• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Singa Afrika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Singa Afrika"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Singa Afrika

Singa (Panthera leo) termasuk dalam keluarga Felidae yaitu keluarga kucing-kucingan. Keluarga ini dapat dibedakan dari keluarga Canidae dengan karakteristik berupa moncong yang lebih pendek, gigi premolar atas terakhir (carnassials) yang berkembang baik, serta gigi taring yang besar. Singa merupakan anggota genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum (Feldhamer et al. 1999).

Subspesies dari singa banyak diklasifikasikan berdasarkan distribusinya. Namun, berdasarkan analisis genetik oleh O’Brien et al. (1987) dan Dubach et al. (2005) dalam IUCN (2011) dinyatakan terdapat dua subspesies singa yaitu singa Afrika (Panthera leo leo) dan singa Asia (Panthera leo persica). Secara lengkap, klasifikasi dari singa Afrika adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Karnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera leo

Subspesies : Panthera leo leo Linnaeus, 1758

Singa memiliki morfologi yang dapat dengan mudah dibedakan dari kucing besar lainnya seperti harimau, macan, dan jaguar yaitu dengan adanya surai pada leher individu jantan (Gambar 1). Surai ini berfungsi untuk melindungi daerah leher ketika mereka berkelahi, sedangkan individu betina tidak memiliki surai. Selain itu, kuncung yang berwarna hitam pada ujung ekor singa juga menjadi ciri khasnya (Grzimek 1970).

Warna rambut pada singa bervariasi mulai dari kuning terang hingga kuning kemerahan tanpa ada pola tertentu. Bagian perut dan bagian sebelah dalam dari ekstremitas memiliki warna yang lebih pucat. Surai pada individu jantan biasanya berwarna kuning, coklat, atau coklat kemerahan pada singa muda namun

(2)

cenderung menjadi lebih gelap mengikuti umur dan bahkan dapat berwarna hitam (Nowak 2005).

Tubuh singa jantan berukuran lebih besar dari singa betina dengan berat badan singa jantan berkisar antara 150-250 kg dan singa betina berkisar antara 120-180 kg. Panjang tubuh singa jantan adalah 170-190 cm dengan panjang ekor 90-105 cm, sedangkan untuk singa betina panjang tubuh berkisar 140-175 cm dengan panjang ekor 70-100 cm (Grzimek 1970).

Gambar 1 Morfologi singa jantan (kiri) dan betina (kanan) (Mazur 2008).

Perilaku dan Reproduksi

Singa termasuk ke dalam satwa karnivora yang berarti satwa pemakan daging dan sebagian besar dari ordo ini merupakan satwa pemangsa. Hewan yang biasa dijadikan mangsa oleh singa adalah hewan ungulata berukuran kecil sampai medium. Hayward dan Kerley (2005) meneliti lebih spesifik mengenai pemilihan hewan mangsa ini dan menyimpulkan bahwa singa biasanya memilih mangsa dengan kisaran bobot badan antara 190-550 kg dan bobot badan mangsa yang paling disukai adalah 350 kg. Hewan-hewan yang termasuk dalam kisaran bobot badan ini antara lain jerapah, zebra, banteng, bison, dan gemsbok.

Sebagian besar kucing hidup secara soliter, terkecuali pada saat berkembang biak dan membesarkan anak. Hanya singa yang hidup dengan membentuk kelompok sosial tertentu. Singa biasanya menetap pada satu kawasan yang disebut pride dan hidup secara berkelompok yang terdiri dari beberapa singa

(3)

jantan dewasa, singa betina dewasa, dan anakan singa. Besaran kelompok dapat bervariasi dari hanya beberapa ekor hingga mencapai 30 ekor, serta tidak terbatas pada satu keluarga saja. Menjelang dewasa, anak singa betina akan bergabung langsung dengan kelompoknya namun singa jantan akan meninggalkan pride. Beberapa singa jantan yang memiliki hubungan akan membentuk koalisi nomaden hingga dewasa. Koalisi ini akan membentuk kelompok baru atau merebut pride singa lain. Pada akhirnya, biasanya dalam waktu kurun tiga tahun, kekuasaan pride akan tergantikan oleh singa jantan lainnya (Nowak 2005).

Perkawinan antar singa tidak mengikuti periode musim kawin tertentu. Namun, di Serengeti dan Taman Nasional Kruger dilaporkan bahwa perkawinan antar singa paling banyak terjadi antara bulan Maret hingga Juni. Singa di Afrika Barat paling banyak melakukan aktivitas kawin pada bulan November dan Desember. Singa betina termasuk hewan poliestrus yang berarti siklus estrus terjadi beberapa kali dalam satu tahun. Estrus pada singa berlangsung selama 4-8 hari (Grzimek 1970). Masa kehamilan singa selama 100-119 hari dan dapat melahirkan 1-6 anak dengan rata-rata 3-4 anak. Singa mencapai umur dewasa pada umur 3-4 tahun, namun pertumbuhan tetap berlangsung hingga usia 6 tahun (Nowak 2005).

Habitat dan Distribusi

Berbeda dengan harimau yang memiliki habitat dengan vegetasi yang padat, singa biasanya memilih wilayah berupa padang terbuka sebagai habitatnya. Habitat singa umumnya adalah savana, dataran berumput, hutan terbuka, dan semak belukar. Singa juga dapat memasuki kawasan semi-gurun dan bahkan pernah ditemukan di daerah pegunungan dengan ketinggian 5.000 meter. Kelompok singa yang menempati pride tertentu memiliki wilayah jelajah seluas 20-400 km2. Singa yang nomaden dapat memiliki luas jajahan mencapai 4.000 km2 dengan sebagian area tumpang tindih dengan wilayah jelajah singa lain (Nowak 2005).

Singa Afrika tersebar di wilayah sub-sahara Afrika dengan sebagian besar populasi tersebar di wilayah Afrika Timur dan Afrika Selatan. Negara-negara yang termasuk wilayah ini antara lain Angola, Botswana, Kamerun, Kongo,

(4)

Etiopia, Uganda, dan Somalia. Populasi singa Asia terisolasi hanya pada Taman Nasional Hutan Gir India dan penangkaran satwa liar. Populasi singa Afrika belum dapat dipastikan karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. The African Lion Working Group (ALWG) menduga populasi singa Afrika saat ini adalah sebanyak 23.000 ekor dengan kisaran 16.500-30.000 ekor (IUCN 2011).

Pyometra

Pyometra merupakan infeksi pada uterus yang dapat bersifat akut maupun kronis dengan adanya akumulasi pus (nanah) pada lumen uterus (Gambar 2). Terjadinya pyometra berawal dari adanya gangguan pada masa diestrus yang dipengaruhi oleh aktivitas hormon progesteron yang tinggi. Progesteron mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri sebagai infeksi sekunder.

Gambar 2 Skematis uterus yang normal (kiri) dan uterus yang mengalami pyometra (kanan) (Gilshenan 2003)

Umumnya bakteri yang teridentifikasi dari hasil ulasan uterus anjing yang mengalami pyometra adalah bakteri yang normal ditemukan pada uterus anjing sehat. Pada pyometra, bakteri tersebut menjadi patogen dan menginfeksi uterus

(5)

akibat faktor hormonal yang menyebabkan perubahan struktur pada uterus. Bakteri yang biasanya terkait dengan pyometra adalah Eschericia coli, namun bakteri lain seperti Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Haemophilus, Pasteurella, dan Serratia juga pernah diisolasi dari uterus anjing yang mengalami pyometra (Feldman dan Nelson 2004).

Pyometra pada anjing paling sering didiagnosa 4 hingga 8 minggu setelah estrus sedangkan pada kucing umumnya pyometra berkembang 1 hingga 4 minggu setelah estrus, walaupun kejadian pyometra pada kucing lebih sedikit ditemukan (Kennedy 2008). Menurut Agudelo (2005), umur rata-rata kucing yang mengalami pyometra adalah 7 tahun. Terjadinya pyometra tidak memiliki korelasi dengan umur kebuntingan pertama kucing tersebut ataupun jumlah anak yang dilahirkan. Namun, telah diamati adanya korelasi antara pyometra dengan adanya corpus luteum pada ovarium dimana corpus luteum ditemukan pada 40-70% dari kasus pyometra yang dilaporkan.

Patogenesis

Siklus estrus pada mamalia dipengaruhi oleh berbagai hormon. Pada awal siklus estrus, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) akan menstimulasi perkembangan folikel ovarium. Setiap folikel membungkus satu sel telur. Sel-sel folikular yang mengelilingi telur kemudian mensekresikan hormon estrogen yang menyebabkan penebalan endometrium, mempengaruhi kelanjutan perkembangan folikel, dan menghambat produksi FSH. Ketika sel telur telah matang, akan terjadi ovulasi yang diinduksi oleh kadar LH yang tinggi.

Saat ovulasi, folikel akan meletus dan melepaskan sel telur. Sel telur kemudian akan melalui oviduk yaitu tempat terjadinya fertilisasi apabila bertemu dengan sperma. Apabila tidak terjadi fertilisasi, maka sel telur akan masuk ke uterus dan berdegenerasi. Bagian dari folikel yang robek saat ovulasi akan diisi oleh sel folikular berwarna kuning yang disebut corpus luteum. Corpus luteum ini akan menghasilkan progesteron, yaitu hormon yang akan meningkatkan proliferasi endometrium (Feldhamer et al. 1999).

Corpus luteum akan mengalami regresi apabila tidak terjadi fertilisasi sehingga sintesis dan pelepasan progesteron berhenti secara mendadak. Regresi

(6)

corpus luteum pada akhir fase luteal disebabkan oleh substansi luteolitik yang disekresikan oleh uterus, yaitu prostaglandin (Nalbandof 1990). Apabila terjadi fertilisasi, maka corpus luteum akan persisten pada awal masa kebuntingan. Hal ini dikarenakan progesteron dibutuhkan dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi embrio. Corpus luteum akan beregresi setelah fungsi produksi progesteron digantikan oleh plasenta.

Pada kasus pyometra, corpus luteum tetap persisten dalam waktu yang lama walaupun tidak terjadi kebuntingan. Hal ini dikarenakan adanya infeksi uterus yang mengganggu mekanisme luteolisis sehingga corpus luteum tidak beregresi. Corpus luteum persisten juga sering dihubungkan dengan infeksi uterus yang timbul karena retensi sisa-sisa plasenta akibat kebuntingan (Hunter 1995). Dalam laporan McCain et al. (2009), pemeriksaan histopatologi yang ditemukan pada singa, harimau, dan macan yang menderita pyometra menunjukkan adanya satu ataupun beberapa corpus luteum pada ovarium.

Corpus luteum yang persisten menyebabkan hormon estrogen dan progesteron terus diproduksi (Gambar 3). Progesteron mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Perubahan patologis yang dialami uterus adalah penebalan endometrium secara terus-menerus, peningkatan sekresi kelenjar uterus, dan penurunan kontraksi miometrium (Smith 2006).

Progesteron mengakibatkan penebalan dinding endometrium dengan meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjarnya sehingga mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Hiperplasia endometrium yang progresif dapat menjadi sistik dan menghasilkan hiperplasia sistik endometrial (Feldman dan Nelson 2004). Penurunan kontraksi miometrium didasari oleh perubahan permeabilitas ion dari sel miometrium yang disebabkan oleh progesteron dan perubahan ketersediaan kalsium interseluler (Austin dan Short 1984).

Kontaminasi bakteri pada uterus adalah hal yang normal terjadi pada masa proestrus atau estrus. Pada kedua fase dalam siklus estrus ini, serviks berdilatasi dan terbuka sehingga kemungkinan besar kontaminasi bakteri pada uterus terjadi saat fase ini berlangsung. Bakteri yang paling mungkin menginfeksi uterus merupakan flora normal pada vagina. Bakteri ini memiliki kemampuan

(7)

melakukan perpindahan secara ascenden ke dalam uterus melalui serviks yang terbuka selama masa proestrus dan estrus. Namun infeksi uterus oleh bakteri jarang terjadi karena kontaminasi bakteri selama siklus estrus dapat dikontrol dan secara cepat dibersihkan. Oleh karena itu patogenesis dari pyometra tidak dapat dijelaskan hanya dari bakteri pada uterus (Feldman dan Nelson 2004).

Selama masa kehamilan, progesteron berfungsi untuk melindungi fetus dari kekebalan tubuh induk. Progesteron menghambat sel T-mediated sehingga tidak terjadi penolakan terhadap fetus di dalam uterus (Hansen 1998). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa progesteron yang dihasilkan oleh plasenta induk memiliki sifat imunosupresif yang dibuktikan dengan efek anti-inflamasi secara lokal serta penghambatan aktivasi dan proliferasi limfosit dan sel T-killer (Siiteri dan Stites 1982). Pada kasus pyometra, terhambatnya aktivasi leukosit sebagai respon sistem imun di uterus oleh progesteron akan semakin mendukung pertumbuhan bakteri.

Gambar 3 Skema terjadinya kebuntingan (kiri) dan patogenesis pyometra (kanan).

(8)

Pyometra juga dapat terjadi akibat rangsangan dari luar tubuh. Pemakaian estrogen dari luar sebagai terapi untuk mencegah kebuntingan serta terapi progesteron untuk mengurangi estrus pada hewan dapat meningkatkan resiko terjadinya pyometra (Smith 2006). Oleh sebab itu, berbagai faktor yang berkontribusi dalam perkembangan pyometra antara lain keberadaan bakteri, konsentrasi progesteron yang tinggi pada saat diestrus, dan pemakaian progesteron dan estrogen dari luar (Feldman dan Nelson 2004).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang umum terlihat pada anjing yang mengalami pyometra antara lain berkurangnya nafsu makan, depresi, polidipsia, lethargi, dan pembesaran pada abdominal. Pyometra dapat disertai dengan keluarnya nanah dari vagina (pyometra terbuka) ataupun tanpa keluarnya nanah (pyometra tertutup). Nanah yang keluar dari vagina dapat bersifat purulen, sanguinopurulen, mucoid, atau dapat juga bercampur dengan darah ketika sudah parah (Smith 2006). Menurut Kenney et al. (1987), dari 183 kucing yang didiagnosa mengalami pyometra, gejala klinis yang umum terdeteksi adalah adanya nanah yang keluar dari vagina, anorexia, dan lethargi. Sebagian besar kucing menunjukkan adanya leukositosis dengan ciri left shift yaitu banyak ditemukan leukosit yang belum matang dalam darah sebagai kompensasi kebutuhan leukosit dalam jumlah banyak.

Hasil pemeriksaan total sel darah putih pada anjing dengan pyometra dapat bervariasi, namun peningkatan total sel darah putih (leukositosis) umumnya ditemukan pada kasus pyometra terbuka. Temuan pemeriksaan darah berupa anemia juga sering terlihat sebagai akibat dari septisemia dan toksemia yang terkait dengan pyometra. Pyometra dapat menekan kerja sumsum tulang sehingga terjadi anemia non-regeneratif. Hiperproteinemia dan hiperglobulinemia umumnya terjadi akibat proses dehidrasi dan stimulasi antigen yang berlangsung lama (Feldman dan Nelson 2004).

(9)

Diagnosa

Pyometra merupakan salah satu diagnosa pembanding apabila ada anjing atau kucing dalam masa diestrus terlihat sakit, terutama jika disertai gejala polidipsia, poliuria, atau muntah. Menurut Agudelo (2005), diagnosa pyometra dapat ditegakkan melalui anamnesa pemilik, status siklus estrus, dan gejala klinis. Selain itu pemeriksaan vaginoscopy, sitologi vagina, profil biokimia dan urinalisis dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa.

Menurut Bigliardi (2004), diagnosa untuk kasus pyometra paling baik dilakukan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan radiografi. Pemeriksaan USG dapat mengungkapkan adanya eksudat dalam uterus dan hiperplasia sistik endometrial. Selain itu, melalui pemeriksaan USG dapat dengan jelas mengevaluasi integritas endometrium, variasi ketebalan dinding rahim, dan distensi uterus.

Secara normal, uterus hanya dapat teridentifikasi melalui radiografi saat ukurannya membesar akibat kebuntingan. Apabila uterus dapat teridentifikasi pada saat tidak terjadi kebuntingan, maka dapat dicurigai terjadi sesuatu yang abnormal. Hasil radiografi uterus dengan pyometra terlihat sebagai struktur tabung atau pipa berisi cairan dengan diameter yang lebih besar dari usus halus dan terletak di ventrocaudal abdomen (Feldman dan Nelson 2004).

Penanganan

Feldman dan Nelson (2004) membagi penanganan pyometra menjadi dua yaitu melalui bedah dan perawatan medis. Perawatan medis dilakukan pada anjing atau kucing yang masih ingin dikembangbiakkan yaitu dengan pemberian prostaglandin. Prostaglandin memberikan efek kontraksi miometrium sehingga dapat mengeluarkan eksudat dalam lumen secara paksa. Selain itu, pemberian prostaglandin menghambat sirkulasi progesteron dengan cara melisiskan corpus luteum sehingga mengurangi stimulus proliferasi endometrium dan sekresi kelenjar uterus. Penanganan dengan prosedur bedah yang biasa dilakukan adalah ovariohisterektomi dan drainase uterus. Drainase uterus dilakukan melalui kateter yang dimasukkan ke dalam uterus melalui vagina dan serviks untuk mengaspirasi

(10)

eksudat purulen dan membasuh uterus dengan cairan antiseptik selama beberapa hari.

Ovariohisterektomi (OH) merupakan penanganan yang paling dipilih pada kasus pyometra. Sebelum melakukan OH, kondisi cairan tubuh, elektrolit, dan keseimbangan asam basa harus dikembalikan normal. Infus cairan dan antibiotik berspektrum luas harus diberikan, serta eksudat uterus harus dikeluarkan untuk menghilangkan infeksi bakteri (Agudelo 2005, Feldman dan Nelson 2004). OH pada kasus pyometra umumnya berhasil dengan kesembuhan yang cepat dan dapat meminimalkan resiko pengulangan pyometra. Resiko neoplasia pada ovarium atau uterus juga dapat terhindarkan. Mortalitas post-operasi OH pada anjing yang mengalami pyometra diperkirakan sekitar 5% (Wheaton et al. 1989).

Gambar

Gambar 1  Morfologi singa jantan (kiri) dan betina (kanan) (Mazur 2008).
Gambar 2     Skematis  uterus  yang  normal  (kiri)  dan  uterus  yang  mengalami     pyometra (kanan) (Gilshenan 2003)
Gambar 3   Skema terjadinya kebuntingan (kiri) dan patogenesis pyometra   (kanan).

Referensi

Dokumen terkait

Sebaiknya menggunakan kamera dengan resolusi yang lebih tinggi dan kemampuan komputer yang tinggi, untuk mendeteksi durasi kedipan mata sehingga jarak deteksi dapat lebih

Untuk itu pada masa revolusi Yogyakarta dijadikan sebagai ibukota Republik Indonesia, yang tentunya akan menjadi menarik untuk digali lebih jauh sejauh mana peran candu

Data pergeseran bilangan gelombang yang diperoleh tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai data panduan (referensi) untuk mendeteksi jenis ion logam yang

Menurut Legge dalam Syarif Hidayat (2007:259), kebijakan desentralisasi pada masa pemerintahan orde lama adalah pada persiapan pembentukan pemerintahan daerah adalah

Lighting plan merupakan gambar yang menunjukkan rencana peletakan lighting pada suatu area yang dirancang dilengkapi dengan jenis dan jumlah lighting yang digunakan

Untuk mengetahui kekurangan atau permasalahan yang ada pada proses belajar mengajar, dilakukan wawancara terhadap guru mata pelajaran perakitan komputer, dengan

Drainase merupakan serangkaian bangunan air yang dapat membuang kelebihan air dari satu kawasan agar lahan dapat difungsikan secara optimal.Drainase berhubungan erat dengan

Jawaban Responden Terhadap Pernyataaan Tentang Tingkat Kualitas Kerja menunjukkan bahwa 13 (43.3%) orang responden menyatakan sangat setuju, sebanyak 14 (46,7%) responden