• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebudayaan dan gaya hidup Indis. Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebudayaan dan gaya hidup Indis. Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat di Pulau Jawa terjadi suatu perubahan yang mengarah kepada suatu proses

transformasi kebudayaan.1 Proses perubahan kebudayaan yang menurut Sartono

Kartodirdjo2 disebut sebagai proses modernisasi dapat terjadi karena diakibatkan oleh

faktor-faktor pemicu antara lain: pesatnya laju pertumbuhan penduduk, perkembangan sekolah Barat, liberalisasi perekonomian yang meningkatkan arus migrasi penduduk asing dan arus investasi modal asing, pesatnya industrialisasi, pesatnya pembangunan infrastruktur dan sistem komunikasi modern, pembaharuan sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan kolonial Belanda. Modernisasi kehidupan masyarakat perkotaan serta terjadinya diferensiasi dan spesialisasi lapangan pekerjaan.

Proses modernisasi yang diakibatkan karena terjadinya kontak secara intensif antar unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh agen-agen perubahan yaitu elit birokrat dan elit ekonomi, serta elit pribumi yang terdididik secara Barat yang lebih

1Umar Kayam, “Tranformasi Budaya Kita, dalam Kedaulatan Rakyat, Senin

22 Mei 1989

2

Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hlm. 166.

(2)

2

mengarah kepada dominasi kebudayaan Barat atas kebudayaan agraris tradisional

yang oleh Wertheim dimaksudkan sebagai proses Westernisasi.3

Perluasan pendidikan dan pengajaran untuk golongan pribumi terus dikembangkan oleh pihak pemerintah Kolonial Belanda, sejak dicanangkannya

Politik Etis pada awal abad XX,4 dalam konteks ini pemerintahan kolonial tidak

hanya bertanggung jawab, tetapi secara politis dan ekonomis juga berkepentingan terhadap perkembangan dan pengajaran. Tujuan politis, untuk membentuk kelompok baru yang westerminded dan terpisah dari masyarakat kebanyakan. Sementara itu, secara ekonomis perluasan birokrasi dan administrasi pada lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial memerlukan tenaga-tenaga terdidik dan terampil.

Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19, merupakan gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya pada bidang politik dan sosial saja, namun juga memberi dampak pada kebudayaan di negara koloni mereka. Pengusaha perkebunan di tanah jajahan melahirkan kondisi lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih tertuju ke dunia luar menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sendiri dengan lingkungan agraris setempat. Dari latar belakang inilah pada mulanya kebudayaan Indis berkembang. Seiring dengan perkembangan abad 20, modernisasi dan hal-hal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari

3

W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 236.

4

Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm 50-102

(3)

3

masyarakat, bergesernya gaya hidup masyarakat serta kebudayaan Indis berkembang dengan subur.

Kata Indis berasal dari kata Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan negeri Belanda di seberang lautan yang secara geografis meluputi jajahan dikepulauan Nusantara yang disebut Nederlandsch Osdt Indie, untuk membedakan dengan suatu wilayah Suriname dan Curascao. Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda dan pribumi Jawa menunjukkan adanya proses historis. Unsur-unsur normatif gaya Indis terbentuk oleh keadaan yang khusus. Gaya Indis sebagai fenomena historis timbul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial dan

seni-budaya seseorang.5

Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serba mewah. Gaya hidup golongan masyarakat pendukung Kebudayaan Indis menunjukkan perbedaan menyolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional Jawa. Tujuh unsur universal budaya Indis seperti halnya tujuh unsur universal budaya yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuknya yang berbeda dari akar budaya Belanda, ataupun budaya pribumi Jawa. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan

5

Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm 11

(4)

4

kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya. Salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama status seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat istiadat serta kebiasaan berkelakuan dan mental sebagai cirri golongan social Indis. Keseluruhan cirri tersebut mempengaruhi hidupnya sehari-hari karena semuanya dijiwai oleh pandangan hidup yang berakar dari dua kebudayaan, yaitu Eropa dan Jawa.

Ketika kekuasaan Belanda masuk ke Indonesia, priyayi digunakan sebagai alat birokrasi pemerintahan kolonial sehingga memiliki pengaruh akulturasi yang

paling langsung.6 Kehidupan kaum Elite Jawa lebih banyak dipengaruhi oleh barat

dibandingkan dengan kelompok Indonesia lainnya. Perubahan-perubahan di kalangan priyayi berjalan berangsur-angsur dan tidak serentak karena tidak ada kesamaan cara

yang menjalankan dan mengembangkan perubahan.7

Menurut van Niel8 priyayi merupakan kelompok yang kita sebut elite, bagi

orang Indonesia ini berarti siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata yang dalam yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun rakyat Indonesia. Sebagai kaum elite, priyayi pangreh praja membedakan diri dari massa dan rakyat kebanyakan. Golongan priyayi pangreh praja sebagai kolompok sosial lapisan atas, memiliki ciri-ciri tertentu dan dengan jelas menunjukkan perbedaannya dengan kelompok sosial lainnya terutama kelompok sosial dari rakyat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan itu tidak hanya berupa adat sopan santun

6

Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo 1987),hlm 8.

7 Robert Van Niel. op,cit hlm 43.

8

(5)

5

dan bahasa tetapi juga beberapa hal yang berwujud konkrit seperti bentuk rumah tempat kediaman, pakaian-utama pakaian resminya, gelar pada nama dan sebagainya. Dari bentuk rumah, pakaian dan gelar beserta namanya dengan sepintas lalu dapat

didentifikasikan kedalamBudaya percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya

Timur. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnik berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula, bercampur makin mendalam dan erat. Akibat pertemuan kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi (Jawa) diperkaya dengan kebudayaan Barat. Lambat laun pengaruh tersebut makin besar dan mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Salah satunya terwujud dalam bentuk pakaian.

Pakaian merupakan media dalam mengekspresikan diri para pemaikanya, ini dapat dilihat sebagai suatu penentu status seseorang Dengan kedatangan bangsa Eropa, perkembangan “mode” menjadi lebih beragam. Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing.

Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang dikendalikan oleh VOC adalah penganut

Kristiani.9 Meskipun ada aturan ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara

9 Kees van Dijk, “Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana

(6)

6

berpakaian berbagai bangsa, peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.

Peran Barat dalam perubahan kostum di Jawa ditunjukkan dalam penerimaan unsur-unsur khusus dari pakaian Barat bagi pria. Beberapa tahun kemudian kaum perempuan mulai menerima pengaruh Barat pada gaya pakaian yang mereka kenakan. Perubahan-perubahan dari penerimaan pengaruh tersebut adalah mulai dikenakannya celana panjang, jas, dan sepatu bagi pria sedangkan pakaian perempuan adalah penerimaan batik sebagai bahan pakaian bagi semua orang.

Alasan pemilihan tema ini adalah untuk meneliti bagaimana perkembangan mode berbusana kaum elite Jawa di Magelang pada Awal Abad XX, mengingat Kota Magelang merupakan sebuah Kota Militer Belanda yang erat kaitannya dengan kehidupan Kaum Kolonial. Kondisi seperti ini yang kemudian memunculkan situasi para kaum pribumi harus berhubungan langsung dengan kebudayaan-kebudayaan Barat dan beradaptasi dengan kondisi tersebut. Penelitian ini membahas bagaimana cara para elite tersebut dalam mengekspresikan dirinya dalam berpakaian di satu sisi untuk memperlihatkan eksistensi mereka sebagai elite dan di sisi lain dalam keadaanya yang bekerja dalam lingkungan kolonial. Apakah terpengaruh dengan budaya Barat atau tidak. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada bentuk fisik dari sebuah pakaian dan makna simbolis didalamnya setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan Asing.

(7)

7

Penelitian ini mengambil jangka waktu pada Awal Abad XX. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut merupakan transisi dari Abad XIX, dan pada awal abad tersebut banyak terjadi fenomena sosial seperti adanya politik Etis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat di kota Magelang? 2. Bagaimana perubahan fashion Masyarakat Magelang awal abad XX??

3. Bagaimana pengaruh gaya hidup masyarakat Kolonial terhadap berbusana para Elite di Magelang awal abad XX?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diharapkan kajian tentang Mode Berbusana (Fashion) di Kalangan Elite Jawa di Magelang Awal Abad XX ini mampu memberikan jawaban permasalahan tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana kehidupan sosial-budaya masyarakat di kota Magelang.

2. Dapat mengetahui bentuk dan perubahan fashion atau mode busana kaum Elite Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Barat atau setelah mengalami westerrnisasi.

3. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh gaya hidup Kolonial terhadap minat kaum Elite dalam berbusana di Magelang pada awal Abad XX.

(8)

8

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari tulisan ini diharapkan memberi sumbangan bagi ilmu budaya terutama dijadikan literature sejarah kebudayaan. Hasil dari penelitian diharapkan menjadi pendorong bagi penelitian-penelitian lain untuk mengangkat tema yang berkaitan dengan busana Elite Jawa.

2. Manfaat Praktis

Tulisan ini bermanfaat sebagai syarat kelulusan untuk Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Semoga Penelitian ini memberikan hasil penilaian yang maksimal bagi kelulusan.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah telaah yang dilakukan terhadap beberapa pustaka atau sumber yang berguna untuk mendukung proses penulisan penelitian ini. Telaah pustaka memiliki kegunaan yang sangat penting dalam penelitian karena memiliki beberapa fungsi diantaranya; memperdalam masalah yang hendak diteliti, menegaskan kerangka konseptual yang akan dijadikan landasan pemikiran, dan mempertajam konsep yang digunakan supaya memudahkan dalam merumuskan hipotesa.

(9)

9

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, 2000. Dalam buku tersebut terdapat relevansi dengan penelitian ini karena membahas tentang perkembangan budaya Indis yang merupakan budaya campuran (Belanda-Jawa).

Gaya hidup Indis merupkan suatu proses perkembangan sosial yang muncul dan tumbuh dari segolongan lapisan masyarakat di Hindia Belanda. Percampuran budaya ini berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat Kolonial untuk mencipta kelas sosial tersendiri yang didukung oleh Pejabat Pemerintah Kolonial, khususnya oleh para priyayi baru dan golongan Indo Eropa.

Proses akulturasi kebudayaan Belanda di Indonesia (khususnya Jawa), yaitu dipengaruhi oleh 7 Kebudayaan Universal antara lain: Bahasa, Peralatan dan perlengkapan hidup manusia, Mata pencaharian dan sistem ekonomi, Sistem kemasyarakatan, Kesenian, Ilmu pengetahuan, dan religi yang dibawa oleh Belanda. Tujuh unsur ini mempengaruhi akulturasi antara lingkungan alam, masyarakat, dan budaya Indonesia dengan datangnya penguasa Kolonial, pedagang, serdadu, dan cendekiawan Belanda. Proses akulturasi juga dipengaruhi oleh pengalaman mahasiswa Indonesia di Belanda. Percampuran ini memunculkan para cendekiawan, rohaniawan, arsitek, seniman, guru dsb sehingga diwujudkanlah suatu kebudayaan

campuaran, yaitu Kebudayaan Indis.10

10

Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm 90

(10)

10

Tesis dari Dwi ratna Nurhajarini Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa Di Kota Yogyakarta Pada Awal Sampai Pertengahan Abad XX. Pendidikan modern bagi perempuan diperkenalkan secara luas sejak awal XX. Priyayi intelektual muncul sebagai tokoh yang membawa ide-ide kemajuan dalam memainkan peranan tersebut, mereka menjadi hominess novi yang memerlukan identitas dan simbol-simbol baru untuk mengekspresikan diri. identitas dan simbol-simbol yang mereka pakai tercermin dalam gaya hidupnya.

Setelah munculnya pendidikan Barat, para perempuan Jawa mulai memakai pakaian model Barat. Mereka yang lebih dahulu mendapat pengaruh adalah

Putri-putri Keraton yang bersekolah di Sekolah-sekolah Belanda.11 Rok dan sepatu menjadi

pakaian para gadis bangsawan untuk ke sekolah. Perempuan dari luar tembok keraton yang menerima pengaruh Barat dalam cara berpakaian adalah para siswa sekolah Misi atau Zending yang menekuni bidang agama. Pakaian gaya Eropa menuntut adanya kelengkapan seperti sepatu dan kaos kaki, rias wajah dan tata rambut pun mengikuti gaya pakaian yang dikenakan.

Di dalam tulisan ini lebih terfokus dalam meneliti busana perempuan Jawa. Ditulis bahwa awal adanya westernisasi adalah ketika para Putri-putri keraton bersekolah di Sekolah Belanda. Jika dalam penelitian ini mengambil lokasi Kota Magelang yang notabene adalah Kota Militer bentukan Belanda, maka hal ini

11

Dwi ratna Nurhajarini, Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa Di Kota Yogyakarta Pada Awal Sampai Pertengahan Abad XX. (Tesis S-2. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 2003)hlm 197-198.

(11)

11

memungkinkan jika westernisasi dalam bentuk busana disana ditularkan bukan melalui orang-orang Keraton melainkan melalui orang-orang yang selalu bersinggungan dengan kehidupan orang Belanda. Orang-orang tersebut bukan dari kalangan Elite atau kelas atas. Hal inilah yang akan diteliti dalam penelitian ini.

Skripsi dari Arik Andriyani yang berjudul Pengaruh Budaya Eropa Terhadap Perkembangan Fashion (Mode) di Surakarta Tahun 1900-1942. Di dalam skripsi ini diceritakan tentang bentuk-bentuk pakaian para wanita Jawa dari semua kalangan. Perbedaan status dapat dilihat melalui corak kain Batik yang dikenakannya. Setiap corak memiliki arti masing-masing yang menentukan tinggi rendahnya status pemakainya.

Relevansi skripsi tersebut dengan penelitian ini adalah sebagai pembanding gaya pakaian seperti apa yang sedang berlaku di Surakarta pada masa itu, sehingga dapat memberikan gambaran bagaimana bentuk pakaian pada masa yang sama di Magelang, mengingat letak wilayahnya yang tidak begitu jauh.

F. Metode Penelitian

Metode sejarah merupakan sarana bagi para sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah. Metode penulisan sejarah ini adalah prosedur analitis yang ditempuh sejarawan untuk menganalisis kesaksian yang ada, yaitu faktor

sejarah sebagai bukti yang dapat dipercaya mengenai masa lampau manusia.12 Dalam

12

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Universitas Indonesia,1986), hlm. 18-19

(12)

12

metode sejarah ada empat tahapan yang harus dilakukan yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.

Heuristik, yaitu proses pengumpulan data, baik primer maupun sekunder, berupa dokumen-dokumen tertulis maupun lisan dari peristiwa masa lampau sebagai sumber sejarah. Pada tahap pertama ini, sumber primer diperoleh melalui penelusuran terhadap dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional di Jakarta, Arsip Daerah Jawa Tengah, Arsip Monumen Pers dan Perpustakaan Mangkunegaran. Ada juga beberapa harian yang terbit pada masa itu seperti Java Review dan Darma Konda. Dokumen yang dipakai berupa foto, Surat Kabar, dan Majalah.

Tentang sumber yang berupa foto, didapatkan beberapa koleksi yang berasal dari berbagai tempat antara lain dari Majalah, Surat Kabar, dan dari koleksi instansi seperti milik KITLV.

Dari beberapa tempat itu diperoleh arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang menyangkut busana. Dokumen hanya menjadi saksi kejadian-kejadian penting atau yang dianggap penting menurut kepentingan pembuat dokumen dari zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan unik yang dialami oleh seseorang atau kelompok. Metode sejarah bersifat retrospektif sehingga memungkinkan

(13)

13

penggalian dan pengumpulan bukti-bukti dari masa lain yang tersedia dalam sumber tertulis.13

Kritik, proses melakukan pengujian terhadap kredibilitas dan otentisitas sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua. Pertama kritik ekstern yang dilakukan untuk mengetahui otentisitas sumber. Dalam tahapan ini, sumber-sumber yang telah didapat, diuji dan ditelaah lebih jauh sehingga sumber dapat dipastikan keotentisitasannya.. Kedua, kritik intern untuk mengetahui kredibilitas atau kebenaran isi sumber tersebut.

Interpretasi merupakan tahap ke tiga. Pada tahap ini fakta-fakta sejarah ditafsirkan dan dianalisis serta dihubungkan dalam rangkaian kronologis, sehingga didapatkan alur yang sistematis.

Historiografi ialah tahap terakhir. Dalam tahapan ini fakta yang terkumpul kemudian disintesiskan dan dituangkan dalam bentuk tulisan yang deskriptif-analitis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai kaidah tata bahasa agar komunikatif dan mudah dipahami pembaca. Hasilnya ialah tulisan sejarah yang bersifat deskriptif analitis.

13 Kuntowijoyo, kegunaan sejarah Lisan dalam penulisan Sejarah Nasional,

(14)

14

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab, yaitu

Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, tinjauan pustaka, metode penelitian.

Bab II membahas tentang kehidupan sosial budaya masyarakat di Kota Magelang. Sub bab meliputi awal terbentuknya kota, bentuk kebudayaan indis.

Bab III membahas tentang Bentuk dan perubahan Mode berpakaian Elite Jawa di Kota Magelang. Sub bab meliputi bentuk fisik dari pakaian dan perubahan bentuk maupun makna.

Bab IV membahas tentang pengaruh gaya hidup masyarakat Kolonial terhadap minat para Elite Jawa dalam mengaplikasikannya ke bentuk busana. Sub bab meliputi gaya hidup masyarakat kolonial dan wujudnya.

Referensi

Dokumen terkait

Prediksi bahwa langit dan bumi akan lenyap akan digenapi di akhir masa 1000 Tahun Damai dan dicatat di dalam Wahyu 21:1: “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru,

Gambar 4.11 Hubungan CSR-CRR terhadap kedalaman dengan percepatan maksimum tanah menurut Gutenberg Richter dan Donovan (a) di daerah Sawahan, (b) di daerah

Terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura F. ) di Rumah Kassa yang merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakan Ujian Akhir Sarjana di Fakultas..

(concept learning) , belajar aturan (rule learning) , dan pemecahan masalah (problem solving).. Menurut Sudjana, hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki

Kinerja sering diartikan sebagai pencapaian tugas, dimana karyawan dalam bekerja harus sesuai dengan program kerja organisasi untuk menunjukkan tingkat kinerja

Menurut pendapat Grondlund dan Linn (1990) yang dikutip dari http://ventidanokarsa.blogspot.co.id/2009/05/evaluasi-pembelajaran.html,yang dimaksud dengan

Klasifikasi 14 Subsektor Industri Kreatif kerajinan fesyen Pasar barang seni desain arsitektur Permainan interaktif IT & software Seni pertunjukan Penerbitan percetakan

Aspek yang perlu diperhatikan dalam analisis butir soal secara klasik adalah setiap butir soal ditelaah dari segi: tingkat kesukaran butir, daya pembeda butir,