murid, mungkin hal tersebut ada kaitannya dengan ambisi besar sekolah untuk menjadi SMU favorit.

“Baik Pak” Jawab Daffa sambil perlahan bangkit dari tempat duduk. Sangat perlahan, seakan dia tidak pernah mau bangkit dari sana. Ekspresi panik yang terlihat diwajahnya ditangkap dengan jelas oleh teman-teman sekelas yang lain. Hal ini membuat mereka agak bingung, Ada apa? Daffa termasuk salah

(7)

satu siswa yang pandai di kelas, mengerjakan soal itu seharusnya bukanlah sebuah masalah.

Ya, mungkin dalam kondisi normal hal itu bukan masalah, tapi siapapun tidak dapat menghindari ketika nasib buruk membuat semua yang kelihatannya normal menjadi berantakan. Tadi malam Daffa mengalami sakit perut yang hebat. Jangankan untuk belajar, dia bahkan tidak dapat untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Akhirnya perintah Pak Sarwan minggu lalu untuk mempelajari contoh soal yang ada di buku tidak dapat dijalankannya. Dia bahkan tidak ingat sama sekali.

Pola belajar seperti ini sering Pak Sarwan lakukan untuk membantu dia mengejar pelajaran yang belum diajarkan. Ujung-ujung untuk mencapai silabus yang ditetapkan sekolah. Daffa kini telah berdiri di depan kelas, menghadap papan tulis, berusaha mengerti soal yang ada disana. Dia membuat beberapa coretan namun yang mampu dilakukannya hanyalah menulis ulang soal tersebut di bawahnya. Dia benar-benar tidak mengerti, blank! Perlahan-lahan dahinya mulai berkeringat, keringat dingin, kondisi yang biasanya muncul ketika seseorang sedang dalam keadaan takut atau panik, kurang lebih seperti yang sedang dia alami saat ini.

Suasana kelas menjadi hening - sangat hening. Respon teman-temannya campur aduk antara prihatin, takut, simpati dan geli melihat tingkah Daffa di depan. Namun tidak ada satu orangpun yang melakukan sesuatu, mereka khawatir salah melakukan gerakan malah akan menjadi ‘korban’ berikutnya.

Pak Sarwan yang sejak tadi serius membaca di meja guru akhirnya mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sontak dia terkejut karena Daffa masih belum mengerjakan soal apapun “Mana jawabannya?!” Tanyanya dengan suaranya yang berat. Kepalanya sedikit menunduk untuk melihat dari bagian atas

(8)

kaca matanya. Pandangan intimidatifnya berbalas reaksi beku dari Daffa.

”Kenapa kamu? Tidak bisa?” Tanyanya lagi setelah mendapati Daffa hanya diam.

“Tidak pak” Jawab Daffa jujur dengan seulas senyum malu. Tidak ada pilihan lain buat dia selain mengakuinya.

“Sudah kamu pelajari belum? Ini kan soal sederhana, sudah ada contohnya.” Tanya Pak Sarwan lagi sambil menunjuk halaman buku yang sejak tadi dipegangnya.

”Bapak sudah perintahkan untuk dipelajari kan?” Kali ini dia bertanya kepada yang lain. Kalimat ini bahkan tidak perlu ditanggapi, lebih merupakan penegasan ketimbang sebuah pertanyaan. Daffa merasakan udara ruangan kelas semakin panas, entah karena terik matahari dari luar atau memang karena suasana hati Daffa yang sedang terbakar.

“Belum pak, tadi malem saya sakit.” Kali ini Daffa berusaha menjelaskan, suaranya sedikit gemetar karena tegang dan malu. Dia hanya sekali melirik ekspresi wajah Pak Sarwan, kemudian menjatuhkan kembali pandangannya ke papan tulis. Namun momen sekilas itu cukup untuk mengetahui betapa dinginnya ekspresi sang guru. Ketegasannya terlihat jelas diantara kerut-kerutan di wajah yang seakan mewakili seluruh pengalaman hidup gurunya tersebut.

“Alasan aja kamu.” Semprot Pak Sarwan. Seisi kelas sadar, inilah saatnya sang Guru marah.

“Makanya kalian itu harus belajar supaya siap, supaya pintar.” Pak Sarwan berjalan mengitari kelas dan membiarkan Daffa di depan. Suasana semakin tidak nyaman, bukan hanya bagi Daffa, namun juga bagi yang lain. Sebagian besar dari mereka menundukan kepalanya.

(9)

“Gimana kamu ini Daffa? Mulai malas kamu ya? Kamu pikir perintah saya main-main?” Pak Sarwan balik memarahi Daffa kembali. Dia kecewa karena sesungguhnya dia berharap Daffa bisa mengerjakan soal tadi sekaligus menjadi contoh untuk yang lain. Ini akan sangat membantu pola belajar yang dia kembangkan. Pemilihan Daffa juga sudah dia pertimbangkan, dia adalah salah satu murid terpandai di kelas.

Perasaan Daffa sendiri campur aduk antara kesal, malu dan bingung, belum lagi pusingnya karena kurang tidur semalam belum sepenuhnya hilang. Apakah kondisinya tadi malam bukan sebuah alasan yang bisa diterima? Itu memang kondisi yang sebenarnya terjadi!

“Yang lain? Ada yang bisa membantu?” Pertanyaan Pak Sarwan ini sontak membuat jantung yang lain berdebar. Seisi kelas masih terdiam, sebagian besar dari mereka meletakan pandangannya pada buku pelajaran di atas meja, berusaha sekeras mungkin untuk tidak menarik perhatian Pak Sarwan. Sebisa mungkin bukan menjadi murid yang ditunjuk.

“Aggy?! Kamu kerjakan ke depan!” Pilihannya jatuh pada Aggy.

Penunjukan Aggy adalah hal yang wajar, dia juga termasuk anak yang pandai, bahkan termasuk cewek yang terpandai di kelas. Pak Sarwan tentu berharap Aggy akan mampu untuk mengerjakan soal ini. Selesai dengan itu, dia akan menghukum Daffa dengan membiarkannya berdiri di depan kelas. Dalam bahasa lain, Pak Sarwan ingin mempermalukan Daffa, menjadi

shock theraphy buat yang lain. Pesannya jelas, jangan main-main dengan pelajaran saya!

Dari posisinya berdiri, Daffa dapat melihat Aggy terdiam sesaat setelah perintah tadi datang, raut mukanya tampak berpikir keras. Tidak lama kemudian dia berdiri perlahan dari mejanya, melangkah menuju ke depan.

(10)

Aggy mengambil spidol dan melirik sebentar kepada Daffa, kemudian mulai fokus ke soal di papan tulis tersebut. Setelah beberapa saat, Aggy masih belum mengerjakan apapun, dia masih hanya memandangi soal dengan tatapan kosong. Kosong dan tampak bingung.

“Kenapa Aggy?” Pak Sarwan memecah keheningan, ekspresinya tidak kalah bingung.

“Tidak bisa pak.” Jawab Aggy perlahan sambil menggeleng. Seisi kelas kembali terkejut, bahkan Daffa memandang Aggy dengan tatapan tidak percaya. Sekilas dilihatnya Aggy tersenyum padanya. Tersenyum? Ah, benarkah penglihatannya barusan?

“Kamu ga bisa juga?! Ga belajar juga kamu?!” Suara Pak Sarwan kembali meninggi, emosinya kembali meluap ke permukaan. Sedetik kemudian dia membuka kacamatanya, menutup buku dan membantingnya ke meja.

“Wah-wah, payah kelas ini, payah kalian semua, yang pinter aja ga bisa ngerjain apa lagi yang lain. Habis jam belajar saya buat drama kaya begini.” Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala. ”Perintah saya untuk kalian pelajari soal dulu itu supaya kita bisa menghemat waktu di kelas, supaya pelajaran tidak ketinggalan, ini malah buang-buang waktu.” Amarahnya masih tumpah mengalir lewat setiap kalimat yang dia ucapkan, ”Saya tidak mau tahu, minggu depan kita ulangan!” Tegasnya. “Kalian berdua duduk!” perintahnya pada Daffa dan Aggy dengan satu gerakan dagu. “Belajar lagi, jangan malas!” Bentaknya saat mereka lewat di depannya. Untung saja, pikir Daffa sesaat, paling tidak dia tidak harus berdiri di depan hingga akhir pelajaran.

Daffa tidak dapat konsentrasi di sisa waktu pelajaran, pikirannya masih tersita oleh kejadian tadi, kejadian yang tidak pernah

(11)

diharapkannya. Bukan hanya karena dia dimarahi di depan kelas, namun juga karena kenyataan bahwa Aggy tidak mampu mengerjakan . Hal ini mengganggu pikirannya. Ada apa dengan Aggy? Dan apa arti senyumnya tadi? Benarkah tadi dia tersenyum? Pelajaran matematika hari itu benar-benar tidak masuk ke otaknya.

Akhirnya jam pelajaran yang terasa sangat panjang itu selesai. Bunyi bel pulang terdengar di seantero sekolah, pelajaran tadi adalah jam pelajaran terakhir. Akhirnya! pikir Daffa dalam hati. Para murid segera merapihkan tas dan berhamburan pulang. Teman-teman Daffa masih membahas kejadian tadi sambil berjalan keluar sekolah.

“Lo kenapa kawan…?” Tanya Beni, salah satu teman sekelasnya, sambil menepuk-nepuk pundak Daffa. Mereka berjalan bergerombol melewati kelas demi kelas menuju gerbang sekolah.

“Kalau kita sih enggak aneh, kalo lo kan pinter, kenapa ga bisa sih?” lanjut Beni sambil kali merangkul pundak Daffa. “Gue ga belajar semalem.” Jawab Daffa singkat, dia terlihat enggan menanggapi.

“Tapi kan lo pinter Fa?” Beni berkoar lagi.

“Ga tau....” Daffa menjawab tanpa sedikitpun menoleh. Perasaannya masih kesal sekaligus malu.

“Sejarah nih, Daffa dimarahin depan kelas, hahahaha….” Ucapan Yusril memecah tawa yang lain, mengiringi suasana hati Daffa yang sedang buruk.

“Woi, jangan murung gitu dong.” Ujar Adit kali ini, “Lo baru sekali ngerasain sih, kalo gue udah beberapa kali, udah agak imun, Yaahh... paling enggak lo tau lah rasanya dimarahin di depan kelas.”

(12)

“Iya, sekali-kali ngambil jatahnya kita yang goblok-goblok ini, hahaha…” Timpal Yusril sambil tertawa. Mau tidak mau, kalimat tadi membuat Daffa tersenyum. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, tepat di depan perpustakaan, sesuatu menyita perhatiannya.

“Eh, kalian duluan yah, gue ke perpus dulu.” Ujarnya sambil langsung masuk ke perpustakaan tanpa banyak bicara, meninggalkan teman-temannya yang tertegun bingung.

*****************

SMU Bina Harapan memliki ruangan perpustakaan yang luas, hampir seluas dua kali ukuran kelas yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Di tengah-tengah ruangan terdapat ruang membaca, terdiri dari meja dengan sekat-sekat yang memberikan kenyamanan dalam membaca. Di sekeliling ruangan terdapat rak-rak buku yang memanjang hingga dinding. Tidak seperti perpustakaan yang umumnya berdebu atau kurang terawat, perpustakaan ini sangat bersih dan nyaman. Tentu saja hal ini diiringi dengan peraturan yang ketat, tidak boleh berisik, tidak boleh membawa makanan, tidak boleh telat mengembalikan buku pinjaman, dan lain sebagainya.

Daffa melangkah perlahan ke arah meja petugas untuk menemui seseorang. Tadi, saat melintas di depan perpustakaan, Daffa sekilas melihat Aggy ada di dalam. Dia langsung mengambil keputusan untuk menghampirinya karena ada yang ingin dia bicarakan. Atau lebih tepatnya, ada yang ingin dia tanyakan. “Gy, lagi ngapain?” Sapa Daffa ringan. Aggy sedang berdiri tepat di depan meja petugas, dua set buku ada dalam dekapannya. Daffa menyempatkan diri untuk melirik ke sekeliling ruangan, tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa kakak kelas sedang duduk membaca. Ruangan terasa sangat hening, alunan musik klasik diputar dengan volume kecil yang menambah nyaman suasana di dalam.

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu.

Beberapa penelitian yang mendukung teori tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Fama dan French (2001) yang menemukan bahwa perusahaan

14 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D, h.. Dengan skala likert maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian

telah memberikan dorongan, dukungan dan bantuan selama menimba ilmu di Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya sehingga dapat menyelesaikan

In the absence of preheating stage it turn that maximum stress intensity increase of 97 MPa compare to normal cycle as well as the decreasing of fatigue life around 19% from

Dari beberapa definisi tsunami yang diungkapkan oleh ahli, dapat disimpulkan bahwa tsunami merupakan sebuah gelombang besar di laut yang mempunyai panjang

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Victolika, (2013) pemberian asam humat melalui daun dengan konsentrasi 50-200 mg L -1 dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi

TARI SEPEN DI SANGGAR KEMBANG KUNDOR DESA BATU PENYU KABUPATEN BELITUNG TIMUR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..