• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyerang kulit dan susunan saraf tepi,sering dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyerang kulit dan susunan saraf tepi,sering dapat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit kusta 1. Definisi

Penyakit kusta merupakan suatu penyakit menular menahun yang menyerang kulit dan susunan saraf tepi,sering dapat menimbulkan reaksi akut (ekserbasi) dan dapat menimbulkan cacat bila tidak diobati sewaktu penyakit dalam stadium dini (FKUI, 1999). Memahami kusta sebagai penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobakterium lepare yang pertama menyerang saraf tepi selanjutnya

dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas. Sementara itu Adhi Djuanda (1999) mendefinisikan kusta sebagai penyakit infeksi yang kronis disebabkan oleh mycobakterium leprae yang intra seluler dan obligat (Adhi Djuanda,1999).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular dan menahun. Penyakt kusta masih ditakuti di kalangan masyarakat, keluarga dan petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta yang timbul.

2. Etiologi dan penularan

Mycobakterium leprae atau basil Hasen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegi GH. Armauer Hasen pada tahun 1873-1874. Kuman ini memiliki ciri

(2)

sebagai tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (FKUI, 1997).

Penyakit kusta merupakan penyakit menular dimana cara penularannya adalah melalui kulit bersentuhan secara langsung dengan penderita kusta atau melalui saluran mukosa (Adhi Djuanda, 1999). 3. Patogenesis

Meskipun belum diketahui cara masuk mycobakterium leprae ke dalam tubuh, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Pengaruh mycobakterium leprae terhadap kulit tergantung pada faktor kekebalan (imunitas) seseorang, kemampuan hidup mycobakterium leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama dan sifat basal yang avirulen dan nontokksis.

Mycobakterium leprae merupakan parasit obligat intra seluler yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwan di jaringan saraf. Bila basil mycobakterium leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag yang berasal dari sel monosit, sel mononuklear untuk memfaggositnya. Akibat aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (FKUI, 1997).

(3)

4. Gambaran klinis

Menurut Depkes RI (1997), Menjelaskan tipe kusta dibagi menjadi dua yaitu tipe kering (pauksi basiler / PB ) dan basah (multi basiler / MB ). Luka tipe kering atau tipe PB memiliki karakteristik seperti bercak (makula) keputihan sebesar uang logam atau lebih besar, terdapat di satu atau di beberapa tempat di badan (biasanya di pipi, bahu, punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau punggung kaki). Bercak keputihan ini permukaannya kering dan kadang- kadang agak besar. Pinggiranya bercak ini biasanya tidak jelas tetapi lama kelamaan bertambah lebih jelas menyerupai kulit. Perubahan bercak keputihan menjadi seperti kulit itu menunjukkan kesembuhan, biasanya dimulai dari tenggah menuju ketepi. Bercak keputihan ini tidak akan di tumbuhi rambut lagi, tetapi apa bila sudah sembuh akan tumbuh rambut.

Sementara itu Luka tipe basah atau tipe MB memiliki karakteristik seperti bercak kemerahan sebesar uang logam atau lebih, tersebar merata diseluruh badan perasaan sedikit terganggu, kulit tidak terlalu kasar, batasannya tidak begitu jelas (berupa makula-makula yang tipis dan merata).penebalan kulit dengan kemerahan (infiltrat) setempat atau dibeberapa pada bagian tubuh, kadang-kadang berupa seperti pulau-pulau besar dan muncul disekelilingnya, infiltrat biasanya mulai nampak dicuping telingga. Bintik –bintik kemerahan

(4)

sebesar biji kacang hijau atau biji jagung baisanya disebut nodula, biasanya muncul diseluruh tubuh (Marwali Harahap, 1999).

5. Masalah atau dampak dari penyakit kusta

Menurut Depkes RI (1990), penyakit kusta dapat menimbulkan berbagai masalah yaitu Masalah pada diri penderita kusta biasanya mereka itu merasa lebih rendah diri, merasa takut karena takut akan menggalami kecacatan selamanya, cenderung hidup sendiri dan tidak mau berkumpul dengan masyarakat disekelilingnya, kehilangan rasa percaya diri atau minder, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan yang dahulu mereka geluti sebelum terserang penyakit kusta. Sementara itu masalah yang terkait dengan keluarga penderita adalah umumnya mereka takut tertular sehingga tidak berperan aktif dalam perawatan luka penderita kusta, dan tidak jarang yang mengisolasi penderita kusta dengan tujuan yang tidak jelas. Masalah bagi negara sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, maka terhadap kehidupan negara dan bangsa dalam berbagai menggalami penggaruh yang cukup kompleks. Oleh karena masalah-masalah tersebut menggakibatkan penderita menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan cenderung melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat terbuka (Depkes RI, 2002).

6. Perawatan kusta

Penderita harus diajarkan bagaimana seharusnya merawat diri setiap hari, untuk mencegah berlanjutnya cacat tangan dan kaki ke

(5)

tingkat yang lebih berat. Perawatan kusta untuk mencagah terjadinya cacat dapat dilakukan oleh penderita sendiri dan keluarga meliputi perawatan terhadap mata, tangan dan kaki yang mati rasa, dan jari kaki yang bengkok dan lunglai.

Perawatan mata yang tidak tertutup rapat bertujuan untuk melindungi mata yang tidak tertutup rapat dari angin, debu, dan dari sinar matahari untuk mencegah mata kemerahan dan buta. Tindakan yang dilakukan adalah menarik kulit di sudut mata ke arah luar dengan jari tanggan sebanyak 10 kali setiap latihan, dilakukan 3 kali sehari, melindungi mata dari sinar matahari dengan memakai topi yang lebar, memakai kaca mata gelap untuk melindungi mata dari matahari, angin, dan debu, waktu tidur tutup mata dengan kain bersih supaya debu tidak masuk (Direktorat Jendral PPM & PL Depkes RI, 2002). Sementara itu perawatan tangan yang mati rasa bertujuan untuk melindungi tangan yang mati rasa dari benda panas, benda kasar, benda tajam supaya terhindar dari luka. Langkah-langkahnya adalah merendam tangan selama 20-30 menit pagi dan sore dengan air bersih, dalam keadan masih basah perlu diolesi minyak atau vaselin, kulit yang keras dan tebal perlu digosok agar menjadi tipis dan halus, jari-jari yang bengkok perlu diurut lurus agar sendi-sendi tidak menjadi kaku, menggunakan alat bantu (seperti sarung tangan, pipa rokok, gagang alat kerja yang telah dibalut dan sebagainya) untuk melindungi tangan dari hilang rasa (Adhi Djuanda, 1997).

(6)

Perawatan jari kaki yang bengkok dan lunglai bertujuan untuk menghindari jari-jari kaik dan sendi dari kekakuaan dan mempermudah operasi untuk meluruskan jari dan sendi kaki kalau diperlukakan. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah telapak kaki di beri minyak kelapa yang belum dipakai, luruskan jari-jari kaki yang bengkok selama 4 detik, 3 kali dalam sehari. Lingkarkan handuk atau sarung ke telapak kaki yang lunglai kemudian tariklah selama empat detik, tiga kali sehari (Depkes RI, 2000).

Perawatan kaki yang semper yaitu kaki yang dibiarkan tergantung. Otot pergelangan kaki bagian belakang (archilles) akan memendek sehingga kaki itu tetap tidak bisa diangkat, jari-jari kaki akan terseret dan luka oleh karena itu saat melangkah miring akan mudah terjadi ulkus di belakang jari kaki ke empat dan kelima.untuk mencegahnya supaya tidak bertambah cacat maka dianjurkan selalu pakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka, angkat luntut lebih tinggi waktu berjalan, pakai tali karet antara luntut dan sepatu guna mengangkat kaki bagian depan waktu berjalan, pakai plastik atau kertas dari betis sampai ketelapak kaki agar kaki tidak jatuh (Program P2 kusta bagi UPK, 2005).

Perawatan luka borok (ulkus) disebabkan karena menginjak benda tajam, panas atau kasar dan ada memar yang tidak di hiraukan karena penderita tidak merasa sakit. Luka itu terus terinjak karena berat badan penuh, sampai kulit dan dagingnya hancur. Perawatan

(7)

yang tepat ialah bersihkan luka dengan sabun, kemudian rendam kaki dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang menebal dengan batu apung, setelah di keluarkan dari air, beri minyak bagian kaki yang tidak luka, balut, lalu istirahatkan bagian kaki itu (jangan di injakkan pada waktu berjalan, berjalan dengan pincang atau pakai tongkat). Jika pada ulkus tidak ada tanda infeksi (merah, bengkak, panas, sakit) berarti tidak ada infeksi sekunder oleh bekteri lain sehingga antibiotik tidak perlu diberikan (Program P2 kusta bagi UPK, 2005).

Prinsip yang penting dalam perawatan kusta adalah penderita mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat terjadinya luka, penderita harus melindungi tempat resiko tersebut(misalnya memakai kacamata, sarung tangan, sepatu dan lain-lain), penderita mengetahui penyebab luka (panas, tekanan benda tajam dan kasar), penderita dapat melakukan perawatan kulit(merendam, menggosok dan melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku, penyembuhan luka dapat dilakukan oleh penderita sendiri dengan membersihkan luka, dan mengurangi tekanan pada luka dengan istirahat ( Direktorat Jenderal PPM & PL Depkes RI 2002).

B. Perilaku 1. Pengertian

Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) merupakan semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung

(8)

maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Blum (1974), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2003). Perilaku dapat diartikan juga sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Menurut Asmar & Eko (2005) perilaku terjadi apabila ada rangsangan dari luar dan dari rangsangan akan menghasilkan reaksi dan perilaku tertentu. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1990) mendefinisikan perilaku sebagai proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup. Faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang meliputi latar belakang, kepercayaan dan sikap mental, sarana dan faktor pencetus.

Dari beberapa definisi tentang perilaku di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku adalah aktivitas manusia baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung sebagai suatu reaksi terhadap lingkungan yang berupa rangsangan.

2. Jenis – Jenis Perilaku

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku terdiri dari persepsi (perception), respon terpimpin (guided respon), mekanisme (mechanisme), dan adaptasi (adaptation). Persepsi diartikan sebagai tindakan mengenal dan memilih berbagai proyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil yang merupakan praktek tingkat pertama.

(9)

Respon terpimpin merupakan suatu tindakan untuk dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh yang merupakan indikator praktek tingkat dua. Sementara itu mekanisme merupakan seseorang yang telah mendapat sesuatu dengan benar serta otomatis atau sesuatu tersebut sudah merupakan kebiasaan, maka dapat mencapai praktek tingkat tiga dan adaptasi merupakan suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Hal ini diartikan sebagai modifikasi dari tindakan tersebut untuk mengurangi kebenaran tindakan ( Notoatmodjo, 2003).

Pengukuran suatu perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukanjuga dapat dilakukan secara langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat terlihat dari tiga aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, serta sikap (Notoatmodjo, 2003).

(10)

3. Proses pembentukan perilaku

Menurut Kusmiati dan Desmaniarti (1990), perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan setiap individu memiliki kebutuhan dasar, dorongan, motivasi, kebutuhan-kabutuhan dasar manusia akan merupakan sumber kakuatan yang mendorong menuju kearah tujuan tertentu secara disadari maupun tidak disadari, faktor perangsang dan penguat untuk meningkatkan motivasi berperilaku dapat dengan memberikan ganjaran atau penghargaan, menciptakan situasi berkompetisi dan mengadakan ’’pace making’’ yaitu menjelaskan tujuan atau sasaran dalam menciptakan tujuan serta pengaruh sikap dan kepercayaan tingah laku manusia di pengaruhi oleh sikap( attitude) yaitu satu tingkatan afek (perasaan) baik positif maupun negati dalam berhubungan dengan obyek atau sikap.

4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) mengutip dari pendapat Green (1980), bahwa perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau dilatarbelakangi oleh tiga faktor pokok, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung (enabling factors), dan faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing

factors). Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi. Faktor pemungkin merupakan faktor-faktor yang

(11)

memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah faktor penguat yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku misalnya perilaku orang lain atau petugas-petugas kesehatan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal dari adanya pengalaman seseorang dan adanya dukungan dari faktor luar (lingkungan) baik fisik maupun non fisik, kemudian dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan motivasi dan niat untuk bertindak, yang pada akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa melakukan perilaku atau tindakan tertentu.

Secara umum proses pembentukan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam Gambar .1. sebagai berikut :

Gambar 2.1. Skema Perilaku

Sumber : Lawrence Green (1980), dalam Notoatmodjo, (2003) Eksternal a. Pengalaman b. Fasilitas c. Sosio-budaya Internal a. Persepsi b. Pengetahuan c. Keyakinan d. Motivasi e. Niat f. Sikap Respons Perilaku

(12)

C. Faktor – faktor yang Mempenggaruhi Perawatan Luka Kusta

Menurut Siswono (2005) faktor-faktor yang mempenggaruhi perawatan luka kusta meliputi pengetahuan, pendapatan, sikap, dan sosial budaya. Tingkat pendidikan turut menetukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami suatu pengetahuan tentang perawatan luka dengan baik sesuai dengan mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang lebih tanggap dengan manfaat perawatan luka kusta (Siswono, 2005). Pendidikan yang rendah, adat istiadat yang ketat serta nilai dan kepercayaan akan tahayul disamping tingkat penghasilan yang masih rendah, merupakan penghambat untuk perawatan luka. Pendidikan rata – rata penduduk yang masih rendah, sehingga perilaku masyarakat dalam merawat luka kusta masih rendah. Semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin baik pula cara perawatan luka kusta di kalangan masyarakat (Suharjo, 2005). Pendapatan (ekonomi) keluarga adalah sejumlah penghasilan dari seluruh anggota keluarga baik dalam bentuk uang maupun barang yang dinilai dengan sejumlah beras. Tingkat pendapatan juga mempengaruhi dalam perawatan luka kusta. Diman Pendapatan yang cukup dapat memperoleh perawatan luka yang sesuai dengan pemanfaatan perawatan luka kusta. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pendapatan juga berpenggaruh terhadap kesembuhan perawatan luka kusta, dimana

(13)

perawatan luka kusta juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta diantara pendapatan dan perawatan luka sangat terkait (Berg, 1986).

Tingkat pengetahuan dapat membentuk suatu sikap dan menimbulkan suatu perilaku di dalam kehidupan sehari – hari. Tingkat pengetahuan tentang perilaku perawatan luka kusta yang tinggi dapat membentuk sikap positif terhadap perawatan luka secara baik. karena penderita kusta bisa merawat lukanya sendiri sedangkan sikap yang negatif pada penderita kusta tidak bisa merawat lukanya sendiri dan tergantung dengan petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2003), pengetahuan mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari/rangsangan yang telah diterima dengan cara menyebutkan, menguraikan dan mendefinisikan. Misalnya, penderita kusta dapat menyebutkan macam-macam makanan tambahan (Depkes RI, 1999).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untukmenjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat mengintrepestasikan materi tesebut secara benar dengan cara menyimpulkan, meramalkan dan sebagianya. Aplikasi ( application ) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

(14)

dipelajari. Aplikasi dapat diartikan penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya. Misalnya, penderita kusta dapat menjelaskan alasan mengapa perawatan luka perlu dilakukan. Analisis (analysis) Adalah suatu kemampuan untuk maenjabarkan materi suatu obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat ditunjukkan dengan menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Sintesis ( syntesis ) Adalah menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ditunjukkan dengan dapat menyusun formulasi baru dari formulasi yang lama. Misalnya, penderita dapat melakukan perawatan lukanya dua kali sehari yaitu pagi dan sore dan evaluasi (evaluation ) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakuakan penilaian terhadap suatu materi. Penilaian ini berdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).

Faktor lain yang dapat mempenggaruhi perilaku perawatan luka adalah Sikap (attitude) adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern, sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat langsung di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup sehingga sikap juga mempenggaruhi perawatan luka kusta karena

(15)

penderita kurangnya kepercayaan diri terhadap akan kesembuhan lukanya (Notoatmodjo, 2002).

Menurut Mar’at (1995) sikap terbagi menjadi 3 komponen meliputi komponen kognitif, komponen afektif, komponen konatif. Komponen kognitif (komponen perceptual) berisi kepercayaan yang berhubungan dengan hal – hal tentang bagaimana individu mempersiapkan terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat dan diketahui berisi tentang pandangan, keyakinan, pikiran dan pangalaman pribadi. Komponen afektif (komponen emosional) menunjukkan pada dimensi emosional subjektif individu atau evaluasi terhadap objek sikap baik yang positif maupun negatif. Sementara itu komponen konatif (komponen perilaku) adalah komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi/ kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapi.

Ketiga komponen tersebut bersama–sama membentuk sikap yang utuh. Pada penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi, memegang peranan penting. Ketiga komponen tersebut tidak bisa berdiri sendiri, tetapi menunjukkan manusia sebagai suatu sistem kognitif yang berarti yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasannya (Mar’at, 1995). Pekerjaan pada penderita kusta tidak mendapat atau tidak bekerja karena dianggap tidak bisa bekerja selayaknya orang normal atau tidak mempunyai kecacatan fisik. Karena mereka tidak mendapat pekerjaa maka mereka

(16)

dalam keluarganya tidak dibutuhkan atau dikucilkan dalam keluarganya.

Sosial Budaya makhluk sosial dimana saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Individu yang dapat berinteraksi secara kontinyu akan lebih besar terpapar informasi. Didaerah pedesaan kebanyakan masyarakat bahwa masyarakat tingggal di desa tersebut, penyebabnya adalah suatu kebiasaan (cultural) masyarakat yaitu tidak adanya kekerabatan antara individu yang terkena penyakit kusta sehingga penderita kusta merasa minder atau tersisihkan dari lingkungan dan tidak mau untuk menggobatkan lukanya tersebut (Wiryo, 2002).

(17)

C. Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka teori

Sumber : Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) dan Siswono (2005) Faktor predisposisi: - Pengetahuan - pendidikan - Sikap - Sosial budaya - pendapatan Faktor pemungkin : - Faktor jarak

- Sarana dan prasarana kesehatan

Faktor penguat :

- Sikap petugas kesehatan - Perilaku orang lain

Perilaku perawatan luka kusta

(18)

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka konsep

E. Variabel penelitian 1. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan sikap.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen penelitian ini adalah perilaku perawatan luka kusta.

F. Hipotesis Penelitian

1 Ada hubungan antara tingkat pendidikan dan perilaku perawatan luka kusta.

2 Ada hubungan anatara tingkat pengetahuan dan perilaku perawatan luka kusta.

3 Ada hubungan anatara sikap dan perilaku perawatan luka kusta.

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik perilaku kusta 1. Pendidikan 2. Pengetahuan 3. Sikap Perilaku perawatan luka kusta

Gambar

Gambar 2.1. Skema Perilaku

Referensi

Dokumen terkait

Menurunnya produksi padi di Kalimantan Barat disebabkan adanya penurunan luas panen dan produktivitas pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014, sementara

Guru yang juga merupakan peneliti menjalankan tugas sebagai penilai sementara siswa yang lain diberi kebebasan untuk memberikan apresiasi sastra geguritan dengan memilih salah

Ditinjau dari perbaikan sifat fisika dan kimia tanah serta hasil biji kering kedelai, aplikasi formula pembenah tanah alternatif Biochar SP50 Submikron dan Volkanorf K424

Waste transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream. Berdasarkan Tabel I.4 diketahui

Penelitian mengenai siklus belajar 5E dilakukan oleh Sari, dkk., (2013) dinyatakan bahwa penerapan siklus belajar 5E dengan penilaian portofolio (1) dapat meningkatkan

Salah satu hal yang berbeda antarsatu ruangan dengan ruangan lain adalah adanya perbedaan tingkat kepuasan kerja perawat dengan lima dimensi kepuasan kerja perawat yakni

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik nelayan pendatang maupun lokal, mekanisme interaksi sosial berlangsung secara bersama-sama, dimana selain berupaya

Sebagai hasil dari upaya dan minat dalam pelatihan medis ini ditandakan dengan adanya peningkatan dua kali lipat dari tahun ke tahun sejak tahun 1978 (Saudi