• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Mata Konjungtivitis Semua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Mata Konjungtivitis Semua"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT ILMU PENYAKIT MATA

KONJUNGTIVITIS

Disusun oleh

Haryo Dimasto Kristiyanto 41090012

Dosen Pembimbing dr. Rastri Paramita, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK MATA

RUMAH SAKIT MATA DR YAP

YOGYAKARTA

(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva atau selaput lendir pada mata dan bagian dalam kelopak mata atau palpebra. Seperti gejala-gejala peradangan akut pada umumnya, yaitu calor, rubor, dolor, tumor, dan fungtio laesa, peradangan pada konjungtiva juga menyebabkan perubahan warna kemerahan pada mata, nyeri, bengkak, serta gangguan fungsi normal konjungtiva1. Peradangan pada konjungtiva ini menimbulkan gejala yang cukup bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai peradangan berat dengan sekret purulen. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, karena adanya trauma—pada penggunaan lensa kontak, misalnya, atau karena sebab lain.2

Konjungtivitis atau yang sering juga disebut sebagai mata belek, adalah salah satu penyakit mata yang dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin, dan strata sosial. Meski tidak terdapat data akurat mengenai insidensi konjungtivitis, penyakit ini diperkirakan sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum.2 Konjungtivitas akibat bakteri adalah jenis konjungtivitis yang paling sering terjadi dibandingkan konjungtivitis akibat virus, alergi, dan penyebab lain.

Dengan segala gejalanya, baik yang ringan hingga gejala yang berat, konjungtivitis termasuk penyakit ringan, namun ketidaktepatan dalam pengobatan maupun pemberian terapi yang salah dapat menyebabkan kasus konjungtivitis berlanjut menjadi penyakit yang serius. Oleh karenanya, melalui referat ini, penulis hendak mengangkat topik konjungtivitis meliputi penyebab, klasifikasi, patofisiologi, serta komplikasi penyakit konjungtivitis untuk meningkatkan ketepatan dan keberhasilan terapi bagi pasien.

B. Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami definisi, klasifikasi, patofisiologi, komplikas, dan terapi konjungtivitis

(3)

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi, toksik, maupun iritasi1,2.

B. Anatomi dan fisiologi

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea3

(4)

3 Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:

1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.3

a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal, sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva sesungguhnya.

b. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler. Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.

c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.

2. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.3 konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.3

3. Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.3

(5)

4

Gambar 2. Struktur anatomi dari conjungtiva

Dikutip dari Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 4th edition. New Delhi: New Age International(P) Limited; 2007

Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa stratum germativum.3

Struktur Histologis dari konjungtiva3 - Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari:

a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis 5.

b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.

(6)

5 c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lais epitelium: lapisan superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan dalam sel kuboid.

d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis) epitelium stratified skuamous

- Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus).

a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir tetapi berkembang setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler.3

b. Lapisan fibrosaTerdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar.3

- Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu:

1. Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada pada tarsal konjungtiva) dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva.3

2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:3

a. Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks, sekitar 42mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah). Dan

b. Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).3

-Suplai arterial konjungtiva:

Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh dua set pembuluh darah:

(7)

6 arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk membentuk pleksus perikornea.3

C. Patofisiologi

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film atau lapisan air mata pada konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.Lapisan air mata mengandung beta lisin, lisosim, IgA, dan IgG yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman.4

Konjungtivitis infeksi terjadi apabila terdapat mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut atau dengan kata lain Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.4

Berbeda dengan konjungtivitis infeksi, konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.4

(8)

7 D. Gejala Konjungtivitis

Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain: 1. Hiperemia.

Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh darah konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan menghilang dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya.

Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva

dikutip dariLang GK, Lang GE. Conjunctiva. Dalam: Lang GK, Gareis O, Amann J, Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner P. Ophthalmology: a short textbook. New York:

Thieme; 2000. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:

a. Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya saat menuju ke arah limbus).

(9)

8 b. Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau cirkumcribed pada

tepi limbus).

c. Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).

d. Injeksi komposit(sering).

Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau struktus yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler (contoh, acne rosacea).5

2. Discharge

Discharge atau sekret berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari etiologinya.5

3. Chemosis

Adanya Chemosisatau edema konjungtiva mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokal akut atau konjungtivitis meningokokal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross.5

Gambar 4. Kemosis pada mata

(10)

9 4. Epifora (pengeluaran air mata berlebih)

Lakrimasi yang tidak normal(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus menandakan keratokonjungtivitis sika.5

5. Pseudoptosis.

Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada palpebra superior.5 6. Hipertrofi folikel.

Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya.Terlihat paling banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus(terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal).5.

Gambar 5. gambaran klinis dari folikel

Dikutip dari James B, Chew C, Bron A. Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam: Lecture Notes on Ophthalmology. 9th edition. India: Blackwell Publishing; 2003

(11)

10 7. Hipertrofi papiler

Hipertofi papiler dalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel, pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang menyebabkan nekrosis (contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.5 Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia (contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.5

Gambar 6. gambaran klinis hipertrofi papiler Dikutip dari www.onjoph.com

(12)

11 8. Membran dan pseudomembran

Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat diangkat(membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh epitel.5

Gambar 7. Bentukan pseudomembran yang diangkat Dikutip dari http://www.rootatlas.com/wordpress/wp-content/uploads/2007/08/pseudomembrane-eye.jpg 9. Phlyctenules

Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear.5

10. Formasi pannus

Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.5

(13)

12 Gambar 8. Pannus tampak pada mata pasien konjungtivitis

Dikutip dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th edition. hal. 63-81

11. Granuloma

Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma okuloglandular Parinaud.

Gambar 9 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma okuloglandular Parinaud.dikutip dariKanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A

Systematic Approach. 5th edition. hal. 63-81

12. Nodus limfatikus yang membengkak

Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral.5

(14)

13 E. Klasifikasi Konjungtivitis

Berdasarkan penyebab terjadinya, konjungtivitis dapat dibagi menjadi: (1) konjungtivitis karena agen infeksi, (2) konjungtivitis imunologik/alergi, (3) konjungtivitis autoimun, serta (4) konjungtivitis kimia atau iritatif.6

1. Konjungtivitis agen infeksi

a. Konjungtivitis bakterial sederhana

Konjungtiva bacterial dibagi menjadi 2 berdasarkan perjalanan waktunya, yaitu konjungtivitis bacterial akut/subakut dan menahun. Penyebab konjungtivitis bakterial yang paling sering adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus pneumoniae.

Gambaran klinis: kejadian akut, terdapat hyperemia, sensasi benda asing, sensasi terbakar dan secret mukopurulen. Fotophobia muncul bila kornea terlibat. Saat bangun tidur mata terasa lengket. Kejadiannya bilateral walaupun kedua mata tidak terinfeksi secara bersamaan. Tidak terdapat gangguan visus.

Terapi: antibiotik awal dengan tetes mata kloramfenikol (0.5-1%) 6 kali sehari minimal diberikan selama 3 hari atau diberikan tetes mata antibiotik spektrum luas.

b. Konjungtivitis Gonokokus pada orang dewasa

Konjungtivitis gonokokus disebabkan oleh infeksi Neiseria Gonorrhoeae. Bakteri ini lebih sering ditemukan pada mukosa genital.

Gejala klinis: secret purulen berlimpah, kemosis (konjungtiva sangat edema) mata menutup dan terlihat bengkak. Bisa terdapat pseudomembran dan limfadenopati preaurikular, maupun terjadi keratitis akibat penumpukan sel-sel polimorfonuklear. Jika terjadi nekrosis jaringan dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan perforasi. Iris dapat hanyut keluar diikuti dengan turunnya tekanan intraokular sehingga bola mata kempis. Dapat pula terjadi endoftalmitis (vitreus dan aquous menjadi nanah), dan akhirnya menyebabkan kebutaan.

Terapi tergantung kondisi klinis. Rawat inap diperlukan untuk melakukan pengawasan secara ketat. Kultur harus dilakukan untuk uji sensitivitas antibiotika,

(15)

14 irigasi dilakukan dengan hati-hati karena sekret yang banyak dapat menciprat. Antibiotika diberikan berdasarkan hasil kultur.

c. Konjungtivitis Klamidia

Konjungtivitis yang disebabkan infeksi Chlamydia trachomatis serotype D-K. gejala klinis terjadi secara unilateral, kronis, sekret mukopurulen, terdapat folikel pada forniks. Pada kasus yang berat folikel banyak terdapat pada palpebral superior, limbus dan konjungtiva palpebral. Dapat terjadi kemosis, limfadenopati preaurikular, keratitis epitelial marginal, infiltrat, dan mikropannus superior. Terapi dilakukan dengan pemberian salep tetrasiklin topikal empat kali sehari dan pemberian sistemik doksisiklin, tetrasiklin, dan eritromsin.

d. Konjungtivitis Gonokokus dan Klamidia pada Neonatal

Konjungtivitis Gonokokus terjadi 1-3 hari setelah dilahirkan melalui jalan lahir, sedangkan konjungtivitis Klamidia terjadi setelah 5-14 setelah dilahirkan. Konjungtivitis pada neonatus umumnya disebabkan infeksi menular seksual yang diderita oleh orang tua bayi. Gambaran klinis berupa sekret purulen, kemosis, terdapat membrane/pseudomembran–pada konjungtivitis gonokokus; ditambah reaksi papilar—pada konjungtivitis klamidia.

Terapi dengan antibiotik topikal tetrasiklin/penicillin dan sistemik pada kedua orang tua.

e. Konjungtivitis Adenovirus

Konjungtivitis oleh karena adenovirusvirus dapat dikelompokkan menjadi dua dasar penyebabnya.

- demam faringkonjungtiva, disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan 7, sebanyak 30% kasus berkembang menjadi keratitis. Tiga tanda kardinal pada demam faringkonjungtiva adalah demam, faringitis, konjungtivitis, selain itu ditambah dengan adanya limfadenopati periaurikular tanpa rasa nyeri tekan. Seringkali terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa.

(16)

15 - Konjungtivitis epidemika, penyebabnya adalah adenovirus tipe 8 dan 9. Sebanyak 80% kasus akan menjadi keratitis. Karakteristik penyakit ini adalah adanya lomfadenopati periaurikular dengan nyeri tekan. Gambaran klinis bersifat akut hyperemia, mata berair, rasa tidak nyaman, dan fotophobia; 60% kasus bersifat bilateral dengan edema palpebra, dan reaksi folikular, terdapat gambaran bercak-bercak keputiha pada kornea. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan perdarahan sub konjungtiva karena eksudat yang sangat banyak sehingga sel-sel darah merah ikut ekstavasasi, timbul kemosis, dan pseudomembran.

Terapi dengan status gizi yang baik, dalam 2 minggu dapat terjadi perbaikan spontan, steroid hanya diberikan pada inflamasi yang sangat berat dan infeksi virus herpes dapat disingkirkan.

f. Konjungtivitis Herpes Simpleks

Konjungtivitis virus herpes simpleks biasanya merupakan penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, sekret mukoid, sakit, dan fotophobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan.7

Terapi konjungtivitis pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri, namun perlu diberikan antivirus topikal maupun sistemik untuk mencegah terkenanya kornea. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.7 Penggunaan atau pemberian kortikosteroid pada konjungtivitis herpes dikontra indikasikan, karena dapat memperburuk infeksi

(17)

16 herpes simpleks dan mengkonversi penyakit dari proses sembu sendiri menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.

g. Konjungtivitis Hemoragika Akut

Konjungtivitis ini disebabkan oleh enterovirus-70 dari golongan pikornavirus (piko-RNA-virus). Gambaran klinis, konjungtivitis ini terjadi bilateral, mengluarkan air mata terus menerus, terdapat folikel pada palpebra, terdapat perdarahan subkonjungtiva. Penyakit ini akan sembuh sendiri dalam waktu 7 hari, tidak ada pengobatan yang efektif.

2. Konjungtivitis Alergi

a. Konjungtivitis Alergika Akut

Konjungtivitis biasanya disertai riwayat alergi pada pasien dan atau keluarganya. Gambaran klinisnya gatal, lakrimasi, hiperemia, kemosis ringan, dan reaksi papilar yang difus. Pada kasus yang berat dapat terjadi edema palpebra. Kornea tidak terkena. Kondisi ini dapat dikendalikan dengan pemberian stabilisator sel mast topikal: sodium kromoglikat 2% dan iodoxamin 0.1%.

b. Konjungtivitis Vernalis

Penyakit ini, juga dikenal sebagai ―konjungtivitis musiman‖ atau ―konjungtivitis musim kemarau‖, adalah penyakit alergi bilateral yang jarang.7

Kondisi ini bersifat rekuren, bilateral, mengenai anak-anak serta dewasa muda. Gambaran klinisnya: gatal, lakrimasi, fotophobia, sensasi benda asing, rasa terbakar, secret mukus yang tebal, dan ptosis. Palpebra terasa berat bila diangkat karena terdapat reaksi papilar raksasa pada palpebra superior, sehingga lebi tepat disebut pseudoptosis. Enyakit ini dapat diikuti dengan keratitis dan infeksi palpebra superior. Sebagai terapi dapat digunakan steroid—tapi tidak boleh digunakan untuk jangka panjang. Selain steroid dapat pula diberikan topical mast cell stabilizer.

(18)

17 3. Konjungtivitis Autoimun

a. Konjungtivitis sikatrisial

Penyakit ini biasanya diawali dengan konjungivitis kronis dan biasa muncul bersama dengan manifestasi pada mulut, hidung, esophagus, vulva, dan kulit. Konjungtiviris dapat memicu timbulnya jaringan parut sehingga terjadi perlekatan antara konjungtiva bulbi dan konjungtiva palpebra (simblefaron). Jaringan parut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel goblet sehingga menimbulkan mata kering. Terapi dilakukan dengan pemberian air mata buatan dan vitamin a topikal, serta obliterasi pungta lakrimal.

4. Konjungtivitis Kimiawi

Konjungtivitis kimiawi yang iatrogenik yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat lain yang disiapkan dalam bahan pengawet atau vehikel toksik atau yang menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus conjungtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva kemudian akan cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan kedalam saccus conjungtiva

F. Pencegahan

Konjungtivitis akibat agen infeksi seringkali menular dengan mudah, untuk melakukan pencegahan oleh karena itu sebelum dan sesudahmembersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih. Selain itu diusahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang sakit, dan jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya.

Pencegahan untuk konjungtivitis alergi dan kimia, dilakukan dengan menghindari pajanan allergen maupun agen kimia yang dapat mengiritasi konjungtiva, konjungtivitis jenis ini tidak menular.

(19)

18

BAB III

KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan.

Berdasarkan penyebab terjadinya, konjungtivitis dapat dibagi menjadi: (1) konjungtivitis karena agen infeksi, (2) konjungtivitis imunologik/alergi, (3) konjungtivitis autoimun, serta (4) konjungtivitis kimia atau iritatif.

Penting artinya untuk mengetahui setiap ciri khas kelainan konjungtivitis karena pengobatan dengan tiap etiologi yang berbeda memerlukan terapi yang berbeda pula. Pengobatan yang tidak adekuat dari konjungtivitis tipe tertentu seperti trakoma akan dapat memberikan prognosa yang buruk (mengakibatkan kebutaan).

(20)

19 DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas A.B.; Lichtman A.H. "Ch.2 Innate Immunity". dalam Saunders (Elsevier). Basic

Immunology. Functions and disorders of the immune system (3rd ed.). ISBN

978-1-4160-4688-2. 2009

2. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1998

3. Putz, R. & Pabst R. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000. hal 356.

4. Pedoman Diagnosis dan Terapi, SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, 2006 ,Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.

5. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2, 134.

6. Suhardjo, Prof. dr. SpM(K) & dr. Hartono, Sp.M(K). Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu

Penyakit Mata FK UGM. Yogyakarta. 2007.

7. American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea. Section 11. San

Gambar

Gambar 1 Anatomi Konjungtiva dan Palpebra
Gambar 2. Struktur anatomi dari conjungtiva
Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva
Gambar 5.  gambaran klinis dari folikel
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Perubahan status gizi pada pasien gizi kurang selama 2 minggu perawatan juga tidak menunjukkan suatu perbaikan, dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbaikan status gizi dan imunologi setelah ≥6 bulan terapi

Palangka Raya Bulan Februari-Maret Tahun 2017, dapat diperoleh kesimpulan terdapat hubungan antara status gizi (berat badan menurut umur) terhadap kejadian Infeksi

Pada akhirnya, infeksi saluran cerna ini meningkatkan risiko kekurangan gizi yang semakin berat karena tubuhnya tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik.. Status gizi gizi yang

Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko

Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis

Hal ini menunjukkan status gizi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi virus dengue, dan responden dengan status gizi tidak normal berisiko 1,250 kali