• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA MAGELANG. A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA MAGELANG. A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA MAGELANG

A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial

Sebuah kota tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui proses sejarah yang relatif panjang. Sepanjang sejarah kota tersebut, kota mengalami perkembangan dan perubahan, baik fisik maupun non fisik, yang pada tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang. 1 Keberadaan sebuah kota selain tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya, juga ditentukan oleh sejarahnya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami dinamika, karakteristik, dan kecederungan sebuah kota perlu dikaji sejarahnya.2

Proses pertumbuhan kota memiliki dua cara yaitu endogen dan eksogen. Proses ini diakibatkan karena adanya dorongan oleh kekuatan dari dalam masyarakat dan masuknya sistem sosio budaya luar yang lebih maju. Proses eksogen terdiri atas,

1. Imposisi kota, pertumbuhan pusat pemukiman kota yang terbentuk sebagai akibat dari pendudukan langsung oleh sistem sosio budaya lain diatas pusat pemukiman masyarakat yang ditaklukan.

2. Implantasi, munculnya pusat kehidupan kota sebagai akibat pendudukan tidak langsung dari sistem sosio budaya lain.

1

R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.8.

2

Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok Sosial, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1977), hlm.1.

(2)

16 Seperti halnya perkembangan kota-kota kolonial lainnya, perkembangan kota Magelang pada masa kolonial merupakan perpaduan tiga arus kebudayaan pokok, yaitu: Eropa (Belanda), Pribumi (Jawa), dan Timur Asing (Cina). Ketiga tradisi kebudayaan ini berkembang sendiri-sendiri dengan pengarahan pemerintah kolonial dan diatur dengan pengaturan tata letak kota.3

Pemerintah Belanda dalam membangun kota kolonialnya tetap mempertahankan bentuk dan struktur dari tradisi pembangunan kota jawa.4 Usaha untuk mengadaptasi ke dalam sejarah bangunan dan lingkungan lokal secara nyata ditemukan pada bentuk-bentuk arsitektur dan bangunan di kota Magelang yang memiliki perpaduan antara kolonial dan lokal.

Menurut Prof. Kevin Lynch, ada lima elemen pokok atau dasar pembentuk sebuah kota, yaitu:5

1. Pathways, merupakan jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan.

2. District, adalah kota yang terdiri dari lingkungan-lingkungan bagiannya: pusat kota, uptown, midtown, daerah perumahan, daerah industri, sub-urban, dan sebagainya.

3. Edges, adalah akhir dari sebuah district. Beberapa district tidak mempunyai edge yang jelas, tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan

3

B.N. Marbun, Kota Masa Depan: Prospek dan Permasalahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1979), hlm.9.

4

Ronald Gilbert Gill, Kota Hindia di Jawa dan Madura: Sebuah

Penelitian Morfologi Tentang Perkembangannya, (Disertasi. Delf University,

1995), hlm.4. 5

Kevin Lynch, The Image Of The City, (Cambridge: The M.I.T.Press, 1960), hlm.46.

(3)

17

district lain. Jika dihubungkan dalam sebuah edge maka akan

membentuk seam.

4. Landmarks, merupakan bentuk-bentuk visual yang menyolok dari sebuah kota. Landmark adalah elemen-elemen penting dari bentuk kota karena membantu untuk mengarahkan dan mengenal suatu kota. 5. Nodes, adalah pusat aktivitas yg merupakan sebuah tipe dari landmarks

tetapi berbeda fungsi. Landmarks adalah objek visual yang jelas berbeda, sedangkan sebuah node adalah pusat aktivitas yang berbeda. Pada awal abad ke-19, pada masa ini Magelang merupakan sebuah desa yang dikuasai Inggris, dan kemudian Magelang dijadikan sebagai pusat pemerintahan setingkat kabupaten dan mengangkat Mas Ngabehi Danoekromo sebagai Bupati yang pertama. Mas Ngabehi Danoekromo inilah yang merintis berdirinya kota Magelang dengan membuat alin-alun, membangun rumah Bupati, dan membangun Masjid. Bupati ini bahkan diakui oleh pemerintah Belanda dan mendapatkan gelar Tumenggung Danoeningrat.6

Pemerintah Inggris sangat sedikit memperhatikan perkembangan kota sehingga masih banyak yang harus dibenahi. Setelah Jawa diambil alih lagi oleh Belanda, perkembangan kota Magelang semakin diperhatikan. Bisa dikatakan bahwa kota Magelang memulai perkembangannya dari desa ke kota pada tahun 1817 ketika pemerintah Hindia-Belanda menjadikan kedu sebagai Karesidenan tersendiri dengan residen sendiri (sebelumnya wilayah ini digabungkan dengan

6

Staadsgemeente Magelang. Magelang : Bouwerordening Ordonantie

(4)

18 Karesidenan Pekalongan), melalui keputusan Komisaris Jenderal No. 24 tanggal 14 Maret 1817.7

Letak geografis kota Magelang yang sangat strategis membuat kota Magelang dipilih menjadi Ibukota Karisidenan Kedu pada tahun 1818. Setelah itu mulai banyak dibangun bangunan baru dengan model Eropa yang dibangun bagi para pejabat Eropa. Bangunan-bangunan ini terletak di daerah utama yaitu di sekitar alun-alun dan sepanjang jalan utama kota.

Setelah tahun 1830 kota Magelang mulai meningkatkan infrastruktur dan sarana komunikasi antara lain berupa pembangunan jalan kereta api, jalan raya, pembuatan saluran irigasi untuk kepentingan industri gula, pabrik, jembatan dan sebagainya. Disamping itu juga dibangun lintasan trem yang menghubungkan kota Magelang dengan kota-kota sekitarnya. Di dalam kota sendiri mulai dibangun berbagai sarana dan prasarana pendidikan, pelayanan kesehatan, perdagangan, perkantoran, hiburan dan rekreasi derta pemukiman yang sudah tentu harus dilihat dari sudut kepentingan kolonial dimana Magelang merupakan pusat pengumpulan hasil perkebunan yang harus dihubungkan dengan Semarang sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai daerah distribusi hasil perkebunan didaerah pedalaman.

Pada tahun1892 menurut laporan dari Dinas Pengukuran tanah, sebagian besar bangunan yang ada berupa rumah papan dan bambu. Hanya terdapat bangunan rumah yang terbuat dari batu yaitu kediaman Residen, rumah Bupati Magelang, rumah Bupati Menoreh, rumah dokter ahli bedah, dan rumah mantri

7

(5)

19 cacar. Rumah-rumah orang Eropa yang lain dan Cina umumnya terbuat dari bambu atau papan.

Beberapa proyek besar yang penting bagi perkembangan wilayah Kedu dan bagi kota Magelang, proyek tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1833 jalan raya dari Yogyakarta ke Magelang diteruskan ke Pringsurat. Pada saat itu hubungan ke Semarang masih melalui Grabag dan Salatiga.

2. Tahun 1842 jalan raya lewat Pingit diteruskan ke Ambarawa sehingga hubungan langsung Yogya-Magelang-Ambarawa-Semarang muncul. 3. Tahun 1842 jalan Magelang-Salaman dijadikan jalan raya pos.

4. Tahun 1843 dibangun berbagai jembatan besar dijalan raya Yogya-Semarang dan jalan raya Magelang-Bagelen.

5. Tahun 1851 jalan Salaman-Purworejo dibuka.

6. Tahun 1857 saluran kota yang dikenal dengan nama kali Manggis dibuka. Saluran ini merupakan cabang dari sungai Elo. Panjangnya 12 kilometer dan mengairi 625 bau sawah.

7. Tahun 1862 jalan-jalan yang bisa melalui kedu dibuat.

8. Tahun 1870 jalan-jalan tersebut diperbaiki sehingga menjadi jalan utama. Jalan raya Secang-Temanggung-Parakan-Wonosobo-ditingkatkan menjadi jalan raya utama.

9. Tahun 1873 dibuka jalan kereta api yang menghubungkan Magelang dengan Semarang dan Yogya. Dibangun pula lintasan trem yang menghubungkan Magelang dengan kota-kota di sekitarnya. Pada akhir abad ke-19 NIS masih membuka sambungan kereta api

(6)

Yogya-Magelang-20 Willem I (Ambarawa) dan Secan-Parakan, dimana posisi Magelang semakin diperkuat.8

Pada tahun 1859 didirikan Nederlandsch Gereformerde Zendingsvereninging dan pada tahun 1875, Sekolah Pendidikan Guru atau Kweekschool yang ada di Surakarta dipindahkan ke Magelang. Pada tahun 1878

didirikan Sekolah Raja atau Hoofdenschool, sekolah ini pada tahun 1900 diberi nama Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren atau OSVIA yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi sekolah menengah dengan nama Middlebare

OSVIA (MOSVIA).

Hoofden School (cikal bakal OSVIA) tersebar di Jawa, masing-masing

berada di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Pada tahun 1900 sekolah-sekolah ini mengalami reorganisasi dan diberi nama baru, yakni OSVIA. Di Bandung, sebagian muridnya berasal dari Jawa Barat. OSVIA Magelang, menarik siswa-siswa dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo bagi siswa-siswa dari Jawa Timur.

Pada tahun 1900, OSVIA membuka cabang lagi di tiga tempat, yakni Serang, Madiun, dan Blitar. Pembukaan cabang itu dilakukan karena jumlah murid OSVIA meningkat dua kali lipat.

Pada tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di Magelang. Salah atu tokoh pergerakan nasional, KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi pengajar Agama Islam di OSVIA Magelang.

8

(7)

21 Salah satu alumni MOSVIA Magelang adalah Bapak Sosiologi Indonesia Prof. Dr. Selo Soemardjan, yang menempuh pendidikannya di MOSVIA Magelang tahun 1931-1934.

B. Wilayah Kota Magelang

Pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) dengan tujuan memberikan hak otonom dan membentuk daerah pada setiap Karesidenan (Gewest) dan kota-kota besar (Gemeente). Maksud utama dari undang-undang ini adalah memberikan pemerintahan sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten (Afdeling). Daerah-daerah ini akan di perintah oleh Dewan Wilayah yang di ketuai oleh Residen dan Dewan Kota (Gemeenteraad) yang di ketuai oleh Asisiten Residen, yang selanjutnya di jabat oleh seorang walikota/Burgemeester.

Pada tahun 1905 dikeluarkanlah Decentralisatie Besluit dengan Staatsblad No. 137 tahun 1905 yang bertujuan membentuk kota-kota otonom di Indonesia9. Pembentukan kota otonom tersebut di mulai dengan Batavia pada tanggal 1 April 1905, Bandung tahun 1906, Surabaya tahun 1906 dan Semarang tahun 1907. Dewan Kota ini pada mulanya di bentuk di kota-kota besar yang berpenduduk lebih dari 120.000 orang, namun kemudian di susul dengan kota-kota yang lebih kecil. Magelang sendiri di tetapkan menjadi kota otonom pada tanggal 1 April 1906 berdasarkan Staatsblad nomor 125 tahun 1906.10

Adapun yang di tunjuk sebagai kota otonom adalah kota besar yang mempunyai banyak penduduk Eropa dan di sekitar kota tersebut banyak

9

Staatsblad van Nederlansch Indie 1905 nomor 137 10

(8)

22

Onderneming perkebunan tebu, kopi dan sebagainya. Selain otonomi yang di

berikan masih terbatas untuk menangani pertumbuhan kota dan pemeliharaan fasilitas umum. Untuk kota Magelang wewenang yang di berikan adalah sebagai berikut : perbaikan dan perawatan jalan umum, jalan, lapangan dan taman, jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran pembuangan umum, air minum dan air untuk mencuci, air untuk mandi dan los-los pasar. Merawat dan memperbaiki saluran pembuangan kota, jembatan di atas Sungai Progo dan Elo. Kebersihan dan pembuangan sampah, pemadam kebakaran dan pembukaan area pemakaman. Karena luasnya wewenang yang di berikan kepada Dewan Kota

(Gemeenteraad) tersebut maka pranata-pranata kota modern di terapkan di kota

Magelang. Dengan rencana pengembangan kota yang teratur dan pranata politik pembentukan Dewan Kota, kota sebagai suatu pemukiman yang memiliki jalinan sosial ekonomi kompleksa mulai di kelola secara professional. Sehingga dengan demikian dapat di katakan sejak tahun 1906 kota Magelang mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Dengan keluarnya Surat Edaran Komisaris Pemerintah untuk Desentralisasi tanggal 20 Mei 1904 No. 112 yang berisi rencana untuk membentuk sebuah dewan Kotapraja di Ibukota Magelang, maka dipandang perlu untuk merubah batas-batas yang ditetapkan dalam Lembaran Negara 1887 No. 8 dan sebanyak mungkin menerima batas-batas alami. Usulan tersebut diajukan melalui surat tanggal 29 November 1904 No. 12074. Usulan tersebut disetujui dan

(9)

23 ditetapkan dengan surat keputusan tanggal 20 Januari 1905 No.22. dengan keluarnya surat keputusan tersebut maka batas-batas kota Magelang yaitu:11

Utara : batasan antara Onderdistrict Magelang dan Secang dari Distrik Magelang, aliran kanan Sungai Elo sampai aliran kiri Sungai Progo.

Barat : aliran kiri sungai Progo dari titik potongnya dengan batas

Onderdistrict Magelang dan Secang, ke selatan sampai titik potong dengan batas

antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan.

Selatan : batas antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, aliran kiri Sungai Progo sampai aliran kanan Sungai Elo.

Timur : aliran kanan Sungai Elo dari titik potong dengan batas antara

Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, ke utara sampai titik potong dengan

batas antara Onderdistrict Magelang Secang.

Dalam rapat umum Dewan Kotapraja Magelang yang diadakan pada hari Selasa tanggal 17 Maret 1925, dibahas surat ketua dewan tanggal 5 Maret 1925 No.233/57 tentang perluasan bata-batas Kotapraja.12 Rapat ini menghasilkan keputusan 6 suara setuju perluasan dan 2 suara menolak. Hasil dari rapat ini diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda oleh Ketua Dewan Kotapraja Magelang melalui suratnya tanggal 5 Juni 1925 No. 772/57. Surat ini berisi permintaan kepada Gubernur Jenderal untuk mengijinkan perubahan batas-batas Kotapraja Magelang yang ditetapkan melalui Peraturan 20 Januari 1905 No.2213 bagi Ibukota Magelang dan dalam Staadsblad 1906 No. 125 dinyatakan berlaku

11

Besluit 20 Januari 1905 No. 22 12

Uittreksel uit de notulen van de Openbare Vorgadering van den

Gemeenterad van Magelang, gehouden op DINSDAG, 17 Maret 1925 des namiddags ten 6,30 une in Raadhuis.

13

(10)

24 bagi Kotapraja Magelang. Usulan ini disetujui oleh Residen Kedu yang dinyatakan dalam suratnya tanggal 24 Juni 1925 No. 490/44 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.

Setelah melalui usulan yang panjang, usulan perubahan batas wilayah Kotapraja Magelang akhirnya disetujui dan ditetapkan melalui Surat Keputusan No. 25 tanggal 3 Januari 1927. Dengan keputusan ini, maka wilayah Ibukota Magelang menjadi14:

Utara : batas antara desa Kramat dan Sambungrejo sejauh terletak antara Kali Progo dan lahan milik lembaga rumah sakit jiwa Kramat. Kemudian ke arah utara dan timur mengikuti batas tanah yang dipetakan dari lembaga tersebut sampai ssi timur jalan raya dari Secang ke Magelang. Kemudian jalan ini ke selatan sampai batas antara Onderdistrict Magelang dan Secang, mengikuuti batas samapi Kali Elo.

Timur : dari titik potong batas utara dengan Kali Elo, aliran kanan sungai ini mengikuti sampai titik potong dengan jalan desa yang membentang sepanjang dusun Salahan dan Soka.

Selatan : jalan desa tersebut dari Kali Elo sampai titik silang dengan jalan raya menuju Yogyakarta, selanjutnya sisi barat jalan raya ini ke arah selatan sampai kali Soko, mengikuti aliran kali ini sampai saluran Tangsi selanjutnya aliran kanan saluran ini sdan parit yang mengalir sepanjang batas utara dari Dusun Senmeng sampai Kali Bening untuk kemudian mengikuti aliran kiri Kali Bening sampai titik potong dengan batas antara desa Bulurejo dan Jurangombo, mengikuti batas desa ini sampai Kali Progo.

14

(11)

25 Barat : aliran kiri kali Progo dari titik potong dengan batas selatan sampai titik dimana batas utara di mulai.

C. Kehidupan Sosial Masyarakat di Kota Magelang

Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat dan Timur. Kebudayaan Barat (Belanda) dan Kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnis berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula. Akibat percampuran kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi diperkaya dengan kebudayaan Barat. Karena demikian besarnya pengaruh kebudayaan Eropa tersebut terhadap kebudayaan Jawa, ketujuh universal budaya utama (seven cultural universals)15 yang dimiliki suku jawa sepenuhnya terpengaruhi olehnya.

Budaya Indis pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Adanya larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia-Belanda mengakibatkan terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang disebut gaya Indis.16

Pada awal abad ke-20 perkembangan masyarakat kolonial telah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini merupakan dampak dari mobilitas kaum pribumi yang digerakkan oleh perluasan pengajaran. Di masa ini terciptalah

15

Clyde Kluckhohn, Universal Categories of Culture, di dalam A,L.

Kroeber,Anthropology Today, (Chicago: The University of Chicago Press, 1952),

hlm 507. 16

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya Di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). (Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm 8.

(12)

26 golongan profesional sebagai golongan sosial baru. Mereka biasanya bekerja sebagai seorang elit birokrat atau administrasi di pemerintahan.

Elit administrasi atau birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomi baik, serta memiliki kekuasaan. Inti dari golongan ini ialah para pejabat pangreh praja (Binnenland Bestuur) dengan bupati pada puncak hierarki birokrasi, disusul oleh patih, wedana, asisten wedana, mantri-mantri, juru tulis. Sudah tentu tingat kepangkatan serta pendapatan memungkinkan penghayatan kehidupan menurut gaya tertentu, misalnya rumah dan halamannya, perabot, pakaian, makanan, rumah tangga dan pembantu-pembantunya, serta lambang-lambang status lainnya.17

Inti dari perubahan pada awal abad 20 adalah pendidikan gaya barat, semakin tinggi pendidikannya maka orang tersebut semakin dekat dengan pusat-pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin terbuka, namun mereka akan semakin terhisap ke dalam dunia kolonial Belanda, makin modern orang tersebut ia semakin jauh dari cara hidup yang dijalani generasi orang tuanya.

Sejak awal abad ke 18 sampai awal abad 20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda. Hal itu disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda di Pulau Jawa. Burger menyebutkan ada lima golongan masyarakat baru18 yaitu,

a. Golongan Pamong Praja bangsa Belanda b. Golongan Pegawai Indonesia baru

17

Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional. Jilid II, (Jakarta: Gramedia), hlm 82.

18

D.H. Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bharata, 1983), hlm 65.

(13)

27 c. Golongan Pengusaha Partikelir Eropa

d. Golongan yang terdiri dari akademisi Indonesia (sarjana hukum, insinyur, dokter, guru, ahli pertanian, dan lain-lain).

e. Golongan menengah Indonesia (pengusaha Indonesia yang mempunyai usaha di bidang perdagangan dan kerajinan).

Pada masa penjajahan Belanda, untuk menetapkan suatu daerah menjadi Staadsgemeente, ada tiga macam pertimbangan yaitu:

1. Personen (penduduk)

2. Omstandigheden (keadaan setempat) 3. Geld (keuangan)

Personen atau penduduk yang dimaksud disini adalah penduduk kulit putih (orang Eropa) dan paling tidak harus mencapai jumlah 10 persen dari jumlah penduduk daerah tersebut.19

Berdasarkan dengan pengertian menurut peraturan perundang-undangan Pemerintah Hindia-Belanda tanggal 31 Desember 1906, Staadsblad 1907 nomor 205 yang menyatakan bahwa semua orang yang bertempat tinggal di Indonesia sebelum tanggal 1 Januari 1920 termasuk golongan Eropa atau yang dipersamakan dengan Eropa, dan sesudah tanggal tersebut tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan untuk orang Eropa.20

19

Van Der Zee, Het Indische Gemeentewezen,(„s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1920), hlm. 20.

20

R. Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Noordoff-KolffNV, 1960), hal.12.

(14)

28 Jumlah Penduduk Magelang pada tahun 1905 adalah 68.625 orang dengan perincian sebagai berikut:21

Orang Eropa : 800

Vreemde-Oosterlingen (Timur Asing) : 2.825 Orang Indonesia (pribumi) : 65.000

Jumlah : 68.625

Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk kulit putih yang tinggal di Magelang berjumlah 3.625 orang atau 5,28% dari jumlah penduduk Magelang.

Hubungan sosial pada jaman Kolonial Belanda, kebanyakan didasarkan pada sistem kelas yang disesuaikan dengan struktur sosial pada masa itu. Struktur sosial masyarakat pada umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu golongan orang Eropa (Belanda), golongan Timur Asing, dan golongan Pribumi. Pengaruh diskriminasi ras ini dilihat dari struktur jabatan kepegawaian pemerintahan jelas sekali perbedaan yang mencolok antara pegawai kebangsaan Eropa dengan penduduk Bumiputera. Jabatan-jabatan tertentu di bidang pemerintahan diangkat dari penduduk Bumiputera sampai pada jabatan tingkat menengah sedangkan untuk jabatan kepegawaian yang lebih tinggi sebagian diisi oleh orang-orang Eropa atau Indo-Eropa. Pembagian struktur ini dapat digambarkan sebagai berikut :

21

Encyclopedie van Nederlandsch Indie, Tweede Deel H-M, s‟-Gravenhage-Leiden : Martinus Nijhoff – NV, 1918

(15)

29

Berdasarkan diagram menunjukkan bahwa orang Belanda dan Eropa mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dan mereka mendapat perlakuan yang istimewa. Golongan Indo dan Timur Asing merupakan Golongan yang menempati posisi kedua, dengan kedudukan dan hak yang hampir sama dengan orang Belanda. Sedangkan golongan pribumi berada dalam strata sosial yang paling rendah dengan kedudukan dan hak yang terbatas.

Sementara itu Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru. Stratifikasi tersebut yaitu,22

1. Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh Praja Pribumi.

2. Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat.

3. Priyayi profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik)

22

Sumijati Umosudiro dkk (editor), 2001, Jawa Tengah: Sebuah Potret

Warisan Budaya. Suaka Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Propinsi Jawa

Tengah Dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, hlm 14 Orang Belanda dan Eropa

Golongan Indo dan Timur Asing

(16)

30 4. Golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa.

5. Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di Kampung.

Adanya keanekaragaman penduduk yang ada di kota Magelang, maka berdampak pada pola kehidupan dan budaya yang berkembang pada saat itu. Dari keanekaragaman penduduk tersebut, maka untuk mengetahui budaya dari masyarakat itu perlu diketahui karakteristik dari masing-masing penduduk.

1. Orang-orang Belanda

Orang-orang Eropa di Magelang adalah orang Belanda dan keturunan Belanda-Indo yang menurut hukum termasuk kategori European. Kota Magelang setelah dikuasai oleh pemerintah Belanda, masyarakat keturunan Belanda menempati kedudukan paling penting dan tinggi dalam sistem pemerintahan. Suatu daerah yang dikuasai oleh Belanda dikenal dengan adanya diskriminasi ras yang ditanamkan oleh konsentrasi unsur-unsur Bumiputera pada jabatan-jabatan rendah dan lapisan atas yang terdiri atas golongan Eropa dan penduduk Bumiputera pada bagian yang paling bawah. 23 Ciri sosial lainnya yaitu pembatasan dalam pergaulan sosial antara ras-ras tersebut. Orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan olahraga, sekolah, tempat umum dan daerah tempat kediaman bangsa Belanda.

Pada tahun 1900 kurang lebih ada 70.000 orang Eropa di Jawa. Mereka sebagian kecil adalah Eropa totok lahir di negaranya dan datang ke Jawa yang

23

(17)

31 mata pencahariannya sebagai pedagang dan pengusaha. Penduduk Eropa di Jawa kurang lebih berjumlah 75% yang terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau Eurasian. Tidak mengherankan apabila orang-orang Eropa mempunyai taraf pendidikan yang lebih baik karena ayah mereka memberi perhatian lebih sehingga mendapat pendidikan. Mereka bekerja dan menjadi tenaga teknis pada kantor-kantor pemerintah dan departemen-departemen atau menjadi tenaga ahli dan tukang di pusat-pusat kota.

Pada dasarnya orang-orang Belanda itu adalah kelompok golongan Indo-Eropa sebagai keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda totok dengan wanita pribumi yang biasanya berstatus Nyai atau Gundhik dalam hal ini tidak sebagai istri resmi.24 Perkawinan ini terjadi dikarenakan jumlah wanita totok di Indonesia tidak terlalu banyak. Di kalangan masyarakat Belanda ada diskriminasi ras antara golongan totok dan Indo yang tidak hanya didasarkan pada daerahnya tetapi juga karena perbedaan status sosialnya.

Golongan Indo secara formal masuk status Eropa yang mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa dengan masyarakat pribumi padahal golongan totok sendiri tidak ingin disamakan dengan golongan Indo. Menurut pandangan masyarakat pribumi, peradaban Barat tidak pernah dipandang tinggi dan hanya beberapa unsur yang dihargai antara lain pengajaran Barat, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Golongan Indo kurang berperan dalam memainkan peranan kepemimpinan karena kekuasaan, kekayaan dan status tidak ada padanya. Minoritas golongan

24

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah

(18)

32 Indo untuk mengatasi rasa kurang percaya diri adalah dengan menunjukkan loyalitas kepada penguasa kolonial dan identitas ke-Eropaan, dengan dasar tersebut golongan Indo berusaha berpegang pada establishment kolonial sehingga menjauhkan mereka dari golongan pribumi.

Perkembangan penduduk Eropa yang begitu cepat di Magelang menyebabkan pemukiman orang Eropa semakin menjauhi pusat kota (alun-alun). Sepanjang jalan kereta api (groote weg), Bottonweg, Badaan, Karesidenanweg, dan sepanjang Tidar Bajemanweg berkembang dengan cepat hal ini mengakibatkan semakin terdesaknya kaum pribumi yang membuat kurangnya permukiman dan memburuknya kondisi lingkungan. Sanitasi yang buruk menyebabkan wabah penyakit yang menular dan kelaparan.

Sekitar tahun 1920 Pemerintah Kolonial Belanda memberikan perhatian pada kasus ini dengan menjalankan program perbaikan kampung (Kampong

Verbetering) dengan memperbaiki jalan-jalan, gang-gang, selokan dan

membangun fasilitas mandi dan kakus umum. Serta membangun perumahan murah.

Pemerintah Kotapraja sesuai dengan rencana tata kota yang dikembangkan oleh Ir. Thomas Karsten membagi tata kota menjadi zona-zona yang berbeda berdasarkan kelas ekonomi dan kepentingan tertentu, tidak lagi berdasarkan ras atau golongan.

Salah satu pemukiman yang direncanakan oleh Karsten adalah kawasan Kwarasan. Kawasan ini dibangun untuk mengatasi masalah kesehatan dan pemukiman yang tidak teratur di daerah tersebut. Karsten merencanakan pembangunan perumahan murah yang waktu itu dikenal dengan “Perumahan

(19)

33 Rakyat” dalam rangka penyediaan kebutuhan rumah yang layak dan sehat yang terletak di bagian Selatan-Barat Kota Magelang yang kemudian dikenal sampai saat ini dengan “Kwarasan”.

Nama Kwarasan ini berasal dari kata “waras” yang dalam bahasa Jawa berarti “sehat”. Kata “sehat” tersebut bisa diartikan sebagai upaya untuk menuju rumah yang sehat atau dengan kata lain kawasan yang sehat dan bisa juga kata tersebut diambil dari adanya Rumah Sakit Paru-Paru yang didirikan tak lama kemudian untuk kebutuhan kesehatan masyarakat kota dan sekitarnya.

Adanya ketinggian atau kontur tanah membuat permukiman tersebut pada saat direncanakan sampai sekarang terbagi menjadi 3 tipe, yaitu :

1. tipe paling besar, terletak di sebelah Timur lapangan, pada tanah yang lebih tinggi dan menghadap ke jalan besar

2. tipe sedang, terletak di sebelah Utara, pada ketinggian yang menghadap ke jalan besar sekeliling lapangan dan sebelah Barat di sekeliling lapangan tapi tidak memiliki ketinggian

3. tipe kecil, terletak di sekeliling tipe besar dan sedang dan tidak berhadapan langsung dengan lapangan

Di dalam kawasan permukiman terdapat lapangan yang terletak di tengah agak ke Utara yang lebih dikenal dengan “Alun-Alun Kecil” (alun-alun besar adalah alun-alun kota Magelang yang terletak di pusat kota). Lapangan ini berfungsi sebagai pusat kawasan dan ruang terbuka kawasan tersebut dilengkapi dengan adanya pohon besar yang merupakan simbol alun-alun Jawa dan beberapa pohon lainnya. Terdapat rumah milik seseorang yang dianggap tinggi dan sebagai ketua di permukiman tersebut (replica dalem kadipaten) yang mempunyai

(20)

34 hubungan langsung dengan pihak Karesidenan (dibuktikan dengan adanya pintu penghubung yang berbentuk gua yang menghubungkan rumah tersebut dengan rumah Residen Karesidenan Kedu yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut).

2. Orang-orang Timur Asing

Golongan Timur Asing menempati urutan kedua setelah golongan masyarakat Belanda, yang mempunyai daya dagang yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kota. Di dalam sistem hukum Belanda ada perbedaan yang nyata antara penduduk Timur Asing dengan penduduk pribumi. Perbedaan ini pada akhirnya menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah antara kedua golongan sosial tersebut. Orang Timur Asing digolongkan dalam

Vreemde Oosterlingen dan orang Jawa termasuk dalam Inlanders atau pribumi.

Penduduk yang termasuk dalam masyarakat Timur Asing antara lain orang Tionghoa, Arab, Cina dan bangsa lainnya. Pada dasarnya orang-orang Timur Asing juga meliputi dua golongan yaitu orang peranakan, bukan hanya orang Timur Asing yang lahir di Indonesia hasil perkawinan campuran dengan orang

Indonesia, sedangkan orang totok bukan hanya orang Timur Asing yang lahir di negeri asalnya.25

Golongan Timur Asing (Cina, India dan Arab), mereka ini sangat sedikit sekali yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan kolonial. Mereka umumnya sebagai pedagang dengan status dan hak istimewa, terutama kemudahan-kemudahan dalam menjalankan profesi, misalnya, hak monopoli untuk mendatangkan barang-barang yang dibutuhkan orang Belanda dan

25

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1971) hlm 347.

(21)

35 masyarakat, hak mendirikan sebuah badan usaha berupa pabrik, jasa dan perdagangan. Bagi bumiputra atau pribumi hak istimewa tersebut tidak didapatkan, karena Pemerintah Kolonial menginginkan anak jajahan berada dalam kemiskinan dan kebodohan agar mereka tidak menyadari sebagai orang yang berada di bawah penekanan dan penindasan bangsa lain.

Di sepanjang abad yang berikutnya kelompok-kelompok masyarakat Cina terus memainkan peranan yang sangat penting artinya di dalam kehidupan ekonomi dan sosial di negara-negara Jawa (kerajaan) yang terletak di daerah pedalaman.26 Pemerintah kolonial pada umumnya menginginkan penduduk Timur Asing (Tionghoa) untuk ditempatkan di suatu tempat tersendiri. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya percampuran penduduk antara golongan pribumi dan masyarakat Tionghoa yang terjadi di kota Magelang. Masyarakat Tionghoa bertempat tinggal di suatu daerah yang disebut sebagai daerah Pecinan.

Keberadaan masyarakat Tionghoa di Magelang tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali datang ke kota ini. tidak ada literatur atau catatan resmi yang bisa mengungkapkan hal ini. Hanya sebuah tulisan yang tertempel pada pintu masuk gerbang dari Kelenteng Liong Hok Bio yang ada di tenggara Alunn-alun Kota Magelang yang barangkali bisa di jadikan acuan. Tulisan yang tertulis tersebut menyebutkan bahwa Kelenteng Liong Hok Bio berdiri pada tanggal 8 Juli 1864. Bisa diartikan pula bahwa sebelum tahun tersebut mayarakat Tionghoa sudah bertempat tinggal di Magelang.

Pada jaman kolonial Belanda, pemerintah saat itu menempatkan masyarakat ini ke suatu kawasan tertentu. Dengan tujuan pemerintah Belanda

26

Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. (Jakarta: Pustaka Azet 1984) hlm 16.

(22)

36 lebih mudah mengawasi dan mengontrolnya. Kawasan tertentu tersebut biasa dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan yang ada di Kota Magelang ini berada di Jalan Pemuda.

3. Orang-orang Pribumi

Dari jumlah penduduk yang semakin bertambah tersebut, penduduk pribumi menempati jumlah yang paling besar. Golongan ini mempunyai struktur masyarakat sendiri. Masyarakat pribumi terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri dari bangsawan dan priyayi, serta golongan yang terdiri dari para petani, pedagang, tukang, pengrajin dan sebagainya.

Golongan bangsawan atau priyayi mempunyai etiket dan etika dalam kehidupan sehari-hari.27 Golongan atas atau priyayi mempunyai gaya hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat golongan bawah (wong cilik). Golongan ini menunjukkan gaya aristokrat dengan kebebasan, makanan dan pakaian, serta simbol-simbol yang menunjukkan bahwa mereka adalah golongan elit. Di lain pihak golongan bawah yang biasa disebut sebagai wong cilik menunjukkan sifat yang sungguh berbeda karena golongan ini mempunyai kebiasaan polos, terbuka dan kasar.28

Ada beberapa faktor yang menentukan kepriyayian seseorang, menurut Palmier priyayi dibagi menjadi dua golongan, yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil. Priyayi luhur yaitu priyayi yang sebenarnya atau murni, dapat dilihat dari garis

27

Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hlm 76

28

Suhartono, Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan

(23)

37 keturunan orang tua baik ayah maupun ibu. Priyayi kecil adalah priyayi yang status sosialnya dikarenakan pendidikan, jabatan pada administrasi pemerintahan. Kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar keturunan dan politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai supplement pada asal keturunan dan dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini didorong dengan munculnya elit profesional. Pada awal abad ke-20, perluasan pola kepemimpinan masyarakat Indonesia hampir merupakan suatu perkembangan khusus di kalangan kelompok priyayi sendiri dan jarak sosial tetap merupakan suatu kekuatan yang ampuh di kalangan elit.

Pendidikan gaya Barat yang modern telah membuat golongan pribumi terserap dalam kehidupan orang Eropa, misalnya dengan penggunaan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton film, dan hal-hal yang berbau Barat lainnya.29 Di dalam struktur lapisan masyarakat, golongan tersebut tetap dianggap sebagai golongan pribumi meskipun pendidikannya tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya stratifikasi rasial yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Adanya golongan pribumi yang mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Belanda (ambtenaren), tetap saja posisinya berada di bawah orang-orang Eropa.

Sementara itu situasi pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa bergaya hidup, berbudaya, serta membangun gedung dan rumah tempat tinggalnya berbeda dengan rumah pribumi. Ciri khas ini dipergunkan untuk

29

(24)

38 menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa dan untuk membedakan dengan rakyat pribumi. Mereka tinggal berkelompok di bagian wilayah kota yang dianggap terbaik.

Priyayi semula hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun temurun, kemudian oleh penjajah Belanda mereka telah dilepas dari ikatan kerajaan dan dijadikan pegawai pemerintah yang diangkat dan digaji. Golongan ini tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keraton yang halus, kesenian, dan mistik Hindu-Budha. Priyayi ini dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan dan dalam arti tertentu gelar tersebut berlaku secara turun-temurun.30 Golongan ini sebelum tahun 1900 masih kuat dalam mempertahankan hubungan darah atau keturunan, namun menjelang tahun 1900 pembatasan ini mulai luntur sehingga sebutan priyayi bukan lagi berdasarkan keturunan tetapi dipandang dari fungsi sosial mereka.

Masyarakat yang berkerja dalam kegiatan negara seperti pegawai administrasi Bumiputera telah mengembangkan golongan ini. Mereka semua mempunyai satu kesamaan yang umum yaitu pendidikan yang bergaya barat. Pendidikan tersebut membuka jalan bagi mereka pada dunia kolonial. Pada masa politik etis, modernitas menunjukkan sebuah kemajuan. Hal-hal yang berbau Barat sudah menjadi bagian dalam gaya hidup mereka. Percakapan mereka juga menunjukkan bahwa budaya Belanda kedudukannya lebih dominan, hal ini dikarenakan bangsa Belanda sebagai penguasa memiliki peranan yang sangat

30

Clifford Geertz, Abangan, santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm 307.

(25)

39 dominan sementara itu masyarakat pribumi hanya sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri dengan aparat.31

Khususnya kaum muda yang telah mendapatkan pendidikan Barat melakukan hal-hal yang berbau modern dan berbau Belanda. Mereka menggunakan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton film dan hal-hal yang berbau Barat lainnya. Kegiatan ini sering dilakukan oleh golongan priyayi termasuk mereka yang tinggal di kota-kota kecil.32

Di awal abad ke-20 hal-hal yang berbau Eropa (Belanda) ternyata sudah masuk dalam keseharian keluarga priyayi, salah satunya adalah kebiasaan makan sehari-hari. Seperti layaknya orang-orang Belanda, para ambtenaren pribumi banyak yang meniru kebiasaan makan orang-orang Belanda. Golongan bangsawan lebih banyak lagi menyerap kebiasaan dan gaya hidup Belanda.

Di awal abad 20 ini mereka sering mengadakan pesta-pesta pernikahan yang dikhususkan bagi mereka para pejabat Belanda bahkan ada yang menyelenggarakan lebih dari satu kali pesta untuk mereka. Pada pesta perjamuan, baik yang merupakan perjamuan makan malam biasa atau perjamuan yang lebih besar seperti pesta pernikahan didahului dengan toast minuman anggur. Hal yang

tidak pernah ditemui dalam kebiasaan dan gaya hidup tradisional Jawa. Adanya pesta perjamuan makan maupun pesta didorong oleh adanya

perkumpulan para priyayi atau warga keturunan yang sering berkumpul di satu

31

Djoko Soekiman, op.cit, hlm 39-40. 32

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai pustaka, 1994), hlm 286.

(26)

40 tempat pertemuan. Di kota-kota kecil tempat pertemuan ini terkenal dengan nama soos, yang diambil dari bahasa Belanda societeit yaitu tempat pertemuan bangsa Belanda yang eksekutif. Di samping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah dan lain sebagainya.33

Pada awalnya kegiatan seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda, namun pada perkembangannya banyak masyarakat pribumi yang melakukan kegiatan tersebut. Berawal dari sini, bisa dikatakan bahwa golongan intelektual ini merupakan golongan pendukung kebudayaaan Indis yang baru.

Golongan pribumi yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan disarankan untuk memperkenalkan dan mendidik keluarganya dengan kebiasaan dan gaya barat dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Indis bila disamakan dengan budaya “priyayi baru” atau priyayi bukan bangsawan memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan masyarakat yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik priyayi. Akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran (bazar cultuur) yang terasa aneh bagi bangsa Eropa sendiri maupun masyarakat Jawa.34

Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19, merupakan gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya pada bidang politik dan sosial saja, namun juga memberi dampak pada kebudayaan di negara koloni mereka. Pengusaha perkebunan di tanah jajahan melahirkan kondisi

33

Sartono Kartodirjo, A. Sudewa, Suhardjo Harmosuprobo, op.cit, hlm 109.

34

(27)

41 lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih tertuju ke dunia luar menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sendiri dengan lingkungan agraris setempat. Dari latar belakang inilah pada mulanya kebudayaan Indis berkembang. Seiring dengan perkembangan abad 20, modernisasi dan hal-hal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bergesernya gaya hidup masyarakat serta kebudayaan Indis berkembang dengan subur. Serta didukung oleh golongan priyayi dan pedagang.

Kota Magelang dalam kedudukan sebagai suatu Staadsgemeente merupakan suatu daerah enclave, yaitu adanya suatu pemerintahan berdasarkan hukum Barat yang diberlakukan di tengah suatu hukum adat. Artinya bahwa hak istimewa yang dimiliki orang-orang Eropa itu berlangsung dan menempati di sekitar pemerintahan bumi putera yang telah ada. Dengan latar belakang tersebut kota Magelang dikenal sebagai Het Central Park van Java. Sebutan ini muncul karena adanya perpaduan antara Kebudayaan Barat dengan kebudayaan dan lingkungan kota yang memiliki fungsi yang penting dan kondisi lingkungan alam kota yang sangat indah dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.35

35

Soekimin Adwiratmoko, Magelang Indah Dulu dan Sekarang, (Magelang: tanpa penerbit, tanpa tahun), hlm 9.

Referensi