• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang dan kekuasaan: peranan director of photography untuk memvisualisasikan relasi antar karakter dalam film pendek baba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ruang dan kekuasaan: peranan director of photography untuk memvisualisasikan relasi antar karakter dalam film pendek baba"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF

PHOTOGRAPHY UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI

ANTAR KARAKTER DALAM FILM PENDEK BABA

Skripsi Penciptaan

Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.)

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi Fakultas : Seni & Desain

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

(2)

ii

LEMBAR

PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi Fakultas : Seni & Desain

Universitas Multimedia Nusantara Judul Skripsi:

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI ANTAR KARAKTER DALAM

FILM PENDEK BABA

dengan ini menyatakan bahwa, skripsi dan karya penciptaan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana, baik di Universitas Multimedia Nusantara maupun di perguruan tinggi lainnya.

Karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan nara sumber.

Demikian surat Pernyataan Orisinalitas ini saya buat dengan sebenarnya, apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan serta ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

(3)
(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI ANTAR KARAKTER DALAM

FILM PENDEK BABA Oleh

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi Fakultas : Seni & Desain

Tangerang, 22 Januari 2018

Ketua Program Studi

Kus Sudarsono, S.E., M.Sn. Penguji

Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A.

Ketua Sidang

Kemal Hasan S.T., M.Sn. Pembimbing I

Jason Obadiah, S.Sn., M.Des.Sc.

Pembimbing II

(5)

v

KATA PENGANTAR

Dalam proses pengerjaan skripsi penulis sebagai DoP dalam film Baba (Hetarie,2018), yang dimulai dari tahap pra-produksi hingga tahap produksi, penulis mengalami berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa waktu yang terlalu singkat dalam proses diskusi dengan sutradara maupun dosen pembimbing karya, proses perancangan tata kamera dan tata cahaya yang kurang maksimal, serta penulis kurang mendapatkan referensi skripsi sebelumnya yang membahas antara kekuasaan dengan teknik komposisi kedalaman ruang. Namun, tantangan-tantangan tersebut dapat dilalui dengan baik berkat dukungan pihak-pihak yang membantu penulisan skripsi ini.

Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Paulus Ali Setiadarma dan Lucia Maria Suryani S selaku orang tua penulis. 2. Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A. selaku Dekan Fakultas Seni dan Desain

Universitas Multimedia Nusantara.

3. Kus Sudarsono, S.E., M.Sn. selaku Ketua Program Studi Film dan Televisi Universitas Multimedia Nusantara.

4. Jason Obadiah, S.Sn., M.Des.Sc. selaku dosen pembimbing 1 dalam penulisan skripsi ini.

5. Dra. Setianingsih Purnomo, M.A. selaku dosen pembimbing 2 dalam penulisan skripsi ini.

6. Yosep Anggi Noen, S. I. P. dan Bayu Prihantoro Filemon, S.I. Kom. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan karya.

(6)

vi

8. Brandon Omar Hetarie, Agnes Andrea, Gloria Lestari, Boby Halimawan, dan Hendrik Wijaya selaku teman-teman yang berjuang bersama di APK Films dalam menyelesaikan karya dan skripsi.

9. Edelin Sari Wangsa, S.Ds., Yoan Aldila, Novia Puspa Sari, Irene Alexandra, dan Jennifer Karina Suwito selaku teman-teman yang selalu memberikan dukungan moral kepada penulis selama pembuatan skripsi. 10. Rafael Ricky Gunawan, Muhammad Aditya Ramadhan, Andy William,

Elvan P., dan seluruh teman-teman yang membantu dalam pembuatan karya di APK Films.

Tangerang, 5 Januari 2018

(7)

vii

ABSTRAKSI

Keluarga Tionghoa baik yang tinggal di Republik Rakyat Tiongkok maupun perantauan seperti di Indonesia, masih menerapkan sistem patriarki. Sistem patriarki menurut Renzetti dan Curan yang dikutip dari Sarwono (2013), yaitu sistem gender di mana laki–laki mendominasi kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Ini menimbulkan dominasi ayah dibandingkan ibu dalam sebuah keluarga. Dalam film Baba (Hetarie, 2018) diperlihatkan bagaimana Papa mendidik anak-anaknya dengan cara pandang kuno melalui kekerasan hingga pengusiran anak.

Penulis sebagai DoP dalam film ini ingin menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dengan karakter subordinasi melalui teknik komposisi kedalaman ruang. Penulis tertarik dengan bahasan ini karena frame

merupakan ruang dua dimensi. Padahal, ada sumbu ketiga yaitu sumbu z yang memberikan kesan kedalaman ruang dan dapat digunakan untuk penyampaian cerita.

Metode penelitian dalam skripsi ini yaitu metode penelitian kualitatif yang dijelaskan oleh Creswell (2007). Metode ini cocok untuk menjabarkan hasil penerapan teori yang digunakan penulis dalam proses pra-produksi dan produksi. Sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan berkas–berkas pra-produksi seperti shotlist dan floorplan, serta materi visual hasil produksi. Setelah menganalisis, penulis menemukan bahwa proses penyampaian cerita melalui kedalaman ruang dapat dilakukan. Namun, untuk mencapai hal tersebut diperlukan kombinasi dengan teknik pencahayaan agar lebih maksimal.

(8)

viii

ABSTRACT

A Chinese family, either living in The Republic of China or in Indonesia, still uses the patriarchy sytem. The patriarchy system according to Renzetti and Curan, as stated by Sarwono (2013), is that the gender system is dominated by female and what is considered as male is said to be more worth than female.. As a result, there is a dominance from the father of the family than the mother. In the film Baba (Hetarie, 2018) shows how Papa educated his children with this traditional way of thinking through harsh actions and even eviction.

The writer as a DoP in this film hopes to show the relation of power between the super ordinate character and the subordinate character through the application of depth cues. The writer finds interest in this topic because a frame is 2 dimensional. But there is a third axis that is the z axis which gives a sense of depth that can be used in the storytelling

There is also the method of research used is the qulitative method that is explained by Creswell (2007). This research methos fits because it can explain the theory results that has been done by the writer in the pre-production and production. The source of data in this research is from the collection of files from the preproduction, like shotlist and floorplan, including the visual result of the production. After making an analysis, the writer find that storytelling can be done through the depth of the room. But lighthing techniques is needed to achieve a maximum result.

(9)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAKSI ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Batasan Masalah ... 3 1.4. Tujuan Skripsi ... 4 1.5. Manfaat Skripsi ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Sistem Patriarki ... 5

2.1.1. Sistem Patriarki dalam Keluarga Tionghoa ... 9

(10)

x

2.2. Peranan Director of Photography ... 13

2.3. Mise-en-Scene ... 15

2.3.1. Ruang dalam Film ... 17

2.4. Komposisi ... 19

2.4.1. Kedalaman Ruang ... 23

BAB III METODOLOGI ... 27

3.1. Gambaran Umum ... 27 3.1.1. Sinopsis ... 29 3.1.2. Posisi Penulis ... 30 3.1.3. Peralatan ... 30 3.2. Tahapan Kerja ... 35 3.2.1. Pra-produksi ... 35 3.2.2. Produksi ... 36 3.3. Acuan ... 45 BAB IV ANALISIS ... 49

4.1. Kekuasaan Papa dalam Mendidik Anak ... 49

4.2. Kekuasaan dan Kewajiban Papa sebagai Kepala Keluarga ... 56

4.3. Kekuasaan Papa di dalam Rumah ... 63

4.4. Anton menjadi Super Ordinat dalam Rumah ... 68

(11)

xi

5.1. Kesimpulan ... 73 5.2. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA ... xvii

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komposisi tidak seimbang ... 18

Gambar 2.2 Komposisi seimbang ... 18

Gambar 2.3 Film dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues) ... 19

Gambar 2.4 Sumbu-sumbu dalam frame ... 21

Gambar 2.5 Contoh penerapan elemen cerita melalui sumbu z ... 22

Gambar 2.6 Analisa foreground, middle-ground, background dalam film Citizen Kane ... 23

Gambar 2.7 Contoh perbandingan ukuran objek untuk menciptakan kedalaman ruang ... 24

Gambar 2.8 Contoh teknik tumpang tindih untuk menciptakan kedalaman ruang 25 Gambar 3.1 Kamera Sony Alpha 7S Mark II ... 31

Gambar 3.2 Contoh video look – iklan Belvita ... 32

Gambar 3.3 Contoh film look American Beauty ... 32

Gambar 3.4 Lensa Nikon NIKKOR 50mm f/1.2 ... 33

Gambar 3.5 Hasil gambar menggunakan lensa Nikon NIKKOR 50 mm f/1.2 .... 33

Gambar 3.6 Proses produksi dengan menggunakan tripod ... 34

Gambar 3.7 Proses produksi dengan menggunakan spider rig ... 34

Gambar 3.8 Proses diskusi penulis dengan sutradara ... 36

Gambar 3.9 Floorplan adegan 1 ... 38

Gambar 3.10 Proses shooting adegan 1 ... 39

Gambar 3.11 Floorplan adegan 4A ... 40

(13)

xiii

Gambar 3.13 Floorplan adegan 9 ... 42

Gambar 3.14 Proses shooting adegan 9 ... 43

Gambar 3.15 Floorplan adegan 17 ... 44

Gambar 3.16 Proses recce adegan 17 ... 44

Gambar 3.17 Potongan gambar film Citizen Kane ... 45

Gambar 3.18 Potongan gambar film Goodbye South, Goodbye ... 47

Gambar 4.1 Shot 3 adegan 1 ... 49

Gambar 4.2 Potongan naskah adegan 1 ... 52

Gambar 4.3 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 1 ... 54

Gambar 4.4 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan 1 ... 54

Gambar 4.5 Shot 2 adegan 4A ... 56

Gambar 4.6 Potongan naskah adegan 4A ... 60

Gambar 4.7 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 4A ... 61

Gambar 4.8 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan 4A ... 62

Gambar 4.9 Shot 4 adegan 9 ... 63

Gambar 4.10 Potongan naskah adegan 9 ... 65

Gambar 4.11 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 4 adegan 9 ... 66

Gambar 4.12 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 4 adegan 9 ... 66

Gambar 4.13 Shot 3 adegan 17 ... 68

(14)

xiv

Gambar 4.15 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 3 adegan 17 ... 71 Gambar 4.16 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 3 adegan 17 ... 71

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Shotlist adegan 1 ... 38

Tabel 3.2 Shotlist adegan 4A ... 40

Tabel 3.3 Shotlist adegan 9 ... 42

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A: KARTU BIMBINGAN... xxi LAMPIRAN B : FLOORPLAN... xxiv

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film merupakan media ekspresi pembuat film untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu isu. Untuk menyampaikan pandangan tersebut, diperlukan bahasa visual agar pembuat film dapat berkomunikasi secara langsung dengan penontonnya. Dalam merancang komponen visual ini, diperlukan seorang Director of Photography (DoP) yang cakap. Adapun menurut Rea dan Irving (2010), tugas dari seorang DoP yaitu menerjemahkan ide dari sutradara pada setiap adegannya menjadi tampilan dan emosi cerita (hlm. 159).

Dalam skripsi ini, penulis berperan sebagai DoP dalam film Baba (Hetarie, 2018). Film Baba bercerita bagaimana seorang anak tengah, Denny (13 tahun) melihat keluarganya yang tidak harmonis karena Papa (48 tahun) mengusir anak sulungnya, Anton (18 tahun) dari rumah. Film ini memiliki latar belakang keluarga keturunan Tionghoa Benteng. Orang-orang Tionghoa- baik yang tinggal di negara Republik Rakyat Tiongkok maupun perantauan seperti di Indonesia, masih menerapkan sistem patriarki. Sistem patriarki menurut Renzetti dan Curan yang dikutip dari Sarwono (2013), yaitu sistem gender di mana laki–laki mendominasi kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Hal ini menimbulkan adanya pihak yang mendominasi (super ordinat) dan pihak yang didominasi (subordinat). Selain itu, keluarga Tionghoa, termasuk Tionghoa Benteng juga mewariskan marganya

(18)

2 (she) pada anak laki-laki sehingga sosok Ayah memiliki tugas penting untuk menjaga anak laki-lakinya sebagai penerus marga.

Dalam film Baba, Papa merupakan karakter yang mendominasi keluarganya termasuk Anton dan Denny. Papa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar dalam rumah, sehingga ia dapat menentukan apa yang harus dilakukan oleh anak-anaknya. Terkadang kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki Papa, ditunjukkan dengan cara yang tidak membuat anak-anaknya merasa nyaman dan aman. Misalnya mendidik dengan cara memaki dan mengusir anaknya dari rumah. Hal-hal tersebut masih dianggap sebagai hal pantas dilakukan oleh seorang ayah untuk menunjukkan dominasinya. Padahal menurut Liong (2017), sistem patriarki, kini lebih menekankan sosok ayah yang memperlihatkan kasih sayang, peduli, dan dekat dengan anak-anaknya sehingga batas gender antara ibu dan ayah semakin melebur (hlm. 4-6).

Pada kehidupan modern, Xu (2016) mengatakan bahwa pepatah “yan fu ci mu” (ayah yang keras, ibu yang baik) tidak lagi sepenuhnya benar dan terjadi pada kebanyakan keluarga Tionghoa (hlm. 15, 31). Namun hal ini tidak berlaku pada keluarga Tionghoa yang diangkat dalam film ini. Dalam film ini diperlihatkan bagaimana Papa mendidik anak-anaknya dengan cara pandang kuno, yang mana masih banyak kepala keluarga menganggap lazim kebiasaan itu. Papa memperlakukan anak-anaknya dengan keras dan kasar hanya untuk mendapatkan rasa takut dan kepatuhan dari anak-anaknya. Oleh karena itu, penulis sebagai DoP

(19)

3 terjadi pada keluarga Tionghoa dalam film ini. Sehingga, skripsi ini diharapkan dapat membuat pembaca memahami pentingnya peranan DoP dalam film.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, bagaimana peran Director of Photography

dalam menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dan subordinasi melalui susunan komposisi kedalaman ruang dalam film pendek Baba? 1.3. Batasan Masalah

Dalam skripsi ini, Rumusan Masalah dibatasi pada:

1. Penerapan teknik komposisi kedalaman ruang (foreground, middle ground, background) untuk menempatkan karakter super ordinasi dan karakter subordinasi dalam satu frame.

2. Penempatan karakter menggunakan teknik komposisi pada karakter laki-laki yaitu Denny, Anton, dan Papa.

3. Repetisi komposisi pada shot 2 adegan 1, shot 2 adegan 4A, shot 4 adegan 9, dan shot 3 adegan 17 untuk menunjukkan perbandingan tingkatan kekuatan karakter super ordinasi dan subordinasi.

4. Istilah-istilah penting yang digunakan dalam skripsi ini :

a. Frame adalah gambar dua dimensi yang terdiri dari sumbu x dan y. b. Shot adalah unit terkecil dalam bahasa film yang berisi rangkaian

frame, dan berjalan dengan rentang waktu tertentu hingga momen itu dipotong dalam tahap editing.

(20)

4 c. Adegan (Scene) adalah rangkaian shot yang terjadi dalam waktu dan

tempat yang sama.

1.4. Tujuan Skripsi

Penulis bertujuan untuk mendeskripsi dan menganalisis peranan DoP serta menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dan subordinasi melalui susunan komposisi kedalaman ruang dalam film pendek Baba.

1.5. Manfaat Skripsi

Manfaat skripsi ini bagi penulis yaitu memahami pemanfaatan aspek–aspek visual seperti aspek komposisi sebagai elemen penyampaian cerita, serta mempelajari penerapan teknik komposisi untuk menunjukkan posisi karakter super ordinasi dan subordinasi. Bagi pembaca, diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan mampu diaplikasikan dalam karya pembaca. Bagi universitas, terutama peminatan studi Film, sebagai referensi pustaka dan referensi produksi film mahasiswa berikutnya.

(21)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menunjang pembahasan mengenai hierarki kekuasaan dalam keluarga melalui aspek sinematografi, maka pada bab ini penulis menjabarkan teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut. Pada bagian awal, penulis memaparkan teori-teori sistem patriarki secara umum. Kemudian lebih spesifik ke dalam sistem patriarki dalam keluarga Tionghoa, serta bagaimana penjelasan teori kekuasaan yang berkaitan dengan sistem patriarki. Pada bagian selanjutnya, penulis menjelaskan peranan Director of Photography (DoP) dalam film. Salah satu peranan DoP yaitu melakukan perancangan komposisi melalui elemen mise-en-scene. Untuk itu, penulis menjelaskan teori mise-en-scene yang salah satunya terdapat penjelasan ruang dalam film. Pada bagian akhir, penulis menjelaskan teori komposisi pada film, serta salah satu aspek pentingnya, kedalaman ruang.

2.1. Sistem Patriarki

Nelmes (2012) mengatakan bahwa dalam beberapa dekade, terdapat peningkatan ketertarikan bagaimana masyarakat memahami perbedaan gender dalam kaitannya dengan film. Menurutnya, cara film menceritakan perbedaan gender merupakan pencerminan atas kekhawatiran dan kecemasan dalam masyarakat tentang perbedaan ini melalui narasi cerita (hlm. 263). Dijelaskan oleh Henslin (2007), gender merupakan perilaku dan sikap yang dianggap pantas bagi laki-laki maupun perempuan oleh suatu kelompok. Ia menambahkan bahwa pemahaman terhadap

(22)

6 gender dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Selain itu, menurutnya gender merupakan suatu perangkat yang digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan anggotanya. Hal-hal yang dikendalikan tersebut antara lain kekuasaan, prestise, dan kepemilikan. Ia juga menambahkan bahwa konsep gender lebih merujuk kepada maskulinitas dan feminisme (hlm. 42).

Menurut Renzetti dan Curan yang dikutip dari Sarwono (2013) mengatakan, bahwa patriarki adalah sistem genderdi mana laki–laki mendominasi kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Menurut mereka, budaya patriarki dalam masyarakat menimbulkan kekuasaan laki-laki pada perempuan yang menyebabkan inferioritas gender (hlm. 49-50). Ditambahkan oleh Hobson dan Morgan yang dikutip dari Xu (2016) patriarki adalah istilah yang berhubungan dengan hak, kewajiban, tanggung jawab dan status yang melekat pada sosok ayah (hlm. 46). Menurut Xu (2016), patriarki merupakan konstruksi sosial yang dapat berubah seiring waktu, konteks, dan budaya (hlm. 46). Sedangkan menurut Hong yang dikutip dari Henslin (2007), sistem patrilineal adalah sistem garis keturunan yang hanya ditarik dari garis ayah dan tidak berhubungan dengan keluarga dari ibu (hlm. 117).

Awal sistem patriarki menurut Huber yang dikutip dari Henslin (2007) dimulai pada awal sejarah manusia yang tidak dapat bertahan hidup hingga tua, sehingga untuk melakukan regenerasi harus melahirkan banyak anak. Dijelaskannya, pada masa itu kaum perempuan yang dapat hamil, harus mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan menyusui, merawat, dan segala pekerjaan yang

(23)

7 berhubungan dengan rumah dan pengasuhan anak. Ia juga menambahkan bahwa prestise yang dimiliki laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki pulang dari berburu dan membawa tawanan perang atau makanan besar bagi suku. Sedangkan menurutnya, kaum perempuan dianggap tidak memiliki prestise karena hanya melakukan pekerjaan rutin sehari-hari di rumah. Ia menjelaskan, hal ini menyebabkan laki-laki menjadi dominan (hlm. 50).

Pada masa yang sudah lebih berkembang, menurut Henslin (2007), laki-laki tetap merasa secara hakiki lebih unggul. Ia juga menambahkan bahwa budaya yang kini berkembang juga didesain untuk membenarkan dominasi laki-laki (hlm. 50). Budaya tersebut salah satunya dapat dilihat pada perfilman era Hollywood klasik. Pada masa itu, maskulinitas dianggap sebagai acuan utama dan feminisme hanya sebagai tambahan. Ia mencontohkan misalnya pada film-film Hollywood klasik, sosok laki-laki sering digambarkan sebagai sosok yang sangat kuat dibandingkan perempuan (Nelmes, 2012, hlm. 283-284).

Ditambahkan oleh Sarwono (2013), konstruksi sifat feminin dan maskulin memberikan dampak pada peran yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Menurutnya, perempuan dipandang untuk berperan dalam sektor domestik, sedangkan laki–laki pada sektor publik. Ia menambahkan, hal ini berdampak pada tugas laki–laki yang mencari nafkah dan memberi perlindungan pada keluarga dipandang sebagai budaya yang sudah sepantasnya (hlm. 50). Sarwono (2013) juga mengatakan bahwa pemilahan sifat dan peran tersebut mengakibatkan terjadinya dominansi dan subordinasi. Menurutnya, karena sifat perempuan yang feminin, perempuan membutuhkan perlindungan dari laki–laki

(24)

8 yang maskulin. Ia menjelaskan, hal ini menimbulkan terjadinya dominasi laki–laki terhadap perempuan (hlm. 50).

Dalam sistem patriarki, Liong (2017) mengungkapkan bahwa tanggung jawab utama dari seorang ayah adalah pemenuhan ekonomi. Menurutnya, sifat maskulinitas dapat mendorong seorang laki–laki untuk bekerja lebih giat dan mencari uang ketika ia sadar akan memiliki seorang anak. Sebaliknya, menurutnya seorang laki–laki yang tidak bekerja akan memiliki kecenderungan untuk tidak memiliki anak karena sifat alamiahnya. Ia juga mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan keluarga oleh seorang ayah bukan hanya sekedar pemenuhan materi untuk keluarganya, namun juga untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak. Ia menyimpulkan, bahwa kekuatan finansial seorang ayah dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan fisik, kebudayaan, sosial, dan mencerminkan kekuatan finansial anak (hlm. 77). Dalam kondisi kesulitan keuangan, Liong (2017) berpendapat bahwa seorang ayah rela mengorbankan keuntungan pribadinya dan tujuan hidupnya demi memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama anak. Ia menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi terhadap keluarga adalah bentuk kasih sayang ayah terhadap keluarganya. Menurutnya, hal ini yang membuat seorang ayah rela mengorbankan berbagai macam hal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya demi menunjukkan kasih sayangnya. Selain itu, ia menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah bentuk keberhasilan seorang laki-laki menjadi seorang ayah (hlm. 78-80).

(25)

9 2.1.1. Sistem Patriarki dalam Keluarga Tionghoa

Liong (2017) mengatakan konstruksi gender dalam budaya Tionghoa, memberikan otoritas pada sosok ayah. Menurutnya, ayah sebagai kepala keluarga memiliki kuasa atas ibu dan anak, termasuk mengambil keputusan penting (hlm. 12). Hal ini didukung oleh pepatah Tionghoa yang dikutip oleh Xu (2016) yang menyatakan “Nan zhu wai, nv zhu nei” yang berarti laki–laki mengurus hal–hal di luar keluarga, perempuan mengurus hal–hal dalam keluarga. Xu berpendapat bahwa hal ini menimbulkan pandangan bahwa perempuan lebih rendah dibanding derajat laki– laki. Selain itu, Xu juga mengutip pepatah Tionghoa lain yang berbunyi “chu jia cong fu”, artinya seorang perempuan yang sudah menikah harus menuruti perintah suaminya. Menurutnya, seorang perempuan dalam budaya Tionghoa harus mengurus keluarganya, namun mereka tidak dapat menempuh pendidikan ataupun mewarisi harta benda orang tuanya (hlm. 3).

Xu (2016) mengutip salah satu pepatah Tionghoa yang berbunyi “Zi bu jiao, fu zhi guo” yang berarti bahwa seorang ayah dinyatakan bersalah apabila ia tidak mendidik anaknya dengan benar (hlm. 4). Hal ini menjelaskan mengapa dalam keluarga Tionghoa sosok ayah dianggap berjarak dengan anak dan tidak ramah, sedangkan sosok ibu lebih mengasuh dan mendukung (Liong, 2017, hlm.12). Liong (2017) menjelaskan bahwa hubungan patriarki yang dianggap ideal adalah sosok ayah yang menyayangi anaknya dan anak yang patuh terhadap orang tuanya. Namun, menurutnya dalam budaya Tionghoa menekankan kedisiplinan dan pengajaran yang keras sehingga sosok ayah sering dianggap otoriter dan tidak penyayang. Ia menambahkan, seorang ayah memiliki tugas utama untuk mendidik

(26)

10 dan mendisiplinkan anaknya, meskipun dengan cara-cara seperti memaki dan memukul anaknya (hlm. 12-13).

Liong (2017) menambahkan bahwa seorang anak memiliki tugas untuk hormat, berbakti, dan tunduk pada orang tuanya terutama ayahnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa seorang anak harus membawa kehormatan bagi keluarganya, meskipun tidak diberikan imbalan. Sebaliknya, apabila anak tersebut melakukan kesalahan, ia akan diberikan hukuman (hlm. 13). Menurut pernyataan Chuang, dkk. yang dikutip dari Liong (2017) sistem patrilineal dan ideologi patriarki membuat hubungan ayah dan anak laki-laki jauh lebih penting dibandingkan hubungan pernikahan dan anak perempuan dalam keluarga. Menurutnya, hal ini yang membuat seorang ayah memiliki harapan yang tinggi pada anak laki-lakinya sehingga ia mendidiknya dengan keras (hlm. 13). Meskipun sosok ayah memiliki kuasa yang besar terhadap anak, hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik pada masa kehidupan modern. Menurut Xu (2016), seorang anak pada masa kehidupan modern memiliki gaya hidup yang lebih nyaman dan kesempatan belajar yang lebih tinggi sehingga sulit bagi ayah untuk mengejar ketertinggalannya. Hal ini memungkinkan terjadinya konflik antara ayah dan anak terutama dalam waktu anak mencari kemandirian dan identitas diri (hlm. 32).

Liong (2017) juga mengatakan bahwa dalam sistem patriarki Tionghoa, pencarian nafkah dan pendidikan adalah hal yang penting. Menurutnya, sosok Ayah meskipun tetap harus fokus pada kariernya, ia juga tetap bertanggung jawab pada pendidikan anaknya. Ia menekankan bahwa sosok ayah bertanggung jawab agar

(27)

11 anaknya dapat sukses di sekolah dan meraih pendidikan yang lebih tinggi, serta mendidik secara moral (hlm. 14). Xu (2016) menyebutkan bahwa dalam keluarga Tionghoa modern, peran laki–laki sebagai pencari nafkah tetap dominan. Ia menambahkan, ketika pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memberlakukan kebijakan hanya memiliki satu anak (one child policy) pada tahun 1979 dan terjadi peningkatan partisipasi perempuan sebagai pekerja, seorang ayah tampak lebih dekat secara emosional dengan anaknya. Ia menambahkan bahwa hal ini menegaskan bahwa pepatah “yan fu ci mu” (ayah yang keras, ibu yang baik) tidak lagi sepenuhnya terjadi pada kebanyakan keluarga Tionghoa dalam masa kehidupan modern. (hlm. 15, 31). Didukung oleh Liong (2017) yang mengutip pernyataan Chuang, dkk., bahwa pada suatu masa terjadi peningkatan jumlah wanita yang bekerja, ayah lebih menunjukkan cinta dan kasih sayang, meskipun tidak ditunjukkan dalam ruang umum melainkan hanya dalam ruang privat seperti dalam keluarga (hlm. 14).

2.1.2. Kekuasaan Super Ordinasi dan Subordinasi

Salah satu teori yang menjelaskan mengenai super ordinasi dan subordinasi dijelaskan oleh Georg Simmel. Simmel yang dikutip dari Johnson (1986) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk super ordinasi dan subordinasi merupakan salah satu contoh dari “sosiasi”. Dijelaskan olehnya, sosiasi merupakan cara pendekatan Simmel yang meliputi identifikasi dan analisa pola-pola atau interaksi timbal balik dalam masyarakat. Ia menjelaskan, dalam hal ini interaksi tersebut berupa interaksi ketaatan subordinasi pada super ordinasi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Johnson menjelaskan, Simmel berpendapat

(28)

12 bahwa super ordinat memikirkan kebutuhan dari subordinat, meskipun hal tersebut hanya bertujuan untuk menekankan kekuasaan (hlm. 262).

Simmel membagi pola interaksi super ordinasi dengan subordinasi menjadi tiga. Tiga hal tersebut yaitu subordinasi di bawah seorang individu dan struktur, subordinasi di bawah lebih dari satu orang, dan subordinasi di bawah suatu prinsip. Salah satu pola interaksi tersebut yaitu subordinasi di bawah seorang individu. Simmel menjelaskan bahwa pola ini dapat menyatukan seluruh pihak subordinat menjadi sebuah kesatuan. Ia mencontohkan, seorang pemimpin mampu membuat para anggotanya menjadi sebuah kelompok yang kompak dengan tujuan yang sama. Namun, ia mengatakan bahwa pola interaksi ini dapat menciptakan timbulnya pihak lawan (oposisi). Ia menambahkan, pihak lawan yang terdiri dari para subordinat dapat bersatu dan melawan pihak super ordinat (Johnson, 1986, hlm. 263). .

Simmel juga menjelaskan bahwa terdapat bentuk-bentuk yang lebih spesifik dalam pola subordinasi di bawah seorang individu yaitu melalui penyamarataan dan gradasi. Pada pola penyamarataan, Simmel menjelaskan bahwa pola ini menghilangkan perbedaan-perbedaan sikap kekuasaan kepada subordinat. Ia menambahkan bahwa pola ini membuat semua subordinat memiliki status yang sama dalam mengabdi kepada super ordinat. Ia juga menambahkan bahwa pola ini dapat menimbulkan pihak super ordinat yang bersifat sewenang-wenang terhadap para bawahannya (despotik). Dijelaskan olehnya, hal ini dapat terjadi karena seluruh pihak subordinat berada pada status yang sama dan menghindar dari upaya untuk memperoleh posisi yang lebih tinggi (Johnson, 1986, hlm. 263).

(29)

13 Seorang sosiolog Jerman, Max Webber menjelaskan mengenai keteraturan sosial yang berlangsung karena adanya pola-pola dominansi melalui struktur otoritas. Ia menjelaskan bahwa otoritas adalah hak untuk mempengaruhi orang lain yang didukung oleh peraturan dan norma. Sedangkan menurutnya, kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan seseorang meskipun mendapatkan perlawanan. Webber membagi cara penerimaan seseorang terhadap suatu aturan menjadi tiga bagian, yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas legal-rasional. Salah satunya, otoritas tradisional yaitu kepercayaan seseorang terhadap suatu aturan yang sudah dan selalu ada. Menurutnya, orang-orang yang mengikuti pola ini berasal dari satu kelompok yang sama dan memilih menggunakan suatu aturan yang dihormati sepanjang waktu. Dalam bentuk ini, Webber menjelaskan bahwa biasanya para bawahan memiliki hubungan yang bersifat pribadi dengan para pemilik otoritas, misalnya dalam keluarga. Webber mencontohkan, salah satu bentuk pola ini terlihat dalam patriarki yang dipimpin oleh satu orang yang memiliki otoritas dalam keluarga (Johnson, 1986, hlm. 227).

2.2. Peranan Director of Photography

Brown (2012) menjelaskan, sinematografi adalah proses mengambil ide, tindakan, kata-kata, emosi, dan bahasa nonverbal diterjemahkan menjadi bahasa visual (hlm. 2). Dijelaskan oleh Wheeler (2006), seorang Director of Photography (DoP)

merupakan salah satu dari kepala departemen yang bertanggung jawab pada sutradara. Menurutnya, pekerjaan utama dari DoP adalah menciptakan perasaan visual dalam film, terutama melalui penggunaan cahaya. Ia menambahkan bahwa seorang DoP memiliki pandangan terhadap naskah yang diterjemahkan melalui

(30)

14 gambar, sehingga akan menimbulkan interpretasi penonton terhadap makna cerita (hlm. 3). Box (2010) mengatakan seorang DoP merupakan tangan kanan sutradara. Menurutnya, seorang DoP adalah orang yang membantu sutradara memutuskan keputusan–keputusan sulit, terutama pada mewujudkan bayangan atau gambaran sutradara. Selain itu, seorang DoP memiliki tanggung jawab untuk menciptakan waktu, tempat, atmosfer yang tepat dengan pencahayaan, sudut kamera, maupun pergerakan kamera agar proses penyampaian cerita menjadi efektif (hlm. 1).

Brown (2012) menjelaskan, seorang DoP bertugas untuk menciptakan dunia visual milik karakter. Ia menambahkan bahwa dunia visual ini merupakan sebuah bagian penting dari cerita agar penonton dapat memahami motivasi karakter dan sifat karakter itu sendiri (hlm. 2). Selain itu, menurutnya seorang DoP

bertanggung jawab untuk mewujudkan keinginan sutradara, serta mewujudkan aspek sinematografi berdasarkan kesepakatan bersama (hlm. 289). Didukung oleh Rea dan Irving (2010), tugas dari seorang DoP yaitu menerjemahkan ide dari sutradara pada setiap adegannya menjadi tampilan dan emosi cerita. Mereka menambahkan bahwa hubungan kerja sama yang baik antara sutradara dan DoP, menjadi kunci keberhasilan sebuah film (hlm. 159).

Sedangkan menurut Rabiger dan Hurbis-Cherrier (2013) tugas DoP yaitu bertanggung jawab dalam segala aspek sinematografi, misalnya menentukan pencahayaan dan peralatan kamera, lensa, dan hal-hal terkait. Menurut mereka, seorang DoP adalah orang yang paling penting setelah sutradara. Mereka menjelaskan bahwa DoP bertanggung jawab sebagai pemimpin kinerja kru ketika sutradara sedang berkonsentrasi pada aktor. Selain itu, mereka juga menjelaskan

(31)

15 bahwa DoP harus bekerja sama dengan sutradara untuk menentukan kamera, pencahayaan, dan peralatan untuk menciptakan sinematografi. Mereka menambahkan, seorang DoP harus memiliki kecakapan dalam teori maupun praktik dalam hal teknik dan peralatan. Selain itu, menurutnya seorang DoP yang baik adalah orang yang tidak mudah membuat bingung. Mereka menjelaskan, bahwa seorang DoP harus memiliki pengetahuan dan sumber ilmu dalam berimprovisasi untuk menghadapi masalah teknis maupun logistik yang mungkin sulit dihadapi (hlm. 340-341).

Untuk dapat mencapai tugas seorang DoP, menurut Wheeler (2006) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pada masa pra-produksi, menurutnya seorang DoP perlu membaca naskah berulang kali sebelum mendiskusikan dengan sutradara. Setelah itu, bersama sutradara ia harus memutuskan alur emosi dari naskah untuk mewujudkan emosi dan perasaan dari cerita itu. Selain itu, ia perlu memeriksa departemen–departemen lain, seperti kostum, make-up, production designer untuk menyepakati hal–hal yang terkait dengan warna dan tekstur (hlm. 4-5). Brown (2012) menambahkan, selain bekerja dengan kru di bawahnya, seorang DoP harus mampu bekerja dengan divisi lain terutama production designer. Seorang DoP harus membahas kemungkinan penempatan pencahayaan dalam set, saat production designer sedang melakukan perencanaan dan bukan saat sudah dibangun (hlm. 303).

2.3. Mise-en-Scene

Sebuah film terdiri dari susunan–susunan gambar yang berisi berbagai informasi. Dalam setiap potongan, gambar tersebut harus berisi mengenai informasi yang

(32)

16 berguna bagi penonton dan dapat dicerna secara bertahap (Brown, 2012, hlm.38). Hal ini dipertegas oleh Thomson dan Bowen (2009), seorang pembuat film harus memutuskan sejak awal apa yang harus dilihat oleh penonton dan bagaimana penonton melihat informasi, detail, adegan, dan kejadian (hlm. 4). Salah satu teknik dalam film yang paling diingat dan diperhatikan oleh penonton adalah mise-en-scene (Bordwell, Thompson, dan Smith, 2017, hlm. 113). Menurut Bordwell, Thompson, dan Smith (2017), mise-en-scene merupakan kata dalam bahasa Perancis yang berarti memasukkan sesuatu ke dalam adegan (putting into scene). Mereka menambahkan bahwa pada awalnya, mise-en-scene diterapkan hanya pada teater, namun oleh para pembuat film, mise-en-scene diterjemahkan menjadi kewenangan sutradara untuk mengatur hal-hal apa saja yang ditampilkan pada

frame. Selain itu, menurut mereka mise-en-scene dapat digunakan oleh para pembuat film untuk membuat realisme, menciptakan setting yang tampak asli, dan membuat aktor tampil secara alami (hlm. 113).

Terdapat beberapa komponen utama yang dapat diatur oleh pembuat film melalui mise-en-scene. Komponen tersebut antara lain kostum, dekorasi, properti, aktor, dan pencahayaan (Gibbs, 2002, hlm. 5). Gibbs (2002) menambahkan selain komponen–komponen tersebut, terdapat komponen lain yang tidak terlepas dari bagaimana penonton melihat sebuah adegan. Menurutnya, komponen lain tersebut yaitu framing, pergerakan kamera, pemilihan lensa, dan teknik-teknik lain yang berhubungan dengan keputusan pengambilan gambar. Ia menjelaskan bahwa mise-en-scene bukan hanya sekedar menunjukkan bagaimana penonton melihat, tetapi bagaimana penonton diajak untuk masuk ke dalam sebuah adegan (hlm. 5).

(33)

17 2.3.1. Ruang dalam Film

Ruang dalam film merupakan salah satu komponen mise-en-scene yang ekspresif dan berguna bagi pembuat film (Gibbs, 2002, hlm. 17). Bordwell, Thompson, dan Smith (2017) membagi ruang dalam film menjadi dua bagian yaitu ruang dalam layar (screen space) dan ruang dalam adegan (scene space). Pada penjelasan ruang dalam layar (screen space), mereka mengatakan bahwa mise-en-scene memiliki kegunaan penting untuk mengarahkan perhatian penonton serta menekankan elemen-elemen dalam frame. Mereka juga menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua cara untuk menunjukkan ruang dalam layar yaitu komposisi seimbang dan komposisi tidak seimbang. Pada penerapan komposisi seimbang, menurut mereka para pembuat film sering menempatkan seorang figur di tengah frame dan membagi sisi kiri-kanan frame dengan besaran yang sama. Sedangkan pada komposisi yang tidak seimbang, mereka menjelaskan bahwa shot ini dapat diciptakan dengan menempatkan beberapa orang dalam satu sisi dan satu orang dalam sisi yang lain. Menurut mereka, hal ini sering digunakan dengan tujuan menyampaikan makna yang kuat kepada penonton mengenai sosok orang yang sendirian tersebut (hlm. 143).

(34)

18 Gambar 2.1 Komposisi tidak seimbang

(Cuarón, 2006)

Gambar 2.2 Komposisi seimbang (Anderson, 2014)

Ruang dalam adegan (scene space) dijelaskan oleh Bordwell, Thompson, dan Smith (2017) sebagai cara bagi penonton agar mudah memahami bentuk-bentuk dalam film yang bersifat dua dimensi seolah-olah menjadi bentuk-bentuk tiga dimensi. Menurut mereka, elemen dalam gambar yang membentuk impresi penonton ini disebut dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues). Mereka menjelaskan bahwa ilusi kedalaman ruang ini mampu membuat penonton

(35)

19 memahami ruang dalam film, sehingga tampak seperti ruangan yang asli dan hidup. Ditambahkan oleh mereka, ilusi kedalaman ruang ini dapat diciptakan melalui

mise-en-scene seperti pencahayaan, setting, kostum, dan staging.

Gambar 2.3 Film dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues)

(Kubrick, 1968)

2.4. Komposisi

Mascelli (1965) mengatakan bahwa pengarahan elemen–elemen gambar menjadi sebuah kesatuan dan harmoni dapat menciptakan sebuah komposisi yang baik. Menurutnya, penempatan subjek serta pergerakannya dalam setting, harus direncanakan secara matang agar dapat menghasilkan respons penonton yang diinginkan pembuat film. Ia juga menjelaskan bahwa pengalaman menonton gambar bergerak merupakan pengalaman emosional yang memberi dampak dari bagaimana sebuah gambar diarahkan secara baik dalam segi komposisi, pencahayaan, pengeditan sehingga dapat memotivasi reaksi penonton. Ia juga menambahkan bahwa seorang DoP yang memiliki pengetahuan yang luas serta pengetahuan yang dalam tentang seni, dapat menghasilkan sebuah komposisi yang

(36)

20 baik dan berasal dari hati (hlm. 197). Mascelli (1965) juga mengatakan bahwa sebuah adegan yang baik merupakan hasil dari pemikiran komposisi yang bijaksana dan pergerakan kamera dan subjek yang signifikan (hlm. 198).

Brown (2012) mengungkapkan bahwa melalui komposisi, pembuat film memberitahukan kepada penonton, mana yang harus dilihat dan mana yang harus dilihat terlebih dahulu (hlm. 38). Hal ini diperjelas oleh pernyataan Mercado (2011) yang menyatakan bahwa hal sekecil apa pun yang termasuk dalam komposisi sebuah shot, akan diterjemahkan oleh penonton sebagai sesuatu yang ada di sana untuk alasan tertentu dan bermakna dalam mendukung penyampaian informasi cerita (hlm. 2). Brown (2012) mengungkapkan bahwa melalui elemen komposisi, seorang pembuat film dapat menghasilkan gambar yang bermakna. Gambar tersebut menurutnya harus mampu mengungkapkan makna, mode, gaya, atmosfer, dan subtext dari gambar itu sendiri, tanpa perlu bantuan dari narasi, dialog, suara, maupun penjelasan lain (hlm. 38).

Mercado (2011) menjelaskan bahwa sebuah frame merupakan ruang dua dimensi yang didefinisikan oleh 2 sumbu yaitu sumbu x dan y. Dalam sebuah frame, terdapat sumbu ketiga yang mendefinisikan kedalaman ruang yaitu sumbu z (hlm. 6). Dijelaskan oleh Van Sijll (2005), sumbu x merupakan garis yang memotong

frame secara horizontal. Menurutnya, sumbu ini memiliki kecenderungan untuk dilihat penonton dari sisi kiri ke kanan karena menimbulkan kenyamanan. Sedangkan, apabila sebaliknya, penonton akan merasa kurang nyaman apabila harus melihat dari sisi kanan ke kiri. Ia juga menjelaskan bahwa sumbu y merupakan garis yang membagi frame secara vertikal. Menurutnya, apabila

(37)

21 pembuat film menggerakkan objek dari atas ke bawah, akan menimbulkan persepsi adanya tarikan gravitasi. Sebaliknya, menurutnya apabila objek bergerak dari bawah ke atas, menimbulkan persepsi kesulitan karena melawan gaya gravitasi. Sedangkan sumbu z, ia menjelaskan bahwa sumbu ini terbentang dari foreground

ke background atau sebaliknya yang memberi kesan ruang tiga dimensi (hlm. 2-3).

Gambar 2.4 Sumbu-sumbu dalam frame

Mercado (2011) menambahkan bahwa seorang pembuat film biasanya memiliki kecenderungan untuk melakukan komposisi dalam kedalaman ruang atau menggunakan sumbu z agar meniadakan kesan datar dan menimbulkan kedalaman ruang (hlm. 6). Van Sijll (2005) menambahkan terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumbu z, yaitu menciptakan ilusi kedalaman ruang, menampilkan adegan melalui sumbu z, dan perubahan fokus. Salah satu teknik tersebut yaitu menampilkan adegan melalui sumbu z. Ia menjelaskan bahwa seorang pembuat film dapat melakukan penempatan elemen cerita melalui tiga bidang gambar sepanjang sumbu z yaitu foreground, middle-ground, dan

(38)

22 seorang pembuat film dapat menempatkan kesan lama dan baru. Ia juga mencontohkan dalam film Dolores Claiborne (1995, Hackford), Dolores melihat masa lalunya pada belakang tubuh anaknya yang berada di bidang background

(hlm. 12-13).

Gambar 2.5 Contoh penerapan elemen cerita melalui sumbu z (Hackford,1995)

Berdasarkan ketiga sumbu tersebut, Thomson dan Bowen (2009) membagi tiga bagian ruang berdasarkan jarak kamera dengan subjek melalui sumbu z, yaitu

foreground, middle-ground, dan background (hlm. 63). Thomson dan Bowen (2009) menjelaskan bahwa foreground merupakan area antara kamera dengan area

subject of interest. Menurut mereka tidak selamanya area ini perlu diisi dengan objek tertentu. Namun, apabila seorang pembuat film ingin meletakkan subjek atau objek pada area ini, tidak boleh mengaburkan atau menghalangi objek utama di belakangnya (hlm. 63). Middle-ground menurut Thomson dan Bowen (2009), merupakan area utama di mana memungkinkan terjadinya adegan utama dan dialog. Menurut mereka, area ini memungkinkan semua kegiatan yang dilakukan subjek dalam frame dapat terlihat. Dengan begitu, para penonton dapat menerima

(39)

23 banyak informasi apabila adegan utama diletakkan pada area ini (hlm. 64). Ditambahkan oleh Edgar-Hunt, Marland, dan Rawle (2010), middle-ground

merupakan area yang paling kuat. Menurut mereka, apabila seorang karakter diletakan dalam bagian tengah frame, mereka seakan–akan diberikan kekuasaan atas seluruh objek atau subjek lain yang berada di pinggir frame (hlm. 125). Menurut Thomson dan Bowen (2009) background adalah area di belakang subjek utama (hlm. 64).

Gambar 2.6 Analisa foreground, middle-ground, background dalam film Citizen Kane

(Welles, 1941) 2.4.1. Kedalaman Ruang

Dunia yang sesungguhnya merupakan ruang tiga dimensi yang memiliki tinggi, lebar, dan kedalaman. Sedangkan frame merupakan ruang dua dimensi. Penonton harus dapat menerima apa yang dilihatnya dalam film yang dua dimensi, sebagai representasi dunia sesungguhnya yang tiga dimensi (Block, 2008, hlm. 14). Thomson dan Bowen (2009) mengatakan bahwa foreground, middle-ground, dan

(40)

24

frame (hlm. 65). Hal ini didukung oleh Mercado (2011) yang mengatakan bahwa salah satu cara untuk menghilangkan kesan dua dimensi sebuah frame adalah menciptakan kesan kedalaman, sehingga dapat membentuk sebuah frame yang dinamis. Menurutnya, terdapat dua hal yang biasa dilakukan oleh seorang pembuat film, yaitu dengan membuat perbandingan ukuran objek dan membuat objek saling tumpang tindih (hlm. 9).

Mercado (2011) menjelaskan bahwa dengan membuat salah satu objek berukuran lebih besar dari objek lainnya, dapat menciptakan ilusi kedalaman ruang. Menurutnya, hal tersebut dapat terjadi karena objek yang lebih kecil dipersepsikan oleh penonton sebagai objek yang lebih jauh (hlm. 9). Hal ini didukung oleh pernyataan Thomson dan Bowen (2009) yang menjelaskan bahwa apabila sebuah obyek yang sering dilihat penonton seperti gedung pencakar langit, akan diasumsikan sebagai sesuatu yang besar dan berada dalam zona background. Menurut mereka, hal ini dapat menciptakan kesan ilusi perspektif dan ukuran yang dapat menipu mata dan otak (hlm. 65).

Gambar 2.7 Contoh perbandingan ukuran objek untuk menciptakan kedalaman ruang (Hallström, 2017)

(41)

25 Pada teknik tumpang tindih (overlapping), Mercado (2011) menjelaskan bahwa salah satu objek yang berada dalam frame dibuat menutupi objek lainnya. Menurutnya, penonton akan memersepsikan salah satu objek yang tertutup berada di belakang sebuah objek, sehingga menimbulkan impresi tiga dimensi (hlm. 9). Sedangkan menurut Thomson dan Bowen (2009), zona foreground, middle-ground, dan background berperilaku seperti lapisan–lapisan. Mereka mencontohkan, apabila ada sebuah ranting di foreground akan menghalangi objek pada bagian

middle-ground dan background. Adegan utama pada middle-ground akan menghalangi background. Mereka menyimpulkan, seperti di dunia nyata, apabila terdapat sebuah objek yang diam atau bergerak di depan objek lain, hal tersebut dapat membuat ilusi kedalaman ruang (hlm. 65).

Gambar 2.8 Contoh teknik tumpang tindih untuk menciptakan kedalaman ruang (Jenkins, 2016)

Block (2008) juga mengatakan sama seperti tokoh sebelumnya, bahwa ilusi ruang tiga dimensi dapat diciptakan melalui perspektif ruang dan perbedaan ukuran objek (hlm. 15-27). Namun, ia menambahkan beberapa teknik lain yang juga dapat menimbulkan ilusi tiga dimensi. Teknik–teknik tersebut antara lain melalui elemen

(42)

26 pergerakan objek, pergerakan kamera, difusi tekstur, difusi area, perubahan bentuk, pemisahan tingkat kegelapan, pemisahan warna, dan fokus (hlm. 28-42). Salah satu teknik yang cukup penting yaitu pergerakan objek dalam frame. Menurutnya, terdapat dua hal dasar pergerakan objek di depan kamera yaitu pergerakan paralel dan pergerakan tegak lurus. Ia menjelaskan, pergerakan paralel dapat berupa gerakan kiri-kanan, atas-bawah, diagonal, maupun memutar. Menurutnya, sebuah objek yang bergerak paralel tidak dapat menciptakan ilusi kedalaman. Ilusi kedalaman hanya dapat diciptakan apabila terdapat dua benda atau lebih yang berada di bidang berbeda bergerak ke bidang gambar (hlm. 28-29).

Block (2008) juga menjelaskan bahwa kedalaman ruang dapat diciptakan dengan pergerakan tegak lurus objek terhadap bidang gambar. Pergerakan ini dapat berupa pergerakan objek menuju kamera, atau sebaliknya dari dekat kamera menuju kedalaman bidang gambar. Ia menjelaskan bahwa objek yang bergerak menuju kamera akan memberi kesan objek tersebut semakin cepat. Sebaliknya, apabila objek bergerak menjauhi kamera, maka akan terkesan semakin melambat. Menurutnya, perubahan kecepatan ini merupakan ilusi kedalaman ruang yang timbul akibat pergerakan objek yang tegak lurus terhadap bidang gambar (hlm. 30). Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dari beberapa sumber untuk melakukan analisa, penulis membutuhkan metode dalam melakukan penelitian. Untuk itu, penulis menjelaskan metodologi yang digunakan pada bab selanjutnya.

(43)

27

BAB III

METODOLOGI

Pada bab ini, penulis menjelaskan metode yang dilakukan dalam menganalisis bahasan dengan menggunakan teori yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya. Selain itu, penulis akan menjelaskan sinopsis film ini secara singkat, posisi penulis pada produksi film ini, dan peralatan yang digunakan dalam produksi. Pada bagian selanjutnya, penulis menjabarkan tahapan kerja yang dilakukan dalam perancangan di tahap pra-produksi, hingga penerapan di tahap produksi.

3.1. Gambaran Umum

Film Baba merupakan sebuah film pendek fiksi bergenre drama keluarga yang bercerita mengenai bagaimana Denny (13 tahun), seorang anak tengah dalam melihat kondisi keluarganya yang tidak harmonis akibat Papa (48 tahun) mengusir kakaknya, Anton (18 tahun) dari rumah. Film yang berlatar keluarga Tionghoa Benteng ini, menggambarkan bagaimana seorang ayah menunjukkan dominasi dan kekuasaan sebagai pemberi nafkah bagi keluarganya; namun dengan cara kasar dan keras dalam mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini, karakter Papa berperan sebagai super ordinasi yang mendominasi anak–anak, terutama Anton dan Denny. Untuk menunjukkan posisi ini, penulis menerapkan teknik komposisi untuk menempatkan karakter dalam bidang yang berbeda yaitu foreground, middle-ground, dan

(44)

28 Dalam melakukan penelitian film ini, penulis melakukan pengambilan data dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2007), yaitu metode penelitian yang diawali dengan asumsi dan pandangan peneliti untuk mempelajari suatu masalah yang timbul dari kehidupan sosial atau manusia yang dilihat melalui pandangan teori. Ia menambahkan, hasil akhir dari penelitian kualitatif dapat berupa laporan tertulis maupun presentasi, berisi tentang pandangan penulis terhadap suatu masalah, memperluas bahan bacaan, maupun ajakan untuk memulai sebuah gerakan (hlm. 37).

Creswell (2007), juga mengatakan terdapat beberapa karakteristik metode penelitian kualitatif, seperti peneliti sebagai kunci utama, sumber yang beragam, serta analisa melalui pandangan teori. Ia menjelaskan bahwa peneliti sebagai kunci utama, mengumpulkan data melalui pemeriksaan dokumen dan mengumpulkan data yang dilakukannya sendiri, bukan bergantung pada penelitian orang lain. Selain itu, ia mengatakan bahwa peneliti tidak hanya bergantung pada satu sumber, melainkan dari beberapa sumber melalui pengamatan maupun mempelajari dokumen-dokumen. Creswell juga menambahkan, seorang peneliti akan melakukan analisa masalah yang dipelajarinya melalui pandangan teori (hlm. 38-39). Metode penelitian ini dirasa cocok karena dapat menjabarkan hasil penerapan teori yang telah dilakukan penulis dalam proses pra-produksi dan produksi. Adapun sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan berkas–berkas pra-produksi dan materi visual hasil produksi.

(45)

29 3.1.1. Sinopsis

Pada suatu pagi, Denny (13 tahun) sedang membantu Mama (41 tahun) memasukkan kue-kue dagangan ke dalam kotak–kotak di dapur. Tiba-tiba, pintu belakang terbuka dengan cepat. Anton (18 tahun) masuk tergesa-gesa dengan wajah yang lebam. Papa (48 tahun) yang mengetahui hal tersebut, segera menghampiri Anton. Papa menarik Anton, serta memarahinya. Papa merasa tindakan Anton sudah melewati batas wajar, maka Papa mendidik Anton dengan keras melalui pengusiran. Novi (5 tahun) sempat sedikit melihat kejadian itu, segera diajak pergi oleh Mama.

Denny hanya dapat menatap kepergian Anton dari rumah. Denny tidak mampu melawan kuasa Papa. Denny menganggap Anton sebagai kakak yang melindungi sekaligus teman. Untuk itu, Denny hanya bisa membantu Anton semampunya dengan membiarkan Anton menyelinap masuk ke kamarnya. Setelah beberapa hari, Denny mulai menyadari perbedaan Papa yang menghisap rokok lebih banyak dari biasanya, serta sering melamun. Namun, Denny tidak berani menanyakan hal itu kepada Papa.

Pada suatu saat ketika rumah sedang dalam keadaan kosong, Anton menyelinap masuk. Ia melihat makanan di meja dan menyantapnya dengan nikmat. Kemudian Anton mandi. Setelah membersihkan dirinya, ia melihat rokok milik Papa yang berada di atas meja. Ia mengambil dan menghisapnya. Anton merasakan kebebasan dalam rumah yang jarang ia dapatkan. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Papa masuk dan melihat sebatang rokok masih menyala. Papa mematikan rokok itu dan berjalan ke dapur. Ia melihat pakaian Anton berserakan di lantai. Papa

(46)

30 memungut baju-baju itu dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sambil menunggu, Papa membuka pintu dan merokok. Terlihat Papa sebenarnya merindukan Anton untuk kembali pulang, namun terhalang oleh egoisme masing-masing.

3.1.2. Posisi Penulis

Dalam skripsi ini, penulis berperan sebagai Director of Photography yang bertugas untuk melakukan perancangan secara visual dalam penyampaian cerita. Dalam proses pembuatan karya, penulis tidak melakukan secara individu, melainkan bersama kelompok yang berjumlah 6 orang. Selain itu, untuk menyampaikan mise-en-scene dan narasi cerita secara tepat, maka penulis perlu bekerja sama dengan departemen lain seperti sutradara, production designer, dan sound designer.

3.1.3. Peralatan

Dalam melakukan pengerjaan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa peralatan untuk menunjang proses produksi. Peralatan utama yang digunakan dalam proses produksi yaitu kamera dan lensa. Sedangkan tripod dan spider rig, merupakan peralatan pendukung yang membantu proses produksi. Kamera digunakan sebagai alat perekam gambar yang sangat penting dalam melakukan pengambilan gambar. Kamera yang digunakan pada film ini yaitu Sony Alpha 7s Mark II. Kamera ini dipilih karena penulis merasa sudah berpengalaman dengan alat ini, sekaligus kamera ini dapat menghasilkan gambar yang mendekati tampilan film, bukan video. Tampilan film yang dimaksud yaitu warna, tekstur, dan detail gambar yang tidak terlalu tajam (over sharp) dan mendekati hasil kamera profesional.

(47)

31 Gambar 3.1 Kamera Sony Alpha 7S Mark II

Selain kamera, peralatan kedua yang menjadi mata kamera dan vital yaitu lensa. Lensa yang digunakan dalam keseluruhan film ini yaitu lensa manual Nikon. Sedangkan penulis memilih menggunakan lensa manual Nikon NIKKOR dengan ukuran 50 mm untuk pengambilan shot yang dibahas dalam skripsi ini. Pemilihan lensa manual Nikon dikarenakan bentuk karakteristik gambar yang dihasilkan, tidak terlalu jernih dan halus. Sebaliknya, lensa ini menghasilkan gambar yang sedikit memiliki artefak (grain) berupa tekstur gambar yang sedikit kasar. Hal ini bertujuan agar gambar mendekati hasil seperti film (film look). Lensa ukuran 50 mm dipilih untuk shot dibahas dalam skripsi ini karena proporsi objek yang dihasilkan tidak terlalu jauh dari pandangan mata manusia. Hal ini dibutuhkan karena penulis ingin menampilkan beberapa shot ini sebagai tampilan apa adanya dan tampak nyata.

(48)

32 Gambar 3.2 Contoh video look – iklan Belvita

(BelVita Breakfast Indonesia TVC, 2016)

Gambar 3.3 Contoh film look American Beauty

(49)

33 Gambar 3.4 Lensa Nikon NIKKOR 50mm f/1.2

(Nikon NIKKOR 50mm f/1.2 Lens, n.d.)

Gambar 3.5 Hasil gambar menggunakan lensa Nikon NIKKOR 50 mm f/1.2 (APK Films, 2017)

Sedangkan pemilihan peralatan pendukung seperti tripod atau spider rig,

disesuaikan dengan mise-en-scene adegan yang ingin disampaikan. Misalnya pada adegan yang tenang, penulis cenderung memilih tripod agar gambar terkesan tidak

(50)

34 terlalu dinamis. Sedangkan sebaliknya, pada adegan yang dinamis dan bergejolak penulis menggunakan spider rig untuk menciptakan gambar yang hidup.

Gambar 3.6 Proses produksi dengan menggunakan tripod

(51)

35 3.2. Tahapan Kerja

Dalam melakukan pembuatan film pendek ini, terdapat dua tahapan kerja utama yang dilakukan oleh penulis. Dua tahapan tersebut yaitu proses perancangan visual dalam pra-produksi dan proses penerapan rancangan visual dalam produksi.

3.2.1. Pra-produksi

Pada tahap pra-produksi, penulis melakukan beberapa tahapan yaitu diskusi dengan sutradara, survei lokasi, pencarian referensi shot, perancangan shotlist dan

floorplan, serta melakukan recce. Pada tahap pertama, penulis melakukan diskusi dengan sutradara untuk mengetahui statement detail mengenai film ini sendiri.

Statement sutradara diperlukan bagi penulis untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh sutradara melalui film ini. Setelah mengetahui statement film ini, penulis mengajukan ide perancangan visual untuk mendukung penyampaian

statement. Setelah ide ini disepakati bersama, penulis bersama sutradara dan

production designer melakukan survei lokasi shooting yang sudah diselesaikan perijinannya oleh produser. Tujuan survei lokasi ini adalah untuk mengetahui secara detail kondisi kelistrikan yang ada, serta bagaimana kamera diletakkan dalam lokasi tersebut.

(52)

36 Gambar 3.8 Proses diskusi penulis dengan sutradara

Tahap selanjutnya, penulis bersama sutradara mencari beberapa sumber referensi shot dari film-film yang telah diproduksi oleh para pembuat film nasional ataupun internasional. Tujuan dari pencarian referensi ini adalah untuk mempelajari bagaimana cara penyampaian statement film secara visual dengan efektif. Setelah menemukan referensi yang sesuai, penulis melakukan pembuatan shotlist dan

floorplan yang dilakukan bersama sutradara. Rancangan shotlist dan floorplan ini, kemudian diuji coba pada recce untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi dalam tahap perancangan. Kekurangan-kekurangan yang ditemukan dalam recce kemudian direvisi bersama sutradara, dan disepakati untuk memasuki tahap produksi.

3.2.2. Produksi

Pada tahap ini, penulis berusaha menerapkan rancangan visual yang telah disusun pada tahapan pra-produksi. Penerapan tersebut berupa penempatan kamera dengan

(53)

37 jarak tertentu dari aktor sesuai shotlist. Peletakan posisi pencahayaan sesuai rancangan adegan. Pemilihan penggunaan tripod maupun spider rig untuk mendukung mise-en-scene. Serta melakukan pengambilan gambar selama tiga hari. Dalam melakukan produksi, setiap adegan memiliki proses yang berbeda. Penulis akan menjelaskan proses produksi 4 buah adegan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini.

1. Adegan 1

Pada tahap produksi adegan ini, penulis menunggu persiapan production designer dalam meletakkan properti dan peralatan artistik sesuai perancangan. Setelah tim art selesai, penulis bersama gaffer atas persetujuan production designer meletakkan lampu yang sekaligus menjadi properti (practical light). Selanjutnya, penulis dibantu asisten kamera mempersiapkan kamera serta spider rig. Setelah siap, kamera diletakkan pada tempat yang sudah dirancang melalui floorplan. Kemudian gaffer

meletakkan lampu dalam set. Lampu yang digunakan antara lain; lampu fresnel 1500 kwh sejumlah 2 buah, 2 buah led panel bi-colour, dan 2 buah lampu rumah led tungsten. Setelah semua lampu diletakkan, penulis menyalakan kamera dan melakukan sedikit penyesuaian tata letak lampu agar cahaya yang diinginkan sesuai dengan perancangan awal. Hal berikutnya, sutradara memasuki set dan melihat framing kamera serta sedikit melakukan penyesuaian gambar bersama penulis apabila dibutuhkan. Setelah semua siap, sutradara membawa masuk aktor ke dalam

(54)

38

set. Tahap selanjutnya, perekaman adegan dimulai. Penulis dibantu asisten kamera untuk melakukan penyesuaian fokus kamera. Perekaman dilakukan berdasarkan shotlist yang telah dipersiapkan pada tahap pra-produksi.

Tabel 3.1 Shotlist adegan 1

(55)

39 Gambar 3.10 Proses shooting adegan 1

(Dokumentasi APK Films, 2017)

2. Adegan 4A

Dalam adegan 4A, penulis melakukan persiapan untuk perekaman adegan dengan memberi arahan pada asisten kamera untuk mempersiapkan kamera dengan tripod dan diletakkan sesuai floorplan. Sedangkan pada saat yang bersamaan, gaffer memasang lampu jalan yang menjadi practical light

bersama production designer. Gaffer bersama penulis juga memasang lampu untuk adegan interior. Proses perekaman gambar dimulai pukul 17.50 pada saat matahari mulai tenggelam sebagian sehingga langit tampak berwarna kebiruan. Setelah adegan eksterior selesai, kamera dipindahkan ke halaman rumah untuk melakukan pengambilan gambar shot selanjutnya.

(56)

40 Tabel 3.2 Shotlist adegan 4A

(57)

41 Gambar 3.12 Proses shooting adegan 4A

(Dokumentasi APK Films, 2017)

3. Adegan 9

Pada adegan 9, penulis memulai proses produksi dari ruang makan (ruang keluarga) kemudian bergeser ke pintu rumah. Sebelum melakukan pemasangan lampu, penulis menunggu production designer selesai melakukan perancangan ruang. Kemudian penulis melakukan arahan pada

gaffer untuk memasang lampu fresnel led 1500 kwh sebanyak 2 buah di ruang makan, dan 1 buah di halaman rumah. Serta 2 buah led panel bi-colour di dalam rumah dan 1 buah di halaman rumah. Setelah lampu siap, kamera diletakkan di atas tripod dan penulis bersama gaffer melakukan penyesuaian lampu. Setelah semua siap, sutradara memasuki set bersama aktor dan memulai pengambilan gambar sesuai shotlist.

(58)

42 Tabel 3.3 Shotlist adegan 9

(59)

43 Gambar 3.14 Proses shooting adegan 9

(Dokumentasi APK Films, 2017)

4. Adegan 17

Pada adegan ini setelah production designer selesai melakukan pengaturan

set, penulis bersama asisten kamera mempersiapkan kamera yang dipasang dengan spider rig. Gaffer melakukan pemasangan 1 buah led panel bi-colour pada ruang keluarga. Sedangkan di halaman rumah, gaffer

memasang 1 buah lampu fresnel 1500 kwh yang diletakkan di depan jendela rumah untuk menciptakan garis-garis yang menyerupai matahari, serta 1 buah led panel bi-colour sebagai cahaya utama karakter Papa. Setelah semua siap, sutradara melakukan pengecekan akhir dan memulai perekaman adegan sesuai shotlist.

(60)

44 Tabel 3.4 Shotlist adegan 17

Gambar 3.15 Floorplan adegan 17

Gambar 3.16 Proses recce adegan 17 (Dokumentasi APK Films, 2017)

(61)

45 3.3. Acuan

Dalam melakukan perancangan film Baba dari tahap pra-produksi hingga tahap produksi, penulis memiliki referensi visual yang berasal dari dua buah film. Film tersebut yaitu Goodbye South, Goodbye (1997, Hou Hsiao-Hsien) dan Citizen Kane

(1941, Orson Welles). Kedua film ini dipilih karena film ini mampu melakukan penyampaian cerita menggunakan unsur kedalaman ruang.

Gambar 3.17 Potongan gambar film Citizen Kane

(Welles, 1941)

Film Citizen Kane bercerita tentang Charles Foster Kane yang baru saja meninggal di istana Xanadu. Pada saat ia meninggal, Kane menggenggam sebuah mainan bola salju dan berkata “Rosebud”. Kematian Kane menjadi berita internasional yang membuat wartawan dan masyarakat penasaran tentang maksud perkataan Kane pada detik-detik kematiannya. Jerry Thompson, seorang reporter ditugaskan oleh kantornya untuk melakukan investigasi kepada orang-orang yang

(62)

46 pernah dekat dengan Kane. Termasuk salah satu mantan istri Kane, Susan Alexander Kane yang memiliki sebuah klub, menolak untuk membicarakan tentang mantan suaminya. Thompson kemudian mengunjungi sebuah ruang arsip milik Walter Parks Thatcher. Di situ, Thompson membaca sebuah catatan yang mengisahkan kehidupan kecil Kane.

Thompson menemukan bahwa semasa kecil, Kane hidup dalam kemiskinan. Thompson kemudian melakukan wawancara dengan berbagai sumber. Pada akhirnya ia memutuskan bahwa kata-kata terakhir Kane tetap menjadi misteri. Pada akhir film, penonton ditunjukkan arti kata “Rosebud” yang dimaksud Kane. Kata tersebut merupakan merek kereta salju milik Kane saat usia delapan tahun, yang dimainkannya di Colorado ketika ia diajak pergi untuk meninggalkan orang tuanya. Dalam film Citizen Kane, kedalaman ruang sering dimanfaatkan sebagai elemen penyampaian narasi cerita. Salah satu adegan yang paling sering dibahas adalah ketika Kane dijual oleh ibunya. Pada saat itu, Kane berusia delapan tahun. Ibunya menandatangani sebuah surat perjanjian kepada pihak bank milik Walter Parks Thatcher. Ayahnya berusaha untuk menghentikan hal tersebut, namun ia tidak memiliki kuasa atas keputusan istrinya. Dari jendela, terlihat Kane yang masih polos bermain salju dengan senang. Karakter ibu berada dalam zona foreground

atau paling dekat dengan kamera bersamaan dengan Thatcher. Sedangkan ayah pada zona middle-ground dan Kane berada dalam zona background. Hal ini ingin menunjukkan bahwa karakter ibu memiliki kuasa paling besar, ayah tidak terlalu memiliki kuasa, sedangkan Kane paling tidak berkuasa. Sosok yang paling

(63)

47 berkuasa ditempatkan pada zona foreground dan semakin ke dalam, zona

background ditempatkan karakter yang paling tidak berkuasa.

Gambar 3.18 Potongan gambar film Goodbye South, Goodbye

(Hsiao-Hsien , 1996)

Film Goodbye South, Goodbye karya sutradara Hou Hsiao-Hsien bercerita tentang Kao; adik Kao, Flat Head; serta pacar Flat Head, Pretzel. Film ini dibuka dengan kisah bagaimana Flat Head mengacaukan bisnis perjudian yang dijalankan oleh Kao di pinggir rel kereta. Kao memiliki rencana besar untuk meningkatkan penghasilannya dengan membuka bisnis hiburan disko di pusat kota. Penghasilan tersebut ingin digunakannya untuk melamar Ying, pacarnya. Namun, usaha Kao untuk membuka tempat disko terhalang oleh regulasi pemerintah yang sulit dan korup, sehingga membutuhkan uang yang banyak.

Mereka kemudian memutuskan untuk beralih ke bisnis lain. Mereka menemukan sebuah lahan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Di atas tanah tersebut terdapat ribuan babi. Mereka menjual ribuan babi tersebut yang dibeli dengan harga murah, sehingga mereka mendapatkan untung besar. Pada suatu

(64)

48 ketika, Flat Head menghampiri pamannya untuk meminta bagian warisan. Hal ini menimbulkan masalah baru karena sepupu Flat Head, Ming merupakan polisi. Flat Head akhirnya dipukuli dan dipenjara.

Salah satu adegan yang memanfaatkan kedalaman ruang sebagai elemen penyampaian narasi cerita yaitu ketika Flat Head dipukuli oleh Ming setelah meminta warisan pada pamannya. Pada adegan itu, paman Flat Head diletakkan dalam zona foreground, sedangkan Flat Head yang sedang dipukuli ditempatkan di zona background. Hal ini ingin menujukan adegan kekerasan berupa pengeroyokan Flat Head dijauhkan dari penonton dengan ditempatkan di zona background.

Setelah menyaksikan kedua film ini, penulis melakukan analisis terhadap adegan dan shot yang mendekati film yang akan diproduksi oleh penulis. Analisis tersebut berupa pemahaman terhadap statement dan narasi cerita yang ingin disampaikan oleh sutradara. Kemudian bagaimana statement tersebut ditampilkan melalui elemen visual berupa mise-en-scene shot. Selanjutnya, bersama sutradara, penulis merancang mise-en-scene serta shotlist berdasarkan referensi kedua film ini. Penulis akan melakukan analisa bahasan pada bab selanjutnya berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

(65)

49

BAB IV

ANALISIS

Untuk menunjukkan hierarki kekuasaan dalam keluarga Tionghoa Benteng pada film ini, penulis sebagai DoP mempertimbangkan pemakaian teknik-teknik kamera dan menganalisis beberapa hal yang dijelaskan dalam bab ini.

4.1. Kekuasaan Papa dalam Mendidik Anak

Gambar 4.1 Shot 3 adegan 1 (APK Films, 2017)

Adegan 1 dalam film Baba bercerita pada suatu pagi, Denny (13 tahun) sedang membantu Mama (41 tahun) memasukkan kue ke kotak-kotak di dapur. Tiba-tiba Anton masuk dari pintu belakang dengan wajah yang lebam. Papa yang mengetahui hal tersebut, langsung menghampiri Anton, memarahi, dan mengusirnya dari rumah. Film ini memiliki latar belakang keluarga Tionghoa Benteng yang menerapkan sistem patriarki. Seperti dikatakan oleh Renzetti dan Curan yang

Gambar

Gambar 2.2 Komposisi seimbang   (Anderson, 2014)
Gambar 2.3 Film dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues)  (Kubrick, 1968)
Gambar 2.4 Sumbu-sumbu dalam frame
Gambar 2.5 Contoh penerapan elemen cerita melalui sumbu z  (Hackford, 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Senyawa pencemar yang ada didalam air limbah misalnya senyawa organik (BOD,COD), ammonia, phosphor dan lainnya akan terdifusi kedalam lapisan biofilm yang melekat

1980-luvulla poliittinen ja ideologinen ilmapiiri alkoi olla suotuisa myös kotihoidon tukemiselle. Kotihoidon tuki syntyi poliittisena kompromissina samaan aikaan, kun

Dari analisis terhadap data tersebut diperoleh metode peramalan yang paling baik untuk digunakan untuk tiap komponen darah adalah whole blood mempunyai nilai

Kebanyakan mempunyai tungkai yang telah berkembang baik, berukuran pendek jika dibandingkan dengan panjang tubuh.. Tengkorak kepala mengalami reduksi pada banyak

Mereka tidak diajarkan, misalnya, untuk menempatkan sendiri di balik tabir ketidaktahuan di posisi aslinya , meskipun dari diskusi tentang pembenaran praktek , sebagai lawan

Apakah Word Of Mouth, Destination Image dan Destination Branding berpengaruh secara simultan terhadap minat Mahasiswa Baru FEB Unisma berkunjung ke Jatim Park 3

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat, karunia, serta berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang

11.1.5 Direktorat Jenderal dalam menindaklanjuti ancaman keamanan yang positif membahayakan keamanan penerbangan, bertanggung jawab menilai dan memastikan tindakan