1.1. Latar Belakang
Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti
pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya yang dilakukan secara
terpadu. Hal ini menimbulkan masalah di dalam pengelolaannya, karena
masyarakat belum punya kemampuan untuk mengelola agar investasi yang telah
dilaksanakan dapat lestari/berfungsi. Investasi dalam skala besar/masif yang
dilaksanakan di daerah perkotaan, diharapkan dapat memberikan efek
penetesan ke wilayah sekitarnya namun tidak terjadi secara serta merta.
Berdasarkan pada paradigma tersebut di atas, maka pembangunan perdesaan
juga harus diperhatikan. Pendekatan pembangunan di perdesaan harus
dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai
entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di
masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep
pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di
daerah perdesaan.
Pengembangan kawasan agropolitan, pada dasarnya memiliki
keunggulan-keunggulan yaitu (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi
pembangunan maupun kewenangan, (2) menanggulangi hubungan saling
memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan, dan (3) menekankan
kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan
diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu
sendiri (Rustiadi et al., 2006). Pengembangan kawasan agropolitan ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang
mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland
atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas
sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor
secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil,
pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.
Pengembangan agropolitan, seperti resdistribusi tanah, prasarana dan
sarana pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan,
sehingga masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan
pelayanan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan
kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001). Prasarana dan sarana fisik sebagai
modal sosial masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat dengan kesejahteraan
masyarakat (Dardak, 2004). Pembangunan infrastruktur pada kawasan
agropolitan memungkinkan penciptaan lapangan pekerjaan, kompetisi
pemanfaatan lahan yang dapat ditanami untuk kepentingan non pertanian dapat
dikurangi dan pendapatan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan melalui
kegiatan agribisnis atau agroindustri (Dardak dan Elestianto, 2005).
Sektor agribisnis merupakan sektor usaha yang memanfaatkan
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan
sangat besar bagi pembangunan Indonesia. Sumbangan sektor agribisnis
terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara
dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis. Menurut Gumbira-Said
dan Intan (2001) sektor agribisnis sangat potensial dikembangkan untuk orientasi
ekspor dan pembangunan agribisnis dapat memberdayakan potensi ekonomi
rakyat dan potensi ekonomi daerah. Pemberdayaan ekonomi rakyat tidak cukup
dilaksanakan hanya dengan membagi dana kepada masyarakat, tanpa kejelasan
pemanfaatannya, namun peningkatan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kesejahteraan masyarakat itu
sendiri. Menurut Saragih (1998) kegiatan sektor agribisnis merupakan sektor
ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia, yang dapat menyerap 70 %
angkatan kerja nasional serta melibatkan 90 % usaha kecil menengah dan
koperasi. Sektor agribisnis dapat menghidupi atau menyokong hampir 80 %
penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 210 juta jiwa.
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi
daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan
agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan. Hal ini didukung oleh misi
Kabupaten Jayapura dalam meningkatkan pembangunan, antara lain (1)
pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah terutama
usaha kecil menengah dan koperasi, (2) mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dan
berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang produktif, mandiri,
maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang
dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna
meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Menurut Saragih (2000) hal ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu pertama, kegiatan peternakan,
khususnya subsistem budidaya, relatif bersifat tidak tergantung pada
ketersediaan lahan dan tidak menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua,
kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas
dan luwes. Ketiga, produk ternak sapi merupakan produk yang memiliki nilai
elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat,
sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap
perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai
suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja,
kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan. mulai pada agribisnis hulu,
budidaya, agribisnis hilir dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan
dan lain-lain.
Dalam pengembangan peternakan terdapat beberapa aspek sarana dan
prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas dan
pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek
teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil
budidaya peternakan. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan
baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan
kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan
peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang
tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng,
2002). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk
penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran
limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani
berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan ternak,
pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.
Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana
pendukung pengembangan kawasan peternakan adalah 1) sarana produksi,
yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk
pengamanan budidaya antara lain tersedianya pos keswan dan pos inseminasi
buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan
adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak
lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan,
sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan
keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan
pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan. listrik
dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting
diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen
beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun
penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2002), begitu juga dengan
ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat,
disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hadi dan
Ilham, 2002).
Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan
sistem budidaya peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara
kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan (Saragih dan Sipayung 2000).
Fauzi (2002) mengemukakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam
adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam
suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi
manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam. Menurut
Budiharsono (2001) ada enam aspek pembangunan wilayah terpadu yang harus
diperhatikan yaitu aspek biofisik, ekonomi wilayah, sosial budaya dan politik,
kelembagaan, lokasi, dan lingkungan. Dahuri et a/. (1996) mengemukakan
bahwa kriteria-kriteria pembangunan berkelanjutan secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, ekonomi,
sosial-politik, serta hukum dan kelembagaan. Selanjutnya Kay dan Alder (1999) serta
OECD (1993) juga menyebutkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan
pembangunan berkelanjutan, yang pada prinsipnya juga menyangkut dimensi
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat menjadi acuan
dalam pengembangan agribisnis peternakan dalam kawasan agropolitan di
Kabupaten Jayapura, dengan melakukan penilaian dan pengkajian sumberdaya
peternakan sehingga dapat menentukan pembenahan dan strategi dalam
pemanfaatan sumberdaya peternakan di Kabupaten Jayapura. Penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis
peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan
kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja,
memeratakan pendapatan
,mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan
produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam
upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan
model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan.
1.2. Kerangka
Pemikiran
Pembangunan nasional mengamanatkan bahwa pendayagunaan
sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara
terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan
kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tersebut di
atas yang telah dijalankan selama ini, ternyata masih belum mampu
meningkatkan kesejahteraan petani dan kawasan perdesaan, bahkan cenderung
menyebabkan kesenjangan antar wilayah perkotaan (urban) dan wilayah
perdesaan (rural). Daerah perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat
industri dan perdagaangan, disamping sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dapat
dilihat dari pesatnya pembangunan sarana dan prasarana perdagangan,
perkantoran, dan industri. Di daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat
produksi pertanian (Pranoto, 2005). Program pembangunan untuk daerah
perdesaan selama ini ditekankan pada peningkatan produksi
pertanian/peternakan/perkebunan, seringkali kurang memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan. Hal ini juga dapat dilihat dari penerapan konsep
intensifikasi untuk peningkatan produksi oleh petani, seperti pengolahan tanah,
pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit di daerah-daerah kawasan
sentra produksi.
Pengelolaan tanah yang dilakukan di lokasi penelitian pada umumnya
kurang memperhatikan konsep konservasi tanah dan air, seperti penanaman
intensif tanaman monokultur yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun,
atau pengusahaan tanaman semusim pada areal dengan kelerengan curam,
sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan. Kebergantungan petani pada
pupuk anorganik akibat penggunaan varietas responsif pemupukan dan
kebiasaan pemberian pupuk secara tidak berimbang pada dosis tinggi,
menyebabkan kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Pengendalian hama dan
penyakit dengan mengandalkan penggunaan pestisida, yang pada umumnya
melebihi anjuran, menyebabkan musnahnya musuh alami dan timbulnya ras-ras
hama dan penyakit resisten. Program-program pembangunan tersebut pada
akhirnya mengakibatkan peningkatan produksi, maupun ekonomi yang tercapai
tidak dapat berkelanjutan karena malah menimbulkan degradasi lingkungan
secara fisik, kimia, dan biologis.
Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan, maka
pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan
wilayah/kawasan yang dikhususkan bagi wilayah/kawasan yang selama ini
kurang mendapat perhatian diantaranya melalui pembentukkan kawasan pusat
pertumbuhan (KPP), kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET),
kawasan sentra produksi (KSP), dan kawasan industri masyarakat perkebunan
(KIMBUN), dimana semua program ini diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan dan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu strategi pembangunan
yang telah dijalankan perlu dipikirkan kembali.
Menurut Tong Wu (2002), pemikiran kembali strategi pembangunan dapat
mencakup: (1) redistribusi dengan pertumbuhan, (2) substitusi eksport, dan (3)
penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Untuk mencegah
proses degradasi lingkungan sebagai dampak negatif proses pembangunan,
harus diterapkan konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan. Model
pengembangan agropolitan, merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam
pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Agropolitan adalah konsep
pembangunan perdesaan yang mengintegrasikan pemberdayaan masyarakat
dan pengembangan wilayah secara simultan. Pemberdayaan masyarakat
merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi (participation)
dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada pembangunan dari dan untuk
rakyat. Agropolitan didasari oleh konsep pengembangan wilayah dengan
penekanan pada pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan
permodalan/investasi.
Langkah-langkah yang dltempuh dalam pengembangan agropolitan
meliputi peningkatan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan agroindustri,
dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah
infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran,
serta permukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota;
penguatan kelembagaan perdesaan dapat terjadi; kelestarian lingkungan terjaga;
perekonomian perdesaan tumbuh berkembang; dan produktivitas
pertanian/peternakan meningkat.
Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah
perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan
kegiatan pertanian/peternakan sebagai kekuatan penggerak perekonomian
perdesaan. Multiplier effect selanjutnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan
sehingga dapat mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari
desa ke kota, disparitas perkembangan kota dan desa dapat ditekan, dan
pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Secara garis besar,
kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan model kebijakan kawasan
agropolitan berbasis agribisnis peternakan
Pembangunan
Nasional
Rencana Strategis Provinsi, Kota/Kabupaten (Otonomi Daerah) Ekonomi Sosial-BudayaPolitik Hukum Keamanan
Perkotaan
(Urban)
Perdesaan
(Rural)
Disparitas pembangunan - backwash effect - Urban bias AGROPOLITA Pemberdayaan Masyarakat(Partisipasi & Kemitraan)
Pengembangan Wilayah
(Infrastruktur, Kelembagaan & Modal/Investasi) Ekonomi Perdesaan Kelestarian Lingkungan Kelembagaan dan Kemitraan Konservasi Agro-industri Agribisnis Peternakan Pembangunan Desa Berkelanjutan Kebijakan Pembangunan Daerah Pembangunan Pertanian Kebijakan Pembangunan Nasional