• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sanitasi makanan

2.1.1. Definisi Sanitasi Makanan

Makanan atau food didefinisikan sebagai sesuatu yang boleh dimakan oleh manusia atau hewan untuk membantu proses pertumbuhan dan membantu supaya kekal hidup. Makanan juga merupakan sumber energi satu-satunya bagi manusia (Slamet, 2007).

Makanan yang baik penting untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan kehidupan. Makanan memberikan energi dan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun dan mengganti jaringan, untuk bekerja, dan memelihara pertahanan tubuh terhadap penyakit (Adams dan Motarjemi, 2004). Makanan juga bukan saja bermanfaat bagi manusia, tetapi makanan juga sangat baik untuk pertumbuhan mikroba yang patogen. Oleh karena itu, perlu dijaga sanitasi makanan bagi mendapatkan keuntungan maksimum dari makanan (Slamet, 2007).

Menurut Mukono (2004), sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan, misalnya penyediaan tempat sampah agar sampah tidak dibuang sebarangan. Sanitasi makanan pula adalah upaya untuk menjamin kualitas makanan dalam mencegah kontaminasi dan penyakit bawaan makanan (Smith, 2008).

Menurut Mukono (2004) lagi, pengelolaan makanan yang higienis ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Faktor lingkungan

1) Bangunan dan lokasi

2) Peralatan dan perabotan kerja untuk proses pengelolaan 3) Fasilitas sanitasi

(2)

b. Faktor manusia

1) Keadaan fisik tubuh dan pakaian yang dipakai 2) Pengetahuan yang dimiliki

3) Sikap atau pandangan hidup 4) Perilaku atau tindakan yang biasa c. Faktor makanan

1) Pemilihan bahan makanan 2) Pengelolaan makanan 3) Penyimpanan makanan jadi 4) Pengangkutan makanan 5) Penyajian makanan

2.1.2. Prinsip Sanitasi Makanan

Sanitasi makanan dapat ditingkatkan melalui sejumlah tindakan umum. Tindakan umum yang terpenting dirumuskan oleh World Health Organization (WHO, 2004) sebagai kumpulan lima langkah dalam pengelolaan sanitasi makanan yaitu:

1.Penggunaan bahan makanan mentah dan sumber air yang bersih.

Konsumen perlu mengetahui produk bahan mentah apa yang mempunyai resiko yang tinggi dalam menyebabkan penyakit bawaan makanan. Contoh bahan mentah adalah seperti ikan, daging dan telur mentah. Makanan ini perlulah dipilih dengan berhati-hati. Bahan makanan mentah ini bisa dinilai samada masih bisa digunakan atau tidak dengan cara melihat warna dan bau (WHO, 2004) .

Daging mudah sekali rusak karena mikroba. Kerusakan pada daging dapat dikenal karena tanda-tanda seperti adanya perubahan bau menjadi tengik atau bau busuk, terbentuknya lendir, adanya perubahan warna dan adanya perubahan rasa menjadi asam. Di samping daging, ikan juga mudah sekali rusak karena serangan mikroba. Tanda-tanda kerusakan ikan karena mikroba adalah seperti adanya bau busuk karena gas amonia, sulfida atau senyawa busuk lainnya, terbentuknya lendir pada permukaan ikan, adanya perubahan warna, yaitu kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat dan adanya perubahan daging ikan menjadi tidak kenyal lagi

(3)

Warna tidak bisa dijadikan patokan dalam menentukan apakah bahan makanan mentah itu masih bisa digunakan atau tidak. Seeloknya dilihat dari tempoh berlaku suatu produk makanan itu. Jika tidak dapat menilai dengan benar dan masih diragui samada bahan makanan mentah ini masih bisa digunakan atau tidak, seeloknya bahan makanan ini dibuang bagi menghindar dari terjadinya kontaminasi. Sumber air yang baik juga mempengaruhi sanitasi suatu makanan. Oleh itu, Sebaiknya air yang bersih digunakan sepanjang pengelolaan makanan (WHO, 2004).

2. Penjagaan makanan supaya sentiasa bersih.

Konsumen sebaiknya mempraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air terutama sebelum dan selepas mengelola makanan, sebelum dan selepas makan, dan juga sebelum dan selepas ke kamar mandi. Alat yang digunakan untuk memasak dan juga pengelolaan makanan sebaiknya dicuci juga bagi mengelakkan pertumbuhan mikroorganisme yang suka berkembang biak pada suhu kamar dan di tempat yang lembab (WHO, 2004).

3. Pengasingan makanan yang mentah dan yang sudah dimasak.

Alat yang digunakan untuk mengendalikan bahan makanan mentah juga sebaiknya diasingkan dari alat yang digunakan pada bahan makanan yang siap. Tujuan pengasingan ini adalah bagi mengelakkan makanan mentah yang terkontaminasi dari menular ke bahan makanan yang sudah siap dimasak (WHO, 2004) .

4. Memasak dengan sempurna.

Memasak pada suhu dan jangka waktu yang betul bisa membunuh mikroorganisme yang terdapat pada suatu bahan makanan mentah. Jangka waktu dan suhu yang betul bervariasi tergantung pada tipe makanan (WHO, 2004). 5. Penyimpanan makanan di tempat yang selamat.

Mikroorganisme biasanya berkembang biak dengan cepat pada suhu 40°F-140°F. Suhu yang dingin hanya bisa melambatkan pertumbuhan mikroorganisme tapi tidak bisa membunuhnya. Maka dengan penyimpanan yang betul bisa mengurangkan resiko berlakunya penyakit bawaan makanan(WHO, 2004) .

(4)

Meskipun Five Keys to Safer Food diterapkan dengan seimbang dalam seluruh aktivitas penyiapan makanan, usaha katering berskala besar merupakan pekerjaan yang lebih rumit dibandingkan dengan penyiapan makanan langsung untuk konsumsi keluarga dan memerlukan lebih banyak aturan yang rinci. Kegiatan ini mencakup penyiapan makanan dalam jumlah besar untuk lebih banyak orang, terutama dengan menggunakan pekerja yang dibayar, dengan ruangan dan perlatan yang khusus (Adams dan Motarjemi, 2004).

Usaha ini menjadi penting karena semakin banyak orang yang mengkonsumsi makanan yang disiapkan diluar rumah, di tempat kerja, di rumah sakit, tempat pendidikan,atau di pertemuan sosial dan lain-lain. Jika praktik higienis yang baik tidak berhasil dilakukan, konsekuensi yang terjadi jauh lebih serius dalam jumlah orang yang terkena. Aturan-aturan praktik higienis yang baik dalam penyiapan makanan berkaitan terutama dengan tiga area yang berbeda (Adams dan Motarjemi, 2004):

1.Faktor-faktor fisik: bangunan dan peralatan

Syarat pertama adalah bahwa lingkungan kerja harus memiliki pencahayaan yang baik, ventilasi yang baik dan rapi karena ini akan mendorong praktik kerja yang baik dan meningkatkan keamanan makanan. Lingkungan kerja juga harus bersih dan mudah dibersihkan (Adams dan Motarjemi, 2004).

Syarat kedua pula adalah peralatan yang digunakan haruslah dibersihkan sebelum dan selepas penggunaan. Sebagai contoh kain lap. Lap yang digunakan untuk membersihkan dapat dengan cepat mengandung sejumlah besar populasi mikroorganisme. Maka lap itu harus selalu diganti setiap hari dan direbus sebelum digunakan kembali. Sama halnya dengan peralatan masak, yang harus tepat penggunaannya, dipelihara dengan baik, dan diperiksa dengan teratur untuk memastikan bahwa alat tersebut berfungsi dengan baik (Adams dan Motarjemi, 2004).

2. Faktor-faktor operasional: penanganan makanan secara higienis

Sebahagian besar penanganan makanan secara higienis berkaitan dengan pengaturan suhu yang tepat untuk mengontrol mikroorganisme, menghindari suhu yang memungkinkan pertumbuhan mikroba, jika perlu, memastikan bahwa suhu

(5)

suhu cukup tinggi untuk membunuh mikroorganisme (Adams dan Motarjemi, 2004).

3. Faktor-faktor personal: higiene dan pelatihan personal

Penjamah makanan seringkali menjadi sumber utama kontaminasi. Berikut beberapa praktik higienis yang perlu diikuti. Sebagai contoh, tangan harus selalu dicuci dengan teratur memakai sabun dan air yang bersih, tetapi khususnya sebelum mengolah makanan, setelah menggunakan kamar mandi, dan setelah memegang bahan mentah atau sampah makanan. Carta aturan mencuci tangan yang betul juga seharusnya ditempel di tempat mencuci tangan agar bisa menjadi pedoman kepada penjamah makanan tentang langkah-langkah mencuci tangan yang betul. Akan lebih mudah untuk menjaga kebersihan tangan jika kuku jari penjamah makanan pendek dan perhiasan makanan dilepaskan saat mengolah makanan karena kotoran dapat tersangkut di bawahnya dan sulit dibersihkan (Adams dan Motarjemi, 2004).

Penjamah makanan juga jangan sampai batuk ditangan mereka atau menyentuh rambut, hidung atau mulut saat mengolah makanan tanpa mencuci makanan setelahnya. Jika makanan harus ditangani oleh seseorang yang kulitnya berbintik-bintik, berlesi atau lukanya terinfeksi, luka tersebut harus ditutup dengan kain yang tahan air. Seeloknya penjamah makanan memakai sarung tangan saat menangani makanan (Adams dan Motarjemi, 2004).

Banyak aturan dasar pada sanitasi makanan yang sudah dianggap sebagai bagian dari kebiasaan, tetapi alasan penting dalam hal keamanan makanan seringkali tidak begitu jelas dan ini menyebabkan berlakunya kekeliruan akibat ancaman terhadap keamanan makanan. Untuk masyarakat umum, pendidikan dasar tentang sanitasi makanan dapat berfokus pada Five Keys to Safer Food, tetapi pelatihan yang lebih rinci diperlukan penjamah makanan dalam usaha katering berskala besar (Adams dan Motarjemi, 2004).

Berdasarkan penelitian di Ghana, pedagang makanan mendapat skor yang sedikit yaitu sebanyak 16,5% terhadap perilaku sanitasi makanan. Hasil ini diambil sebelum pedagang makanan mendapat bimbingan dan penyuluhan yang khusus. Akan tetapi selepas mendapat bimbingan dan penyuluhan yang cukup

(6)

dan lebih rinci, data statistik menunjukkan peningkatan skor terhadap perilaku sanitasi makanan pada pedagang makanan yaitu dari 16,5% menjadi 60,5% (Donkor et al., 2009).

2.2. Penyakit Bawaan Makanan

2.2.1. Definisi Penyakit Bawaan Makanan

Menurut World Health Organization (WHO, 2004), penyakit bawaan makanan adalah suatu penyakit yang biasanya bersifat toksik maupun infeksius, disebabkan oleh agen-agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi.

2.2.2. Epidemiologi Penyakit Bawaan Makanan

Di negara-negara industri, setiap tahun, sebanyak 30% dari populasinya terkena penyakit bawaan makanan. Sebanyak 2,1 juta orang akan mati akibat dari penyakit diare, terutama anak-anak di negara-negara yang kurang berkembang. Contohnya di Amerika Serikat (AS), terdapat 76 juta kasus penyakit bawaan makanan yang dilaporkan; 325.000 yang masuk ke rumah sakit manakala 5.000 kematian dianggarkan setiap tahun (WHO, 2006).

Di negara-negara berkembang pula, beban ini semakin bertambah pada populasi yang tinggal di negara-negara ini dan dengan sistem pelaporan yang buruk atau tidak ada sama sekali pada kebanyakan negara berkembang ini, data statistik yang bisa diandalkan tentang penyakit ini tidak tersedia sehingga besaran insidensinya tidak dapat diperkirakan (WHO, 2006).

Bedasarkan hasil perkiraan memang berlainan, tetapi umumnya dipercaya bahwa di negara berkembang kurang dari sepuluh persen atau bahkan hanya satu persen kasus penyakit bawaan makanan yang pernah masuk dalam laporan statistik resmi. Di negara dengan sumber daya terbatas, kasus yang tidak dilaporkan mungkin lebih besar, dengan kemungkinan kurang dari 1% yang dilaporkan. Penyelidikan di beberapa negara menunjukkan bahwa faktor yang tidak dilaporkan mencapai 350 dalam beberapa kasus (Adams dan Motarjemi, 2004).

(7)

2.2.3. Jenis Penyakit Bawaan Makanan

Penyakit bawaan makanan ini terdiri dari tiga kategori yaitu, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk parasit yang menginvasi dan bermultiplikasi dalam tubuh, penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkembang biak di saluran pencernaan dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan bahan kimiawi yang beracun atau mengandungi toksin alami atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi (Sockett, 2001).

Umumnya kebanyakan kasus penyakit bawaan makanan ini adalah disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus atau parasit yang terdapat dalam makanan yang terkontaminasi. Negara berkembang diserang oleh beragam jenis penyakit bawaan makanan seperti penyakit Kolera, Kampilobakteriosis, gastroenteritis E.coli, Salmonelosis, Shigelosis, demam tifoid dan paratifoid (WHO, 2006).

2.2.4. Etiologi Penyakit Bawaan Makanan

Penyakit bawaan makanan umumnya disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi. Makanan bisa terkontaminasi dengan pelbagai cara. Ada juga produk makanan yang sudah mengandung bakteri atau parasit. Mikroorganisme ini bisa menyebar saat proses pembungkusan jika produk makanan ini tidak diurus dengan baik. Kegagalan untuk memasak dan menyimpan makanan dengan baik juga bisa menyebabkan kontaminasi pada makanan (WHO, 2006).

Kontaminasi E.coli dan patogen lain dari tinja yang sering terjadi pada makanan, menunjukkan adanya kontaminasi materi tinja pada makanan. Akibatnya, semua patogen yang penularannya diketahui terjadi melalui fekal-oral misalnya rotavirus dapat ditularkan melalui makanan (WHO, 2006).

Makanan dapat terkontaminasi oleh beberapa hal termasuklah mengolah makanan atau makan dengan tangan kotor, memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan, makanan mentah dengan matang disimpan bersama-sama,

(8)

makanan dicuci dengan air kotor, makanan terkontaminasi kotoran akibat hewan yang berkeliaran di sekitarnya dan makanan disimpan tanpa tutup sehingga serangga dan hewan perusak seperti tikus dapat menjangkaunya (Slamet, 2007)

Bakteri merupakan penyebab paling umum bagi penyakit bawaan makanan. Di United Kingdom pada tahun 2000, persentase bakteri yang dijumpai dalam kasus penyakit bawaaan makanan ini adalah seperti berikut: Campylobacter jejuni 77.3%, Salmonella 20.9%, Escherichia coli O157:H7 1.4%, dan bakteri yang lain adalah kurang dari 0.1%.

2.2.5. Patogenesis Penyakit Bawaan Makanan

Setelah makanan terkontaminasi dengan agen tertentu, apabila seseorang mengkonsumsi makanan tersebut, agen tersebut akan masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan yang dikonsumsi. Tempoh antara saat konsumsi makanan terkontaminasi dengan timbulnya gejala yang pertama dipanggil waktu inkubasi (Anonymous, 2007).

Waktu inkubasi ini bervariasi dari jam ke hari tergantung agen penyebab dan jumlah makanan terkontaminasi yang dikonsumsi. Dalam tempoh waktu inkubasi, mikroorganisme akan melalui lambung untuk masuk ke dalam usus, kemudian menempel pada lapisan sel yang melapisi dinding usus dan mula berkembang biak di sana. Ada juga mikroorganisme yang tinggal di usus, menghasilkan toksin yang kemudiannya di absorbsi masuk ke aliran darah. Gejala yang timbul tergantung pada agen penyebab (Anonymous, 2007).

Jika gejala pertama timbul dalam tempoh 1-6 jam setelah konsumsi makanan terkontaminasi itu, kemungkinan agen penyebabnya adalah toksin yang dihasilkan oleh bakteri atau bahan kimiawi yang beracun. Gejala akibat dari infeksi bakteri umumnya lambat kelihatan karena bakteri memerlukan masa untuk bermultiplikasi. Biasanya gejala ini akan terpapar setelah 12–72 jam setelah seseorang mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi. Bakteri Salmonella contohnya, mempunyai masa inkubasi selama 12-36 jam selepas makanan dikonsumsi (Slamet, 2007).

(9)

2.2.6. Gejala Penyakit Bawaan Makanan

Gejala yang timbul bagi penyakit bawaan makanan adalah bervariasi tergantung kepada agen penyebabnya. Tapi umumnya, gejala yang timbul bagi penyakit bawaan makanan ini termasuk rasa mual, nyeri abdominal, muntah, diare, gastroenteritis, demam, nyeri kepala atau kelelahan (fatigue). Gejala penyakit bawaan makanan ini bisa menyebabkan masalah kesehatan yeng permanen atau bisa juga menyebabkan kematian terutama pada orang yang berisiko tinggi seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan janinnya, orang tua, dan orang lain yang mempunyai sistem imun tubuh yang lemah (Anonymous, 2007 ).

Campylobacter sp dan Salmonella sp merupakan bakteri patogen yang bisa menyebabkan demam, diare dan ketegangan otot abdominal (abdominal cramp). Akan tetapi pada pasien yang mempunyai sistem imun yang lemah, Salmonella sp akan menginvasi sirkulasi darah dan menyebabkan infeksi yang bersifat fatal. Bakteri E.coli pula bisa menimbulkan gejala seperti diare berdarah dan juga ketegangan otot abdominal yang disertai dengan nyeri (painful abdominal cramp) (Anonymous, 2007).

2.2.7. Pencegahan Penyakit Bawaan Makanan

Penyakit bawaan makanan ini bisa dicegah terutama dengan cara meningkatkan keamanan makanan melalui sejumlah tindakan umum. Tindakan umum yang terpenting dirumuskan oleh WHO sebagai kumpulan Five Keys to Safer Food. Aturan ini memberikan pedoman bagi masyarakat umum tentang prinsip-prinsip penting dalam penyiapan makanan yang aman (Adams dan Motarjemi, 2004).

2.2.8. Komplikasi Penyakit Bawaan Makanan

Beberapa infeksi bawaan makanan ini dapat menimbulkan komplikasi serius yang mempengaruhi sistem kardiovaskular, ginjal, persendian, pernapasan, dan sistem imun. Diantara kelompok-kelompok yang rentan, efek kesehatan ini mungkin menjadi lebih serius lagi. Sebagai contoh, penyakit bawaan makanan yang disebabkan oleh Shigella bisa menyebabkan demam tinggi dan kejang.

(10)

Abses pada saluran usus juga dapat timbul akibat infeksi Shigella dan Salmonella terutama pada demam tifoid yang dapat menyebabkan perforasi pada usus dan bias membawa kepada peritonitis (Lindsay, 1997).

E.coli juga bisa menyebabkan komplikasi seperti Sindroma Uremik Hemolitik (Hemolytic Uremic Syndrome). Sindroma ini muncul beberapa minggu setelah gejala yang pertama akibat dari infeksi E.coli ini muncul. Sindroma ini terdiri dari simtom triase yaitu gagal ginjal akut, trombositopeni dan anemia hemolitik mikroangiopati (microangiopathic hemolytic anemia). Hal ini sangat berbahaya dan bisa mengancam nyawa. Gagal ginjal akut adalah salah satu dari penyebab utama kematian yang utama pada anak dan trombositopeni pula adalah salah satu dari penyebab kematian utama pada dewasa (Lindsay, 1997).

Serangan berulang penyakit bawaan makanan dapat menyebabkan malnutrisi yang memberikan dampak serius terhadap pertumbuhan dan sistem imun bayi dan anak. Bayi yang resistensinya terganggu menjadi lebih rentan terhadap penyakit lain termasuk infeksi napas dan selanjutnya akan terjebak dalam lingkaran setan malnutrisi serta infeksi. Banyak bayi dan anak tidak dapat bertahan dalam keadaan ini. Setiap tahun, terdapat 12-13 juta balita yang meninggal dunia akibat efek yang berkaitan dengan malnutrisi dan infeksi (WHO, 2006).

2.3. Perilaku

2.3.1. Definisi Perilaku

Perilaku merupakan reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku juga merupakan hasil dari proses adaptasi seseorang terhadap faktor lingkungannya (Notoatmodjo, 2007).

2.3.2. Pengembangan Perilaku

Menurut Lawrence Green (1993) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), dinyatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Perilaku pula dibentuk oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong.

(11)

Faktor predisposisi (predisposing factors) ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial, ekonomi dan sebagainya. Faktor - faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah (Notoatmodjo, 2007).

Faktor pendukung (enabling factors) pula mencakup ketersediaan sarana-prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. Manakala faktor pendorong (reinforcing factor) pula merupakan sikap dan perilaku petugas yang memainkan peran dalam mempengaruhi perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

2.3.3. Domain Perilaku

Menurut Bloom (1908) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), perilaku manusia ini terbagi kepada tiga domain atau kawasan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Namun dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran dalam hasil pendidikan kesehatan menjadi:

1.Pengetahuan (Knowledge)

Maksud pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan ini dapat dilakukan menggunakan pancaindra manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan yang tercakup di dalam domain kognitif ini terdiri dari beberapa tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2007):

a. Tahu (know)

Tahu bermaksud mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Akan tetapi, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah karena tahu adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

(12)

b. Memahami (comprehension)

Memahami berarti suatu kemampuan menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi berarti sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari dalam suatu kondisi atau situasi yang sebenar.

d. Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam komponen-komponen tapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitan antara satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain memformulasikan suatu yang baru dari formulasi-formulasi yang sedia ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini pula didasarkan pada kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria-kriteria yang sedia ada.

2. Sikap (Attitude)

Sikap bermaksud reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus objek (Notoatmodjo, 2007). Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notatmodjo (2007), sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu kepercayaan dan ide terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Sikap juga mempunyai beberapa tingkatan yaitu:

a. Menerima (receiving)

Menerima berarti suatu subjek (orang) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

(13)

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mendiskusikan suatu masalah. d. Bertanggungjawab

Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Maka untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung. Menurut Notoatmodjo (2007), praktik ini juga mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

a. Persepsi

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respons terpimpin (guided response)

Respon terpimpin berarti dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

c. Mekanisme

Mekanisme adalah praktik tingkat tiga yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu yang benar dengan otomatis atau telah menjadi kebiasaannya.

d. Adopsi (adoption)

Adaptasi atau adopsi merupakan suatu praktik tingkat akhir dimana tindakan atau praktik yang telah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada

Danang ingin menjual tanah kavelingnya yang terletak di Jalan Pattimura nomor 12, Semarang. Letaknya sangat strategis, sudah diurug, dan siap bangun. Danang

Kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang sudah ada di sekolah akan dikolaborasikan dengan kegiatan kewirausahaan yang telah ada di SMA Negeri 9 Tangerang. Siswa sangat

Pengendalian motor induksi tiga fasa ini dapat dilakukan denan mengatur kecepatan putar motor secara bertahap (soft starting) sampai mencapai kecepatan

Berdasarkan hasil pengujian, sistem pengaturan dengan kontroler sliding mode dapat mengatasi perubahan beban yang diberikan dan mampu mempertahankan level pada set

X-banner ini mengunakan konsep “Simplicity”, maka dari itu menggunakan ilustrasi foto-foto sungai di Denpasar yang terkena pencemaran limbah B3, Ilustrasi fotografi

Keragaman genetika yang cukup tinggi dapat di- deteksi dari empat belas aksesi kentang yang diguna- kan dalam penelitian ini.. Sebanyak 60 alel terdeteksi berdasarkan 12

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata variabel X siswa 69,96 berkategori “cukup” kemudian setelah diterapkan model discovery