• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Infeksi Parasit Usus pada Murid SD X, Bantargebang, 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prevalensi Infeksi Parasit Usus pada Murid SD X, Bantargebang, 2012"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Prevalensi Infeksi Parasit Usus pada Murid SD X, Bantargebang, 2012

*Muhammad Yusra Firdaus, **Saleha Sungkar

*Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

E-mail: yusrafirdaus@rocketmail.com

Abstrak

Infeksi parasit usus yang terjadi pada anak-anak dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan serta perkembangan kognitif. Pengetahuan dan informasi mengenai parasit usus berperan penting dalam menanggulangi infeksi parasit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi parasit usus murid SD di Bantargebang pada tahun 2012. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Data diambil pada tanggal 19 Januari 2012 sampai 22 Januari 2012. Total subjek penelitian sebanyak 246 murid (total

sampling) dengan diminta untuk membawa feses. Feses akan diperiksa secara mikroskopis

dengan teknik pewarnaan lugol 1%. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji

chi-square. Murid yang positif terinfeksi akan ditatalaksana dengan antiparasit yang sesuai. Hasil

penelitian menunjukkan dari 121 murid yang mengumpulkan feses terdapat 75 murid (62%) yang terinfeksi, dengan rincian B. hominis 42 (78%), G. lamblia 8 (14%), T. trichiura 3 (6%),

B. hominis + G. lamblia 11 (73%), B. hominis + T. trichiura 3 (20%), G. lamblia + T. trichiura 1 (7%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara prevalensi infeksi parasit usus

dengan jenis kelamin (p=0,217) dan tingkat pendidikan (p=0,07). Disimpulkan prevalensi infeksi parasit usus pada murid SD di Bantargebang, 2012 adalah 62% dan tidak berhubungan dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

The Prevalence of Intestinal Parasitic Infections among Students in Primary

School, Bantargebang, 2012

Abstract

Intestinal parasitic infection that occurs in children may result in growth retardation and impaired cognitive development. Knowledge and information on intestinal parasites play an important role in fighting parasitic infections. This study aims to determine the prevalence of intestinal parasitic infections among students in primary school in Bantargebang, 2012. The study design is a cross-sectional view. Data taken on 19th January 2012 to 22nd January 2012. Common research subject with the most 246 students were asked to collect stool. Stool will be examined under microscope with 1% Lugol's staining technique. Results were analyzed using the chi-square test. Students who are infected are given appropriate antiparasitic. Results showed that of the 121 students collect faeces contains 75 students (62%) were infected, with details B. Hominis 42 (78%), G. lamblia 8 (14%), T. trichiura 3 (6%), B. Hominis + G.

(2)

lamblia 11 (73%,) B. Hominis + T. trichiura 3 (20%), G. lamblia + T. trichiura 1 (7%). There

was no significant difference between the prevalence of intestinal parasitic infections with gender (p> 0.05) and education level (p> 0.05). It is concluded that the prevalence of intestinal parasitic infections among students in primary school in Bantargebang 2012is 62% and does not refer to gender and level of education.

Keywords: Bantargebang, intestinal parasite, protozoa, soil transmitted helminths

PENDAHULUAN

Infeksi parasit usus adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit dan paling sering disebabkan oleh nematoda usus yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Protozoa yang sering menyebabkan infeksi usus adalah Entamoeba histolytica dan

Giardia lamblia.

Infeksi parasit usus yang terjadi pada anak baik infeksi berat ataupun kronis dapat mengakibatkan gangguan penyerapan nutrisi, diare, serta perdarahan di sistem pencernaan. Dampak terhadap anak tersebut adalah menderita hambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, penurunan kemampuan kerja serta imunitas tubuh yang berakibat mudah terjangkit penyakit lain sehingga menurunkan kualitas hidup.1

Tanah yang berada pada negara beriklim tropis, seperti Indonesia, merupakan daerah yang sangat baik untuk tumbuh dan kembangnya parasit usus. Kondisi tersebut didukung dengan angka kejadian infeksi parasit usus yang meningkat pada individu yang berdomisili di lingkungan kumuh dan padat dengan tingkat kebersihan yang rendah. Pada tahun 2008, dilakukan studi epidemiologi infeksi parasit usus terhadap di daerah kumuh dan didapatkan prevalensi sebesar 35%.2

Tempat pembuangan akhir sampah dari seluruh wilayah di Jakarta dan Bekasi berada di daerah Bantargebang. Daerah tersebut menampung sekitar 4500-5500 ton sampah dalam sehari dan sebagian besar sampah tersebut merupakan sampah organik.3 Kondisi tersebut

membuat daerah Bantargebang rentan terhadap lingkungan yang kumuh dan kebersihan yang rendah.

Di sekitar Bantargebang terdapat beberapa SD dengan kondisi kebersihan dan ekonomi yang masih rendah. SD X merupakan salah satu diantaranya. Selain itu, lingkungan sekitar SD X banyak terdapat lapangan, rawa, serta sawah yang biasa digunakan murid SD X sebagai tempat bermain sehingga terdapat kemungkinan murid SD terinfeksi parasit usus.

Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang tersusun atas penyuluhan, pemeriksaan infeksi parasit, serta pengobatan infeksi tersebut sehingga dapat diketahui prevalensi infeksi parasit

(3)

usus murid SD X. Prevalensi infeksi parasit murid SD X dapat dihubungkan dengan karakteristik demografi murid yang terdiri atas jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Soil transmitted helminths

Soil transmitted helminths (STH) adalah sekelompok cacing yang menginfeksi saluran

pencernaan manusia yang penyebarannya melalui tanah yang terkontaminasi. Spesies cacing yang termasuk STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Data WHO menyebutkan jumlah individu yang terinfeksi STH di dunia pada tahun 2005 lebih dari 1 miliar dan yang meninggal akibat infeksi tersebut sebanyak 27.000 individu. Penduduk benua Asia yang terinfeksi A.

lumbricoides sebanyak 204 juta, T. trichiura sebanyak 159 juta, dan cacing tambang sebanyak

149 juta.4 Di Indonesia, prevalensi nasional untuk A. lumbricoides sebesar 70-90%, T.

trichiura sebesar 80-95% dan cacing tambang sebesar 30-59%.5

Anak usia 5-15 tahun merupakan faktor pendukung usia yang paling rentan terinfeksi

A. lumbricoides dan T. trichiura. Faktor pendukung lain yang memengaruhi siklus hidup STH

adalah kelembapan tanah, suhu tanah, paparan sinar matahari, dan kedalaman tanah. Penyebaran telur STH dapat melalui tanah, angin, serangga sehingga dapat berada di makanan yang dikonsumsi manusia.6

Rendahnya kesadaran masyarakat dan tingkat pendidikan (faktor host) terhadap perilaku kesehatan meningkatkan angka infeksi. Faktor lingkungan yang memengaruhi angka infeksi adalah posisi geografis dan kebersihan lingkungan, seperti fasilitas air yang tidak memadai dan rendahnya kualitas pengelolaan septic tank.7

Ascaris lumbricoides

Morfologi dan Daur Hidup

Ascaris lumbricoides adalah cacing yang mempunyai ukuran paling besar di antara

jenis cacing lainnya. Panjang cacing jantan A. lumbricoides sebesar 15 cm hingga 31 cm dengan diameter 2 mm hingga 4 mm, sedangkan pada cacing betinanya memiliki panjang sebesar 20 cm hingga 49 cm dengan diameter sebesar 3 mm hingga 6 mm. Ciri khas dari cacing jantan pada ujung posteriornya berbentuk kurva ke arah ventral dan lebih lurus

(4)

dibandingkan cacing betina. Cacing betina memiliki vulva sepanjang sepertiga tubuhnya dari ujung anterior. Sel telur dari cacing betina A. Lumbricoides sangat banyak karena di dalam uterusnya dapat terkandung 27 juta telur dimana dalam sehari dapat menelurkan 200.000 telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Telur yang telah dibuahi tersebut akan berubah menjadi bentuk infektif dalam periode 21 hari. Bentuk infektif ini akan tertelan oleh manusia pada saat terkontaminasi bersama dengan air atau makanan. Setelah memasuki duodenum, menetas menjadi larva dan menembus mukosa dan submukosa hingga memasuki jalur limfatik atau pembuluh darah. Melalui jalur tersebut, larva kemudian masuk atrium kanan dan menuju ke jalur sirkulasi paru. Di dalam paru, larva menembus dinding kapiler menuju rongga udara dan naik ke saluran pernapasan atas (faring). Saat di faring, larva menimbulkan refleks batuk sehingga larva tersebut keluar lalu tertelan kembali dan masuk melalui saluran pencernaan. Di usus halus, larva berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu 2 bulan, larva dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Periode waktu hidup cacing ini ialah 12 hingga 18 bulan.8

Gambar 1. Kiri: telur A. lumbricoides yang telah dibuahi dan diambil dari sampel feses. Kanan: cacing dewasa A. lumbricoides betina (kiri) dan jantan (kanan) .8

(5)

Gambar 2. Siklus hidup A.lumbricoides.8 Patogenesis

Larva yang berpenetrasi menuju saluran pencernaan akan menyebabkan kerusakan kecil. Gejala peradangan juga akan terjadi pada saat cacing muda yang berpindah-pindah menuju suatu jaringan, sepeti, nodus limfa, hati, atau otak. Gejala yang ditunjukkan pun masih sulit untuk dibedakan dengan penyakit lainnya. Coles8 juga menyatakan bahwa dapat terjadi reaksi imunopatologi serta alergi yang terjadi pada penyakit askariasis.

Cacing muda yang akan masuk ke kapiler paru dapat menyebabkan perdarahan di setiap lokasi yang dia tempati. Jika terjadi infeksi yang berat, maka akan menyebabkan akumulasi darah yang memicu terjadinya edema serta penyumbatan rongga udara. Kumpulan gejala tersebut ditambah dengan akumulasi dari leukosit serta kematian sel epitel disebut dengan Ascapneumonitis atau Loeffler’s pneumonia.

Makanan utama A.lumbricoides adalah cairan yang terdapat pada lumen saluran pencernaan. Jika didapati infeksi berat, maka dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, gangguan kognitif, serta malnutrisi pada anak-anak.9 Reaksi alergi yang ditimbulkan oleh

produk yang dihasilkan cacing dapat menyebabkan nyeri perut, ruam pada kulit, asma, serta rasa lelah.8

(6)

Cacing ini dapat juga berpindah ke organ lain apabila terjadi kepadatan yang berlebihan. Perpindahan cacing ke bagian bawah dapat menuju ke apendiks atau menuju anus dapat terjadi secara tiba-tiba pada pasien yang tidak diduga memiliki riwayat askariasis. Perpindahan cacing ke bagian atas dapat menuju pankreas dan saluran empedu yang dapat menyebabkan multiple liver abscess.8

Diagnosis dan Tatalaksana

Diagnosis yang tepat dapat diperoleh melalui identifikasi karakteristik telur atau terdapatnya cacing itu sendiri dari pemeriksaan feses.

Obat pilihan adalah albendazole, pirantel pamoat, atau mebendazol.10 Dosis albendazol untuk dewasa dan anak-anak usia di atas dua tahun adalah dosis tunggal 400 mg oral. Dosis mebendazole adalah tablet 100 mg dua kali sehari untuk periode tiga hari. Dosis ini digunakan untuk dewasa dan anak dengan usia di atas dua tahun dengan mengunyah terlebih dahulu sebelum ditelan. Cara kerja mebendazole adalah mengikat tubulin di dalam sel intestinal cacing dan otot dinding tubuhnya. Dosis pirantel pamoat adalah 11 mg/kg diberikan secara oral. Cara kerja pirantel pamoat adalah membuat cacing lumpuh melalui pelepasan asetilkolin dan menghambat kolinesterase karena obat ini bersifat penghambat neuromuskular.10

Trichuris trichiura

Morfologi dan Daur Hidup

Trichuris trichiura memiliki panjang 30 - 50 mm; cacing jantan lebih pendek

dibandingkan cacing betina. Bentuk mulut cacing tersebut sederhana, rongga mulutnya juga sangat kecil. Dibandingkan dengan mulut, esofagus memiliki panjang 2/3 dari panjang tubuhnya. Esophagus terdiri atas suatu tabung yang dilapisi kelenjar uniseluler yang disebut dengan stichocytes. Keseluruhan komponen tersebut dinamakan dengan stichomosome.11

Setiap cacing betina akan menghasilkan sekitar 3000 hingga 20.000 telur per hari. Proses pembentukkan embrio akan selesai sekitar 21 hari di tanah yang lembab. Setelah telur tertelan, telur akan berpenetrasi dan masuk menuju kripta Lieberkuhn. Di dasar kripta Lieberkuhn, cacing tersebut akan tumbuh dan membuat terowongan dari dalam epitel menuju ke berbagai tempat di permukaan mukosa. Cacing dewasa dapat hidup selama beberapa tahun di dalam tubuh manusia.11

(7)

Gambar 3. Kiri: telur T. trichiura. Kanan: cacing dewasa T. trichiura betina dan jantan.11

Epidemiologi

Estimasi prevalensi trikuriasis di dunia adalah sekitar 795 juta.12 Penderita penyakit trikuriasis sering sekali secara bersamaan mengalami penyakit askariasis.13 Di Indonesia, prevalensi infeksi T. trichiura pada tahun 2009 sebesar 13,69%.14

Manusia dapat terinfeksi dari tanah yang terkontaminasi serta perilaku geofagi (makan tanah). Infeksi lainnya bisa tersebar melalui alat-alat perkebunan dan hewan peliharaan, seperti ayam dan babi.11

Patologi dan Manifestasi Klinis

Secara umum, manifestasi klinis dari penyakit ini tidak bergejala dan apabila lebih sedikit dari 100 cacing jarang sekali menyebabkan gejala klinis. Berbeda dengan dewasa, anak kecil rentan terkena infeksi berat dimana jumlah cacing yang menginfeksi berkisar 200-1000 ekor. Gejala klinis yang terlihat paling umum terhadap penyakit trikuriasis adalah anemia, pertumbuhan terhambat, dan disentri, sedangkan gejala yang paling sering terlihat adalah clubbing finger dan rectal prolapse. Infeksi sedang hingga berat dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif pada anak.11

Cacing akan memakan isi sel serta mengisap darah melalui ujung anteriornya yang menempel pada mukosa. Anemia yang menjadi gejala klinis tersebut berasal dari trauma yang menyebabkan perdarahan kronik di epitel saluran pencernaan dan lapisan submukosa yang menyebabkan perdarahan kronik.Respons sel imun juga terjadi pada patogenesis penyakit ini, tetapi terdapat hasil yang menyebutkan bahwa tidak terdapat penanda normal dari

(8)

propria kolon serta TNF baik di sirkulasi sistemik dan di dalam mukosa. Selain itu terdapat kenaikan degranulasi sel mast serta kenaikan 10 kali lipat IgE di dalam lamina propia.11

Diagnosis dan Tata Laksana

Standar umum untuk menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan terdapatnya telur atau cacing di feses. Karakteristik telur tersebut adalah memiliki panjang 50 µm hingga 54 µm dan lebar 22 µm hingga 23 µm serta memiliki dinding luar tipis dengan kedua ujungnya memiliki bentuk plug khusus.

Pengobatan terhadap T. trichiura sulit dilakukan melalui mekanisme obat oral karena lokasi cacing tersebut sering berada di cecum, appendiks, atau ileum bawah. Obat pilihan utama adalah mebendazole serta albendazole. Cara kerja mebendazole melalui penghambatan produksi mikrotubul cacing.10 Nitazoxanide juga merupakan obat yang efektif.11 Pencegahan

utama untuk tidak terjadinya infeksi ulang adalah dengan mengajarkan anak-anak serta orang dewasa untuk perilaku BAB di toilet dan mencuci diri sesudah BAB serta mencuci tangan yang benar.

Cacing Tambang

Terdapat dua spesies cacing tambang, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus, yang bertanggung jawab terhadap infeksi pada manusia. Gejala yang ditimbulkan

banyak yang asimptomatik. Penyakit yang disebabkan cacing tambang berkembang dari perpaduan berbagai faktor, seperti banyaknya cacing, durasi infeksi yang lama dan tidak seimbangnya zat besi yang dimakan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.15 Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing tambang dewasa, memiliki panjang kira-kira 1 cm, menggunakan gigi bucal (Ancylostoma) atau lempeng pemotong (Necator) untuk menempel pada mukosa usus kecil dan mengisap darah (0,2 mL/hari per cacing dewasa Ancylostoma) serta cairan interstitial. Cacing tambang dewasa menghasilkan ribuan telur setiap harinya. Telur tersebut akan terdeposit dengan feses pada tanah, lalu larva rhabditiform menetas dan berkembang selama satu minggu menjadi larva filariform yang infeksius. Larva akan menginfeksi melalui penetrasi kulit dan mencapai paru-paru melalui sirkulasi darah. Masuk ke alveoli dan naik menuju saluran pernapasan atas kemudian tertelan dan masuk ke usus kecil. Periode penetrasi kulit hingga terlihat telur pada feses kira-kira selama 6-8 minggu, tetapi bisa lebih lama pada

(9)

A. duodenale. Larva A. duodenale, jika tertelan, dapat bertahan dan berkembang langsung

pada mukosa intestinal. Cacing tambang dewasa dapat bertahan hidup melebihi satu dekade, dimana biasanya hidup selama 6-8 tahun untuk A. duodenale dan 2-5 tahun untuk N.

americanus.15,16

Gambar 4. Kiri: telur cacing tambang. Tengah: cacing dewasa N. americanus. Kanan: cacing dewasa A. duodenale.16

Gambar 5. Siklus hidup cacing tambang.16 Epidemiologi

(10)

A. duodenale lebih sering terdapat di Eropa Selatan, Afrika Utara, dan Asia Utara,

sedangkan N. americanus lebih sering di negara barat dan bagian ekuator Afrika. Dua spesies tersebut secara bersamaan sering dijumpai pada banyak daerah tropis, khususnya Asia Tenggara. Pada beberapa area, anak-anak yang lebih tua memiliki insidensi paling tinggi dan intensitas paling besar pada infeksi cacing tambang. Pada daerah pedesaan, tanah perkebunan yang dipupuki dengan feses manusia, pekerja dewasa juga dapat terinfeksi secara berat.15 Patologi dan Manifestasi Klinis

Timbul serta derajat keparahan penyakit tergantung oleh tiga faktor utama, yaitu jumlah cacing, jenis spesies cacing tambang, dan kondisi nutrisi dari individu yang terinfeksi. Secara umum, kurang dari 25 ekor N. americanus pada suatu individu tidak akan menunjukkan gejala klinis, 25 hingga 100 cacing memerlihatkan gejala ringan, 100 hingga 500 menghasilkan suatu kerusakan dan gejala sedang, 500 hingga 1000 menghasilkan gejala berat dan kerusakan yang dalam, dan lebih dari 100 ekor cacing dapat menyebabkan kerusakan sangat dalam dan akibat yang fatal. Karena Ancylostoma spp mengisap lebih banyak darah daripada N. americanus, lebih sedikit cacing tersebut menyebabkan penyakit yang lebih parah, misalnya 100 cacing dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah. Bagaimanapun, gejala klinis lebih terkait terhadap derajat malnutrisi, berhubungan dengan terganggunya respon imun pejamu, dan kondisi lainnya.16

Infeksi cacing tambang akan menstimulasi sedikit respon imun, seperti TH2

mengurangi berat dan kesuburan cacing pada intestinal. Cacing tambang memiliki beberapa cara untuk menghindari sistem imun manusia, seperti Ancylostoma spp. menghasilkan faktor inhibisi neutrophil, N. americanus menghasilkan acetyl cholinesterase yang menghambat peristaltik usus dan merupakan faktor antiinflamasi. N. americanus juga menghasilkan

glutathione-S-transferase dan superoxide dismutase, suatu substansi yang mengganggu antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC). Cacing tambang juga menghasilkan

suatu protein yang mengikat kolagen manusia sehingga mencegah pembekuan darah melalui penghentian interaksi platelet dengan kolagen yang terpapar oleh kerusakan pembuluh darah.16

Infeksi cacing tambang seringkali tidak bergejala. Larva infektif dapat menimbulkan

dermatitis makulopapular pruritic (ground itch) pada tempat penetrasinya di kulit dan juga

menimbulkan jalur migrasi subkutan pada pejamu yang tersensitisasi. Larva yang bermigrasi ke paru kadang-kadang menyebabkan pneumonitis ringan sementara. Pada fase awal

(11)

intestinal, individu yang terinfeksi dapat merasakan nyeri epigastrik serta diare. Konsekuensi utama pada infeksi cacing tambang kronik adalah defisiensi besi. Gejala akan minimal jika asupan zat besi cukup, namun jika tidak akan menunjukkan gejala anemia defisiensi besi serta Diagnosis dan Tata Laksana

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan 40-60 µm telur oval cacing tambang pada feses. Telur dari kedua spesies tidak dapat dibedakan melalui mikroskop cahaya biasa. Jika sampel feses tidak baru, telur dapat menetas menjadi larva rhabditiform yang harus dibedakan dengan spesies S. stercoralis. Anemia mikrositik hipokromik, kadang-kadang dengan eosinophilia atau hipoalbuminemia, merupakan ciri-ciri penyakit cacing tambang.15

Infeksi cacing tambang dapat dieradikasi dengan beberapa obat antihemintik yang tinggi efektivitasnya, termasuk albendazole (dosis tunggal 400 mg), mebendazole (dosis sekali 500 mg), dan pirantel pamoat (11 mg/kg.BB/hari selama tiga hari). Anemia defisiensi besi ringan dapat disembuhkan dengan suplemen zat besi oral. Penyakit cacing tambang berat dengan kehilangan protein dan malabsorpsi dibutuhkan dukungan nutrisi dan pengganti zat besi oral.15,16

Protozoa

Protozoa merupakan suatu mikroorganisme yang memiliki satu sel dan terdiri atas berbagai organel. Habitat dari mikroorganisme ini adalah tanah, air atau parasit di organisme lain.15

Giardia lamblia

Giardia lamblia merupakan suatu protozoa kosmopolitan, tetapi sering berada pada

daerah dengan iklim hangat. Spesies ini merupakan jenis flagelata yang berada di saluran pencernaan manusia terutama yang paling rentan adalah anak-anak.17

Morfologi

G. lamblia memiliki dua fase hidup, yaitu fase aktif dan inaktif. Fase aktif dikenal

dengan bentuk trofozoit. Trofozoit memiliki panjang 12 hingga 15 µm. Trofozoit memiliki ujung yang membulat di sisi anterior dan ujung yang meruncing di sisi posterior. Sisi ventral spesies ini berbentuk cekung dan sisi dorsal berbentuk cembung. Trofozoit memiliki satu batil isap besar, sepasang aksostil, serta empat pasang flagel. Kista memiliki diameter 10-14

(12)

µm, memiliki dua lapis dinding, serta berbentuk oval. Kista yang baru terbentuk memiliki dua inti, tetapi kista dewasa memiliki empat inti.17

Gambar 6. Fase trofozoit G. lamblia.17 Daur Hidup

G. lamblia hidup di duodenum, jejunum, serta ileum bagian atas pada manusia. Parasit

tersebut dapat bergerak secara cepat menggunakan flagelanya. Trofozoit akan memperbanyak diri melalui pembelahan biner. Dari feses pasien yang mengalami diare terdapat 14 juta parasit dan feses pada individu yang terinfeksi terdapat 300 juta kista. Pada usus halus serta feses berair hanya fase aktif yang ditemukan, tetapi pada saat feses memasuki kolon dan terjadi dehidrasi, protozoa tersebut menjadi kista.17

Patogenesis

Giardiasis akan memberikan gejala seperti diare, dehidrasi, flatulens, dan hilang berat badan. Feses mengandung lemak, tetapi tidak berdarah. Parasit tersebut tidak akan melisiskan sel host, namun akan memakan sekresi mukus. Flagel yang menyelimuti epitel intestinal akan merusak mikrovili serta mengganggu penyerapan lemak serta nutrien lainnya yang merupakan inisiasi terjadinya penyakit.18

(13)

Diagnosis yang adekuat untuk mengetahui adanya trofozoit atau kista dapat diperoleh dari pewarnaan feses.17 Pemberian metronidazole (dosis 250 mg) dapat menyembuhkan dalam waktu 5-7 hari.

Epidemiologi

Penyakit ini sangat mudah menular. Apabila salah satu anggota keluarga terinfeksi, maka biasanya yang lain juga terkena. Proses transmisi tergantung dari tertelannya kista dewasa. Pencegahannya tergantung dari sanitasi yang cukup baik. Berdasarkan suvei yang dilakukan 134.966 orang di seluruh dunia didapatkan prevalensi giardiasis berkisar 2,4% sampai 67,5%.18

Blastocystis hominis Epidemiologi

Blastocystis hominis adalah salah satu jenis protozoa yang paling sering menginfeksi

manusia. Di negara berkembang, prevalensi B. hominis diantara 30-50%.Hospes B. hominis terdiri atas babi, tikus, kera, dan juga manusia. Prevalensi yang tinggi pada negara berkembang dipengaruhi dengan sanitasi yang rendah, iklim tropis, dan kondisi sosio-ekonomi lingkungan.19

Morfologi

Klasifikasi terhadap protozoa ini masih belum bisa dijelaskan, namun dari penelitian terakhir menyebutkan bahwa mikroorganisme ini termasuk dengan kategori straminophile. Siklus hidup protozoa ini meliputi bentuk vakuolar, ameboid, prekista, dan kista. Protozoa akan menginfeksi saluran pencernaan dan dapat ditemukan di dinding mukosa usus besar. Fase hidup B. hominis ada dua, yaitu fase vegetatif (trofozoit) dan kista. Fase vegetatif merupakan fase pembelahan transversal dan fase kista merupakan bentuk infektif. Bentuk kista adalah bulat dengan ukuran 6-40 mikron yang dikelilingi dengan inti kecil.20

Siklus Hidup

Fase infektif protozoa ini adalah fase kista. Kista tersebut akan masuk ke tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi. Kista akan menggunakan asam lambung serta enzim intestin untuk menjadi bentuk vakuolar. Setelah itu, bentuk vakuolar akan memperbanyak diri secara aseksual menjadi bentuk multivakuolar dan amoeboid. Bentuk

(14)

multivakuolar akan menjadi bentuk pre kista, kemudian pre kista akan menjadi skizogoni hingga menjadi bentuk kista berdinding tipis. Proses autoinfeksi dapat terjadi jika dinding kista ini luruh. Bentuk amoeboid juga akan menjadi bentuk pre kista, kemudian pre kista akan menjadi skizogoni, namun kista yang terbentuk memiliki dinding tebal. Kista dinding tebal akan bereplikasi dan membentuk koloni pada fase vegetatif. Fase vegetatif dan fase kista akan keluar bersama melalui feses.20

Patologi dan Manifestasi Klinis

Protozoa ini dapat ditemukan pada orang yang tidak bergejala ataupun yang bergejala. Gejala umum yang ditimbulkan oleh B. hominis adalah diare tanpa disertai darah dan leukosit di feses, nyeri perut, hingga mengganggu pertumbuhan. Gejala lain yang dapat timbul oleh infeksi B. hominis adalah urtikaria yang disebabkan oleh respon imun pada tubuh manusia. Indikasi yang mengatakan bahwa B. hominis bersifat patogen apabila terdapat lebih dari 5 kista pada pembesaran 4x.21

Diagnosis dan Tatalaksana

Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya kista pada feses melalui pemeriksaan mikroskop. Prosedur pemeriksaan mikroskop ini menggunakan teknik apusan langsung, konsentrasi formalin eter, serta pewarnaan tirokrom untuk mengetahui jumlah trofozoit. Tatalaksana untuk infeksi ini adalah dengan metronidazol dan iodokuinol.21

Sekolah Dasar

SD X berada di Kecamatan Bantargebang, Bekasi. SD tersebut terdiri dari kelas 1 hingga kelas 6. Murid SD tersebut tinggal berada di dekat SD tersebut dengan jarak kira-kira 1 km dari tempat pembuangan akhir sampah Bantargebang.

Lingkungan di dekat SD tersebut didominasi oleh persawahan dan rawa. Pada saat masuk ke gang, jalan menuju SD hampir sebagian besar belum diaspal. Banyak tanah kosong di sekitar sekolah yang dijadikan tempat bermain bagi murid SD tersebut.

SD tersebut memiliki kamar mandi untuk murid yang berada di depan sekolah dan tidak terawat. Pemandangan berbeda terlihat di ruangan dan lorong kelas SD, yaitu terlihat

(15)

tertata rapi dan bersih. Lantai lorong dan ruangan kelas tersusun dari keramik sehingga meminimalisasi pencemaran langsung dengan tanah.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross-sectional pada murid sekolah yang terdaftar di SD X di daerah Bantargebang, Bekasi. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 19 Januari 2012 sampai 22 Januari 2012. Semua murid dikumpulkan dan diberikan penyuluhan. Kepada mereka diberikan tatacara pengambilan feses dan pengisian pot feses. Pot feses adalah suatu media untuk mengambil feses sehingga memudahkan peneliti dalam pemeriksaan secara mikroskopik. Untuk membedakan satu pot feses dengan yang lainnya, diberikan identifikasi label berupa nama, jenis kelamin dan kelas. Tiga hari setelah pemberian, pot feses yang sudah diisi subjek penelitian lalu dikembalikan kepada peneliti untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium.

Pemeriksaan feses dengan menggunakan teknik langsung mikroskop cahaya perbesaran 10x40. Alat dan bahan yang digunakan adalah lidi, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop, serta lugol 1%. Langkah pertama adalah kaca preparat diberikan identifikasi tanda sehingga tidak tertukar. Lugol 1% diteteskan pada bagian kaca yang lain. Langkah selanjutnya adalah feses yang ada di pot diambil sebanyak 1-2 mm2 dengan lidi dan dioleskan pada bagian kaca yang telah diberi lugol 1%. Aduk campuran tersebut hingga menjadi homogen. Setelah tercampur semua, tutup bagian campuran tersebut dengan kaca penutup tanpa membuat gelembung udara. Preparat tersebut telah siap untuk diperiksa di mikroskop dengan. Seluruh hasil yang didapat diolah serta dianalisis dengan uji chi-square melalui program SPSS 20.0. Hasil analisis yang didapat kemudian dilaporkan sebagai laporan penelitian.

HASIL PENELITIAN

Dari tabel 1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah murid kelas 2 (20,7%), jenis kelamin perempuan (50,4%).

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Murid

(16)

Tabel 2 menunjukan distribusi infeksi parasit usus berdasarkan karakteristik demografi murid di Sekolah X tidak berbeda bermakna. Hal tersebut berarti, distribusi infeksi parasit usus tidak berhubungan dengan jenis kelamin (p=0,217) dan pendidikan (p=0,07). Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square.

Tabel 2. Distribusi Infeksi Parasit Usus Berdasarkan Karakteristik Demografi Murid

Pada tabel 3 terlihat 75 murid (62%) yang terinfeksi parasit usus dan infeksi yang paling banyak disebabkan oleh B. hominis (78%). Spesies infeksi campuran parasit usus yang paling banyak adalah B. hominis dan G. lamblia, yaitu sebanyak 73%.

Tabel 3. Distribusi Spesies Parasit Usus Berdasarkan Jenis Infeksi

Tingkat Pendidikan Kelas 1 24 (19,8%)

Kelas 2 25 (20,7%)

Kelas 3 20 (16,5%)

Kelas 4 16 (13,2%)

Kelas 5 20 (16,5%)

Kelas 6 16 (13,2%)

Jenis Kelamin Perempuan 61 (50,4%)

Laki-Laki 60 (49,6%)

Variabel Terinfeksi TidakTerinfeksi P Uji

J. Kelamin Laki-laki Perempuan 40 20 0,217 Chi- Perempuan 35 26 Square Pendidikan Kelas 1-3 49 23 0,07 Chi- Kelas 4-6 26 23 Square

Jenis infeksi Kategori Jumlah %

Infeksi Tunggal A. lumbricoides 1 2%

T. trichiura 3 6 %

(17)

Tabel 4 menunjukkan infeksi parasit B.hominis lebih sering terjadi murid laki-laki (52%) dari pada perempuan. Infeksi B. hominis juga lebih sering terjadi pada murid kelas dua (30%) daripada kelas lainnya.

Tabel 4. Distribusi Spesies Parasit Usus Berdasarkan Karakteristik Murid

Variabel A.l T.t B.h G.l B.h+T.t B.h+G.l G.l+T.t Perempuan 1 1 20 3 3 5 0 Laki-laki 0 2 22 5 0 6 1 Kelas 1 0 1 8 0 0 0 1 Kelas 2 1 0 13 2 1 1 0 Kelas 3 0 0 9 0 2 6 0 Kelas 4 0 0 1 5 0 1 0 Kelas 5 0 2 6 0 0 2 0 Kelas 6 0 0 5 1 0 1 0 Keterangan:

A.l = A. lumbricoides G. l = G. lamblia

T.t = T. trichiura B.h = B. hominis

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, prevalensi infeksi parasit usus tergolong tinggi yaitu 62%. Spesies yang banyak ditemukan adalah B. hominis yang termasuk parasit komensal dan oportunis. B.

hominis sering ditemukan di feses manusia, baik pada orang sehat atau pada orang dengan

G. lamblia 8 14%

Infeksi Campur G. lamblia, T. trichiura 1 7 %

B. hominis, T. trichiura 3 20 %

B. hominis, G. lamblia 11 73 %

(18)

immunocompromised. Prevalensi B. hominis di Indonesia dapat mencapai 60% dengan

prevalensi tertinggi berada pada daerah dengan sanitasi dan sumber air yang buruk.18

Infeksi B. hominis jarang menimbulkan gejala, namun apabila sistem imun menurun maka dapat menimbulkan gejala yang berat. Gejala infeksi berat yang ditimbulkan adalah diare, nyeri perut, hingga dapat menimbulkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan anak.20

Protozoa usus lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah G. lamblia. Infeksi ini berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Infeksi tersebut terjadi karena murid laki-laki sering bermain di lingkungan sekitar SD, sedangkan murid perempuan lebih sering berada di ruang kelas saat istirahat atau di rumah saat pulang sekolah.

Lingkungan SD tersebut mayoritas didasari dengan tanah liat yang mempermudah terjadinya kontaminasi terhadap murid SD. Selain itu, pada saat tanah menjadi kering, telur parasit yang berada di tanah dapat terbang terbawa angin dan mengontaminasi makanan dan minuman yang tidak tertutup dengan baik. Di SD X, tidak terdapat bangunan khusus untuk kantin, namun terdapat ruang bagi para penjual untuk menjajakan makanannya yang rentan tercemar telur parasit sehingga meningkatkan risiko infeksi parasit usus bagi murid yang makan makanan tersebut. Murid laki-laki lebih sering jajan dibandingkan murid perempuan sehingga risiko terinfeksi lebih tinggi. Oleh karena itu, penjual makanan perlu diberikan penyuluhan karena mereka dapat berperan sebagai pembawa kista protozoa serta menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.

Hasil penelitian menunjukkan jumlah yang terinfeksi G. lamblia adalah 20 murid. Penyakit giardiasis ini perlu diobati karena individu yang memiliki kista dalam tubuhnya dapat menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya. Giardiasis dapat menyebar melalui makanan, minuman, dan sumber air akibat pencemaran oleh kista G. lamblia. Infeksi giardiasis tidak menunjukkan gejala klinis apabila kista yang tertelan jumlahnya hanya sedikit, tetapi pada infeksi yang berat akan menimbulkan diare berlemak, malnutrisi, nyeri perut, dan dehidrasi.17

Pada penelitian ini, terdapat dua spesies cacing usus, yaitu A. lumbricoides (2%) dan

T. trichiura (6%). Kontak terhadap tanah membuat murid SD terinfeksi dengan kedua cacing

tersebut. Telur cacing usus membutuhkan tanah liat untuk perkembangan telurnya untuk menjadi bentuk infektif.11 Tanah di daerah Bantargebang, Bekasi memiliki struktur tanah liat

(19)

sehingga sesuai dengan perkembangan telur cacing. Apabila individu kontak dengan tanah maka telur cacing dapat menempel di tangan dan jika individu tersebut tidak mencuci tangan dengan benar sebelum makan maka telur cacing akan tertelan dan menetas di usus.

Tingginya angka infeksi T. trichiura dibandingkan infeksi A. lumbricoides karena pernah dilakukan pengobatan di daerah Bantargebang dimana anak penderita askariasis diberikan pirantel pamoat dan penderita trikuriasis diberikan mebendazol 500 mg dosis tunggal yang hasilnya cure rate dari dosis mebendazole terhadap trikuriasis masih rendah (dari 38 anak yang terinfeksi dan diberikan mebendazole 500 mg, hasilnya tidak ada yang sembuh) dan cure rate pirantel pamoat cukup baik (dari 9 anak yang terinfeksi dan diberikan pirantel pamoat, hasilnya 6 anak sembuh).3

Pada penelitian ini, murid SD yang terinfeksi diobati dengan antiparasit. Murid yang terinfeksi T. trichiura diberikan obat mebendazol 2x100 mg yang diberikan selama 3 hari.3 Untuk askariasis, diberikan pirantel pamoat dosis tunggal, sedangkan untuk giardiasis dan blastokistosis diberikan metronidazol. Dosis metronidazol untuk blastokistosis adalah 3x750 mg selama 10 hari, sedangkan untuk giardiasis adalah 3 x 250 mg/hari selama 7 hari.10,21

Anak dengan jenis kelamin laki-laki diduga memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi parasit usus daripada anak perempuan karena anak laki-laki lebih sering bermain di luar rumah serta kontak dengan tanah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan murid laki-laki lebih banyak terinfeksi (53,3%) dibandingkan murid perempuan (46,7%).

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukan perbedaan proporsi prevalensi infeksi parasit usus terhadap jenis kelamin di SD X, Bantargebang dikarenakan tidak terdapat perbedaan pemberian pendidikan atau ilmu berdasarkan jenis kelamin di SD tersebut. Oleh karena itu, apabila dilakukan promosi kesehatan, berupa penyuluhan, dapat diberikan kepada seluruh murid SD tanpa membedakan jenis kelamin.

Individu dengan tingkat pendidikan semakin tinggi akan lebih mudah memahami informasi yang didapat sehingga akan memiliki kepedulian yang lebih terhadap masalah kesehatan.22 Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan proporsi prevalensi infeksi parasit usus dengan tingkat pendidikan murid. Tidak berbedanya proporsi prevalensi infeksi parasit usus dengan tingkat pendidikan murid disebabkan mayoritas murid SD tinggal di daerah lingkungan SD yang bersifat rural community. Aktivitas murid dari pagi hingga siang berada di sekolah, sore hari bermain di dekat rumah, dan malam hari berada di rumah sehingga kehidupan sehari-hari mereka relatif sama.

(20)

KESIMPULAN

Prevalensi infeksi parasit usus pada murid SD di Bantargebang, Bekasi adalah 62% dengan rincian B. hominis 78%, G. lamblia 14%, T. trichiura 6%. Infeksi campur B. hominis dengan G. lamblia 73%, B. hominis dengan T. trichiura 20%, dan G. lamblia dengan T.

trichiura 7%. Selain itu, tidak terdapat hubungan antara prevalensi infeksi parasit usus dengan

jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

SARAN

Pengetahuan murid dan guru SD X perlu ditingkatkan melalui penyuluhan mengenai infeksi parasit usus, cara penularan, gejala klinis, serta pemberantasannya karena reinfeksi akan terjadi dalam waktu singkat apabila murid SD diobati, sedangkan siklus hidup parasit tidak diputus.

Perlu dilakukan studi ulang terhadap penelitian ini dengan jumlah sampel penelitian sejumlah total murid SD X yang ada. Caranya adalah kerja sama dan penentuan tanggal dengan kepala sekolah dan guru SD X sejak 1 bulan diadakan pengambilan data sehingga seluruh murid SD X akan terambil datanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Widjana DP, Sutisna P. Prevalence of Soil-Transmitted Helminth Infections in the Rural Population of Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 2000; 31:454-9.

2. Darnely, Sungkar S. Infeksi Parasit Usus pada Anak Panti Asuhan di Pondok Gede, Bekasi. J Indon Med Assoc; 2011; 61:347-51.

3. Astuty H, Winita R, Wahdini S, Sungkar S, Kurniawan A. High Transmission of Parasitic Infection among the School Children living at Indonesia’s largest trash dump in Bantargebang, Bekasi. J Indon Med Assoc; 2008.

4. Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et al. Soil-transmitted Helminth Infection: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet; 2006; 367(9521):1521-32. 5. Direktorat Jenderal PP & PL. Pedoman Pengendalian Cacingan. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI; 2007.

6. Sungkar S. The Problems of Soil-transmitted Helminthes in Indonesia. Department of Parasitology. Faculty of Medicine Universitas Indonesia. J Indon Med Assoc; 2009

(21)

7. Suhartono. Factors of Associated with the Incident and Intencity of Helminthiasis in Elementary School Children in Karanganyar, Central Java in 1995. Media Medika Indonesia; 1998; 33:3-6. 8. Schmidt GD, Roberts LS. Foundations of Parasitology. Nematodes: Ascaridomorpha, Intestinal

Large Roundworms. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2009. p.433-37.

9. Crompton DWT. Ascaris lumbricoides. Advances in Parasitology, 48. San Diego, CA: Academic Press; 2001; p. 285–375.

10. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Chemotherapy of Helminthic Infections. 10th ed.

San Francisco: McGraw Hill; 2006. [e-book].

11. Schmidt GD, Roberts LS. Foundations of Parasitology. Nematodes: Ascaridomorpha, Intestinal Large Roundworms. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2009; p.399-401.

12. de Silva NR, Brooker S, Hotez PJ, Montresor A, Engels D, Savioli L. Soil-transmitted Helminth Infections: Updating the Global Picture. Trends Parasitol; 2003; 19:547–551.

13. Olsen A, Permin A, Roepstorff A. Chickens and Pigs as Transport Hosts for Ascaris, Trichuris and Oesophagostomum eggs. Parasitology; 2001; 123:325–330.

14. Pulungan R. Pengaruh metode penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah (PSN-DB) di Kecamatan Helvetia tahun 2007 [tesis program magister]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.

15. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principle Internal Medicine. Intestinal Nematodes. 17th ed. The McGraw-Hill Companies: New York; 2008. [ebook]. p. 1319-22

16. Schmidt GD, Roberts LS. Foundations of Parasitology. Nematodes: Strongyloidea, bursate rhabditidans. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2009. p.419-26.

17. Schmidt GD, Roberts LS. Foundations of Parasitology. Other flagellated protozoa. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 89-94.

18. Thompson RCA. Giardiasis as a Re-emerging Infectious Disease and Its Zoonotic Potential. Int. J. Parasitol; 2000; 30:1259–1267.

19. Agustini R. Blastocystis hominis infection among preschool children in Jatinegara District: in association with nutritional status [tesis]. Diunduh pada tanggal 12 April 2011 dari

http://www.digilib.ui.ac.id/Lontar/file?file=digital/...Infeksi%20blastocystis-Abstrak.pdf

20. Parasites - Blastocystis spp infection. Centers for Diseases Control and Prevention; 2012. Diunduh tanggal 18 Juli 2013 http://www.cdc.gov/parasites/blastocystis/

21. Giardia lamblia. Red book report of the committee on infectious diseases [online]. USA: American Academy of Pediatrics; 2009. Diunduh tanggal 12 April 2011

(22)

22. Fitrajaya D. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Kelurahan Tanjung Hulu terhadap Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) di Kota Pontianak Tahun 2000 [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2002

Gambar

Gambar  1.  Kiri:  telur  A.  lumbricoides  yang  telah  dibuahi  dan  diambil  dari  sampel  feses
Gambar 2. Siklus hidup A.lumbricoides. 8 Patogenesis
Gambar 3. Kiri: telur T. trichiura. Kanan: cacing dewasa T. trichiura betina dan jantan
Gambar 5. Siklus hidup cacing tambang. 16    Epidemiologi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai nazir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan

Dalam perancangan pabrik Metil Akrilat dari Asam Akrilat dan methanol dengan kapasitas 60.000 ton/tahun dapat diambil kesimpulan :. Pendirian pabrik Metil Akrilat dengan

Pembebanan Pelat Lantai Jenis beban yang bekerja pada pelat lantai adalah beban mati dan hidup dengan perhitungan sebagai berikut.. Beban plafon

Assets growth menunjukkan rasio pertumbuhan aset dimana aset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas pertumbuhan perusahaan maka akan semakin besar dana yang

Bahwa Saksi Pemohon bersama-sama dengan saksi Calon Bupati Nomor Urut 2, Nomor Urut 3, Nomor Urut 4, Nomor Urut 6, dan Nomor Urut 7, telah menolak dengan tegas dan

Data yang diperoleh melalui studi pustaka adalah sumber informasi yang telah ditemukan oleh para ahli yang kompeten dibidangnya, dalam melakukan studi kepustakaan ini

 Berdasarkan perhitungan matematis didapat hasil poorly sorted yang berarti proses sortasi berjalan buruk yang mengindikasikan bahwa ukuran butir tidak seragam dengan

.5 Melalui kegiatan diskusi kelmk$ eserta didik daat menganalisis knse ukum Pas&al yang digunakan dalam eristia seari4ari5D. 95 Melalui